You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata. Gonoblenore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai dengan sekret yang purulen yang disebebkan oleh Neisseria gonorrhoea. Merupakan kuman yang sangat patogen, virulen dan bersifat invasif sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat berat. Kuman ini termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 u dan panjang 1,6 u bersifat tahan asam. Bersifat gram negatif pada sediaan langsung dengan pewarnaan Gram, terlihat diluar dan di dalam leukosit, tidak tahan lamam di udara bebas, cepat mari dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39oC dan tidak tahan terhadap zat desinfektan. Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran, sedang pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit tersebut.

Di klinik kita akan melihat penyakit ini dalam bentuk oftalmia neonatorum (bayi berusia 1-3 hari), konjungtivitis gonore infantum (usia lebih dari 10 hari), dan konjungtivitis gonore adultorum. Keluhannya berupa fotofobia, palpebra edem, konjungtiva hiperemis dan keluar eksudat mukopurulen. Bila tidak di obati dapat berakibat terjadinya ulkus kornea, panoftalmitis sampai timbul kebutaan. Diagnosis pasti penyakit ini adalah pemeriksaan dengan pewarnaan metilen biru dimana akan terlihat diplokokus didalam sel leukosit. Dengan pewarnaan Gram akan terdapat sel intraseluler atau ekstraseluler dengan sifat Gram negatif. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum)? 2. Apa etiologi dari konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum)? 3. Bagaimana patofisiologi konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore

neonatorum) ? 4. Bagaimana gambaran klinis konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) ? 5. Bagaimana penatalaksanaan konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) ? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui definisi dari konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) 2. Mengetahui etiologi dari konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) 3. Mengetahui neonatorum) 4. Mengetahui gambaran klinis konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) 5. Mengetahui penatalaksanaan konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) 1.4 Manfaat Dengan adanya referat ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mendiagnosis, faktor yang mempengaruhi dan penatalaksanaan awal yang sebaik mungkin untuk kasus konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore neonatorum) patofisiologi konjungtivitis neonatorum (konjungtivitis gonore

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtivitis Konjungtivitis adalah suatu peradangan pada konjungtiva atau radang selaput lendir yang melapisi permukaan dalam kelopak mata (bagian putih mata). konjungtivitis yang merupakan infeksi pada konjungtiva mata, terdiri dari: 1. Konjungtivitis alergi (keratokonjungtivits atopik, simple alergik konjungtivitis, konjungtivitis seasonal, konjungtivitis vernal, giant papillary conjunctivitis) 2. Konjungtivitis bakterial (hiperakut, akut, kronik) 3. Konjungtivitis virus (adenovirus, herpetik) 4. Konjungtivitis klamidia 5. Bentuk konjungtivitis lain (Contact lens-related, mekanik, trauma, toksik, neonatal, Parinauds okuloglandular syndrome, phlyctenular, sekunder). Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan konjungtiva karena reaksi alergi yang dapat terjadi bilateral ataupun unilateral, biasanya terdapat pada anak-anak dan kadang-kadang pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya disebabkan protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Pada binatang percobaan ternyata flikten juga dapat ditemukan dengan penetesan tuberkuloprotein, bahan-bahan yang berasal dari stafilokokus, serum kuda dan bahan kimia pada sakus konjungtiva. Penderita biasanya mempunyai gizi yang buruk. 2.2 Konjungtivitis Neonatorum a. Definisi Konjngtivitis neonatorum atau opthalmia neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva (bagian putih mata) dan selaput yang melapisi kelopak mata pada neonatus dibawah usia 1 bulan. b. Etiologi Berbagai organisme bisa menyebabkan infeksi mata pada bayi baru lahir, tetapi infeksi bakteri yang berhubungan dengan proses persalinan, yang paling banyak ditemukan dan berpotensi menyebabkan kerusakan mata adalah gonore (Neisseria gonorrhea) dan klamidia (Chlamydia trachomatis). Virus yang bisa menyebabkan konjungtivitis neonatorum dan kerusakan mata yang berat adalah virus herpes. Virus ini

juga bisa didapat ketika bayi melewati jalan lahir, tetapi konjungtivitis herpes lebih jarang ditemukan. Organisme tersebut biasanya terdapat pada ibu hamil akibat penyakit menular seksual (STD, sexually-transmitted disease). Pada saat persalinan, ibu mungkin tidak memiliki gejala-gejala tetapi bakteri atau virus mampu menyebabkan konjungtivitis pada bayi yang akan dilahirkan. Selain itu konjungtivitis neonatorum juga bisa disebabkan oleh agen noninfeksi seperti iritasi zat kimia maupun trauma mekanik. c. Gejala Klinis Gejala klinis bervariasi sesuai dengan etiologi, sulit untuk menentukan penyebab pasti konjungtivitis neonatal hanya berdasarkan gambaran klinis saja. Gejala klinis bisa dinilai dari : 1. Berdasarkan masa inkubasi - konjungtivitis kimia sekunder akibat aplikasi larutan perak nitrat biasanya terjadi pada hari pertama kehidupan, menghilang secara spontan dalam waktu 2-4 hari . - konjungtivitis Gonococcal, terjadi 3-5 hari setelah lahir tetapi dapat terjadi dikemudian hari . - konjungtivitis klamidia, biasanya memiliki onset lebih lama dari

