You are on page 1of 16

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Penelitian sastra terus berkembang dari waktu ke waktu. Pendekatan yang digunakan untuk meneliti karya sastra juga semakin beragam. Penelitian terhadap karya sastra tidak lagi hanya tertuju pada unsur-unsur intrinsik, tetapi telah meluas mencakup unsur-unsur ekstrinsik. Dari segi ekstrinsik, implementasi penelitian karya sastra telah bersinergi dengan disiplin ilmu lain. Salah satu cabang ilmu yang ikut memperkaya khazanah penelitian sastra adalah ilmu psikologi, khususnya psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Sastra dan psikologi mempunyai hubungan yang erat. Freud memandang karya sastra sebagai wujud pemenuhan hasrat seorang sastrawan yang tertolak oleh prinsip realitas dan terlarang oleh kode-kode moral. Ia juga mengemukakan bahwa para sastrawan dan filsuf sebenarnya telah menemukan the unconscious (taksadar) sebelum dirinya dan ia menindaklanjuti dengan menemukan metode ilmiah untuk mempelajari apa yang telah mereka temukan. Metode tersebut dianggap mampu menjelaskan motif tersembunyi dalam taksadar manusia yang memang telah tersirat dalam karya sastra (Henderson & Brown, 1997:2). Freud membuktikan hasil penelitiannya tersebut melalui interpretasi mimpi yang dialami tokoh utama cerpen La Gradiva karya Wilhelm Jensen dan membandingkannya dengan hasil analisis mimpi yang ia lakukan terhadap pasien-pasiennya. Selain itu, ia juga meneliti karya-

karya klasik semacam Oedipus-Rex dan Hamlet untuk memperkuat argumennya (lihat: Milner, 1992; Eagleton, 1996; Minderop, 2010). Dengan demikian, studi yang dilakukan Freud telah membangun jembatan penghubung antara sastra dan psikologi sekaligus memberi peluang bagi ilmu sastra untuk memanfaatkan ilmu psikologi dalam penelitian karya sastra. Kajian hukum psikologi dalam ranah sastra dikenal sebagai psikologi sastra (Wellek & Warren, 1993:90). Karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, yang walaupun imajinatif, dapat menunjukkan berbagai problem psikologis (Minderop, 2010:55). Oleh karena itu, psikologi sastra merupakan pendekatan yang tepat untuk meneliti persoalan psikologis para tokoh fiksional dalam karya sastra. Pendekatan psikologi sastra secara khusus sesuai untuk diterapkan pada karya-karya fiksi psikologis. Fiksi psikologis adalah salah satu aliran sastra yang berusaha mengeksplorasi pikiran sang tokoh utama, terutama pada bagiannya yang terdalam yaitu alam bawah sadar (Stanton, 2007:134). Contoh karya sastra yang dapat dikategorikan ke dalam aliran tersebut adalah novel-novel karya D.H. Lawrence yang terbit pada era Modernism1.

The Routledge History of Literature in English mencatat bahwa fase sejarah kesusastraan Inggris pada paruh awal abad ke-20 The Twentieth Century: 1900-1945 juga dikenal sebagai era Modernism. Lahirnya era tersebut diinisiasi oleh terbitnya On the Origin of Species (1859) karya Charles Darwin dan berakhirnya era Victorian (Ratu Victoria meninggal pada tahun 1901). Istilah Modernism sendiri mengacu pada masa-masa postDarwinian di mana agama, stabilitas sosial, dan etika mulai dipertanyakan (Carter & McRae, 1997:349-350).

