You are on page 1of 24

BAB 11

KORELASI
KORELASI
Pengantar
Di dunia ini tidak ada suatu peristiwa yang beridiri sendiri dan terlepas dari
peristiwa lainnya. Setiap peristiwa pasti berhubungan dengan peristiwa yang lain.
Karena itu untuk mengkaji suatu peristiwa/gejala diperlukan juga kajian terhadap
peristiwa atau gejala lain yang dianggap berhubungan dengan gejala tersebut.
Dalam pendekatan kuantitatif untuk menentukan seberapa erat suatu gejala
itu berhubungan dengan gejala lainnya digunakan alat yang disebut teknik korelasi,
di samping teknik-teknik statistika yang lainnya.
Uraian dalam bab 8 ini memaparkan beberapa teknik korelasi beserta
penggunaannya terutama dalam bidang psikologi.
Agar lebih mudah memahami isi uraian pada pokok bahasan ini pembaca
dianjurkan telah menguasai pokok-pokok bahasan sebelumnya.
Setelah mempelajari bab 8 ini pembaca diharapakan dapat memperoleh
pemahaman tentang :
1. pengertian korelasi.
2. arah korelasi.
3. ukuran taraf korelasi.
4. berbagai macam teknik korelasi bivariat.
5. penggunaan berbagai teknik korelasi dengan benar untuk analisis data
penelitian psikologi.
135
KORELASI
A. Pengantar
Korelasi berarti hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik ini kerap kali
menjadi pusat perhatian para ahli-ahli penyelidik, misalnya hubungan antara
permintaan dan penawaran, hubungan antara keadaan lingkungan dengan sifat
pribadi, hubungan antara kemelaratan dan kejahatan dan sebagainya.
Jika ada korelasi antara dua variabel atau gejala, misalnya antara
kemelaratan dan kejahatan, biasanya orang segera menarik kesimpulan bahwa
antara dua variabel/gejala itu terdapat hubungan sebab akibat. Kesimpulan
semacam itu kerapakali tidak benar, sebab sungguhpun semua rangkaian sebab
akibat mesti menunjukkan korelasi, tetapi tidak semua korelasi menunjukkan
sebab akibat. Misalnya antara tinggi badan dan berat badan terdapat korelasi
yang meyakinkan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa berat badan menjadi sebab
dari tinggi badan atau tinggi badan mengakibatkan berat badan. Dalam hal
semacam ini harus diketahui faktor lain yang menjadi sebab dari gejala kedua
variabel yang muncul beriringan.
B. Koefisien Korelasi.
Dua buah gejala yang kita selidiki itu bisa terjadi ada yang berkorelasi dan
ada pula yang tidak berkorelasi. Secara statistika ada tidaknya korelasi diantara
dua gejala ditunjukkan oleh suatu bilangan yang disebut koefisien korelasi. Besar
kecilnya koefisien korelasi tersebut menunjukkan kuat atau lemahnya taraf
korelasi diantara diantara dua gejala tersebut. Besar kecilnya koefisien korelasi
berkisar dari -1 sampai dengan 1 (-1 r 1).
Tidak mungkin koefisien korelasi lebih kecil dari -1 dan tidak mungkin
lebih besar dari 1. Jika dalam suatu analisis data penelitian kita memperoleh
koefisien korelasi lebih besar dari 1,00: misalnya : 1,05 atau lebih kecil dari -1,00,
misalnya = -1,211, maka kita harus meninjau kembali kebenaran perhitungan kita
itu. Tetapi dalam hal ini ada suatu perkecualian, yaitu koefisien korelasi
berserial, yang kita bicarakan kemudian.
Disamping menunjukkan taraf korelasi, koefisien korelasi juga
menunjukkan arah korelasi. Koefisien korelasi positif menunjukkan arah korelasi
136
yang positif dan koefisisen korelasi negatif menunjukkan arah korelasi yang
negatif, demikian pula koefisien korelasi yang nihil, juga menunjukkan arah
korelasi yang nihil atau tak tentu.
Arah korelasi disebut positif, jika naik turunnya gejala X selalu diikuti naik
turunnya gejala Y dan perubahannya searah, misalnya: Jika IQ tinggi, prestasi
belajarnya tinggi dan IQnya rendah prestasi belajarnya juga rendah. Maka
dikatakan ada korelasi yang positif antara IQ dan prestasi belajar. Korelasi yang
positif ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang lebih besar dari nol (0 < r 1).
Arah korelasi disebut negatif jika perubahan naik turunnya gejala X berlawanan
arah dengan naik turunnya gejala Y. Misalnya: Jika absensi kuliah tinggi maka
prestasi belajarnya rendah, dan sebaliknya absensi kuliah rendah, prestasi
belajarnya tinggi. Arah korelasi yang negatif ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi
yang lebih kecil dari nol (-1 r < 0). Arah korelasi nihil atau disebut tidak ada
korelasi, jika koefisien korelasinya sama dengan nol (r = 0) atau mendekati nol.
Contoh korelasi yang demikian misalnya, korelasi antara harga buku dengan
curah hujan.
Hubungan antara koefisien korelasi dan taraf korelasi dapat dibagankan
seperti gambar 8.1.
Kuat Lemah Kuat
(Negatif) (Nihil) (Positif)
-1 0 1
Gambar 11.1. Hubungan antara Taraf Korelasi dan Koefisien Korelasi
C. Beberapa Macam Teknik Korelasi
Penelitian pada dasarnya untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara dua variabel atau lebih. Misalnya seorang guru ingin mengetahui apakah
ada korelasi antara tignkatan kerajinan mengerjakan latihan dalam ilmu pasti
dengan prestasi belajar yang dicapai murid-murid pada ujian akhir. Contoh lain
seorang kepala lembaga pemasyarakatan ingin mengetahui ada tidaknya korelasi
antara jenis kelamin nara pidana dengan jenis kejahatan yang dilakukannya.
Guna memahami data penelitian yang diperoleh diperlukan suatu metode atau
teknik yang sesuai dengan tujuan penelitian maupun jenis datanya. Sehubungan
dengan itu statistika menyediakan alatnya berupa teknik-teknik korelasi.
137
Dalam statistika diskriptif teknik korelasi terbatas untuk menghitung besar
kecilnya koefisien korelasi antara dua gejala atau lebih yang diselidiki dari sampel
tanpa ada maksud untuk mengadakan generalisasi. Sedangkan dalam statistika
inferensial, fungsi teknik korelasi tidak saja untuk menghitung besar kecilnya
koefisien korelasi antara dua gejala yang diselidiki itu, tetapi juga berdasarkan
koefisien korelasi yang diperoleh itu peneliti dapat mengadakan generalisasi,
dengan jalan menguji hipotesis penelitiannya.
Statistika menyediakan berbagai teknik korelasi, tetapi untuk
menggunakannya, peneliti harus mengenal jenis-jenis gejalanya terlebih dahulu,
karena setiap teknik korelasi telah dipersiapkan untuk menganalisis jenis data
tertentu.
Di dalam bab 1 di atas telah disebutkan bahwa di dalam bidang sosial
umumnya dan psikologi pada khususnya, kita kenal ada tiga macam jenis data
dilihat dari level skalanya, yaitu data nominal, ordinal, dan interval. Berkaitan
dengan itu maka berikut ini akan diuraikan 3 jenis korelasi yaitu Korelasi Product
Moment, Korelasi Tata Jenjang (rho) / Korelasi Spearman, dan Korelasi Serial
(terutama Korelasi Biserial dan Korelasi Point Biserial).
D. Korelasi Product Moment.
Korelasi Product Moment (diperkenalkan oleh Karl Pearson) digunakan
untuk melukiskan hubungan antara 2 buah variabel yang sama-sama berjenis
interval atau rasio. Untuk menghitung korelasi product moment dapat
menggunakan rumus deviasi dan rumus angka kasar.
Rumus korelasi product moment (bentuk deviasi):
( )( )

