You are on page 1of 9

1

HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (KAJIAN SOSIO-HISTORIS HUKUM ISLAM) (Oleh: Badrut Tamam) A. Latar Belakang Telah lama Rasulullah mempredeksi bahwa ilmu waris disebut juga ilmu faraid adalah ilmu yang pertama kali tak berfungsi dan dilupakan umat Islam. Rasulullah bersabda, belajarlah ilmu faraid dan ajarkan kepada orang lain. Ilmu faraid adalah separuh ilmu Islam. Ia adalah ilmu yang pertama kali akan dilupakan dan terhapus dalam komunitas Islam. Di riwayat lain Rasulullah bersabda, ilmu hanya ada tiga, selainnya hanya anjuran saja. Yaitu, ilmu tentang ayat muhkam dalam kitab suci, hadits Nabi Muhammad, dan ilmu faraid yang adil (faridhatun adilatun). Apa yang diprediksi Islam, pembagian Nabi waris itu belakangan Indonesia, Islam. makin banyak Berbagai menemukan yang tak penelitian pembenaran. memperhatikan Publik terutama

dalam

menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia lebih menyukai pembagian waris dalam hukum perdata sekuler ketimbang hukum waris dalam Islam. Bahkan, tak sedikit tokoh-tokoh Islam yang meninggalkan pembagian waris menurut hukum Islam. Ini, salah satunya, karena formulasi pembagian waris dianggap bertentangan dengan semangat kesederajatan laki-laki dan perempuan, semangat modernitas yang nyaring disuarakan belakangan. Salah satu yang kerap menimbulkan pro kontra menyangkut hukum waris Islam adalah ketentuan 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Menghadapi kenyataan ini, para ulama Indonesia terlibat dalam sikap pro dan kontra. Pertama, ulama yang ingin tetap konsisten menerapkan ketentuan 2:1 tersebut dengan mengacuhkan pembagian sama rata yang diterapkan hukum perdata sekuler. Menurut mereka, apa yang ditetapkan secara harfiah dalam al-Quran tak bisa dibantah. Ketika al-Quran sudah menetapkan aturan apalagi dengan menyebut angka, maka ia tak boleh diambil pengertian lain. Angka itu tak boleh diubah dengan dinaikkan atau diturunkan. Tapi, sejauh yang bisa dipantau umat Islam yang mengikuti ulama pertama ini adalah sangat sedikit. Kedua, ulama yang coba memperbaharui makna hukum waris Islam itu. Menurut mereka, hukum waris tak boleh dilihat dari angka-angka yang

ditetapkan, melainkan dari semangat keadilan yang tersimpan di balik angka itu. Dengan demikian, bagi kelompok kedua ini, tak masalah sekiranya formula 2:1 itu diubah. Perdebatan ini sangat perlu untuk dikaji, mengingat betapa krusialnya peran kewarisan dalam menentukan pranata kehidupan sosial masyarakat islam di dunia. Untuk itu, penulis akan mengkaji bagaimana perkembangan hukum waris anak perempuan dalam Islam. Penelitian ini lebih penulis fokuskan pada perdebatan sosio-historis dalam bentangan sejarah hukum islam, yang ikut serta menentukan pola produk hukum mengenai hak waris anak perempuan dalam Islam. Sehingga dari sini, dapat dicapai tesis dan antitesis berupa simpulan kesejarahan, yang dapat diteruskan pada prediksi proyektif terhadap hukum waris anak perempuan dalam Islam pada masa yang akan datang. B. Rumusan Masalah Beberapa rumusan yang akan penulis angkat dalam pembahasan ini ialah: 1. Bagaimana Perkembangan Hak Waris Anak perempuan dalam bentangan kesejarahan hukum Islam. 2. Apa faktor sosio-historis yang ikut menentukan pola perkembangan hak waris anak perempuan dalam Islam 3. Bagaimana prediksi ke depan mengenai hak waris anak perempuan dalam Islam. C. Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan Pelacakan terhadap perkembangan hak waris anak perempuan dalam Islam, secara mandiri, kami bagi menjadi dua periode, 1) periode klasik, yakni dengan pengkajian terhadap kitab-kitab fikih klasik, 2) periode kontemporer, yakni ketika kitab-kitab klasik tersebut mulai dipersoalkan, dalam hal ini terutama masalah isu-isu tentang perempuan, termasuk di dalamnya hak waris anak perempuan. Hasil pelacakan referensial, untuk periode klasik, menunjukkan bahwa hak waris anak perempuan ketika bersamaan dengan anak laki-laki, ialah 2 di banding 1.1 Dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak
1

