You are on page 1of 19

BAB II DASAR TEORI

2.1 Pengertian Umum Lumpur Pemboran Fluida pemboran menurut API (American Petroleum Institute) didefinisikan sebagai suatu fluida sirkulasi dalam operasi pemboran berputar yang memiliki banyak variasi fungsi, dimana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap optimumnya operasi pemboran. Oleh karena itu, sangat menentukan keberhasilan suatu operasi pemboran. Fluida pemboran merupakan fluida non-newtonian yang artinya fluida yang mempunyai viskositas tidak konstan, yaitu viskositasnya tergantung dari besarnya shear rate yang terjadi. Pada setiap shear rate tertentu, fluida mempunyai viskositas yang disebut apparent viscosity (viskositas semu). Lumpur pemboran harus didesain sesuai tekanan pada formasi yang ditembus, selain itu sifat-sifat lumpur harus diperhatikan karena lapisan-lapisan atau formasi-formasi yang akan ditembus oleh lumpur bermacam-macam atau berubah-ubah maka sifat-sifat lumpur harus disesuaikan dengan cara menambahkan zat kimia yang sesuai. Lumpur berbahan dasar air sangat baik digunakan selama operasi pemboran, selain memiliki nilai ekonomis, lumpur berbahan dasar air mudah dicampurkan dengan aditive lainnya, sehingga memungkinkan lumpur dapat mengatasi masalah-masalah pemboran.

10

Di samping memiliki kelebihan, lumpur berbahan dasar air pun memiliki kekurangan-kekurangan dalam realisasinya, khususnya ketika pemboran menembus zona batuan shale. Air tidak bersifat clay blocking yang berarti mudah untuk didispersikan oleh mineral clay, sehingga dapat menyebabkan masalah-masalah baru ketika

pemboran berlangsung, seperti bit balling, rekah formasi, differensial pipe sticking, lost circulation maupun problem kick yang disertai blow out apabila tidak segera ditangani. Air memiliki densitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fluida pemboran lainnya, sehingga akan menghasilkan tekanan hidrostatis yang tinggi pula. Akibat tekanan hidrostatis yang tinggi, sebaiknya pemompaan lumpur dilakukan pada rate yang relatif lebih rendah dari biasanya untuk menghindari rekah formasi. Untuk mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi hendaknya

dilakukan mud practise maupun drilling practise yang tepat serta sirkulasi yang intensif. Lumpur Pemboran (Drilling Fluid) dikatakan baik bila mempunyai sifat-sifat yang dapat memberikan laju aliran (Flow Rate) yang dibutuhkan untuk membersihkan dasar lubang sumur dengan kekuatan yang sesuai, meliputi kebutuhan WOB (Weight On Bit), RPM (Revolution Per Minute) dan ROP (Rate Of Penetration) dalam operasi pemboran. Secara umum lumpur pemboran mempunyai tiga komponen atau fasa, yaitu:

11

1. Fasa cair Fasa cair dalam lumpur pemboran dapat berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, air tawar dan air asin. Penamaan lumpur berdasarkan fasa cair yang dominan. Bila lebih dari 80% fasa cairnya air, lumpur disebut water base mud. Istilah oil base mud digunakan bila minyaknya lebih dari 95%. Invert emulsions atau emulsion mud mempunyai komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinue) dan air 30-50% (sebagai fasa terdispersi). 2. Fasa Padat Fasa ini terdiri dari partikel padatan atau butir-butir cairan yang berada di dalam fasa cair. Fasa padat dibedakan menjadi dua, yaitu: Reactive solids (Koloidal) Reactive solids adalah padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid. Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloid. Padatan reactive yang sering

digunakan adalah bentonite yang menyerap air. Dalam hal ini bentonite mengabsorp air tawar hingga kenaikan volumenya sampai sepuluh kali, yang disebut swelling atau hidrasi. Inert Solids Inert solids adalah komponen padat yang tidak bereaksi terhadap sistem lumpurnya atau komponen pemberat, seperti barite. Inert solid dapat pula berasal dari formasi-formasi yang

12

dibor dan terbawa sirkulasi lumpur, seperti pasir. Padatan seperti ini digunakan untuk menaikkan densitas lumpur. 3. Fasa kimia Zat kimia atau aditive komponen penting dalam mengontrol sifat-sifat lumpur, secara fisik maupun secara kimia. Banyak sekali zat kimia yang digunakan sebagai viscosifier, sumber alkalinity, pengurang filtrate dan mud cake. Material yang digunakan sebagai viscosifier misalnya bentonite dan XCD Polimer, sedangkan material yang digunakan sebagai sumber alkalinity lumpur adalah KOH.

