You are on page 1of 12

IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) (Suatu Kebijakan Dalam Perbaikan Mutu Pendidikan) Abstrak Dalam sejarah

penyelenggaraan pendidikan di negara kita, tercatat sebanyak lima kali perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berbarengan dengan perubahan strategi belajar mengajar. Perubahan kurikulum ini disinyalir disebabkan karena perubahan situasi politik, sehingga tarik-menarik kepentingan pun sering terjadi sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini. Perubahan kurikulum ini harus diantisipasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum sebagai rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, yang akan menentukan proses dan hasil pendidikan. Tulisan ini mengkaji kebijakan kurikulum dan kaitannya dengan perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dalam tulisan ini mengacu pada konsep Freed tentang penciptaan suatu lingkungan kualitas total untuk pembelajaran (Total Quality Environment for Learning). Kata Kunci: Kurikulum, Mutu Pendidikan A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di negara kita, tercatat sebanyak lima kali perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berbarengan dengan perubahan strategi belajar mengajar. Kurikulum pertama dirancang pada tahun 1968 yang menekankan pada pentingnya pembinaan moral, budi pekerti, agama, kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan sehat (Sutarto, 2005). Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji coba terhadap model desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognisi, afektif, dan psikomotor.

Maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Seiring dengan perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan pun sering terjadi sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini. Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia. Dengan demikian, perubahan kembali dilakukan dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin terpuruk hingga berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan hanya dengan perubahan kurikulum kemudian keterpurukan itu dapat didongkrak ke arah yang lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi. Perubahan kurikulum 1968 hingga kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya disebabkan oleh kesalahan rancangan kurikulum. Menurut hemat penulis anggapan seperti itu telah mengabaikan faktor lain yang juga ikut mempengaruhi terjadinya kegagalan itu sendiri. Beberapa faktor yang dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana sekolah, kurangnya keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerjasama yang baik antara perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan daerah yang tidak akurat, serta ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang diselenggarakan. Menjelang tahun 2007 ini, sejak Indonesia merdeka, telah dikenal berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang dipengaruhi oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOLUSDEK, kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di samping

meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya sistem kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benar-benar sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi (Soedijarto, 2004: 90). Perubahan kurikulum ini harus diantisipasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum sebagai rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, yang akan menentukan proses dan hasil pendidikan. Sekolah sebagai pelaksana pendidikan, baik kepala sekolah, guru maupun peserta didik sangat berkepentingan dan akan terkena dampaknya secara langsung dari setiap perubahan kurikulum. Di samping itu, orang tua, para pemakai lulusan, dan para birokrat, baik di pusat maupun di daerah akan terkena dampak dari perubahan kurikulum tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal penting yang perlu ditekankan disini, jangan sampai perubahan kurikulum, atau Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi ini memiliki nasib yang sama dengan link and match, yang tidak jelas link-nya, sehingga ditinggalkan begitu saja. Oleh karena itu, perubahan kurikulum ini harus disikapi secara positif dengan mengkaji dan memahami implementasinya di sekolah. Berkaitan dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan kurikulum yang lebih memperhatikan kondisi peserta didik, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pelaksanaan KTSP diatur dalam Permendiknas No. 24 Tahun 2006. Peraturan Menteri tersebut mewajibkan bahwa pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi dengan pelayanan pendidikan yang bermutu serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai wacana baru di satu sisi sangat menjanjikan adanya kesempatan dan peluang yang sangat luas bagi guru. Akan tetapi di sisi lain, pengembangan kurikulum ini menuntut adanya kompetensi guru yang tinggi. Belum cukup lama KBK diterapkan tetapi dengan begitu saja KBK diganti dengan kurikulum yang dianggap lebih baik. Hal ini lah yang menjadi tanda tanya besar, apakah dengan kondisi di mana masih