D.H. Lawrence sering menampilkan dinamika kejiwaan manusia melalui representasi para tokoh dalam novel-novelnya, terutama berkaitan dengan hasrat seksual. Ia menyatakan bahwa, Sex had a meaning which it was disquieting to think that we, too, might have to explore (Merkin, 2009:v-vi). Ia percaya bahwa hasrat seksual memiliki makna yang meresahkan untuk dipikirkan sehingga layak untuk dikaji. Akan tetapi model kisah percintaan dalam novel-novelnya yang mengandung cerita erotic fulfillment (pemenuhan hasrat seksual) dikecam oleh banyak kalangan masyarakat Inggris karena dianggap tabu dan tidak bermoral. T.S. Eliot, sebagai sesama pengarang, bahkan memberikan komentar sarkastik, Seems to me to have been a very sick man indeed (Merkin, 2009:vi). T.S. Eliot menilai D.H. Lawrence sebagai orang yang benar-benar sakit. Terlepas dari kecaman berbagai pihak, D.H. Lawrence merupakan pengarang yang cakap dalam menyampaikan ide-ide imajinatifnya. Secara eksplisit ia mampu menceritakan persoalan erotis dalam sebuah kisah percintaan sebagai sisi yang humanis dan natural dalam diri setiap individu namun tetap dalam balutan tata bahasa sastra yang sarat dengan nilai estetika. Kehebatannya tersebut diakui oleh seorang penulis kenamaan, E.M. Forster, yang menyebut D.H. Lawrence sebagai novelis terhebat pada masanya (Kelbelov, 2006:15). Pujian juga datang dari kritikus sastra asal Inggris, F.R. Leavis, yang menilai D.H. Lawrence jauh lebih baik daripada James Joyce dalam konteks kebahasaan dan kreativitas (Merkin, 2009:vi).

Dalam Literature: The Evolving Canon, D.H. Lawrence (1885-1930) tercatat sebagai salah satu sastrawan yang berpengaruh pada abad ke-20. Terlahir dengan nama lengkap David Herbert Lawrence, ia merupakan seorang sastrawan yang berasal dari keluarga kelas pekerja di daerah pertambangan Nottinghamshire, Inggris. Novel pertamanya, The White Peacock, ditulis pada tahun 1909 dan setelah peluncuran novel tersebut ia memutuskan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada sastra. Selain mengarang novel, ia juga menulis puisi, naskah drama, dan esai. Ia menjadi sosok kontroversial terutama karena tiga novelnya, The Rainbow (1915), Women In Love (1920), dan Lady Chatterleys Lover (1928), dan skandal asmaranya dengan istri seorang cendekiawan ternama di Inggris (Birkerts, 1996:316). Dari ketiga karya kontroversial D.H. Lawrence di atas, novel berjudul The Rainbow dipilih untuk dijadikan objek material penelitian ini. Pemilihan tersebut didasarkan pada keunikan The Rainbow, baik dari segi penyajian maupun isi. Dalam hal penyajian, The Rainbow merupakan novel yang secara panjang lebar mengisahkan kehidupan tokoh-tokoh dalam satu keluarga selama tiga (3) generasi secara berurutan, yakni kehidupan keluarga Brangwen. Fokus cerita tidak hanya terarah pada satu tokoh saja, melainkan pada beberapa tokoh yang mewakili tiap-tiap generasi. Tokohtokoh tersebut adalah Tom Brangwen yang mewakili generasi pertama, Anna Brangwen yang mewakili generasi kedua, dan Ursula Brangwen yang mewakili generasi ketiga. Ursula Brangwen sebagai generasi ketiga secara khusus memperoleh porsi cerita yang relatif lebih banyak dan lebih kompleks daripada dua generasi sebelumnya.

