You are on page 1of 6

Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan kerajaan penerus dinasti Mataram. Sejak hancurnya kerajaan Mataram Kartasura akibat pemberontakan orang-orang Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Paku Buwono II segera memerintahkan para pejabat istananya untuk segera mencari lokasi yang dianggap baik untuk kemudian didirikan keraton yang baru, sebab keraton Kartasura sudah dianggap sudah tidak layak dan suci lagi untuk ditempati. Dalam kepercayaan orang Jawa tradisional, untuk membangun sebuah keraton pun tidak sembarang memilih tempat. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk pemilihan tempat. Salah satunya melalui petunjuk gaib. Petunjuk gaib adalah petunjuk yang diperoleh dari Yang Maha Kuasa atau petunjuk dari para leluhur yang dilakukan dengan laku tertentu, seperti dengan laku tirakat, bersemedi, berpuasa, pantang, dan sebagainya. Maka, Paku Buwono II pun mengutus Pangeran Wijil, seorang pujangga keraton dari Kadilangu untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan ibu kota negara. Mula-mula ia menemukan dua daerah yang dirasa cocok untuk membangun kerajaan yang baru, daerah itu adalah Tolowangi (Kadipolo) dan Sonosewu (sebelah barat Desa Bekonang), yang mayoritas penduduknya adalah Budhis, padahal Sunan adalah raja Mataram bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah yang beragama Islam. Kedua daerah itu dirasa cukup ideal untuk nantinya dibangun sebuah keraton. Patih dan Mayor Hohendorff setuju jika pembangunan keraton didirikan di Kadipolo, tetapi para ahli nujum kurang setuju sebab walaupun kerajaan nanti dapat adil, makmur, namun cepat rusak, banyak perang saudara. Sedangkan Sonosewu, meskipun daerahnya rata tetapi Raden Tumenggung Honggowongso merasa jika tempat itu kurang cocok, sebab kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali ke zaman Budha. Menurut petunjuk gaib tersebut, ke dua daerah itu tidak cocok dengan apa yang diharapkan oleh raja, dari Sonosewu Pangeran Wijil kembali ke barat meneruskan usahanya untuk mencari daerah yang cocok. Selain kedua tempat tersebut, lokasi alternatif lainnya adalah Desa Sala. Menurut Tumenggung Honggowongso, meski daerahnya berupa rawa,

tetapi sangat baik untuk pusat kerajaan sebab nantinya akan menjadi kerajaan besar, panjang umur, aman, dan makmur, tidak ada perang, berwibawa. Tetapi Mayor Hohendorff tidak menyetujuinya karena daerahnya tidak rata, penuh rawa serta dekat dengan sungai. Dari ketiga lokasi tersebut, akhirnya disepakati bersama untuk memilih Desa Sala. Tetapi raja dalam hal ini masih kurang yakin untuk memutuskan memilih Desa Sala. Akhirnya, Paku Buwono II mengirimkan lagi empat pejabat istananya untuk meneliti lebih lanjut, mereka adalah Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut, Mas Pengulu Fakih Ibrahim, dan Tumenggung Tirtawiguna. Segeralah mereka menjelajah kawasan timur Kartasura tersebut. Dalam perjalanannya, mereka menjumpai sebidang tanah yang baik dan berbau harum (wangi) yang terletak di timur laut Desa Sala. Maka, desa tersebut kemudian dinamai Desa Talawangi (sekarang menjadi kampung Yasadipuran dan Wirapaten). Setelah tanah tersebut diukur untuk membuat pancangan bangunan istana, ternyata kurang luas. Maka selanjutnya para utusan melakukan semedi (bermati raga) beberapa hari di tepian kedhung kol (rawa) untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya, Pangeran Wijjil menerima petunjuk gaib, bahwa memang sudah menjadi kodrat Tuhan, Desa Sala akan menjadi negara besar. Untuk meneruskan petunjuk itu, Pangeran Wijil menemui Ki Gedhe Sala untuk mengetahui sejarah dan asal-usul keberadaan Desa Sala. Ia adalah seorang bekel, dan kediamannya berada di sebuah gubug di tengahtengah pepohonan Sala (menurut H Helne, dalam bukunya De Nuttige Planten Van NedIndie, disebut-sebut menyerupai pohon Pinus). Akhirnya, daerah berawa itu dipilih untuk bisa didirikan sebuah keraton penerus Keraton Kartasura yang dibakar habis oleh pemberontakan Sunan Kuning. Menurut penuturan Kyai Bekel Sala, pada masa kerajaan Pajang, seorang putera Tumenggung Mayang yang bernama Raden Pabelan telah dibunuh. Ia dibunuh karena tertangkap basah masuk ke dalam keraton secara sembunyi-sembunyi dan ketahuan bemain asmara dengan puteri sekar kedhaton Ratu Emas, putera Sultan Hadiwijaya. Selanjutnya, mayat Raden Pabelan dihanyutkan ke sungai Laweyan (Sungai Braja) dan terdampar di sebelah timur Desa Sala.