banyak guru yang dinyatakan masih belum layak mengajar akan siap diberi amanah yang begitu besar? Alasan dilakukannya perubahan kurikulum adalah untuk peningkatan mutu pendidikan. Apakah hal ini benar adanya?. B. Pembahasan 1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kesiapan Guru Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan berbagai mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik melalui kegiatan yang dinamakan proses pembelajaran. Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sosio-teknologi maka kurikulum diartikan secara lebih luas sebagai keseluruhan proses pembelajaran yang direncanakan dan dibimbing di sekolah, baik yang dilaksanakan di dalam kelompok atau secara individual, di dalam atau di luar sekolah (Kerr dalam Soedarminto, 1991). Dalam pengertian ini tercakup di dalamnya sejumlah aktivitas pembelajaran di antara subyek didik dalam melakukan transformasi pengetahuan, keterampilan dengan menggunakan berbagai pendekatan proses pembelajaran atau menggunakan metode belajar dan mendayagunakan segala teknologi pembelajaran. Namun demikian, bahwa konsep kurikulum sebagai urutan sejumlah mata pelajaran tetap menjadi dasar yang substansial dalam rancangan atau menyusun desain kurikulum. Inti dari kurikulum menurut Tyler sebagaimana dikutip Hamalik (1990) adalah suatu jawaban secara menyeluruh terhadap beberapa pertanyaan berikut ini: 1) tujuan dan maksud apa yang hendak dicapai oleh sekolah?; 2) kesempatankesempatan belajar apa yang dipilih agar terjadi perubahan tingkah laku sesuai dengan harapan?; 3) bagaimana unsur-unsur belajar disusun?; dan 4) bagaimana penilaian untuk mengetahui keberhasilannya?. Jika keempat jawaban pertanyaan itu telah terjawab, itulah yang dimaksud dengan kurikulum. Dalam pengembangannya, ada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum. Prinsip pertama dalam pengembangan kurikulum menurut Syaodih (2005: 150-151) adalah prinsip relevansi. Dalam prinsip ini relevansi yang harus dimiliki oleh suatu kurikulum berupa relevansi keluar dan relevansi ke dalam. Prinsip yang kedua adalah fleksibilitas. Dalam prinsip ini diartikan bahwa

kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur aau fleksibel. Prinsip ketiga adalah kontinuitas, yaitu berkesinambungan. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti. Prinsip keempat adalah praktis dan prinsip kelima efektivitas. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum mempunyai lima prinsip, yaitu relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 1, ayat 15 dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah (Mulyasa, 2006: 20). Pelaksanaan KTSP diatur melalui Permendiknas No. 24 Tahun 2006 dengan mewajibkan bahwa pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi dengan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan (Lorang, 2006: 41). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan menjadi 5 (lima) pilar belajar. Kelima pilar tersebut menurut Lorang (2006: 41) meliputi: 1) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) belajar untuk memahami dan menghayati; 3) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; 4) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan 5) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dikaitkan dengan kesiapan guru, permasalahan yang dihadapi dalam pengimplementasian KTSP adalah bahwa selang waktu antara pemberlakuan KTSP dengan rentang waktu penandatanganan pelaksanaan Peraturan Mendiknas No 22, 23, dan 24 sangat singkat, sehingga guru hanya mempunyai waktu persiapan yang sangat pendek. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus Wahyudi (Kompas, Senin 11 Desember 2006) dikemukakan bahwa Peraturan Mendiknas ditandatangani tanggal 23 Mei 2006, tetapi sekolah wajib melaksanakan mulai bulan Juli tahun pelajaran 2006-2007.

Peraturan Mendiknas memberi amanat, KTSP disusun dan dikembangkan oleh masing-masing jenis dan jenjang sekolah dengan berpedoman pada Standar Isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, serta disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan daya dukung sekolah. Untuk menyusun dokumen KTSP, sekolah wajib menyelenggarakan workshop dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dokumen KTSP dinyatakan berlaku setelah mendapatkan legalisasi dari kepala dinas pendidikan kabupaten/kota untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), dan kepala dinas pendidikan provinsi untuk jenjang menengah (SMA/MA dan SMK). Secara teknis, proses penyusunan dokumen KTSP ternyata membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga pada tahun pelajaran 2006-2007 secara de jure sekolah menggunakan KTSP, tetapi de facto sekolah belum memiliki dokumen KTSP. Selain permasalahan waktu, hal yang menjadi permasalahan yang dihadapi guru dalam pengimplementasian KTSP adalah permasalahan yang berkaitan dengan gaya pembelajaran (learning style). Tradisi behaviorisme yang mengendepankan hasil dari pada proses menjadi beban yang sangat berat bagi kebanyakan guru di Indonesia. Perubahan yang sangat drastis untuk meninggalkan praktek-praktek behaviorisme menuju konstruktivisme yang berorientasi kepada proses seperti yang diimplementasikan melalui KTSP masih sangat sulit diwujudkan. Bukan hanya itu, learning style (gaya belajar) peserta didik di negara kita yang lebih suka mendengar dan melihat menjadi hambatan tersendiri jika dihadapkan pada budaya membaca dan tradisi kerja yang sistematis dan kontinuitas. Tradisi peserta didik yang cenderung membantu kerja kerabat, saudara, dan orang tua di rumah setelah pulang dari sekolah juga akan menghambat tingkat keberhasilan mereka. Walaupun demikian, rasa optimisme untuk mengubah cara berpikir, cara pandang, dan cara kerja putra-putri bangsa Indonesia harus dilakukan sekarang ini demi untuk meraih kejayaan di masa yang akan datang.