2 2
y x
xy
r
xy . ...........................(Rumus 11.1.)
rxy = Koefisien Korelasi
X X x
Y Y y
Contoh :
138
Hasil penelitian mengenai korelasi antara intelegensi dengan prestasi
belajar siswa ditampilkan pada tabel 11.1 di bawah ini. Skor intelegensi
digunakan sebagai variabel X dan prestasi belajar sebagai variabel Y. Hitunglah
koefisien korelasinya.
Tabel 11.1. : Sekor Tes Intelegensi dan Prestasi Belajar
No. X Y
1. 2 2
2. 4 5
3. 2 2
4. 3 4
5. 5 3
6. 2 5
7. 4 8
8. 3 6
9. 3 3
10. 2 2
30 40
Jawab:
3
10
30

x
X 4
10
40

y
X
Kemudian hitung x dan y, menggunakan rumus:
x = X -
x
X
x1 = 2 3 = -1
x2 = 4 3 = 1
dst
y = Y -
y
X

y1 = 2 4 = -2
y2 = 5 4 = 1
dst.
Selanjutnya lengkapi tabel seperti di bawah ini:
Tabel 11.2. : Tabel untuk Menghitung Korelasi dengan
Rumus Deviasi.
No. X Y x y x
2
y
2
xy
1. 2 2 -1 -2 1 4 2
2. 4 5 1 1 1 1 1
3. 2 2 -1 -2 1 4 2
139
4. 3 4 0 0 0 0 0
5. 5 3 2 -1 4 1 -2
6. 2 5 -1 1 1 1 -1
7. 4 8 1 4 1 16 4
8. 3 6 0 2 0 4 0
9. 3 3 0 -1 0 1 0
10. 2 2 -1 2 1 4 2
30 40 - 10 36 8