Data ini penulis peroleh dari beberapa kitab 4 mazhab, yaitu, 1) mazhab hanafiyah, di

perempuan. Ketetapan hukum ini masih dipertahankan dan disepakati oleh para ulama sejak abad ke dua hijriyah, masa kitab-kitab fikih mulai dikembangkan, perdebatan. Pada periode kontemporer, banyak yang keberatan, terutama kaum perempuan, terhadap kitab-kitab fikih, dengan alasan karena masyarakat sudah berubah, dengan demikian beberapa ajaran fikih itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan.2 Beberapa di antara tema-tema yang digugat ialah seperti; 1) fikih perkawinan yang memberikan hak-hak suami jauh lebih besar dibanding hak perempuan, 2) fikih waris yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki, yaitu 2;1, dan 3) fikih politik yang membatasi hak-hak perempuan untuk berkarier di dunia politik. Karya-karya ulama fiqih dinilai oleh para feminis sudah tidak relevan lagi, karena masyarakat sedemikian jauh telah berubah.3 Selanjutnya tertuju pada permasalahan yang dibahas, perkembangan hukum waris anak perempuan pada masa ini terjadi perubahan dari 2:1 ke sebuah tawaran sekaligus gugatan oleh kaum feminis, yaitu kesetaraan hak waris laki-laki dan perempuan, dengan kata lain yaitu 1:1. hingga dipersoalkannya kerelevansian kitab-kitab klasik tersebut, sekitar abad 14 hijriyah. Sejak itu, keputusan ini terus menuai

antaranya ialah; Abdullah ibn Mahmud al-Mushili, al-Ikhtiyar li tahlil al-Mukhtar, Juz 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2005), h. 105, Zain al-Din Ibn Ibrahim ibn najim al-Mishry, al-Bahr alRaiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Juz 8 (Beirut: Dar al-Marifah, tt), h. 563, Abu Bakr Ibn Ali Ibn Muhammad al-Zubaidy, al-Jauharoh al-Niroh, Juz 6, tt., h. 249, Muhammad ibn Muhammad albabarty, al-Inayah Syarh al-Hidayah, juz 6, tt.,, h. 247. 2) Mazhab Maliki, di antaranya yaitu; Abdurrahman ibn Muhammad ibn Askar Syihab al-Din al-Baghdady, Irsyad al-salik ila Asyraf alMasalik, Juz 1 , tt., h. 303, al-Qurtuby, al-Bayan wa al-Tafshil wa al-Taujih wa al-talil li Masail alMustakhrojah, Juz 12 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, 1988), h. 238, Abu abdillah Muhammad ibn Yusuf al-abdary, al-Taj wa al-Iklil, juz 13, tt, h. 103, Abu Muhammad abd al-Wahhab ibn Ali al-tsalaby, al-Talqin fi Fiqh al-Maliky, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), h. 223, Shalih ibn abd al-sami al-Aby al-Azhary, al-Tsamr al-Dany fi Taqrib al-Maany Syarh Risalah Ibn Abi Zaid al-Qoirwany, Juz 1, (Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.) h. 631. 3) Madzhab Syafiiy, di antaranya adalah; al-Syafiiy, al-Umm, juz 7 (Beirut: Dar al-marifah, 1393 H), 179, alNawawy, al-Majmu Syarh al-Muhaddzab, Juz 16, tt., h. 68, al-Bujairami, Hasyiah al-Bujairami ala al-Minhaj, Juz 11, tt., h. 55, al-Ramly, Hasyiah al-Ramli ala Asna al-Mathalib, Juz 3, tt., h. 5, dan 4) Mazhab Hanbali, di antaranya adalah; al-Bahuty, al-Rauld al-Murabba Syarh Zad alMustaqna, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) , h. 303, Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, Juz 6, tt. h. 207, al-Utsaimin, Syarh al-Mumatta ala Zad al-Mustaqna , Juz 11, tt. h. 275. 2 Di antara para penggugat ialah Fatimah Mernisi dalam bukunya al-Shulthanat alMunsiyyat: Nisa Raisat Dawlah fi al-Islam, Rifaat hasan dalam karyanya The Issue Of Gender Equality in The Context of Creation in Islam, Qasim Amin dalam karanya Tahrir al-Marah dan al-marah al-jadidah. Lihat juga Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Alquran, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2001), h. 293-294. 3 Proses perkembangan ini diuraikan lebih jelas di dalam, Valentine M. Moghadam, Moderning Women, Gender and Social Change in the Middle East, Kairo: The American University in Cairo Press, 1994. Lihat Pula Louis Back and Nikki Keddie (eds), Women in the Muslim World, Massachusetts: harfard University Press, 1978.

