You are on page 1of 19

White Collar Crime

Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya1[1] (Sutherland 1940: 1-12; 1949: 9; 1956: 79).

Konsepsi ini mendapatkan tentangan dari Paul Tappan dalam bukunya Who is the Criminal? (1947), dimana dia mengkritik pandangan Sutherland yang berakar dari pemikiran Durkheim bahwa suatu perbuatan dianggap jahat berdasarkan reaksi masyarakat. Menurutnya konsepsi white collar crime terutama perbuatannya, harus didasarkan pada hukum yang berlaku, demi kemudahan dalam pengusutan dan penuntutan.2[2]

Sebelumnya, E.A. Ross pernah menyebut kejahatan ini sebagai criminaloid dimana memiliki karakter seseorang yang mencari kemakmuran melalui cara yang memalukan, tetapi tidak dianggap melanggar oleh masyarakat dan masyarakat tidak menggolongkan mereka sebagai penjahat.3[3]

A. Morris menggunakan istilah criminal of the upper world untuk menunjukkan kejahatan dengan ciri pelaku yang tidak teridentifikasi dengan jelas, dimana dengan

posisinya, kemampuannya, dan kepintarannya memungkinkan untuk berbaur dengan orang lain sehingga tidak digolongkan sebagai penjahat.4[4]

Penelitian selanjutnya telah mengembangkan konsep white collar crime, bukan hanya dilakukan oleh individual tetapi dapat pula dilakukan oleh organisasi. Seperti studi yang dilakukan oleh Clinard (1946) terhadap perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan bisnis saat Perang Dunia II, Hartung (1950) terhadap industri daging di Detroit, Quinney (1963) terhadap pelanggaran yang dilakukan toko obat/apotik, dan Geis (1967) terhadap pelanggaran anti monopoli yang dilakukan oleh perusahaan listrik.5[5]

Definisi lain diberikan pula oleh Edelhertz (1970:3), menurut dia white collar crime adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan ilegal yang dilakukan secara non fisik dan dengan sembunyi-sembunyi atau tipu muslihat, untuk mendapatkan uang atau barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.6[6]

Dictionary of Criminal Justice Data Terminology mendefinisikan white collar crime sebagai nonviolent crime dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, profesional atau semi profesional dan menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya. Atau perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansia,l

menggunakan tipu muslihat dan dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan khusus dan pengetahuan profesional atas perusahaan dan pemerintahan, terlepas dari pekerjaannya.7[7]

Biderman dan Reiss (1980: xxviii), juga mencoba mendefinisikan white collar crime sebagai pelanggaran hukum yang tidak terbatas pada pelaku dengan status sosial tinggi, karena hal ini menjadi permasalahan. Status sosial tidak bisa menjadi variabel bebas, padahal dalam menjelaskan kejahatan status sosial menjadi variabel yang signifikan untuk diperhatikan.8[8]

Menurut Coleman (1985:5, 1989:5), white collar crime adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan dalam pekerjaan yang dihormati dan sah. Aktivitas tersebut bertujuan untuk mendapatkan uang.9[9]

Beberapa karakteristik white collar crime yang membedakannya dengan kejahatan lain (Clarke, 1990; Croall, 1992; Langgan, 1996)10[10], yaitu:

1. Pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar (Clarke, 1990; Croall, 1992). 2. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu.

3. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan (Croall, 1992; Fisse & Braithwaite, 1993; Wells, 1993). 4. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan. 5. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak. 6. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. 7. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. 8. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Vito dan Holmes (1994:383-384), juga menjelaskan karakter white collar crime, yaitu:

a. Kerugian yang diderita lebih besar dibandingkan street crime (Calavita and Pontell, 1991: 94; Coleman, 1991: 219). b. Tidak selalu nonviolent (Bohm, 1986: 195). c. Lebih rumit dalam metode yang digunakan dan kerugian yang diderita. d. Korban lebih menderita dan penderitaan tersebut tidak dirasakan seketika. e. Korban terutama dalam kasus simpan-pinjam, akan berkurang kepercayaannya terhadap ekonomi bebas dan pimpinan perusahaan. f. Bisa membawa akibat penundaan/hilangnya investasi yang dilakukan masyarakat. g. Membawa akibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, proses politik dan para pemimpin serta erosi atas moralitas masyarakat (Moore and Mills, 1990).