( )( )

2 2
y x
xy
r
xy

( ) ( ) 36 10
8

= 0,42
Apabila kita menggunakan rumus angka kasar untuk data tersebut di atas,
maka rumusnya sebagai berikut:
( )( )
( ) { } ( ) { }


2
2
2
2
Y Y n X X n
Y X XY n
r
xy
. ....(Rumus 11.2.)
rxy = Koefisien Korelasi
X, Y = Variabel
n = Jumlah data.
Dan untuk menyelesaikannya diperlukan tabel kerja seperti table11.3.
Tabel 11.3. : Tabel untuk menghitung Korelasi dengan Rumus Angka Kasar
No. X Y X
2
Y
2
XY
1. 2 2 4 4 4
2. 4 5 16 35 20
3. 2 2 4 4 4
4. 3 4 9 16 12
5. 5 3 25 9 15
6. 2 5 4 25 10
7. 4 8 16 64 32
8. 3 6 9 36 18
9. 3 3 9 9 9
10. 2 2 4 4 4
140
30 40 100 196 128
( )( )
( ) { } ( ) { }


2
2
2
2
Y Y n X X n
Y X XY n
r
xy

( ) ( ) ( )
( ) { } ( ) { }
2 2
40 196 10 30 100 10
40 30 128 10

= 0,42
Interpretasi hasil:
rxy = + 0,42
a. Karena nilai rxy = Mendekati nol / tidak mendekati 1, maka derajat
hubungannya lemah, artinya : tingkat intelegensi mempunyai hubungan yang
lemah dengan prestasi belajar.
b. Nilai rxy adalah positif.
Maka arah hubungannya adalah searah, artinya: jika intelegensi meningkat
maka prestasi belajar juga meningkat.
Selanjutnya koefisien korelasi diuji utnuk menentukan apakah nilai
tersebut signifikan atau tidak. Koefisien korelasi sebesar 0,42 (disebut r empirik
disingkat re) akan kita bandingkan dengan koefisien korelasi teoritik (r teoritik
disingkat rt) yang terdapat dalam tabel r teoritik, dengan ketentuan, jika:
r empirik > r teoritik maka korelasinya signifikan, dan
r empirik < r teoritik berarti korelasinya tidak signifikan.
Cara untuk menentukan r teoritik adalah dengan memeriksa angka di
sebelah kiri tabel yang menunjukkan jumlah (n) sampel yang diteliti. Dalam
penelitian ini kita menggunakan n = 10. Kemudian kita lihat angka-angka yang
merupakan koefisien korelasi pada taraf signifikan 5% (disebut juga taraf
penerimaan 95%) dan 1% (disebut juga taraf penerimaan 99%). Pada taraf 5%
141
menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,632 dan pada taraf 1% sebesar 0,765.
Tabel r product moment dapat diperiksa pada lampiran.
Berdasarkan koefisien-koefisien korelasi yang diperoleh dapat dituliskan :
rt 5% = 0,632 > (re = 0,42) < rt 1% = 0,765
Notasi matematis ini dapat diartikan sebagai berikut :
r empirik sebesar 0,42 adalah lebih kecil dari pada r teoritik baik pada taraf
signifikansi 5% (=0,632) maupun 1% (=0,765).
Berdasarkan kenyataan ini, maka kita dapat membuat interpretasi bahwa:
Ho (yang menyatakan; tidak ada hubungan antara intelegensi dengan
prestasi belajar) diterima.
Kesimpulannya adalah:
Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel intelegensi (X) dengan
prestasi belajar (Y).
Cara lain untuk menguji koefisien korelasi pearson, yaitu menggunakan
uji t, yaitu :
( )
( )
2
1
2
r
n r
t
hitung

.....................(Rumus 11.3.)
r = koefisen korelasi
n = jumlah data
( )
( )
309 , 1
42 , 0 1
2 10 42 , 0