Dalam hal isi, The Rainbow adalah novel yang banyak menceritakan konflik internal yang terjadi dalam diri para tokoh. Penceritaan konflik internal, dengan penekanan pada narasi pikiran dan perasan para tokoh, lebih banyak dan lebih rumit daripada konflik verbal yang terjadi antartokoh. Berkaitan dengan hal ini, D.H. Lawrence menegaskan bahwa novelnya tersebut merupakan sebuah terobosan baru, Its all crude as yet, but its new, so really a stratum deeper than I think anybody has gone in a novel (Becker, 2002:5). Ia menempatkan The Rainbow pada satu strata yang lebih dalam dari segi cerita dibandingkan dengan novel-novel lain meskipun ia mengakui bahwa karyanya tersebut masih mentah. Seperti karya-karya D.H. Lawrence yang lain, tema hubungan percintaan mengemuka dalam The Rainbow. Dalam tiap hubungan percintaan yang terjalin antartokoh selalu muncul konflik batin. Konflik batin, yang terjadi dalam pikiran dan perasaan para tokoh, tidak diungkap oleh satu tokoh kepada tokoh-tokoh lain yang sebenarnya memiliki kaitan dan/atau peran terhadap terjadinya konflik tersebut. Konflik batin semacam inilah yang dipaparkan D.H. Lawrence secara naratif dalam novelnya. Selain sebagai bentuk ekspresi nilai-nilai humanisme, pemaparan konflik batin para tokoh merupakan representasi aspirasi pengarang menyikapi keadaan masyarakat Inggris pada era Industrial Revolution2 yang melupakan hak-hak dasar manusia, terutama ekspresi hasrat seksual yang mengakomodasi hak fisik.

Industrial Revolution (Revolusi Industri) yang bermula pada awal abad ke-18 tidak hanya melahirkan perubahan di bidang teknologi tetapi juga transformasi mental di kalangan masyarakat Inggris. Dalam lingkup keluarga, suami dan istri sering terpisah secara fisik dan mental karena keduanya sibuk bekerja di luar rumah (Baysal, 2006:194-195).

Deskripsi konflik batin dalam The Rainbow berkaitan dengan hubungan percintaan terlihat dalam beberapa situasi yang menceritakan kegalauan perasaan dan pikiran yang dialami para tokoh dari keluarga Brangwen. Tokoh Tom Brangwen, misalnya, yang sejak kecil hidupnya selalu diatur dan dikendalikan oleh ibunya harus berada pada posisi di mana ia harus mengambil keputusan atas keinginannya untuk memiliki Lydia, wanita yang dicintainya. Pengambilan keputusan menjadi sulit bagi Tom karena ia telah terbentuk menjadi karakter pasif yang tidak berani berinisiatif. Padahal ketika dihadapkan pada situasi tersebut, Tom tidak punya lagi sosok ibu yang dianggap selalu mengetahui dan memutuskan apa yang terbaik untuknya. Akibatnya muncul berbagai macam perasaan dan pertimbangan dalam diri Tom yang saling berbenturan dan membuatnya frustrasi. Di samping itu ketertarikan Tom kepada Lydia, seorang janda yang relatif jauh lebih tua darinya, dan ketidaktertarikan Tom terhadap wanita yang sebaya dengannya juga menjadi poin yang patut dicermati. Konflik batin dalam percintaan dengan sendirinya selalu berkaitan dengan aspek kejiwaan tokoh. Permasalahan yang dialami batin tokoh Tom merupakan efek dari benturan antara pengalaman hidupnya di masa kecil beserta norma-norma keluarga/masyarakat yang mengendap dalam alam bawah sadar dan dorongan seksual yang bersifat instingtif. Persoalan tersebut merupakan wilayah taksadar dalam diri individu yang merupakan ranah ilmu kejiwaan. Dengan demikian, konflik yang terjadi dalam batin satu tokoh dalam karya sastra, seperti yang terjadi pada tokoh Tom, dapat dengan sistematis ditelusuri dan dijelaskan dengan pendekatan psikologi sastra.