h. Dalam kebijakan publik, perbedaan antara organized dan white collar crime tidak jelas. i. Masyarakat akan menuntut penegakan hukum dan hukuman terhadap pelaku lebih keras lagi.11[11]

Clinard dan Quinney (1973; Kramer, 1984), membagi white collar crime kedalam dua pembagian, yaitu occupational crime dan corporate crime12[12]. occupational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh individual untuk dirinya sendiri dalam lingkup pekerjaannya atau kejahatan yang dilakukan pekerja terhadap bosnya. Corporate crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh pekerja untuk kepentingan perusahaannya, atau kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan.13[13]

Jo Ann Miller, seorang kriminolog dari Purdue University merinci pengkategorian white collar crime menjadi empat jenis, yaitu:

a. Organizational Occupational crime (Kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan).

b. Government Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama pemerintah).

c. Professional Occupational crime (Kejahatan yang berkenaan dengan profesi).

d. Individual Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan secara individu).14[14]

Bloch dan Geis (1970) membagi white collar crime dalam lima bagian, yaitu:

a. Sebagai individual (dilakukan oleh profesional seperti pengacara, dokter)

b. Pekerja terhadap perusahaan atau bisnis (contohnya korupsi)

c. Petugas pembuat kebijakan untuk perusahaan (contohnya dalam kasus anti monopoli)

d. Pekerja perusahaan terhadap masyarakat umum (contohnya penipuan iklan)

e.

Pelaku

bisnis

terhadap

konsumennya

(contohnya

penipuan

konsumen).15[15]

Edelhertz (1970), membuat pembagian white collar crime dalam empat bagian, yaitu:

1. Kejahatan yang dilakukan oleh perorangan yang dilakukan secara individu dalam situasi yang khusus atau ad hoc (contohnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit).

2. Kejahatan yang dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya dan dilaksanakan oleh mereka yang menjalankan suatu bisnis, pemerintahan atau lembaga lainnya dengan melanggar kewajiban untuk loyal maupun kesetiaan kepada majikan atau nasabah (contohnya penggelapan, pencurian oleh karyawan, pemalsuan daftar pengupahan).

3. Kejahatan sesekali terhadap dan dalam rangka melaksanakan bisnis tetapi tidak merupakan kegiatan utama bisnis (contohnya penyuapan)

4. White collar crime sebagai bisnis atau sebagian kegiatan pokok (merupakan kejahatan profesional yaitu kegiatan seperti penipuan dalam asuransi kesehatan, kontes pura-pura, pembayaran palsu).16[16]

Croal (1998: 274) membagi white collar crime kedalam empat bagian, yaitu: (1)occupational crime, (2)computer crime, (3)corporate/organizational crime, (4)financial fraud.17[17]

Malapraktek jika dilakukan oleh dokter secara individu dan untuk kepentingan individu menurut pendefinisian dari Clinard dan Quinney dapat dikategorikan sebagai occupational crime. Tetapi jika dilakukan oleh rumah sakit atau dilakukan oleh perawat atau dokter sebagai pegawai rumah sakit dan dalam rangka keuntungan rumah sakit dapat dikategorikan sebagai corporate crime.

Dibawah ini akan dibahas pembagian white collar crime berdasarkan pembagian dari Clinnard dan Quinney dan dikaitkan dengan malapraktek.

Occupational Crime

Selain Clinard dan Quinney, beberapa ahli juga mengajukan suatu pendefinisian tentang occupational crime. Gross (1980) dan Vaughan (1980) menyebut istilah organizational criminality untuk menunjuk occupational crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh anggota organisasi, tetapi definisi tersebut terbatas karena tidak memasukkan kejahatan yang dilakukan oleh bukan anggota organisasi.