hitung
t
ttabel = t(/2, n-2) = t(0,025 ; 8) = 2,306 (gunakan tabel distribusi t)
Lalu , masuk ke tahap uji hipotesis, yaitu :
1. Tentukan H0 dan H1.
H0 : tidak ada hubungan antara intelegensi dengan prestasi belajar.
H1 : ada hubungan antara intelegensi dengan prestasi belajar.
2. Tentukan parameter uji dan hitung menggunakan rumus :
142
Uji t : thtiung = 1,309
3. Tentukan nilai pada tabel, tingkat signifikansi () dan db (derajat bebas):
= 5%
db = n 2 = 10 -2 = 8
thitung = t(/2, n -2) = t(0,025 : 8) = 2,306.
4. Membandingkan thitung dengan ttabel.
Jika thitung > ttabel maka korelasi signifikan (H0 ditolak)
Jika thitung < ttabel maka korelasi tidak signifikan (H0 diterima)
5. Buat kesimpulan
Kesimpulan: intelgensi tidak ada hubungannya dengan prestasi belajar.
Perlatihan 11.1
1. Data pengalaman kerja (X) dan kinerja (Y) 12 orang karyawan yang diambil secara
acak disajikan dalam tabel berikut:
X 6 7 8 7 5 8 5 6 4 2 10 9
Y 20 16 13 10 17 11 16 12 15 10 20 18
Ujilah hipotesis nihil yang menyatakan : Tidak ada korelasi antara pengalaman
kerja dengan kinerja, gunakan taraf signifikansi 5%.
2. Suatu penelitian tentang hubungan antara motivasi berprestasi (X) dengan
kemampuan mengatasi tugas-tugas yang sulit (Y) dilakukan terhadap 15
karyawan bagian pemasaran suatu perusahaan. Data yang diperoleh sebagai
berikut:
X 6 4 7 9 8 9 7 6 5 7 8 6 5 8 6
Y 6 6 7 7 7 7 7 6 6 6 7 7 6 7 6
Bagaimana kesimpulan penelitian tersebut? (Ujilah H0 dengan t.s. 5 %)
E. Korelasi Tata Jenjang
Telah dijelaskan di depan bahwa teknik korelasi adalah teknik statistika yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua buah gejala. Jika gejala yang kita
143
hadapi kedua gejala itu berskala interval, maka teknik korelasi yang sesuai adalah
korelasi product moment, seperti yang telah di bahas dalam modul 10. Jika kita
menghadapi dua gejala yang masing-masing berskala ordinal, maka teknik korelasi
product moment tidak tepat lagi, karena itu kita harus menggunakan teknik korelasi
yang lain yang lebih tepat, yaitu teknik korelasi tata jenjang.
Teknik korelasi tata jenjang disebut juga rank order correlation dikembangkan
oleh Charles Spearman, dimaksudkan untuk menghitung dan menentukan tingkat
hubungan (korelasi) antara 2 gejala yang kedua-duanya berskala ordinal atau tata
jenjang. Data ordinal selalu menunjukkan perbedaan besar antara variabel yang satu
dengan yang lain.
Tabel 11.4 Contoh Skor dan urutan Rankingnya
Skor Ranking
75 3
60 4
50 5
85 2
100 1
40 6
Apabila peneliti memiliki data yang jenisnya interval atau rasio, maka data
tersebut harus dirubah dahulu ke dalam urutan rangking-rangking yang merupakan
ciri dari data ordinal. (Perhatikan table 11.4)
Cara mengubah menjadi ranking (ordinal) dilakukan dengan mengurutkan
skor dari yang tertinggi sampai yang terendah dimana secara berurutan mulai dari
skor yang tertinggi itu diberi rangking 1, 2, 3, 4, dan seterusnya sampai skor
terendah.
Permasalahan pengubahan data interval ke data ordinal timbul jika ada
beberapa data (skor) yang sama. Misalnya : 75, 65, 65, 60,60, 60, 50. Jika diurutkan
begitu saja, dengan rangking/urutan seperti : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, maka tentu saja ini
tidak proporsional dan tidak adil, karena skor yang sama (kualitas) yang sama diberi
bobot yang tidak sama. Perhatikan table 11.5
Tabel 11.5 Contoh Skor dan Urutan Rankingnya
Yang tidak Proporsional
Skor Ranking
75 1
144
65 2
65 3
60 4
60 5
60 6
50 7
Agar proporsional maka skor yang sama harus diberi bobot/ranking yang
sama dengan cara rangkingnya adalah nilai rata-rata dengan rangking sebelumnya.
Perhatikan contoh table 11.5
Kita perhatikan bahwa skor yang tertinggi hanya ada satu yaitu 75, maka
tidak ada masalah dan skor 75 ini kita transformasi menjadi rangking 1. Kemudian
skor tertinggi ke dua adalah dua skor yang sama yaitu 65 dan skor tertinggi ke tiga
ada tiga buah skor yang sama yaitu 60. Di sinilah letak permasalahan bagaimana kita
membuat rangking secara proporsional bahwa skor yang sama harus diberi
bobot/rangking yang sama. Untuk itu memberi rangking pada skor 65 yang mestinya
menduduki ranking 2 dan 3 supaya proporsional, maka rangking 2 dan 3 untuk skor
65 dicari rata-ratanya, yaitu (2 + 3) : 2 = 2,5. Demikian juga untuk member ranking
pada skor 60 yang mestinya menduduki rangking 4, 5, dan 6, maka diubah masing-
masing menjadi (4 + 5 + 6) : 3 = 5. Sehingga urutan rangking yang proporsional
untuk data tersebut adalah seperti pada table 8.6
Tabel 11.6 Contoh Skor dan Urutan Rankingnya
Yang Proporsional
Skor Ranking
75 1
65 2,5
65 2,5
60 5
60 5
60 5
50 7
Perlatihan 11.2
Ubahlah skor-skor di bawah ini menjadi data ordinal !
1. Skor hasil UTS dan UAS Statistika 12 mahasiswa adalah sebagai berikut :
145
UTS 9 8 6 7 4 5 3 4 7 8 10 8
UAS 10 9 6 8 6 6 4 4 9 9 10 8
2. Berikut ini adalah skor tes kecemasan menghadapi ujian dan prestasi belajar
pada 10 mahasiswa
Kecemasan 50 40 25 20 15 15 20 10 10 10
Prestasi Belj 0 1 2 2 3 3 2 4 4 3
3. Berikut ini adalah data absensi dan prestasi belajar pada 15 mahasiswa
Absen 0 1 4 7 3 3 5 1 7 8 2 2 3 4 0
Prest 4 4 1 0 2 3 1 3 0 0 3 3 2 2 4
F. Penggunaan Korelasi Tata Jenjang