konjungtivitis gonokokal, masa inkubasi 5-14 hari. - Masa inkubasi konjungtivitis lain yaitu nongonococcal, nonchlamydial lebih panjang, menurut laporan sebelumnya. Konjungtivitis Herpetik, biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah lahir. 2. Berdasarkan penyebab Gambaran klinis konjungtivitis gonokokal cenderung lebih parah dari penyebab lain ophthalmia neonatorum, terdapat tanda klasik berupa konjungtivitis purulen, yang biasanya bilateral. keterlibatan kornea juga telah dilaporkan, termasuk edema difus epitel dan ulserasi yang dapat berlanjut ke perforasi kornea dan endophthalmitis. Pasien mungkin juga memiliki manifestasi sistemik (misalnya, rhinitis, stomatitis, artritis, meningitis, infeksi anorektal, septikemia. Gambaran klinis konjungtivitis klamidia dapat berupa hiperemi ringan dengan eksudat berlendir dalam jumlah yang sedikit, kelopak mata bengkak, kemotik, dan pembentukan pseudomembran. Kebutaan dapat terjadi meskipun jarang dan jauh dan terjadi lebih lambat daripada konjungtivitis gonokokal, bukan karena keterlibatan kornea seperti pada konjungtivitis gonokokal; tetapi akibat dari bekas luka kelopak mata dan pannus (seperti pada trachoma). Reaksi folikel

tidak terjadi karena bayi yang baru lahir tidak memiliki limfoid di konjungtiva. Seperti konjungtivitis gonokokal, konjungtivitis klamidia juga dapat dikaitkan dengan keterlibatan diluar mata, termasuk pneumonitis, otitis, dan kolonisasi faring dan rektum. Presentasi klinis konjungtivitis neonatal karena agen lain biasanya lebih ringan. Herpes simpleks keratokonjungtivitis biasanya terjadi pada bayi dengan herpes simpleks umum dengan keterlibatan epitel kornea atau vesikula pada kulit (yang mengelilingi mata). komplikasi sistemik yang serius, seperti ensefalitis, dapat terjadi pada neonatus ini karena respon imun belum terbentuk dengan sempurna. 2.3 Konjungtivitis Gonorea Neonatorum a. Definisi Konjungtivitis gonore neonatorum adalah istilah yang dipakai untuk konjungtivitis yang hiperakut dengan sekret purulen yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhea. b. Etiologi Neisseria gonorrhea merupakan golongan diplokokus berbentuk kopi berukuran lebar 0,8 u dengan panjang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negative dengan pewarnaan Gram, terlihat dari dalam dan luar leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering dan suhu di atas 39o C serta tidak tahan dengan zat desinfektan. Secara morfologik, gonokokus terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1 dan 2 yang bersifat virulen dan mempunyai pili, tipe 3 dan 4 yang bersifat nonvirulen dan tidak bervili. Pilibersifat melekat pada mukosa epitel dan menimbulkan reaksi radang. c. Patofisiologi Proses keradangan hiperakut konjungtivitis dapat disebabkan oleh Neisseria gonorrhe, yaitu kuman-kuman berbentuk kokus yang sering menjadi penyebab uretritis pada pria dan vaginitis atau bartolinitis pada wanita. Infeksi dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara kuman gonore dengan konjungtiva. Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran, sedang pada penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit tersebut. Pada orang dewasa penyakit ini didapatkan dari penularan penyakit kelamin sendiri. Infeksi pada mata ini dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara kuman

Neisseria gonorhoeae pada kemaluan dengan mata lapisan luar. Kontak ini biasanya

akibat setelah memegang kemaluan kemudian dipakai menggosok lapisan mata luar. Infeksi dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu dapat melalui tangan, sapu tangan, handuk atau autoinfeksi pada orang yang menderita uretris atau servicitis gonore. Cedera pada mata epitel konjungtiva oleh agen perusak dapat diikuti dengan edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin dapat terjadi edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma. Sel-sel radang (neotrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan sel plasma) sering menunjukkan sifat agen perusak (ciri dari konjungtivitas karena bakteri banyak ditemukan sel radang leukosit PMN). Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini akan bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel goblet, membentuk eksudat konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra (terutama pagi hari). Pembagian konjungtiva gonore menurut umur : - Kurang dari 3 hari - Lebih dari 3 hari - Anak kecil - Orang dewasa d. Gambaran Klinis Konjungtivitis gonore neonatorum biasanya menyerang kedua mata secara serentak. Penyakit gonoblenore dapat terjadi secara mendadak dengan masa inkubasi beberapa jam sampai 3 hari. Dibedakan dalam 3 stadium: 1. Stadium Infiltratif (I) Berlangsung 1-3 hari, dimana palpebra bengkak, hiperemi, tegang, : otikoftalmia gonora neonatorum : otikoftalmia gonora infantum : oftalmnia gonorotika yuvenilis : oftalmia gonorotika adultotum