Pada suatu malam Bekel Kyai Sala pergi ke sungai dan tiba-tiba melihat mayat Jaka Pabelan terapung di tepi sungai. Ia mencoba untuk mendorong mayat itu kembali ke tengah aliran sungai agar kembali terhanyut. Tetapi, keesokan harinya mayat itu kembali lagi ke tepi sungai. Bekel Kyai Sala pun berusaha untuk kembali mendorong mayat itu ke tengah aliran sungai, tetapi mayat itu selalu kembali ke tepi sungai hingga tiga kali. Akhirnya, Bekel Kyai Sala mendapat wangsit agar mayat Jaka Pabelan dimakamkan di tempat itu, tepatnya di sebelah narat Desa Sala, sebab di belakang tempat itu di kemudian hari akan berubah menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera. Karena Bekel Kyai Sala itu tidak tahu nama mayat itu, sehingga ia menyebutnya sebagai Kyai Bathang. Setelah mengetahui sejarahnya, keempat abdi tersebut segera mengunjungi makam Kyai Bathang. Kawasan pemakaman tersebut merupakan tempat yang indah, tetapi terdapat rawa yang lebar dan dalam. Situasi ini kemudian segera dilaporkan kepada Sunan. Selanjutnya, Sunan memanggil Tohjaya dan Kyai Yosodipura serta Raden Tumenggung Padmanagara untuk dimintai pertimbangan dan saran. Sebelum memberikan pertimbangannya, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu dan menemukan sumber mata air di rawa itu (tirta kamandanu). Dengan demikian telah mantap pendirian mereka untuk memilih Desa Sala sebagai tempat pembangunan keraton yang baru. Setelah tempat itu dipilih dan disetujui oleh Kanjeng Sunan Paku Buwono II dan para nayaka-nya, pembangunan pun segera dimulai. Sunan segera memerintahkan kepada para adipati mancanegaranya untuk menyerahkan balok-balok kayu sesuai dengan kemampuan masing-masing yang akan digunakan untuk menutup rawa-rawa tersebut sekaligus menyumbat mata air yang ada. Dalam pengerjaannya, terjadi berbagai halangan dan misteri. Kesulitan tersebut didapat karena daerah yang akan didirikan sebuah keraton itu merupakan daerah rawa-rawa. Mereka menghadapi kesulitan dalam mengeringkan rawa dan tidak dapat ditutupnya beberapa sumber mata air, terutama yang ada di Kedung Lumbu. Untuk itu, dilakukanlah berbagai ritual dengan tujuan menutup sumber-sumber mata air itu. Berbagai sesaji dan mantra-mantra dipersembahkan oleh Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut dan Kyai Pengulu Pekik Ibrahim tetapi tetap gagal. Bahkan, dari sumber mata air itu justru muncul ikan-ikan yang biasa hidup di laut. Melihat hal ini, Pangeran Wijil dan Kyai Yasadipura memutuskan untuk bertapa tepat di sebelah selatan kedhungkol. Sesudah