Albanese (1987:7), mengkonsepkan organizational crime sebagai kejahatan yang didasarkan adanya perencanaan dan tipu muslihat, namun tidak terbatas pada kejahatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Horning (1970), menyebutnya dengan istilah blue collar, sebagai kejahatan oleh pekerja yang dilakukan oleh seseorang dalam pekerjaannya tetapi tidak terbatas pada pekerjaan yang tinggi statusnya. Sementara Green (1990), membuat definisi occupational crime dengan setiap kegiatan yang dapat dikenakan sanksi hukum, dilakukan berdasarkan kesempatan yang diciptakan melalui pekerjaan yang legal.18[18]

Green (1990: 12), membagi occupational crime kedalam empat tipe besar, yaitu:

1. Kejahatan yang dilakukan untuk keuntungan organisasi (contoh: penipuan asuransi perbaikan mobil yang dilakukan oleh bengkel mobil, jika ditanggung pihak asuransi akan dinaikkan harganya).

2. Kejahatan yang dilakukan sebagai hasil dari kekuasaan negara (contohnya pejabat negara yang melakukan kejahatan dalam rangka melakukan tugas sebagai wakil negara).

3. Kejahatan yang dilakukan oleh profesional dalam kapasitas pekerjaannya (contohnya dokter yang melakukan penipuan kepada pasien atas pemeriksaan yang sebenarnya tidak perlu atau tidak dilakukan).

4. Kejahatan yang dilakukan oleh individual untuk kepentingan pribadi.19[19]

Clinard dan Quinney (1967), juga menawarkan seperangkat analisa untuk membedah fenomena kejahatan secara umum termasuk white collar crime. Kelima aspek ini akan memperlihatkan pola hubungan dilakukannya kejahatan occupational criminal behavior, yaitu:

a. Aspek hukum; Aturan resmi yang ada mengenai pekerjaan memberikan perlindungan terhadap kepentingan kelompok dan hanya dalam beberapa hal mengatur tindakan yang merugikan. Aturan hukum yang mengatur bidang kerja dan profesi cenderung disusun oleh mereka sendiri, dan merepresentasikan kepentingan mereka. b. Aspek karir; Pelaku kejahatan tidak menyadari dirinya sebagai penjahat. Pelanggaran yang dilakukan diikuti dengan rasionalisasi. Biasanya pelanggaran dilakukan dalam bagian pekerjaan sehari-hari. Penjahat juga memahami nilai baik dan buruk yang berlaku dalam masyarakat.

c. Aspek dukungan kelompok; Rekan kerja atau kelompok dalam pekerjaan membenarkan dan bahkan mendukung pelanggaran yang dilakukan. Penjahat diterima dalam kelompok sosial dan norma-norma sosial. d. Hubungan kejahatan dan perilaku yang tidak jahat; Perilaku jahat berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai oleh perusahaan. e. Reaksi masyarakat dan proses hukum; Reaksi masyarakat terhadap kejahatan biasanya lemah dan tidak sama. Hukuman yang diberikan oleh pihak berwajib biasanya ringan dan lebih sering dikenakan sanksi administratif oleh asosiasi profesi.20[20] Berbagai perilaku dokter yang dapat dikategorikan sebagai occupational crime antara lain: pemberian narkotika secara ilegal, melakukan aborsi ilegal, fee splitting21[21] dan membuat penipuan dalam laporan kesehatan seseorang atau membuat kesaksian palsu dalam kasus kecelakaan.22[22]

Green (1990), memasukkan kejahatan oleh dokter dalam kategori professional occupation crime yang terdiri dari (1) Kejahatan terhadap orang meliputi pengobatan dan operasi yang tidak perlu, pelecehan seksual terhadap pasien, pembunuhan kriminal seperti aborsi dan euthanasia (2) Kejahatan terhadap harta termasuk di dalamnya penipuan asuransi kesehatan dan fee-splitting.23[23]