2.2 Jenis-Jenis Lumpur Pemboran Jenis-jenis lumpur pemboran yang biasa digunakan dalam operasi pemboran adalah : 2.2.1 Fresh Water Mud Jenis lumpur ini yang fasa cairnya air tawar dengan kadar garam kecil (kurang dari 10000 ppm = 1% berat garam). Umumnya dilakukan perawatan ringan (Lightly Treated) atau tanpa dilakukan perawatan apapun (Untreated) mempunyai fase cairnya air dengan sedikit kandungan solid, nilai pH berkisar antara 7,0 9,5.

13

2.2.2 Salt Water Mud Jenis lumpur ini dengan bahan dasar garam untuk membor pada formasi garam massive/salt dome atau lapisan formasi garam. Filtrate lossnya besar dan mud cakenya tebal bila tidak ditambah organic colloid, pH lumbur dibawah 8, oleh karena itu perlu preservative untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite. 2.2.3 Oil Base dan Oil Base Emulsion Mud Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyuny. Karena filtratenya minyak, sehingga tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik pada formasi biasa ataupun formasi produktif. Kegunaan terbesar adalah pada saat

completion dan workover sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit dan mempermudah

pemasangan casing maupun liner. Kadar air di OBM tergntung dari OWR yang dipakai, kadang ada yang mencapai 18%. Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk menghindari kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan bahaya api berkurang. Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fase continue dan air sebagai fase tersebar. Umumnya oil base emulsion mud

14

mempunyai manfaat yang sama seperti oil base mud, yaitu filtratnya minyak sehingga tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base mud adalah bahwa air yang ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung densitas dan temperature yang diinginkan. Karena air merupakan bagian dari lumpur ini, maka lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain dari oil base mud yaitu dapat mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan pengontrolan flow propertisnya dapat seperti pada water base mud. 2.2.4 Oil in Water Emulsion Mud (Emulsion Mud) Jenis lumpur ini terdiri dari fasa yang tersebar sedangkan air merupakan fasa kontinyu. Air juga merupakan filtrate. Sebagai bahan dasar bisa digunakan baik fresh maupun salt water muds. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrate, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah diemulsifikasi, filtrate loss berkurang. Keuntungan adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drill string, perbaikan pada sifatsifat lumpur (viscositas dan tekanan pompa boleh atau dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun, mud cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya bit oleh padatan lumpur yang akan menyebabkan pipa terjepit). Viscositas dan gel lebih mudah

15

dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner (pengencer). 2.2.5 Gaseous Drilling Fluids Lumpur ini bahan dasarnya adalah udara kering dan digunakan pada formasi kering/keras. Lumpur bisa juga

merupakan aerated drilling mud artinya pencampuran antara air dan udara/gas. Lumpur jenis ini biasanya digunakan dalam underbalanced drilling (pemboran dengan tekanan formasi lebih tinggi dari pada tekanan fluidanya). Keuntungan menggunakan lumpur ini adalah penetration rate lebih besar sehingga pemboran dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling yang merugikan. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zonazona dengan tekanan rendah.

2.3 Sifat-sifat Fisik Lumpur Pemboran 2.3.1 Densitas (Berat Jenis) Berat jenis lumpur pemboran sangat besar pengaruhnya dalam mengontrol tekanan formasi, sebab dengan naiknya berat jenis lumpur maka tekanan lumpur akan naik pula. D=
W .......................Persamaan 2.1 V

Dimana : D = Berat jenis lumpur (ppg) W = Berat lumpur (lb)