Selain itu, dari dalam diri guru sendiri masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi. Permasalahan tersebut antara lain terkait dengan profesionalisme guru itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan di lapangan bahwa data Depdiknas menunjukkan, guru yang layak mengajar hanya 50,7 % untuk jenjang SD; 64,1 % untuk jenjang SMP; dan 67,1 % untuk jenjang SMA (PDIP-Balitbang, 2004). Selain itu, rata-rata kompetensi guru tidak mencapai 50 % seperti ditunjukkan dalam tes umum guru TK-SD, dan tes bidang studi guru SMP/SMA/SMK (Statistik Deskriptif Skor Mentah Per Mata Uji, Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004). Dengan kondisi guru yang seperti ini, pengimplementasian KTSP pada tahun 2007 di sekolah-sekolah masih belum tepat. Hal ini didukung dengan adanya sosialisasi yang baru saja dilakukan pada bulan Desember ini, sehingga dengan rentang waktu yang sedemikian pendeknya, rasanya sulit bagi guru untuk mampu mengembangkan kurikulum sendiri. 2. Kendala yang dihadapi dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan solusi yang dilakukan Dari beberapa gambaran di atas, kendala terbesar yang dihadapi dalam pengimplementasian KTSP adalah berasal dari kompetensi guru. Selama ini guru hanya menggunakan kurikulum yang sudah disusun dari atas atau top-down. Dengan kondisi demikian, guru masih terkendala yang ditunjukkan dengan tingginya tingkat guru yang belum layak mengajar. Apalagi dengan diimplementasikannya KTSP, di mana guru harus menyusun sendiri kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi fasilitator di dalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer (perancang) dari sejumlah aspek yang menjadi bahan penilaian tersebut di atas. Guru dituntut untuk mampu mendesain learning episode (tahapan-tahapan belajar) yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan, membuat agenda belajar, menyediakan kuis-kuis, menyususun modul, dan merancang rubrik yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portfolio, product, project, performance, dan bahkan untuk paper and pencil test.

Sesuai dengan paradigma yang berkembang saat ini yaitu konsep pendidikan yang ditawarkan UNESCO sebagaimana dikutip Soedijarto (2004) menyatakan bahwa untuk memasuki abad ke-21, pendidikan perlu dimulai dengan empat pilar proses pembelajaran , yaitu : (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Berdasarkan keempat pilar tersebut pendidikan dikembangkan dalam paradigma konstruktivisme. Melalui pembelajaran dengan paradigma konstruktivisme, peranan guru bergeser menjadi seorang fasilitator dalam pembelajaran. Hal ini sulit dilakukan mengingat guru harus selalu belajar agar dapat menjalankan peranan ini. Kesulitan yang dihadapi guru terkait dengan masih belum memadainya tingkat pendapatan yang diperoleh sebagian besar guru di Indonesia, sehingga mereka lebih banyak menggunakan waktu luang mereka untuk mencari penghasilan tambahan. Untuk itu solusi yang diperlukan adalah peningkatan kesejahteraan guru sehingga guru dapat lebih terfokus pada tugas-tugas mereka. 3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai Upaya Penciptaan Lingkungan Kualitas Total untuk Pembelajaran Penciptaan lingkungan kualitas total untuk pembelajaran atau Total Quality Environment (TQE) for Learning menurut Freed adalah menggabungkan prinsipprinsip perbaikan berkelanjutan, konsep organisasi pembelajaran, dan aspek-aspek kejiawaan ke dalam pembelajaran dan tempat kerja. Karakteristik TQE menurut Freed didefinisikan ada 11 macam. Ke sebelas karaktersitik TQE menurut identifikasi Freed (2005:63) adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Model Total Quality Environment Characteristics Application

Changing the questions Focusing on learner-centeredness Emphasizing self-awareness Communicating openly and honestly Cultivating relationships Sharing value systems Practicing reflection Making connections Achieving peak performance Serving the community Not knowing the answers Sumber: Freed (2005: 63)