D. Analisa Faktor Sosio-Historis Tesis Kitab-kitab fikih mulai dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Umayah dan Abbasiah. Menarik diperhatikan bahwa ketika Muawiyah ibn Abi Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali ibn Abi Thalib, maka pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Kota Damaskus dalam sejarah klasiknya pernah berada di bawah kekuasan Romawi Bizantium. Hukum-hukum dan tradisi hidup di dalam masyarakat tersebut masih banyak dipengaruhi oleh hokum-hukum dan tradisi Romawi yang sangat bias jender. Seorang penguasa di daerah ini masih lumrah memiliki harem-harem atau gundit. Hak-hak politik dan hak-hak public perempuan masih sangat ketinggalan jika dibanding dengan hak-hak perempuan yang diperoleh perempuan di kota Madinah. Bahkan dalam mitologi Yunani perempuan seolah-olah dianggap sebagai makhluk setengah manusia, tidak boleh mendekati rumah ibadah, dan dianggap sebagai makhluk yang terkutuk. 4 Salah satu objek perhatian Muawiyah di Damaskus ialah menerima pengaduan dari kaum perempuan yang merasa hak-haknya tidak pernah diindahkan. Muawiyah berusaha memperbaiki hak-hak perempuan dengan cara memperkenalkan hokum-hukum syariah di dalam masyarakat. Muawiyah dilaporkan mempunyai tempat duduk khusus di dalam masjid untuk melayani keluhan anggota masyarakat lemah, termasuk di antaranya kaum perempuan. Setela selesai pengaduan mereka, barulah beranjak ke kursi istananya untuk melayani anggota kerajaan dan masalah-masalah politik.5 Hal ini menunjukkan bahwa dunia perempuan di Damaskus belum semaju dengan perempuan di Madinah. Mungkin dalam bidang-bidang tertentu kota ini mencapai kemajuan tetapi khusus mengenai martabat perempuan tidak ditemukan catatan sejarah yang menggembirakan bagi perempuan. Ini dapat dimengerti karena budaya helenisme memang kurang bersahabat dengan perempuan. Dalam tradisi misoginis inilah kitab-kitab fikih mulai dibukukan. Ketika Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dari bani Muawiyah, maka pusat kerajaan diboyong ke Baghdad. Kota ini bersebelahan dengan Kteisfon, yang pernah menjadi basis pemerintahan kerajaan Persia. Baghdad sendiri
4 Lihat Abbas Kararah, Al-Din wa al-Marah, Mesir:T.pn, 1337H., h. 134. Bandingkan dengan Luther H. Martin, Hellenistic Religion, New York:Oxford University Press, 1987, h. 58-84. 5 Lihat Masudi, Muruj al-Zahab, Jilid III, Beirut: Dar al-Maarif, 1998, h.h.