Hasil pengukuran dalam bidang psikologi kita tidak pernah memperoleh
data rasio, maksimal hanya memperoleh data level interval. Bahkan sebagian
orang berpendapat bahwa hasil pengukuran psikologi maksimal hanya mencapai
tataran ordinal, dan tidak pernah mencapai tataran interval. Sebagai contoh hasil
pengukuran sikap, misalnya, maksimal hanya dapat menunjukkan bahwa si A
sikapnya lebih positif daripada si B, tetapi tidak pernah mampu menunjukkan
seberapa besar lebih positifnya itu. Oleh karena itu korelasi tata jenjang menjadi
sangat penting dalam bidang psikologi
Adapaun rumus yang dipakai untuk menghitung korelasi tata jenjang
adalah:
( ) 1
6
1
2
2



n n
D
r
ho
..................(Rumus 11.4.)
rho = koefisien r tata jenjang
D = beda antar rangking atau ordinal
N = jumlah individu
1&6 = bilangan konstan.
Contoh penggunaan :
Misalkan kita meneliti hubungan antara nilai hasil ujian tengah semester (X)
dengan nilai hasil ujian akhir semester (Y) pada 8 orang mahasiswa Fakultas
146
Psikologi. Diperoleh data seperti pada tabel 8.7. Hitunglah koefisien korelasi tata
jenjangnya
Tabel 11.7. : Nilai UTS dan UAS
X 90 55 80 85 65 75 60 84
Y 85 60 75 70 55 65 80 80
Untuk penyelesainnya diperlukan tabel kerja seperti table 8.8.
Cara mengisi kolom ordinal X dan ordinal Y adalah mengubah skor-skor X
dan Y menjadi data ordinal seperti telah dijelaskan di atas. Kolom D diisi selisih
antara ordinal X dan ordinal Y (atau ordinal X dikurangi ordinal Y).
Tabel 11.8 : Tabel Kerja Korelasi Tata Jenjang
No. X Y Ordinal X Ordinal Y D D
2
1. 90 85 1 1 0 0
2. 55 60 8 6 2 4
3. 80 75 4 3 1 1
4. 85 70 2 4 -2 4
5. 65 55 6 7 -1 1
6. 75 65 5 5 0 0
7. 60 50 7 8 -1 1
8. 84 80 3 2 1 1
- - - - 0 12
Setelah table kerja terselesaikan, selanjutnya diterapkan rumus 11.4
sehingga diperoleh hasil :
( ) 1
6
1
2
2