blefarospasme, konjungtiva palpebra hiperemi, bengkak, infiltratif, mungkin terdapat pseudomembran di atasnya. Pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtival yang hebat, kemotik, sekret, serous, kadang-kadang berdarah. 2. Stadium Supurativa atau Purulenta (II) Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang. Blefarospasme masih ada. Sekret campur darah, keluar terus-menerus. Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret yang akan keluar dengan mendadak (memancar;muncrat), oleh karenanya harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai sekret mengenai mata pemeriksa. 3. Stadium Konvalesen (Penyembuhan) (III)

Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra sedikit bangkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltratif. Konjungtiva bulbi : injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik. Sekret jauh berkurang. Jadi gejala klinis yang ditemukan adalah: (1) hipermi konjungtiva hebat, (2) getah mata atau sekret seoerti nanah yang banyak sekali (3) kelopak mata edema karena konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi (4) pendarahan karena edema konjungtiva hebat akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva dan timbul pendarahan. Keluhan subyektif (-) Obyektif: Ditemukan kelainan bilateral dengan sekret kuning kental, sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning kental dan purulen. Kelopak mata membengkak, sukar dibuka dan terdapat pseudomembran pada konjungtiva tarsal. Konjungtiva bulbi merah, kemotik dan tebal.

Gb.1 Konjungtivitis gonore pada bayi e. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan: 1. Sediaan langsung Kerokan konjungtiva atau getah mata yang purulen dicat dengan pengecatan Gram dan diperiksa di bawah mikroskop. Didapatkan sel-sel polimorfonuklear dalam jumlah yang banyak sekali. Kokus gram negative yang berpasangan seperti biji kopi tersebar di luar dan di dalam sel adalah Neisseria gonorrhea. 2. Kultur Dengan menggunaan media Thayer Martin, agar coklat, agar darah.

f. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan dengan permeriksaan klinik dan

laboratorium. Pada pemeriksaan klinik, didapatkan keradangan konjungtiva yang hiperakut dengan getah mata seperti nanah yang kadang bercampur darah. Sedangkan pemeriksaan laboratorium didapatkan kuman-kuman Neisseria gonorrhea dalam sediaan yang berasal dari kerokan atau getah mata konjungtiva. g. Penyulit Komplikasi yang dapat terjadi adalah ulkus kornea marginal terutama di bagian atas. Bisa terjadi pada stadium I atau II, dimana terdapat blefarospasme dengan pembentukan sekret ysng banyak, sehingga sekret menumpuk dibawah konjungtiva palpebra superior, ditambah lagi kuman gonokok mempunyai enzim proteolitik yang merusak kornea dan hidupnya intraseluler sehingga menimbulkan keratitis tanpa didahului kerusakan epitel kornea. Ulkus ini perforasi karena adanya daya lisis kuman gonokokus. Perforasi kornea dapat mengakibatkan endoftalmitis dan panoftalmus sehingga terjadi kebutaan total. h. Pengobatan Pengobatan segera dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram ditemukan diplokokus batang intraseluler dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore. Berhubung seringnya timbul penyulit dan sangat menular, maka penderita sebaiknya dirawat dan di isolasi serta diberikan pengobatan dengan sebaik-baiknya. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau dengan garam fisiologik se tiap seperempat jam. Pengobatan konjungtivitas gonore tanpa penyulit pada kornea, pada pengobatan topikal diberikan salep mata Tetrasiklin HCL 1% Basitrasin yang diberikan minimal 4 kali sehari pada neonatus dan diberikan sedikitnya tiap 2 jam pada penderita dewasa, dilanjutkan sampai 5 kali sehari sampai terjadinya resolusi. Pada pengobatan sistematik untuk orang dewasa diberikan Penisillin G 4,8 juta IU intra muskular dalam dosis tunggak ditambah dengan Probenisid 1 gram peroral, tau Ampisillan 3,5 gram peroral. Pada nonatus dan anak-anak injeksi Thiamfenikol 3,5 garam dosis tunggal atau