pernah menjadi wilayah Persia. Hokum dan tradisi yang hidup (living law) kota Baghdad masih banyak dipengaruhi oleh tradisi di Persia yang juga bias gender. Dominasi laki-laki di dalam masyarakat tercermin dalam pemberian peran utama kepada laki-laki. Tradisi harem yang dulu sudah mulai tidak popular di Madinah seolah-olah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kerajaan Abbasiyah. Ibn Hazm melaporkan bahwa di antara semua khalifah Bani Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang merupakan putra seorang wanita merdeka, bahkan di antara dinasti Amawiyah di Andalusia tidak seorang pun berasal dari perempuan merdeka.6 Sehubungan dengan inilah Leila Ahmed menyatakan bahwa tradisi Bizantium dan Sasania, dua tradisi memberikan pengaruh penting dalam sejarah tradisi Islam.7 Selanjutnya, hokum-hukum dan tradisi yang hidup di dalam masyarakat, tidak bisa dipisahkan dengan suatu karya. Seorang penulis bisa disebut sebagai anak zamannya. Para fuqaha yang menyelesaikan karyakaryanya tidak mudah melepaskan diri dengan kondisi objektif nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya, betatapun moderatnya penulis tersebut. Karena itulah, pembakuan kitab-kitab fikih yang disusun dalam suatu masyarakat yang bias jender, sudah barang tentu akan menimbulkan masalah di dalam masyarakat, terutam jika masyarakat itu sudah demikian jauh berubah dan berbeda dengan kondisi objektif ketika kitab fikih itu disusun. Berkembang ke kondisi sosiologis selanjutnya, bahwa bias jender pada dekade terakhir ini semakin menipis, para kaum perempuan mulai dan banyak yang mendapatkan peran publik dan mencari nafkah secara mandiri. Hal ini menjadi alasan sosiologis para penggugat untuk merubah ketentuan waris ke 1:1. Dengan dalih bahwa Formula pembagian waris dua banding satu untuk seperti tidak bersifat mutlak, pembagian bisa berubah menjadi satu banding rata) dengan melihat Jika kasusnya yang bersifat situasional telah berubah keadilan. kondisi masyarakat satu (sama

mencerminkan

banyak perempuan yang telah bekerja, bahkan laki-laki/suaminya dan perempuan. Meskipun ayat mengenai bagian waris

tidak bekerja maka pembagian waris cenderung satu banding satu untuk anak laki-laki

6 Lihat Ibn Hazm al-Andalusi, Niqat al-Arus fi Tawarikh al-Khulafa dalam al-Rasail, Beirut: Al-Muassasah al-Arabiyyah li Dirasat wa Nasyr, 1981, h. 104. Lihat pula Fatima Mernisi, The forgotten, h. 57. 7 Lihat Leila Ahmad, Women and Gender in Islam, New Haven & London: Yale University Press, 1978, h. 4-5.

anak laki-laki dan perempuan bersifat sharih akan tetapi dimungkinkan untuk melakukan ijtihad terhadap ketentuan tersebut demi terpenuhinya keadilan masyarakat. Antitesis Dalam realitas kehidupan masyarakat telah banyak perempuan yang bekerja untuk memenuhi keluarga, bahkan di jabatan penting pada antara mereka menduduki lembaga pemerintahan maupun swasta. Meskipun

demikian tanggung jawab syari dalam hal nafkah tetap berada pada pihak laki-laki, sehingga ketentuan hukum waris yang berlaku pun tetap dua banding satu untuk anak laki-laki dan perempuan. Muhammad Rasyid hukum adalah waris Islam dua Ridha menjelaskan untuk bahwa hikmah pembagian perempuan memberi sendiri, laki-laki, untuk mereka dengan banding satu anak laki-laki dan