n n
D
r
ho
( ) 1 8 8
12 . 6
1
2



857 , 0
504
72
1
Untuk menguji signifikansi dari koefisien korelasi rho sebesar 0,857 (disebut r
empirik) adalah dengan cara membandingkannya dengan koefisien korelasi (r
teoritik) yang terdapat pada tabel nilai-nilai rho. Prosedur yang ditempuh untuk
147
melakukan interpretasi pada koefisien korelasi ini sama dengan yang dilakukan pada
korelasi product moment.
Koefisien korelasi teoritik yang terdapat pada tabel nilai-nilai rho, dengan n = 8
pada taraf signifikansi 5% menunjukkan angka 0,738 dan pada taraf signifikansi 1%
menunjukkan angka 0,881. (Lihat pada tabel nilai-nilai rho).
Dengan demikian maka : rt ( 5% = 0,738) < (re = 0,857) < (rt = 0,881).
Notasi matematis ini dapat diartikan sebagai berikut:
r empirik sebesar 0,857 adalah lebih besar dari pada r teoritik pada taraf
signifikansi 5% (=0,738) dan lebih kecil dari pada r teoritik pada taraf signifikansi
1% (=0,881).
Berdasarkan kenyataan ini, maka kita dapat memutuskan bahwa:
H1 diterima dan H0 ditolak.
Kesimpulannya adalah :
Ada hubungan yang signifikan anatara skor UTS (X) dengan UAS (Y) pada taraf
5%, tetapi pada taraf 1%, tidak ada hubungan yang signifikan antara skor UTS
(X) dengan skor UAS (Y).
Contoh lain :
Suatu penelitian dimaksudkan untuk mengetahui adakah hubungan antara
urutan kelahiran (X) dengan rasa ketergantungan anak (Y). Data hasil penelitian
tersebut adalah seperti table 11.9
Tabel 11.9 : Urutan Kelahiran (X) dan
Rasa Ketergantungan (Y)
Subjek X Y
A 1 30
B 2 20
C 2 15
D 3 10
E 4 10
F 3 20
G 2 25
H 3 15
I 1 8
J 5 30
148
Untuk menganalisis data tersebut dengan teknik korelasi tata jenjang
peneliti perlu mengubah skor-skor rasa ketergantungan menjadi data ordinal terlebih
dahulu. Data urutan kelahiran tidak perlu di ubah karena sudah merupakan ordinal.
Sehingga table kerjanya seperti table 11.10
Tabel 11.10 : Tabel Kerja Korelasi Tata Jenjang
SUBJEK X Y Ordinal Y D D
2
A 1 30 1,5 -0,5 0,25
B 2 20 4,5 -2,5 6,25
C 2 15 6,5 -4,5 20,25
D 3 10 8,5 -5,5 30,25
E 4 10 8,5 -4,5 20,25
F 3 20 4,5 -1,5 2,25
G 2 25 3 -1 1
H 3 15 6,5 -3,5 12,25
I 1 8 10 -9 81
J 5 30 1,5 3,5 12,25
- - - - 186
Selanjutnya diterapkan rumus11.4 sehingga diperoleh hasil :
( ) 1
6
1
2
2



n n
D
r
ho
( ) 1 10 10
) 186 ( 6
1
2



127 , 0
990
1116
1
Koefisien korelasi teoritik yang terdapat pada tabel nilai-nilai rho, dengan n =
10 pada taraf signifikansi 5% menunjukkan angka 0,648. Dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa: Tidak ada hubungan yang signifikan anatara urutan kelahiran
(X) dengan rasa ketergantungan (Y) pada anak.
149
Perlatihan 11.3.
1. Hasil penjenjangan hasil UTS dan UAS statistika dari 10 mahasiswa tersaji
pada tabel 11.11
Tabel 11.11. : Hasil penjenjangan nilai UTS dan UAS 10 mahasiswa.
Nama
Rangking
UTS UAS
A 4 4
B 1 2
C 7 6
D 3 3
E 9 9
F 10 10
G 6 7
H 5 5
I 8 8
J 2 1
Berdasarkan data tersebut, ujilah hipotesis nol yang menyatakan :Tidak ada
korelasi antara sekor UTS dan sekor UAS. (Gunakan = 0,05)
2. Data hasil ujian mata kuliah statistik I (X1) dan statistik II (X2) dari 10 orang
mahasiswa adalah sebagai berikut:
X1 10 25 27 35 40 40 35 30 15 20
X2 10 30 30 40 40 35 40 30 10 25

Ujilah hipotesis nol, yang menyatakan : Tidak ada korelasi antara hasil ujian
statistika I dan statistika II.
G. Korelasi Serial
Dalam bidang psikologi kita sering dihadapkan pada dua gejala dengan
jenis yang berbeda, misalnya gejala yang satu berskala ordinal dan yang lainnya
berskala interval. Atau gejala yang satu berskala nominal dan gejala yang lain
150
berskala interval atau rasio. Dalam keadaan seperti ini adalah tidak tepat jika kita
menggunakan teknik korelasi product moment ataupun korelasi tata jenjang. Karena
itu kita perlu menggunakan teknik korelasi yang lain, yaitu korelasi serial atau
korelasi point serial.
Teknik korelasi serial digunakan untuk menentukan hubungan antara 2
variabel, dimana variabel X berjenis ordinal dan variabel Y berjenis interval atau
rasio. Jika yang kita hadapi kedua variable itu berjenis nominal dan interval, maka
kita menggunakan teknik korelasi point serial.
Nama serial dalam korelasi serial akan mengikuti banyaknya pembagian
yang dilakukan pada variabel X. Apabila variabel X dibagi ke dalam 2 jenjang, maka
akan disebut korelasi biserial. Jika variabel X dibagi menjadi 3 Jenjang dinamakan
korelasi triserial, jika dibagi 4 jenjang namanya korelasi quartoserial.
Pembagian variabel X sampai lebih dari 4 jenjang jarang ditemui dan jika ada,
orang lebih senang menyelesaikannya dengan korelasi product moment. Yang paling
sering kita temukan adalah pembagian variable X itu menjadi dua jenjang, karena itu
dalam uraian berikut hanya akan dibahas korelasi biserial yang sebagai berikut :
1
]
1