Corporate Crime

Corporate crime, menurut Kramer (1984:31) adalah kejahatan yang dilakukan oleh organisasi korporat. Hal ini adalah hasil dari kebijakan yang diambil oleh para petinggi perusahaan. Dan perusahaan membuat keputusan tersebut untuk memperoleh keuntungan untuk perusahaan.24[24]

L.S. Schrager dan James Short (1978:411-412), mendefinisikan corporate crime sebagai kegiatan ilegal secara hukum baik berupa omission atau commission yang dilakukan oleh individual maupun kelompok di dalam organisasi yang formal yang bertujuan untuk memberikan keuntungan untuk organisasi tersebut dengan membawa dampak secara fisik atau ekonomi kepada pekerja, konsumen atau masyarakat umum.25[25]

Definisi lain diberikan oleh Hagan (1987:128), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh individual atau kelompok dengan tujuan untuk memberikan keuntungan kepada organisasi atau korporasi.26[26]

Clinard dan Yeager (1980) menguraikan ada enam bentuk utama dari pelanggaran korporasi, yaitu:

1. Pelanggaran administratif; pelanggaran ini meliputi tidak dipenuhinya persyaratan yang diberikan oeh suatu pranata pemerintahan atau oleh suatu pengadilan, misalnya tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh suatu pranata, atau perintah pengadilan untuk memenuhi gugatan penggugat. 2. Pelanggaran lingkungan; antara lain melakukan pencemaran air dan udara termasuk limbah kimiawi, termasuk melanggar ambang batas kandungan polutan pada udara dan air. 3. Pelanggaran keuangan; termasuk pembayaran yang tidak sah atau tidak mengakui adanya penyuapan, termasuk politik uang. 4. Pelanggaran perburuhan; yang dapat dibagi menjadi empat bentuk utama, diskriminasi dalam penerimaan pegawai, pelanggaran K3, praktik

perburuhan yang tidak jujur dan pelanggaran upah. 5. Pelanggran manufaktur; meliputi pelanggaran yang berada dibawah tiga lembaga, yaitu yang berhubungan dengan federal hazardous substances act, the poison prevention packaging act, serta the consumer product safety act. 6. Praktik perdagangan yang tidak jujur; meliputi persaingan yang tidak jujur, monopoli, diskriminasi harga, mengurus penjualan ulang dengan paksaan, pelanggaran kredit dll.27[27] Sementara James Coleman (1989), melihat ada empat kategori besar corporate crime, yaitu: (1) Penipuan, (2)Penyuapan dan influence peddling28[28], (3)Kekerasan oleh

korporasi (termasuk pencemaran lingkungan atau segala kegiatan korporasi yang menyebabkan luka atau kematian) , dan (4) Kontrol atas harga dan monopoli.29[29]

Croal (1998) memasukkan tiga kelompok besar kejahatan yang termasuk corporate crime, yaitu: (1) kejahatan terhadap konsumen, (2) kejahatan terhadap kesehatan dan perlindungan, (3) kejahatan lingkungan.30[30]

Kelima aspek dibawah ini akan memperlihatkan pola hubungan dilakukannya kejahatan corporate criminal behavior menurut Clinard dan Quinney (1967), yaitu:

1. Aspek hukum; Aturan resmi yang ada dibuat seiring dengan perkembangan korporasi. Berbagai macam peraturan, terutama peraturan administratif dihasilkan atas desakan dan untuk semata-mata mencari keuntungan bagi korporasi dan melindungi ekonomi kapitalis. 2. Aspek karir; Pelaku kejahatan dan korporasinya memiliki status sosial yang tinggi. Perilaku kejahatan yang dilakukan adalah bagian dari mekanisme berjalannya korporasi. Pelanggaran dirasionalisasikan sebagai bagian dasar dari korporasi secara keseluruhan. 3. Aspek dukungan kelompok; Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau karyawan atas nama korporasi justru mendapatkan dukungan dari sesamanya bukannya persaingan. Melawan hukum atau mencari celah hukum adalah bentuk normatif yang dipahami oleh semua korporasi. 4. Hubungan kejahatan dan perilaku yang tidak jahat; Kejahatan korporasi sejalan dengan idiologi yang dianut oleh semua korporasi yang mendukung tidak terbatasnya produksi dan konsumsi. Harus

dikembangakan alternatif nilai etis yang mempertanyakan perilaku kejahatan ini. 5. Reaksi masyarakat dan proses hukum; Hukuman yang keras jarang diberlakukan untuk pelaku kejahatan ini. Hukuman juga lebih bersifat memberi teguran daripada memberikan hukuman.31[31]

SETIAP mendengar kata Lapindo kita pasti akan teringat pada bencana besar di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur yang telah merendam rumah-rumah penduduk itu kini masih menyisakan beban materi sekaligus psikologis bagi ribuan korbannya. Mereka harus hidup berpindah rumah, mencari pekerjaan baru, dan menyesuaikan dengan lingkungan baru. Apalagi, biarpun segenap upaya menuntut ganti rugi terus dilakukan, kini korban tersebut malah disuguhi informasi bahwa Lapindo terancam pidana. Masih hangat dalam ingatan kita juga tentang kerusuhan berdarah di Sungai Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Di mana telah terjadi konflik berdarah yang melibatkan PT Sumber Wangi Alam (SWA) dan masyarakat sekitar perusahaan sawit tersebut. Pemicu konflik ini adalah sengketa 298 hektare lahan ditambah 630 hektare lahan yang diklaim perusahaan. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung. Konflik yang berujung hilangnya nyawa orang antara PT Silva Inhutani dan warga yang tinggal di Register 45 itu, menurut Kadiv Humas Polri Irjen Saud Usman, dilatarbelakangi sengketa lahan. Kaum Berdasi Dalam buku Konglomerat Samson-Delilah (1996), Zaim Saidi dengan ringan menyingkap kejahatan perusahaaan. Istilah kejahatan perusahaan itu mulai ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Istilah itu silih berganti dipakai dengan istilah lain, yaitu kejahatan kerah putih (white collar crime/WCC). Ada juga yang memperkenalkan sebutan berbeda, yaitu kejahatan kaum berdasi. Bahkan ada yang mengintroduksikan dengan istilah kejahatan kaum priyayi. Orang yang sering dianggap sebagai pelopor dalam studi kejahatan perusahaan ini adalah Edwin H. Sutherland. Ia mulai memperhatikan topik ini sejak 1920-an. Kriminolog pada