tujuh hari tujuh malam, terus bertapa tanpa makan dan minum, akhirnya mereka mendapat petunjuk gaib, tepatnya pada suatu malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) 29 Sapar 1669 S (1744 M). Petunjuk gaib itu mengatakan, bahwa sumber mata air itu tidak bisa kering karena merupakan tembusan Samudera Selatan. Jika ingin mengeringkan rawa itu, perlu kiranya ditutup dengan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu, serta kepala penari (tledek). Kemudian, Sunan pun, mengambil kesimpulan bahwa wangsit tersebut merupakan sebuah perlambang. Oleh sebab itu perlu untuk dicari penafsiran maknanya. Gong adalah simbol bibir atau sumber suara. Secara utuh Kyai Sekar Delima maksudnya melalui bibir yang menceritakan asal mulanya Desa Sala, yakni Kyai Gedhe Sala. Tledek adalah nama lain dari ringgit yang berarti uang. Dengan demikian maksud wangsit tersebut adalah bahwa Kyai Gedhe Sala menghendaki uang sebagai ganti rugi atas tanah hak miliknya yang akan digunakan untuk pendirian keraton. Maka, Sunan segera memberikan uang sejumlah 10.000 ringgit kepada Kyai Gedhe Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala. Setelah itu, sumber mata air itu pun berhasil ditutup oleh Kyai Gedhe Sala. Setelah rawa itu kering, Sunan segera memerintahkan untuk mengukur tanah yang akan dijadikan istana. Tugas pengukuran diserahkan kepada Patih Adipati Pringgalaya dengan disaksikan Mayor van Hohendorff, Kyyai Tumenggung Honggowongso, dan Kyai Tumenggung Tirtawiguna. Pengukuran terhadap lurusnya keraton sejajar dengan keraton Kartasura dilakukan oleh Pangeran Wijil dan Kyai Kalipah Buyut. Sedangkan pengukuran dari segi estetik atau keindahan keraton (adu manisnya) diserahkan kepada Kyai Yasadipura dan Kyai Tohjaya. Setelah rancangan selesai dibuat, Sunan segera memerintahkan untuk mengambil tanah dari Desa Talawangi dan Sanasewu untuk mempertinggi Desa Sala. Pembangunan istana tahap awal pun berhasil diselesaikan, walaupun pagar yang mengelilingi keraton, sementara masih terbuat dari bethek (anyaman bambu). Setahun kemudian keraton pun berhasil didirikan, dan ditandai dengan candra sengkala: Sirnaning Resi Rasa Tunggal atau juga sengkalan swarga sapta hamayang bawana, yang sama-sama menunjukkan tahun 1670 S (1745 M). Maka, meski bangunan keraton masih belum sempurna, pada hari Rebo Pahing 17 Februari 1745, Kerajaan Mataram