y
q p
s
X X
r
t
bs
.
2 1
........................(Rumus 11.5)
rbs = Koefisien korelasi biserial
X1, X2 = rata-rata pada jenjang 1 dan 2
st = standar deviasi
p = proporsi
q = 1 p
y = ordinat pada p
Contoh :
Penelitian tentang hubungan antara aktifitas dalam organisasi
kemahasiswaan dengan kepekaan sosial mahasiswa. Variabel aktifitas dalam
berorganisasi (variabel X) dibagi ke dalam 2 jenjang ordinal, yaitu aktif dan tidak aktif.
Variabel kepekaan sosial (variabel Y) berupa skor-skor interval. Data hasil
penelitiannya adalah seperti pada tabel 11.12
Tabel 11.12 : Data Aktivitas dalam Organisasi dan
Kepekaan social Mahasiswa
X Y f
Aktif 9,5 2
9 1
8,5 1
151
8 3
7,5 2
6,5 1
Tidak aktif
6,5 1
6 1
5 3
4,5 2
4 2
3,5 1
Untuk menentukan apakah ada hubungan antara aktivitas dalam
organisasi kemahasiswaan dengan kepekaan social itu kita menganalisis data
tersebut dengan langkah-langkah :
1. Membuat table kerja seperti table 11.13
Tabel 11.13. : Tabel Untuk Korelasi Biserial
X Y f fY fY
2
Aktif
9,5 2 19 180,5
9 1 9 81
8,5 1 8,5 72,5
8 3 24 192
7,5 2 15 112,5
6,5 1 6,5 42,25
Sub Total - 10 82 -
Tidak aktif
6,5 1 6,5 42,5
6 1 6 36
5 3 15 75
4,5 2 9 40,5
4 2 8 32
3,5 1 3,5 12,25
Sub Total - 10 48 -
Total - 20 130 918,5
2. Menghitung rerata kepekaan social kedua kelompok
2 , 8
10
82
1
8 , 4
10
48
2

2
2

,
_



n
fY
n
fY
SD

917 , 1
20
130
20
5 , 918
2

,
_


5 , 0
20
10
1

n
f
p
152
q = 1 p
= 1 - 0,5 = 0,5
y(p = 0,5) = 0,39894...........(lihat tabel ordinat)
Maka koefisien rbs dapat dihitung sebagai berikut:
1
]
1

y
q p
SD
Y Y
r
bs
. 2 1

111 , 1
39894 , 0
5 , 0 . 5 , 0
917 , 1
8 , 4 2 , 8

1
]
1

Di atas telah disebutkan bahwa pada umumnya koefisien korelasi bergerak


dari -1 sampai dengan 1. Tetapi khusus koefisien korelasi biserial dapat terjadi lebih
besar dari 1, seperti halnya dalam contoh di atas. Oleh karena itu untuk menguji
signifikansinya kita tidak dapat begitu saja membandingkannya dengan table nilai-
nilai r, melainkan kita harus melakukannya melalui uji t dengan rumus :
( ) ( )
( )
2
2
2
2
1
2
bs
bs
r
pq
y
n r
pq
y
t
1
]
1

,
_

..............(Rumus 11.6.)
Unsur yang sudah ditemukan di atas dimasukkan ke dalam rumus nilai t maka
diperoleh :
( ) ( )
( )
655 , 3
111 , 1
5 , 0 . 5 , 0
39894 , 0
1
2 20 111 , 1
5 , 0 . 5 , 0
39894 , 0
2
2
2
2