16

V = Volume lumpur (gallon) Tekanan hidrostatik lumpur didefinisikan sebagai per satuan luas yang secara matematis dinyatakan sebagai berikut : Ph = 0.052 x h x D ........Persamaan 2.2 Dimana : P = Tekanan hidrostatik lumpur (psi) h = Tinggi kolom lumpur (ft) D = Berat jenis (ppg) Densitas lumpur bor merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat penting karena sebagai penahan tekanan formasi. Adanya densitas lumpur bor yang terlalu besar akan

menyebabkan lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedangkan apabila terlalu kecil akan menyebabkan kick. Maka densitas lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang akan dibor. 2.3.2 Viscositas Viscositas adalah tahanan fluida terhadap aliran,

viscositas disini juga berhubungan dengan plastic viscosity, yield point dan gel strength. Jadi jelas sekali bahwa viscositas memegang peranan penting di dalam proses pengangkatan dan menahan cutting di dalam lubang bor. Viscositas akan naik selama pemboran karena hasil pemboran berupa inert solid yang bersatu dengan lumpur, jika kenaikan viscositas memberikan harga yang terlalu besar dari

17

yang dikehendaki maka lumpur dapat ditambah air atau bahan kimia untuk menurunkan viscositas. Viscositas lumpur ini harus dikontrol agar tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Viscositas yang terlalu besar akan mengakibatkan : Penetration rate turun. Pressure loss besar. Pressure surge yang berhubungan dengan loss circulation dan swabbing yang berhubungan dengan blow out. Sukar melepaskangas dan cutting di permukaan. Torsi untuk memutar drill string besar. Tenaga pompa yang besar. Sedankan viscositas lumpur yang terlalu rendah akan

menyebabkan Pengangkatan cutting tidak baik. Material pemberat lumpur akan terendapkan 2.3.3 Gel Strength Diwaktu lumpur bersirkulasi besaran yang berperan adalah yield point, sedangkan diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength. Lumpur akan menjadi gel saat tidak ada sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh gaya tarikmenarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Diwaktu lumpur berhenti bersirkulasi, lumpur harus mempunyai gel strength yang dapat menahan cutting dan

18

material pemberat lumpur agar tidak turun, sehingga padatan tidak menumpuk dan mengendap di annulus, dan mencegah pipa terjepit. Akan tetapi, jika gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat kerja lumpur untuk memulai sirkulasi kembali. Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh mempompakan lumpur dengan daya yang besar karena formasi bisa pecah. 2.3.4 Yield Point Bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarikmenarik antar partikel. Jadi yield point merupakan angka yang menunjukkan shearing stress yang diperlukan untuk

mensirkulasikan lumpur kembali. Dengan kata lain lumpur tidak akan dapat disirkulasi sebelum diberikan shearing stress sebesar yield point. Secara sederhana yield point dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu lumpur untuk mengikat cutting ketika sirkulasi berlangsung. Yield Point sangat penting diketahui untuk perhitungan hidrolika lumpur, dimana yield point mempengaruhi hilangnya tekanan diwaktu lumpur sirkulasi. Untuk menentukan harga plastic viscosity (p) dan yield point (Yp), yaitu :

600 300 atau p C 600 C300 Persamaan 2.4 600 300

Yp C300 p .....Persamaan 2.5

19

Dimana : p Yp

= plastic viscosity (cp) = yield point Bingham (lb/100ft2)

C600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat C300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat 2.3.5 Filtrasi dan Mud Cake Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous, batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan yang memungkinkan fluida dan partikel-partikel kecil

melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut disebut filtrate, sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan dipermukaan batuan disebut filter cake. Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran maupun dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis merupakan bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar sedangkan filtratenya akan menyusup ke formasi dan dapat menimbulkan damage (kerusakan) pada formasi. Alat yang digunakan untuk menentukan filtration loss adalah Filtration Loss LPLT.

20

2.3.6 pH Lumpur pH dipakai untuk menentukan derajat keasaman dari lumpur bor. pH dari lumpur yang dipakai berkisar 8.5 12. Jadi lumpur bor yang digunakan adalah dalam suasana basa karena polimer-polimer dalam lumpur akan mudah larut jika dalam kondisi basa selain itu jika lumpur dalam kondisi asam hal ini akan menyebabkan peralatan yang dilalui lumpur akan menjadi korosif. Alat untuk menentukan pH lumpur, dapat kita gunakan pH meter.