dipindahkan dari Kartasura ke Sala. Paku Buwono II pun meninggalkan keraton lama menuju ke keraton yang baru dengan disertai iring-iringan dengan upacara kebesaran dan menggunakan ketentuan sangat ( pukul 10.00) setelah mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal William van Imhoff. Setibanya di Keraton Sala, bangsal Pangrawit yang diangkut dari Kartasura segera ditempatkan di Siti-Hinggil. Begitu turun dari Kereta Kencana Garuda, Sunan Paku Buwono II menggunakan bangsal Pangrawit yang telah ditempatkan di Siti-Hinggil untuk sinewoko (bersidang) untuk pertama kalinya di keraton yang baru tersebut. Maka sejak itu, nama desa Sala pun ditarik kembali dan ditetapkan sebagai negara yang besar yang diberi nama Surakarta Hadiningrat. Pembangunan keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kemudian diteruskan oleh Paku Buwono III. Pada tahun 1697 S (1772 M), bangunan pendopo diganti dengan bangunan yang baru dan bekas bangunannya diberikan kepada Sri Mangkunegoro. Kemudian pada tahun 1802 M, sebelah utara Dalem Ageng Probosuyoso diberi tambahan bangunan baru oleh Paku Buwono IV dan diberi nama Dalem Ler untuk kepentingan bersemedi. Di kala Pendopo Ageng ditambah lebarnya dan ditambah dengan soko rowo pada tahun 1812 M, lantai pendopo diambil sebagian tanahnya untuk diganti dengan tanah yang berasal dari Tolowangi (Kadipolo) untuk diambil pengaruh msitisnya. Tolowangi semula pernah dipilih untuk pertama sebagai daerah yang cocok untuk membangun keraton. Penggantian tanah tersebut dimulai pada hari Rebo Pahing bertepatan dengan pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta. Mengingat kebutuhan keraton untuk menerima tamu-tamu agung, pada tahun 1823 M, Paku Buwono V menambah bangunan baru dan diberi nama Sasono Hondrowino. Semula lebih dikenal dengan nama Sasono Ijo, karena warna catnya serba hijau. Pembangunan pun terus dilanjutkan. Paku Buwono VI, sebelum terlibat dalam peperangan Pangeran Diponegoro, pada tahun 1824 M masih sempat menyelenggarakan sedikit perubahan pada nDalem Ageng Probosuyoso. Gebyog (papan) patang-aring-nya dibuka dan dipasang di sisi barat membukur ke selatan dan utara, sehingga seakan-akan dapat mengubah kiblat bagnunan ke arah timur. Dalam kepercayaan orang Jawa, kiblat bangunan itu sangatlah penting dan biasa digunakan untuk mencari keselamatan dan terhindar dari mara bahaya serta sesuatu yang buruk.

Pembangunan bangunan keraton sempat sedikit terhenti pada masa setelah Paku Buwono VI dibuang ke Ambon hingga paku Buwono VIII karena singkatnya masa berkuasanya di keraton Surakarta. Pembangunan baru dimulai lagi oleh Paku Buwono IX. Pada tahun 1880 M bagian luar Pendopo Sasonosewoko yang dinamakan Paningrat, tiangtiangnya diganti dengan tiang besi. Pembangunan yang lebih pesat dan lebih besar dilakukan pada zaman Kanjeng Sunan Paku Buwono X berkuasa. Selama menduduki tahta kerajaan Paku Buwono X berkesempatan untuk memperindah wajah bangunan Paningrat dan Sasono Hondrowino. Lantainya diganti dengan marmer putih dan dilaksanakan pada tahun 1832 S. Untuk menyesuaikan dengan situasi pada tahun 1842 S Masjid Pudiyosono dipindahkan ke sebelah barat Bandengan. Sedang nDalem Pakubuwanan yang letaknya di selatan Probosuyoso sete;ah diperindah wajahnya pada tahun 1845 S namanya diganti dengan sasono Dayinto. Pada tahun 1857 S, beliau membangun Keraton Kulon untuk kepentingan pribadi. Dua mata air yang merupakan sisa beberapa mata air dari rawa Sala di lingkungan Kedung Lumbu yang terkenal sangat angker itu dan kini terdapat di halaman belakang nDalem Mloyokusuman. Satu diantaranya digunakan untuk sumur dan yang lainnya merupakan kolam kecil yang ditutup trali besi. Daftar Pustaka: Gunawan, Restu dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. id.wikipedia.org Kompas, (surat kabar) Ranggawarsita: Usia Keraton Tidak akan Mencapai 250 Tahun, 3 Februari 1985. Suara Merdeka, (surat kabar) 240 Tahun Keraton Surakarta Hadiningrat, Petunjuk Gaib Menuntun Pangeran Wijil ke Daerah Bakal Keraton, 15 Februari 1985.

You might also like