Universitas Indiana ini memperkenalkan istilah WCC. Konsep Edwin ini seketika meluas setelah pidatonya di American Sociological Society pada 1939. Secara deskriptif, definisi Edwin tentang WCC itu adalah perbuatan yang dilakukan orang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi dan melakukan kejahatan tersebut dalam kaitan pekerjaannya. Dalam perjalanannya muncul perbedaan mengenai istilah itu. Ada yang menganggap konsep WCC-nya Edwin kadang fokus pada pelaku berstatus sosial-ekonomi tinggi, kadang pada pekerjaan, dan kadang pada korporasi atau perusahaan, misalnya Clinard dan Quinney. Mereka meninggalkan istilah WCC dan memperkenalkan istilah kejahatan dalam jabatan (occupational crime) dan kejahatan perusahaan (corporate crime). Kejahatan dalam jabatan yang dimaksud meliputi pelanggaran yang dilakukan seseorang untuk kepentingan pribadi dalam lingkup jabatannya. Sedangkan kejahatan perusahaan meliputi pelanggaran yang dilakukan pejabat-pejabat perusahaan untuk kepentingan perusahaan maupun pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu sendiri. Terlepas dari kebhinnekaannya, istilah-istilah itu memiliki semangat yang sama, yaitu kejahatan perusahaan dipandang sebagai tindakan kriminal yang tidak dibenarkan. Warga Jadi Korban Saat ini, rakyat hidup di atas bayang-bayang ketakutan. Penyelenggara negara yang semestinya menjamin hak-hak rakyatnya kini seperti berada dalam dilema dan tekanan. Dilema dan tekanan yang dimaksud, misalnya dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, negara masih tertekan. Seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari rasa takut, hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk mendapatkan persamaan di mata hukum. Pemerintah negara masih bermuka dua menyikapi hak-hak rakyat tersebut. Alasannya jelas. Pertama, hak untuk hidup. Tanpa bermaksud menggeneralisasikan, dalam konteks tulisan ini hak untuk hidup dari warga belum terjamin. Ini terbukti ketika ada konflik yang melibatkan warga dan perusahaan, sering warga yang menjadi korban. Aparat yang ditugaskan membela kepentingan rakyat tidak jarang justru berbuat sebaliknya. Kedua, hak bebas dari rasa takut. Bagaimana mungkin pekerja tidak dibayangi rasa takut kalau sistem yang digunakan adalah sistem kontrak. Artinya, sebagaimana perjuangan kaum buruh, sistem kontrak hanya menguntungkan perusahaan. Ketiga, konflik perusahaan dan warga sering terjadi akibat perusahaan kurang menguntungkan warga sekitarnya. Padahal, hak bekerja masyarakat sekitar itu seharusnya menjadi prioritas jika perusahaan ingin aman dan sukses. Termasuk dalam CSR-nya, masih banyak perusahaan yang enggan memenuhi amanah undang-undang. Keempat, hak mendapatkan persamaan di mata hukum, sering warga selalu kalah. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh. Kasus-kasus di Lampung bisa digali dan kira-kira siapa yang lebih diuntungkan?

Di Lampung, pemerintah juga belum bisa menjamin upah minimum provinsi dan kabupaten/kota sesuai kebutuhan hidup layak. Begitu juga dengan hak atas asuransi kesehatan/jiwa karyawan, sebagaimana yang pernah ramai di Lampung. Pemerintah belum bisa menjadi problem solver-nya. Belum lagi soal pajak, izin, produk, dan lain-lain. Sampai di sini, penulis menggarisbawahi bahwa sebetulnya kejahatan perusahaan banyak sekali macam dan polanya. Tetapi untuk mengungkap itu dirasa berat karena memang pemerintah masih belum menjunjung tinggi prinsip keadilan alias bermuka dua; satu sisi membela rakyat, di sisi lain menindas rakyat.

Kejahatan Korporasi Written by narasumber# Monday, 23 May 2011 03:54 Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk white collar crime. Ada berbagai istilah yang berkaitan dengan korporasi, yaitu crime for corporation, crime against corporation dan criminal corporations, yang dijelaskan sebagai berikut :[1] 1. Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi-organisasi yang dapat dijatuhi sanksi (hukuman) oleh Negara berdasarkan hukum administrasi Negara, hukum perdata dan hukum pidana. Hal ini merupakan pengertian normative. Sedangkan secara sosiologis, kriminologis dan viktimologis, kejahatan korporasi dapat diartikan sebagai praktek-praktek yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan dengan skala korban yang cukup luas, yang kadang-kadang belum terjangkau oleh hukum. 2. Crimes against corporation itu merupakan kejahatan terhadap korporasi (korporasi sebagai korban kejahatan). 3. Criminal corporation merupakan korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Peranan korporasi yang sangat besar dan adanya keinginan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, berpotensi