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal bab ini, pendekatan psikologi sastra merupakan metode yang relevan untuk meneliti novel psikologis semacam The Rainbow. Adapun pendekatan psikologi sastra yang dipilih adalah pendekatan psikoanalisis model Sigmund Freud mengingat ia merupakan salah satu tokoh yang mampu memadukan psikologi dengan sastra. Teori psikoanalisis Freudian telah terbukti efektif untuk menafsirkan kondisi kejiwaan tokoh-tokoh rekaan dalam karya sastra. Pemilihan psikoanalisis Freudian untuk meneliti The Rainbow juga didasarkan pada komentar provokatif seorang kritikus sastra, Graham Hough. Ia mengatakan bahwa novel The Rainbow merupakan the first Freudian novel in English. Novel keempat D.H. Lawrence tersebut dinilai sebagai novel berbahasa Inggris pertama yang membawa semangat Freudian. Padahal pada waktu itu D.H. Lawrence belum membaca tulisan-tulisan Freud (Merkin, 2009:vii-viii). Membahas karya sastra melalui pendekatan psikoanalisis berarti membuka suatu wilayah yang tidak pasti, yakni wilayah hasrat taksadar, melalui arti yang mungkin jelas dan terungkap dalam karya sastra (Minderop, 2010:65). Oleh karena itu, dinamika batin para tokoh dalam The Rainbow yang dipaparkan D.H. Lawrence merupakan data-data yang dapat diolah dan diinterpretasikan dengan psikoanalisis. Dalam penelitian ini psikoanalisis dimanfaatkan untuk mengungkap dan

menginterpretasikan penyebab, bentuk, dan akibat dari konflik batin dalam percintaan yang dihadapi oleh para tokoh.

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah yang akan

dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a) tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dalam novel The Rainbow; b) penyebab konflik batin dalam percintaan yang dihadapi tokoh-tokoh tersebut; c) bentuk konflik batin dalam percintaan yang dihadapi tokoh-tokoh tersebut; d) solusi tokoh-tokoh tersebut untuk mengatasi konflik batin yang mereka hadapi.

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk: a) mengungkapkan tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dalam novel The Rainbow. b) mengungkapkan penyebab konflik batin dalam percintaan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh tersebut; c) mengungkapkan bentuk konflik batin dalam percintaan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh tersebut;

d) mengungkapkan solusi tokoh-tokoh tersebut untuk mengatasi konflik batin yang mereka hadapi.

1.3.2. Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuannya, hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini adalah menambah pemahaman pembaca mengenai tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dalam novel The Rainbow dan mengenai penerapan pendekatan

psikoanalisis untuk menelaah penyebab, bentuk, serta solusi konflik batin dalam percintaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Adapun manfaat praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi para pembaca dan pembelajar ilmu susastra, khususnya bagi mereka yang ingin mempelajari kajian psikoanalisis terhadap karya sastra bergenre novel.

1.4.

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana

data dan referensi diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terkait dengan objek yang diteliti. Objek material penelitian ini adalah novel karya D.H. Lawrence berjudul The Rainbow yang pertama kali dirilis pada tahun 1915, sedangkan objek formalnya adalah konflik batin dalam percintaan para tokoh yang dianalisis dengan pendekatan psikoanalisis. Dengan demikian, ruang lingkup penelitian dibatasi pada

10

penjelasan mengenai tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dalam novel The Rainbow dan mengenai penyebab, bentuk, serta solusi konflik batin dalam percintaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut dengan pendekatan psikoanalisis.

1.5.

Metode dan Langkah Kerja Penelitian

1.5.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan psikoanalisis yang dikemukakan Sigmund Freud. Psikoanalisis Freud berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia dan dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual (Minderop, 2010:11). Dengan demikian, pendekatan tersebut sesuai untuk menganalisis novel-novel psikologis D.H. Lawrence yang mengandung unsur seksualitas dalam percintaan, seperti The Rainbow yang dijadikan objek kajian dalam penelitian ini. Secara spesifik teori yang digunakan sebagai bahan acuan adalah teori psikoanalisis Freud mengenai struktur kepribadian, kecemasan, dan mekanisme pertahanan diri serta sedikit menyinggung teori mengenai interpretasi mimpi. Penerapan teori psikoanalisis terhadap para tokoh tersebut diawali dengan penerapan teori tentang tokoh sebagai titik tolak analisis.

1.5.2. Langkah Kerja Penelitian Untuk menjawab rumusan permasalahan, langkah kerja penelitian yang diambil adalah sebagai berikut. Pertama, mengungkapkan tokoh dari tiga (3) generasi keluarga Brangwen dalam novel The Rainbow, yaitu Tom Brangwen, Anna

11

Brangwen, dan Ursula Brangwen. Kedua, mengungkapkan hubungan percintaan tokoh-tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh lain dalam novel The Rainbow. Ketiga, mengungkapkan konflik batin yang muncul sebagai konsekuensi logis dari interaksi dan hubungan cinta yang terjadi antara tokoh-tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh lain dalam novel The Rainbow dengan pendekatan psikoanalisis.