1
]
1

,
_

t
Nilai t sebesar 3,655 disebut t empirik (te) akan kita bandingkan dengan nilai t
teoritik (tt) yang terdapat pada tabel nilai-nilai t (periksa lampiran) untuk memeriksa
tabel nilai-nilai t diperlukan informasi tentang derajat kebebasan (db) dari distribusi
yang kita teliti. Cara untuk memperoleh db dilakukan dengan menggunakan rumus
153
db = n 2, sehingga didapatkan hasil, 20 2 = 18. Pada db = 18 taraf signifikansi
5% didapatkan nilai tt sebesar 2,101 dan pada taraf 1% diperoleh nilai tt sebesar
2,878. Dengan demikian kita bisa melakukan interpretasi bahwa nilai t e sebesar
3,655 telah melampaui nilai-nilai tt. Maka dituliskan :
tt (5% = 2,101) < te (=7,257) > tt (1% = 2,878)
Ini berarti bahwa :
Nilai te = 3,655 adalah lebih besar dari pada nilai tt pada taraf 5% yaitu = 2,101
maupun 1% yaitu = 2,878.
Kesimpulannya adalah :
Ada hubungan yang sangat signifikan antara aktifitas dalam organisasi
kemahasiswaan dengan kepekaan sosial mahasiswa, baik pada taraf 5%
maupun 1% (H1 diterima dan H0 ditolak)
Perlatihan 11.4
1. Dari 40 mahasiswa peserta ujian akhir semester diketahui bahwa 30 orang
yang lulus, mempunyai rerata IQ = 105 dan mahasiswa yang tidak lulus
adalah 95. Simpangan baku IQ dari 40 mahasiswa tersebut adalah 12.
Adakah hubungan antara IQ dengan lulus tidaknya mahasiswa dalam ujian
akhir semester?
2. Sekor tes dari 12 orang responden yang menjawab betul dan 8 oran gyang
menjawab salah pada butir nomor 5 dari suatu uji coba tes adalah sebagai
berikut:
B 20 40 30 25 45 35 28 32 4
3
27 36 42
S 20 25 27 28 35 20 21 15
B = penjawab betul
S = penjawab salah
Berdasarkan data tersebut adakah korelasi antara sekor tes dengan jawaban
betul atau salah pada butir nomor 5 tersebut?
154
H. Korelasi Point Biserial
Teknik korelasi ini digunakan untuk menguji korelasi antara dua kelompok
data yang masing-masing berskala nominal dan berskala interval. Seperti halnya
korelasi serial, jika variabel X (gejala nominalnya) diklasifikasikan menjadi 2
kategori, maka disebut korelasi point biserial, Jika variabel X diklasifikasi menjadi
3 kategori, maka disebut korelasi point triserial, dan jika variabel X diklasifikasi
menjadi 4 kategori, maka disebut korelasi point quartoserial.
Korelasi point biserial banyak digunakan dalam bidang psikologi, dan
dibawah ini akan diberikan rumus serta contoh penggunaannya.
Contoh :
Suatu penelitian terhadap kemampuan bahasa pada 10 pria dan 10 wanita.
Data mengenai kemampuan bahasa dari 20 orang sampel tersebut adalah sebagai
berikut:
Y1 4 5 3 4 3 2 6 5 5 4
Y2 6 5 6 5 5 5 4 3 3 6
Y1 = laki-laki Y2 = wanita
Bagaimanakah kesimpulan dari penelitian tersebut?
Untuk menyelesaikannya dengan korelasi point biserial digunakan rumus:
q p
SD
Y Y
r
tot
pbrs
.
2 1
..................(Rumus 11.7.)
1 Y
= rerata gejala interval dari kelompok 1
2 Y
= rerata gejala interval dari kelompok 2
SDtot = simpangan baku total
p = proporsi individu (salah satu kelompok)
q = 1 p
Untuk menghitung rerata dari kedua kelompok dan simpangan baku, perlu
dibuat tabel seperti tabel 11.14
155
Tabel 11.14. : Kemampuan Bahasa 10 Orang Pria Dan 10 Orang Wanita.
Pria Wanita Total
X1 X1
2
X2 X2
2
X X
2
4 16 6 36
5 25 5 25
3 9 6 36
4 16 5 25
3 9 5 25
2 4 5 25
6 36 4 16
5 25 3 9
5 25 3 9
4 16 6 36
41 181 48 242 89 423
Selanjutnya dihitung :
1 , 4
10
1 . 4
1
1
1


n
X
X
8 , 4
10
8 . 4
2
2
2


n
X
X
. .
5 , 0
10 10
10
2 1
1

n n
n
p
q = 1 p = 1 0,5 = 0,5
2
2
1
1
]
1



N
X
N
X
SD
tot

2
20
89
20
423
1
]
1


= 1,161
q p
SD
X X
r
tot
pbrs
.
2 1


5 , 0 . 5 , 0
161 , 1
8 , 4 1 , 4

pbrs
r
= 0,301
Hasil analisis dengan rumus ini akan selalu sama dengan rumus korelasi product
moment. Oleh karena itu untuk menguji signifikansinya kita dapat menggunakan
table nilai r product moment.
Perlatihan 11.5.
156
1. Berikut ini adalah data prestasi belajar mahasiswa yang tinggal bersama
orang tuanya (X1) dan yang indekost (X2)
X1 3 3 4 2 1 1 0 3 3 4 2 2
X2 2 3 4 1 0 3 3 2
Berdasarkan data tersebut ujilah hipotesis nol yang menyatakan : Tidak ada
hubungan antara tempat tinggal dengan prestasi belajar mahasiswa.
(gunakan taraf signifikansi 5%).
2. Dari penelitian mengenai motivasi untuk sukses pada mahasiswa yang sudah
kawin (X1) dan mahasiswa yang belum kawin (X2) diperoleh dara sebagai
berikut:
X1 10 20 15 12 20 25 30 35 22 30 20
X2 10 15 12 17 18 30 35 15 20 22 25
Berdasarkan data tersebut dapatkah kita menarik kesimpulan bahwa ada
korelasi antara status perkawinan dengan motivasi untuk sukses pada
mahasiswa?
157

You might also like