Tetrasiklin 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4 kali 500 mg/hari selama 4 hari. Pengobatan konjungtivitas gonore dengan penyulit pada kornea untuk pengobatan topikal dapat dimulai dengan salep mata basitrasin setiap jam atau Sulbenisillin tetes mata, disamping itu diberikan juga Penisillin subkonjungtiva. Pada anak-anak, pengobatan topikal hanya diberikan salep mata 2 jam. Dapat digantikan

dengan Eritromisin laktobinat. Pengobatan sistematik diberikan seperti pada konjungtivitas gonore tanpa penyulit pada kornea. Beberapa antibiotik yang sensetif terhadap Neisseria gonorrhea adalah eritromisin, Neomisin dan Gentamisin. Terapi dihentikan bila setelah pemeriksaan mikroskopik menunjukkan hasil negatif selama 3 hari berturut-turut. Pada anak-anak sering terjadi komplikasi berupa mkeratitis ataupun tukak kornea sehingga sering terjadi perforasi kornea. Pada orang dewasa tukak yang sering terjadi terletaj marginal dan sering berbentuk cincin. Perforasi kornea dapat mengakibatkan endoftalmiotis sehingga terjadi kebutaan total. Pada kepustakaan yang lain terapi konjungtivitis gonore neonatorum adalah sebagai berikut: - Pengobatan dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram positif diplokok batang intraseluler dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore. - Pasien dirawat dan diberi pengobatan dengan penicillin, salep dan suntikan, pada bayi diberikan 50.000 U/kgBB selama 7 hari. - Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau dengan garam fisiologik setiap jam, kemudian diberi salep penisillin setiap jam. Penisillin tetes mata dapat diberikan dalam bentuk larutan penisillin (caranya : 10.000 20.000 unit/ml) setiap 1 menit sampai 30 menit. Kemudian salep diberikan setiap 5 menit selama 30 menit., disusul pemberian salep penisillin setiap 1 jam selama 3 hari. - Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokok. - Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif. - Pada pasien yang resisten terhadap penicillin dapat diberikan cefriaksone (Rocephin) atau Azithromycin (Zithromax) dosis tinggi Cara pencegahan yang lebih aman ialah membersihkan mata bayi segera setelah lahir dengan larutan borosi dan memberikan salep kloramfenikol. i. Prognosis Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup, konjungtivitis gonore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan lebih lambat atau kurang intensif, maka kesembuhannya mungkin disertai sikatrik kornea, penurunan tajam penglihatan yang menetap atau kebutaan.(2)

BAB III PENUTUP

Konjungtivitis Gonore neonatorum adalah suatu radang konjungtiva akut dan hebat dengan sekret purulen yang disebabkan oleh Kuman Neisseria Gonorrhaea. Perjalanan penyakit terdiri atas stadium infiltratif, supuratif atau purulenta dan konvalesen (penyembuhan). Gambaran klinik pada bayi dan anak adalah ditemukan kelainan bilateral dengan sekret kuning kental. Pada orang dewasa ditemukan gejala subjektif berupa rasa nyeri pada mata, tanda-tanda infeksi biasanya terdapat pada satu mata dan gejala objektif yaitu ditemukan sekret purulen yang tidak begitu kental. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan sediaan langsung sekret dengan pewarnaan Gram atau giemsa untuk mengetahui kuman penyebab dan uji sensitivitas untuk perencanaan pengobatan. Penatalaksanaan dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram positif diplokok batang intraseluler dan sangat dicurigai konjungtiva gonore. Pasien dirawat dengan pengobatan dengan penicillin salep dan suntikan, pada bayi diberikan 50.000 U/KgBB selama 7 hari, sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau garam fisiologik setiap 4 jam, kemudian beri salep penicillin setiap jam dan penicillin tetes mata 10.000 20.000 unit/ml setiap 1 menit sampai 30 menit. Kemudian salep diberikan setiap 5 menit, 30 menit, disusul dengan salep penicillin setiap 1 jam selama 3 hari. Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokok.

DAFTAR PUSTAKA

Daili SF. Gonore. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuanda (Ed). Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1994. Ilyas, Sidarta, Tanzil, Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2000. 31 3 Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2000: 127 30. Kalpana K. Conjungtivitis neonatal.2009. http://www.emedicine.com/conj.neonatal/1192190-overview.htm Mansjoer A dkk. Ed. Konjungtivitis Bakteri Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI, Jakarta. 1999: 51 2. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999. Soewono dkk. Gonoblenore. Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Penyakit Mata. RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.1994: 86 8. Vaughan DG, Asbury T. Konjungtiva. Dalam Oftalmologi Umum. Edisi 14. Suyono YJ (Ed). Widya Medika, Jakarta. 2000: 99-108. Wegman, John MD. Neonatal Conjunctivitis. http://www.ncbi.nihgov/. Diakses tanggal 7 Juli 2012. Wijaya, N. Ilmu penyakit Mata. Cetakan ke-3. Binarupa Aksara. Jakarta.1983: 39 40.

You might also like