2.4 Jenis-jenis Water Base Mud 2.4.1 Spud Mud Spud mud digunakan untuk memberi formasi bagian atas bagi conductor casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang di permukaan (formasi atas). Volume yang digunakan biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonite (yield 100bbl/ton) atau clay air tawar yang lain (yield 35-50 bbl/ton). Tambahan bentonite atau clay perlu dilakukan untuk menaikkan viscositas dan gel strength bila membor pada zona-zona loss. Kadang-kadang perlu lost circulation material. 2.4.2 Natural Mud Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fase cair. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang

21

dibor. Umumnya tipe lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing. Dengan

bertambahnya kedalaman pemboran, sifat-sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini di treated dengan zatzat kimia dan aditif-aditif koloid. 2.4.3 Bentonite Treated Mud Mencakup sebagian besar dari tipe-tipe lumpur air tawar. Bentonite adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat colloid inorganic untuk mengurangi filter loss dan mengurangi tebal mud cake. Bentonite juga menaikkan viscositas dan gel yang mana dapat dikontrol dengan thinner. Thinner ini untuk mengontrol sifat thixotropis yang dimiliki oleh bentonite. 2.4.4 Phosphate Treated Mud Mengandung polyphosphate untuk mengontrol viskositas dan gel strength. Penambahan zat ini akan berakibat pada terdispersinya farksi-fraksi clay colloid padat sehingga densitas lumpur dapat cukup besar tetapi viscositas dan gel stenghtnya rendah. Ia mengurangi filter loss serta mud cake dapat tipis. Tannin sering ditambahkan bersama-sama dengan

polyphosphate untuk pengontrolan lumpur. Polyphosphate tidak stabil pada temperatur tinggi (sumursumur dalam) dan akan kehilangan efeknya sebagai thinner

22

(polyphosphate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi). Juga polyphosphate mud sukar dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang sering berhubungan dengan pemboran dalam). Dengan penambahan-penambahan zat kimia air, densitas lumpur dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphosphate mud juga menggumpal bila terkenan kontaminasi NaCl, calcium sulfate atau kontaminasi semen dalam jumlah banyak. 2.4.5 Ionic Colloid Treated Mud Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethilecellulosa pada lumpur. Karena koloid organik tidak selalu sensitif terhadap flokulasi seperti clay, maka pengendalian filtrasinya pada lumpur yang terkontaminasi dapat dilakukan dengan koloid organik ini baik untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud. Dalam kebanyakan lumpur penurunan filtration loss lebih banyak dilakukan dengan koloid organik dari pada inorganic. 2.4.6 Red Mud Red mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan oleh treatment dengan soda kaustik dan quabracho (merah tua). Istilah ini akan tetap digunakan walaupun namanama koloid yang dipakai sekarang ini mungkin menyebabkan warna abu-abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan humic thinner selain untuk tannin

23

alkalinitas. Suatu jenis lain lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphosphate untuk lumpurlumpur dengan pH dibawah 10. Perbandingan alkaline, organik, dan polyphosphate dapat diatur sesuai dengan kebutuhan setempat. Alkaline-alkaline treated mud mempunyai range pH 8-13. Alkaline tannate denngan pH kurang dari 10 sangat sensitif terhadap flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH maka lebih sukar unrtk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinizied starch dapat digunakan tanpa bahaya fermentasi. Dibawah pH ini, preservative harus digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan treatment yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH yang tingginya 12 atau lebih. 2.4.7 Calcium Mud Lumpur ini mengandung larutan kalsium (disengaja). Kalsium bisa ditambah dalam bentuk slaked lame (kapur mati), semen, plaster (CaSO4) dipasarkan atau CaCl2 tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydrite dan gypsum. Calcium Mud dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

24

a. Lime Treated Mud Lumpur ini di treated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrate lime dan untuk mendapat filter loss rendah, suatu koloid organik. Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih dan 60-100 (3-20 epm) ppm ion Ca dalam filtrate. Lumpur ini menghasilkan viscositas dan gel strength rendah, memberi suspensi yang baik bagi material-material pemberat, mudah dikontrol pada densitas sampai 20 ppg, toleran tehadap konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif besar dan mudah dibuat dengan filter loss rendah. Keuntungannya terutama pada kemampuan untuk membawa padatan clay dalam jumlah besar pada viskositas lebih rendah dari pada dengan tipetipe lumpur lainnya. Kecuali tendensinya untuk memadat pada temperatur tinggi, lumpur ini cocok untuk pemboran dalam dan untuk mendapatkan densitas tinggi. Pilot test dapat dibuat untuk menentukan tendensinya untuk

memadat, dan dengan penambahan zat kimia pemadatan ini dapat dihalangi untuk sementara waktu untuk memberi kesempatan pemboran berlangsung beserta tes-tes

sumurnya. Suatu lumpur lime treated yang bertedensi memadat tidak boleh tertinggal pada casing-tubing annulus pada waktu well completion dilangsungkan.