1.6.

Landasan Teori Landasan teori utama dalam penelitian ini adalah psikoanalisis yang

dikemukakan oleh Sigmund Freud. Secara garis besar penerapan psikoanalisis dalam karya sastra dapat dibagi menjadi empat (4) macam menurut objek perhatiannya, yaitu pengarang karya, isi karya, konstruksi formal karya, dan pembaca karya. Dari keempat aspek tersebut, isi karya dipilih untuk dijadikan sebagai objek kajian psikoanalisis. Psikoanalisis isi berarti mengomentari motivasi taksadar dari tokoh, atau sigifikansi dari psikoanalisis objek atau peristiwa dalam teks (Eagleton, 1996:155). Berkaitan dengan hal tersebut, psikoanalisis isi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap motivasi taksadar para tokoh yang mengarahkan mereka pada tindakan-tindakan dan pengambilan keputusan. Adapun psikoanalisis Freudian yang digunakan adalah premis-premis mengenai struktur kepribadian, kecemasan, dan mekanisme pertahanan diri. Struktur kepribadian manusia menurut pandangan psikoanalisis dibagi menjadi menjadi tiga sistem, yaitu id, ego, dan super-ego. Freud menjelaskan ketiga

12

sistem tersebut dalam The Ego and The Id (1923) terdapat dalam The Complete Works of Sigmud Freud yang dikompilasi oleh Ivan Smith. Id:pleasure principle reigns unrestrictedly in the idthe id contains the passion (Freud, 2010:3959). Ego:By virtue of its relation to the perceptual system it (ego) gives mental processes an order in time and submits them to reality testingthe ego tries to mediate between the world and the id, to make the id pliable to the world (Freud, 2010:3989-3990). Super-ego:It (super-ego) represents an energetic reaction-formation against those choice (object-choices of the id). Its relation to the ego is not exhausted by the preceptit also comprises the prohibition (Freud dalam Smith, 2010:3968).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi id adalah menuntut pemenuhan hasrat dan bekerja berdasarkan pleasure principle (prinsip kenikmatan). Menanggapi id, ego berfungsi menyesuaikan kebutuhan dengan realitas dan melakukan mediasi antara id dan kenyataan yang ada di luar/lingkungan masyarakat. Adapun super-ego berfungsi menekan kebutuhan yang diinginkan id dengan aturan-aturan dan larangan-larangan (kode moral yang ideal). Dalam diri manusia, ketiga elemen tersebut bekerja secara bersama-sama. Adanya dominasi id atau super-ego yang berusaha mempengaruhi ego agar merealisasikan keinginan id atau super-ego akan menimbulkan konflik batin. Konflik batin para tokoh dalam novel The Rainbow akan dijelaskan dengan sistematis melalui pemaparan dinamika yang terjadi di antara id, ego, dan super-ego tokoh-tokoh tersebut.

13

Konflik yang terjadi antara ketiga sistem dalam struktur kepribadian para tokoh memicu timbulnya perasaan resah atau tidak tenang dalam diri mereka. Dalam psikoanalisis hal tersebut dikenal sebagai anxiety (kecemasan). Freud merumuskan pendapatnya mengenai kecemasan dalam Inhibitions, Symptoms, and Anxiety (1926).

Anxiety, then, is a special state of unpleasure with acts of discharge along particular pathsanxiety is based upon an increase of excitation which on the one hand produces the character of unpleasure and on the other finds relief through the acts of discharge already mentioned (Freud dalam Smith, 2010:4289).