Ask different questions about learning and teaching Engage students in learning Discover personal strengths and areas for improvement through continuous and honest feedback Engage students through conversation and dialogue after developing trust and confidence in one another Create a sense of community by establishing relationships through the use of active learning Be aware of personal values and compatibility with institutions values Use continuous feedback activities to require students and faculty to reflect for making improvements Focus on applying theories and concepts to the world outside of education Design challenging assignments and task for students to apply skills and knowledge Realize that teaching is a calling to help others Shift the focus from knowing the answers to asking the right questions

Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 1, ayat 15 dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah (Mulyasa, 2006: 20). Pelaksanaan KTSP diatur melalui Permendiknas No. 24 Tahun 2006 dengan mewajibkan bahwa pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi dengan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan (Lorang, 2006: 41). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan menjadi 5 (lima) pilar belajar. Kelima pilar tersebut menurut Lorang (2006: 41) meliputi: 1)

10

belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) belajar untuk memahami dan menghayati; 3) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; 4) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan 5) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mempunyai tujuan baik yang bersifat umum maupun khusus. Menurut Mulyasa (2006: 22) tujuan umum diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Adapun tujuan khusus diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi tiga hal, yaitu: 1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama; dan 3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai (Mulyasa, 2006: 22) Ketiga tujuan khusus dalam KTSP tersebut sangat relevan dengan karakteristik-karakteristik TQE yang menyebutkan adanya create a sense of community by establishing relationships through the use of active learning. Melalui penciptaan rasa kemasyarakatan dengan membangun hubungan melalui pembelajaran aktif maka kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. Pengembangan silabus dalam KTSP mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Dalam KTSP, Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian hasil belajar.

11

Suatu silabus minimal memuat lima komponen utama, yakni: (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) indikator, (4) materi standar, (5) standar proses (kegiatan belajar mengajar), dan (6) standar penilaian (Mulyasa, 2006: 191). Pengembangan terhadap komponen-komponen tersebut merupakan kewenangan mutlak guru, termasuk pengembangan format silabus, dan penambahan komponenkomponen laindalam silabus di luar komponen minimal. Dalam KTSP, pengembangan silabus diserahkan sepenuhnya kepada setiap satuan pendidikan, khususnya bagi yang sudah mampu melakukannya. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan diberi kebebasan dan keleluasaan dalam mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Agar pengembangan silabus yang dilakukan oleh setiap satuan pendidikan tetap berada dalam bingkai pengembangan kurikulum nasional (standar nasional), maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan silabus. Prinsip-prinsip tersebut adalah: ilmiah, relevan, fleksibel, kontinuitas, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, serta efektif, dan efisien. Berdasarkan standar kompetensi dan standar isi dalam silabus yang telah diidentifikasikan dan diurutkan sesuai dengan tingkat pencapaiannya selanjutnya dikembangkan program-program pembelajaran. Kegiatan pengembangan kurikulum pada tingkat ini adalah menyusun dan mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran atau persiapan mengajar. Pengembangan silabus dalam KTSP yang didasarkan pada kompetensi di atas sangat relevan dengan konsep design challenging assignments and task for students to apply skills and knowledge dalam Total Quality Environment (TQE) menurut pengertian Freed.

C. Penutup Implementasi KTSP pada saat kondisi di mana profesioalisme guru sangat memprihatinkan adalah kurang tepat. Keberhasilan suatu program sangat ditunjang

12

dengan sosialisasi. Mengingat sosialisasi yang sangat singkat maka implementasi KTSP yang dilakukan pada tahun 2007 ini masih kurang tepat. Hal ini sangat terkait dengan kendala yang muncul di lapangan berupa kemampuan SDM yang ada. Untuk itu disarankan perlunya dilakukan sosialisasi yang lebih intensif sebelum ditetapkan suatu kebijakan baru. Proses sosialisasi harus diikuti dengan pelatihan agar kemampuan SDM semakin meningkat. Melalui perubahan kurikulum ini diharapkan sekolah dapat menciptakan suatu lingkungan kualitas total dalam pembelajaran atau TQE for learning sesuai dengan konsep yang disarankan oleh Freed. DAFTAR PUSTAKA Freed, Jann E. 2005. Creating A Total Quality Environment (TQE) for Learning. Journal of Management Education. Vol. 29 No. 1 February 2005. pages 6068. Hamalik, Oemar. 1990. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lorang, Jhonny. 2006. Kurikulum Dahulu dan Sekarang. Metodika Jurnal Pendidikan Volume 1/ September 2006 Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Soedarminto, dkk. 1991. Materi Pokok Pengembangan Kurikulum dan Bahan Belajar I. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka. Soedijarto. 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur Vol.3/ Tahun III, Desember 2004, dalam www.jurnal_penabur.com diakses pada 1 Desember 2006.

You might also like