25

Penggunaan/penyelidikan yang extensive pada tipe lumpur lime treated ini menghasilkan variasi-variasi lumpur yang ditujukan pada lumpur yang sukar memadat. Dengan ini timbul dua jenis lain, yaitu lime mud dan low lime mud yang bedanya hanya pada jumlah excess limenya. Lime Mud umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime yang tinggi, dengan excess lime bervariasi antara 5-8 lb/bbl, sedangkan low lime mud mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan excess lime 2-4 lb/bbl. Jenis calcium treated mud yang lain adalah shale control mud. Pada lumpur ini dianjurkan agar kadar ion Canya pada filtrate dibuat minimal 400 ppm, dengan excess lime bervariasi antara 1-2 lb/bbl. Sifat kimia lumpur dan filtrate memberikan suatu tahanan terhadap hidrasi/swelling shale dan clay formation. Pada temperatur tinggi (yang cukup lama waktunya) lumpur tidak sesuai untuk

ditempatkan pada casing tubing. Annulus waktu completion (dimana lumpur ini akan memadat). Resistivitas listriknya yang umumnya rendah (0,51,0 ohm-meter) merugikan SPlogging, sebaliknya toleransinya pada kontaminan memberi kerugian untuk penambahan garam agar resistivitasnya sesuai untuk laterolog dan focused electrode log.

26

b. Gypsum Treated Mud Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum, terutama bila formasinya interbedded (selangseling) dengan garam dan shale. Treatmentnya adalah dengan ,mencampur base mud (lumpur dasar) dengan plaster (CaSO4 dipasaran) sebelum formasi anhydrite dan gypsum dibor. Dengan penambahan plaster tersebut pada rate yang terkontrol, maka viscositas dan gel strength yang berhubungan dengan kontaminan ini dapat dibatasi. Setelah clay dilumpur bereaksi dengan ion Ca, tidak akan terjadi pengentalan lebih lanjut dalam pemboran formasi gypsum atau garam. Gypsum treated mud dapat dikontrol filtrate lossnya dengan organic colloid dan karena pH-nya rendah, maka presentative harus ditambahkan untuk mencegah fermentasi. Preservasi ini boleh dihentikan penambahannya bila garam yang dibor cukup untuk meberikan saturated salt water mud. Suatu modifikasi dari gypsum treated mud adalah dengan penggunaan chrome lignosulfonate deflocculant yang memberikan kontrol pada karakteristik flat gels pada lumpur tersebut. Lumpur gypsum chrom lignosulfonate ini mempunyai sifat yang sama baiknya dengan lime treated mud. Penggunaan non-ionic surfactant dalam gysum chroms

27

lignosulfonate mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada filtrate loss dan flow propertiesnya, selain toleransinya yang besar terhadap kontaminasi garam. c. Calsium Salt Selain hydrated lime dan gypsum telah digunakan tetapi tidak meluas. Juga zat-zat kimia yang memberikan supply cation multivalent untuk base exchange clay

(pertukaran ion-ion pada clay), seperti Ba(OH)2 telah digunakan. 2.4.8 Lignosulfonate Mud Jenis lumpur ini terdiri dari air tawar (air asin), bentonite, chrome free lignosulfonate, caustic soda, CMC atau starch stabil. Material optimal seperti lignite, lubricant dan surfactant dapat digunakan. Lumpur ini berfungsi sebagai thinner

(pengencer). Pertimbangan menggunakan lumpur ini adalah : 1. Toleransi tinggi pada kontaminasi oleh padatan bor seperti garam, anhydrite, gypsum dan semen. 2. Filtrate loss rendah. 3. Dengan konsentrasi tinggi dapat bersifat dispersive dan inhibitif. 4. Kelemahan dari lumpur ini adalah bersifat mendispersif yang cukup tinggi akan menimbulkan masalah baru pada sistem lumpur.

You might also like