menimbulkan bahaya bagi masyarakat, baik berupa perusakan kondisi alamiah maupun

perusakan kondisi sosial. Batas-batas kejahatan korporasi dapat dijelaskan melalui perbedaan antara white collar crime (kejahatan krah putih), occupational crime (kejahatan jabatan) dan organized crime (kejahatan yang terorganisir). White collar crime ini dapat berbentuk kejahatan korporasi dan kejahatan okupasi (kejahatan jabatan). Kejahatan okupasi dilakukan sebagian besar oleh individu sehubungan dengan jabatan mereka. Kejahatan okupasi ini berbeda dengan kejahatan yang terorganisir (organized crime). Kejahatan yang terorganisir tidak selalu berhubungan dengan orang yang mempunyai jabatan dalam suatu birokrasi atau korporasi. Kejahatan yang terorganisir ini merupakan organisasi criminal yang terbentuk secara informal. Dengan ciri yang demikian, maka kejahatan korporasi tidak termasuk kejahatan yang terorganisir, karena badan hukum (korporasi itu adalah kesatuan yang lahir dengan sah dan formal). Pemahaman anatomi kejahatan korporasi merupakan usaha pengungkapan

karakteristik korporasi. Oleh karena itu korporasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi, maka kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris. Penyebaran tanggung jawab yang luas dan struktur hirarkis dari korporasi yang besar merupakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya kejahatan korporasi. Kriesberg[2] berpendapat ada tiga model pengambilan keputusan korporasi yang melangar hukum (melakukan kejahatan), yaitu : 1. Rational actor model, dimana korporasi dilihat sebagai unit tunggal yang secara rasional bermaksud melanggar hukum apabila hal tersebut merupakan kepentingan korporasi. 2. Organization process model, korporasi dilihat sebagai suatu sistem unit-unit yang terorganisir secara longgar, di mana macam-macam unit korporasi mungkin tidakmematuhi hukum karena mengahadapi kesulitan untuk dapat memenuhi produk yang ditargetkan, sehingga untuk dapat memenuhinya mereka cenderung melakukannya dengan melanggar hukum, misalnya dengan mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan untuk menjaga keselmatan kerja, iklan yang menyesatkan, dan sebagainya. 3. Kejahatan korporasi merupakan produk dari keputusan yang dibuat secara individu untuk

kepentingan pribadi. Karakteristik white collar crimes dikemukakan oleh Croall[3], umumnya dan kejahatan korporasi khususnya adalah sebagai berikut : Low visibility; Complexity; Diffusion of responsibility; The diffusion of victimization; Difficult to detect and to prosescute; Lanient sanctions; Ambiguous laws; Ambiguous criminal status. Karakter tersebut sesuai dengan penggunaan kekuasaan korporasi untuk menjaga agar tindakan korporasi yang illegal berada di luar peradilan pidana; mempengaruhi badan administrasi dalam pengambilan keputusan; mencegah kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan korporasi yang merugikan masyarakat. Motif-motif kejahatan korporasi pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu : 1. Tujuan korporasi (organizational goal), yaitu untuk mencari keuntungan yang sebesarbesarnya yang tercermin dari ciri-ciri individual. 2. Terjadinya kontradiksi antara tujuan-tujuan korporasi dengan kebutuhan-kebutuhan para pesaing, negara, pekerja, konsumen dan masyarakat. Karakteristik korban kejahatan korporasi dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. 2. Unaware victim, ialah korban yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban. Abstract victim, ialah korban yang sifatnya abstrak sehingga sulit untuk menentukan secara khusus. 3. The diffusion of victimization, ialah penyebaran korban yang sangat luas sehingga secara individual kerugiannya sangat sedikit. Pemahaman terhadap korban kejahatan korporasi dapat dikaji dari pihak-pihak yang mempunyai tujuan atau kepentingan yang berlawanan dengan tujuan atau kepentingan korporasi yang bersifat menyimpang. Pihak-pihak itulah yang akhirnya menjadi korban kejahatan korporasi, antara lain pesaing, konsumen, pekerja atau buruh, masyarakat, dan Negara. Semua kejahatan korporasi ini termasuk dalam kejahatan bisnis dimana nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat

merugikan kepentingan masyarakat luas.[4]

You might also like