memberikan

kewajiban adalah

kepada laki-laki hak penuh sama

nafkah kepada perempuan dan anak-anak, sementara harta yang diperoleh pihak perempuan melalui waris sehingga bagian perempuan boleh dikatakan

bahkan mungkin lebih banyak sesuai dengan kedudukan mereka dalam peringkat ahli waris.8 Muhammad praktek banyak Amin Suma menegaskan menjadi bahwa meskipun dalam kehidupan perempuan yang tulang punggung

ekonomi sebuah keluarga, hal tersebut merupakan kenyataan sosiologis yang terjadi dan bukan tuntutan apalagi tuntutan hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan kerelaan kaum perempuan itu sendiri yang sama sekali tidak dilarang dalam hukum Islam. Namun demikian partisipasi aktif kaum perempuan dalam menyejahterakan ekonomi keluarga tidak secara otomatis harus mengubah hukum waris Islam menjadi satu berbanding satu.9 Meskipun kondisi sosial budaya Arab saat ayat waris diturunkan berbeda dengan kondisi Indonesia sekarang tetapi ketentuan dua banding satu diperuntukkan bagi umat Islam secara keseluruhan dan bukan hanya untuk bangsa Arab. Itulah kebenaran hakiki, penyimpangan dari ketentuan itumungkin dirasa adil tetapi keadilannya tidak berdasarkan kebenaran hakiki.
8 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 14-15. 9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. , h. 124

E. Simpulan Kesejarahan Analisa faktor sosio-historis di atas dapat ditarik suatu simpulan kesejarahan sebagai berikut: 1. Tesis a. Kitab-kitab fikih klasik dikodifikasikan pada masa yang bias jender, sehingga dianggap menghasilkan fikih yang patriatik. b. Kondisi sosio-historis ketentuan waris 2:1 terjadi pada masa yang bias jender, baik faktor publik, yaitu perempuan tidak begitu berperan dalam ranah publik, maupun ekonomik, yaitu belum banyak wanita yang bekerja untuk mencari nafkah. c. Dikatakan, ketentuan 2:1 sebagai jawaban terhadap kondisi sosiohistoris masyarakat Arab yang sama sekali tidak memberi hak waris pada kaum perempuan. Ini merupakan pertanda adanya turunya ayat waris sesuai dengan konteks masa itu. Sehingga ketentuan tersebut sangat sesuai untuk diterapkan pada masa itu. d. Ketidaksesuaian ketentuan 2:1 pada masa kini karena, bias jender yang semakin menipis, banyak perempuan yang ikut andil pada ranah publik dan ikut bekerja untuk mencari nafkah. Sehingga ketentuan 1:1 dianggap lebih relevan dengan konteks masa kini. 2. Antitesis a. Namun, tanggung jawab syarI nafkah ialah pada laki-laki, bukan pada perempuan, sehingga harus tetap 2:1. b. Kemungkinan besar perolehan perempuan seimbang atau bahkan lebih banyak dari pada lelaki, karena bagian 2 laki-laki digunakan untuk pemenuhan kebutuhan istri, sedangkan bagian 1 perempuan adalah hak tunggal dirinya sendiri. c. Banyaknya perempuan yang ekonomi sebuah menjadi tulang punggung kenyataan kehidupan yang keluarga merupakan sosiologis

terjadi dan bukan tuntutan apalagi tuntutan hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan kerelaan kaum perempuan itu sendiri yang sama sekali tidak dilarang dalam hukum Islam. d. Partisipasi aktif perempuan tersebut tidak secara otomatis mengubah ketentuan 2:1 menjadi 1:1.