Dapat dikatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan yang tidak menyenangkan (secara emosional) yang disebabkan oleh eksitasi yang meningkat dalam diri sesorang. Eksitasi tersebut menghasilkan karakteristik perilaku yang menunjukkan keadaan yang tidak menyenangkan atau keadaan cemas. Tugas untuk melepaskan diri dari kecemasan tersebut dilakukan oleh ego melalui suatu mekanisme pertahanan yang dikenal dengan ego defense mechanisms (mekanisme pertahanan ego). Mekanisme pertahanan ego pada dasarnya adalah strategi yang digunakan ego untuk mengatasi ancaman dan bahaya yang muncul dari kecemasan (Hall, 1956:85). Bentuk dari mekanisme pertahanan tersebut bermacam-macam sesuai dengan karakteristiknya dalam mengatasi kecemasan. Berdasarkan pada premis mengenai kecemasan dan mekanisme pertahanan ego yang dikemukakan oleh Freud, bentukbentuk kecemasan dan mekanisme pertahanan ego para tokoh dalam The Rainbow akan dijelaskan.

14

Teori psikoanalisis mengenai struktur kepribadian, kecemasan dan mekanisme pertahanan didukung teori tentang tokoh sebagai bagian dari elemen intrinsik dalam fiksi. Teori tersebut digunakan mengingat pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2003:343). Berkaitan tokoh fiksional yang ditelaah dengan psikoanalisis, Seymour Chatman seorang pakar naratologi mengajukan argumennya.

When fictional characters are psychoanalyzed as if they were real people, hard-nosed critics may be right to challenge the effort. But characters as narrative constructs do require terms for description, and there is no point in rejecting those out of the general vocabulary of psychology, morality, and any other relevant area of human experience. The terms themselves do not claim psychological validity. Validity is not at issue: a fictional-character trait, as opposed to a real-person trait, can only be a part of the narrative construct (Chatman, 1978:138).

Penerapan psikoanalisis terhadap tokoh relevan untuk dilakukan apabila tokoh tersebut tidak dilihat sebagai real people (sosok manusia yang nyata) melainkan sebagai sosok yang berada dalam konstruksi naratif yang membutuhkan deskripsi berdasarkan pengalaman manusia. Dengan demikian, penokohan diperlukan untuk menjelaskan identitas dan perwatakan para tokoh dalam novel agar bisa dijelaskan secara deskriptif dengan pendekatan psikoanalisis. Analisis tokoh dan penokohan juga dimaksudkan agar penelitian ini tetap berada pada hakikatnya sebagai penelitian

15

sastra sekaligus untuk memberi batasan antara ranah penelitian sastra dan penelitian psikologi. Selain teori tentang tokoh dan penokohan dalam karya sastra dan teori psikoanalisis tentang struktur kepribadian, kecemasan, dan mekanisme pertahanan, teori tentang interpretasi mimpi dalam konteks psikoanalisis juga menjadi acuan untuk menjelaskan mekanisme mimpi dan/atau lamunan tokoh berkaitan dengan hasrat-hasratnya yang terrepresi. Pandangan Freud tentang konflik juga dimanfaatkan sebagai referensi untuk mendampingi teori utama dengan pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha menelisik konflik dalam kisah percintaan para tokoh. Penjelasan komprehensif mengenai teori psikoanalisis, tokoh dan penokohan, dan teori-teori pendukung tersebut akan dipaparkan dalam bab berikutnya.

1.7.

Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri atas dari empat (4) bab dan disusun dengan sistematika

sebagai berikut. Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan. Bab 2 adalah tinjauan pustaka yang memuat penelitian-penelitian sebelumnya terhadap novel-novel D.H. Lawrence pada umumnya dan novel The Rainbow pada khususnya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai landasan teori yang digunakan dalam penelitian.

16

Bab 3 menyajikan hasil analisis terhadap novel The Rainbow yang berisi tokoh dan penokohan Tom brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dan konflik batin dalam percintaan yang mereka hadapi. Penyebab konflik batin dan solusi para tokoh tersebut untuk menghadapi konflik batin juga dipaparkan dalam bab ini. Bab 4 merupakan penutup yang memuat kesimpulan. Kesimpulan dibuat berdasarkan hasil analisis yang dimuat pada bab sebelumnya.

You might also like