F. Prediksi Proyektif Berdasarkan perdebatan sosio-historis perkembangan ketentuan waris anak perempuan dalam Islam di atas, penulis menawarkan jalan pemikiran ketiga, yaitu kompromisasi pemikiran tekstual dan kontekstual. Artinya, yang harus diprioritaskan terlebih dahulu adalah membagi harta warisan tersebut sesuai ketentuan yang ada, yaitu 2:1, kemudian jika pihak-pihak yang mewarisi telah bersepakat dan saling ridlo akan pembagian selanjutnya, misalnya 1:1 atau perbandingan yang lain, maka hal tersebut boleh saja dilakukan, akan tetapi tidak secara waris, melainkan melalui jalan lain, misalnya hibah atau shadaqah. Ada beberapa kelebihan, pertama, dalam praktek pembagian waris akan lebih hati-hati sehingga tidak menyimpang dari ketentuan, kedua, akan memberikan ruang lebih luas kepada ahli waris untuk menyebarkan harta, terutama pada masyarakat matrilineal, asalkan atas dasar kesepakatan dan saling ridlo satu sama lain. Daftar Pustaka Al-Mushili, Abdullah ibn Mahmud. 2005, al-Ikhtiyar li tahlil al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. Zain al-Din Ibn Ibrahim ibn najim al-Mishry, tt , al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Beirut: Dar al-Marifah. Abu Bakr Ibn Ali Ibn Muhammad al-Zubaidy, tt, al-Jauharoh al-Niroh. Muhammad ibn Muhammad al-babarty, tt, al-Inayah Syarh al-Hidayah, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Askar Syihab al-Din al-Baghdady, tt.,Irsyad al-salik ila Asyraf al-Masalik. al-Qurtuby, 1988, al-Bayan wa al-Tafshil wa al-Taujih wa al-talil li Masail alMustakhrojah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy . Abu abdillah Muhammad ibn Yusuf al-abdary, tt,al-Taj wa al-Iklil. Abu Muhammad abd al-Wahhab ibn Ali al-tsalaby, 2004, al-Talqin fi Fiqh alMaliky, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Shalih ibn abd al-sami al-Aby al-Azhary, tt.,al-Tsamr al-Dany fi Taqrib alMaany Syarh Risalah Ibn Abi Zaid al-Qoirwany, Beirut: al-Maktabah alTsaqafiyah al-Syafiiy, 1393 H, al-Umm, Beirut: Dar al-marifah, al-Nawawy, tt, al-Majmu Syarh al-Muhaddzab, al-Bujairami, tt, Hasyiah al-Bujairami ala al-Minhaj. al-Ramly, tt.,Hasyiah al-Ramli ala Asna al-Mathalib al-Bahuty, tt.,al-Rauld al-Murabba Syarh Zad al-Mustaqna, Beirut: Dar alFikr, Ibn Qudamah, tt, al-Syarh al-Kabir. al-Utsaimin, tt, Syarh al-Mumatta ala Zad al-Mustaqna Fatimah Mernisi ,al-Shulthanat al-Munsiyyat: Nisa Raisat Dawlah fi al-Islam, Rifaat hasan,The Issue Of Gender Equality in The Context of Creation in Islam,

Qasim Amin, Tahrir al-Marah dan al-marah al-jadidah. Nasaruddin Umar, 2001, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Alquran, Jakarta Selatan: Paramadina Valentine M. Moghadam, 1978. Moderning Women, Gender and Social Change in the Middle East, Kairo: The American University in Cairo Press, 1994. Lihat Pula Louis Back and Nikki Keddie (eds), Women in the Muslim World, Massachusetts: harfard University Press Abbas Kararah, 1337H, Al-Din wa al-Marah, Mesir:T.pn, Luther H. Martin, 1987,Hellenistic Religion, New York:Oxford University Press. Masudi, 1998, Muruj al-Zahab, Beirut: Dar al-Maarif Ibn Hazm al-Andalusi, 1981, Niqat al-Arus fi Tawarikh al-Khulafa dalam alRasail, Beirut: Al-Muassasah al-Arabiyyah li Dirasat wa Nasyr. Fatima Mernisi, The forgotten. Leila Ahmad, 1978, Women and Gender in Islam, New Haven & London: Yale University Press. Muhammad Rasyid Ridha, 1994, Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Mohammad. Bandung: Pustaka. Muhammad Amin Suma, 2004, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

You might also like