You are on page 1of 14

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya

(Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak, maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan Suatu negara di dalamnya pasti terdapat beraneka ras, suku dan keberagaman lainnya yang pada akhirnya melahirkan keberanekaan pula dalam berbagi aspek kehidupannya yang lazim disebut multicultural atau keberagaman kebudayaan. Keberagaman tersebut dapat berupa

beragamnya pandangan kehidupan, adat kebiasaan, bahasa, bahkan dalam pendidikan. Suatu wacana yang perlu kita respon secara positif adalah pendidikan multikulturalisme. Sebuah gagasan positif bila pendidikan multikukturalisme dilaksanakan berangkat dari tujuan umum pendidikan yang notabene bukan hanya sebuah transformasi ilmu pengetahuan, melainkan juga proses internalisasi nilai. Selain itu, pada prinsipnya setiap orang memiliki kebebasan dalam hal pemperolehan ilmu pengetahuan tanpa adanya suatu diskriminasi dan subordinasi suatu golongan tertentu yang mana hal tersebut dapat tercapai dengan pendidikan

multikulturalisme.

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural ? 2. Bagaimana sejarah Pendidikan Multikultural di Indonesia? 3. Apa tujuan Pendidikan Multikultural ? 4. Bagaimana pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia? 5. Apa hambatan-hambatan dalam implementasi Pendidikan Multikultural di Indonesial?

C. Tujuan Penyusunan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui atau memahami : 1. Pengertian pendidikan multicultural 2. Sejarah pendidikan multicultural di Indonesia 3. Tujuan pendidikan multikultural 4. Pengembangan pendidikan multicultural di Indonesia 5. Hambatan-hambatan dalam implementasi pendidikan multicultural di Indonesia

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire. pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yangmenggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap

kebijakankebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif, maka pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan.5 Sejalan dengan itu, Musa Asyarie mengemukakan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, menurut Musa Asyarie diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial.

Berkaitan dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam

mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan. Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap

perkembangan keragaman populasi

sekolah sebagaimana tuntutan

persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.

B. Sejarah Pendidikan multikultural lahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak negara dan perkembangannya prinsippsinsip demokrasi. Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah

mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi. Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut era Reformasi, Indonesia mengalami disintregasi, krisis moneter, ekonomi, politik dan agama yang

mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada era Reformasi pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat

beranekaragam. Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural. Selain masalah kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan merupakan Indonesia. Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru disampikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya. Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan tempat bagi perkembagan kebhinhekaan kebudayaan

melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman agama, etnik, dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
(Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system). (Kelompok minoritas, baik secara agama, bahasa maupun etnis, sebagaimana juga penduduk pribumi dan belum beradab, sering tersubordinasi, yang kadang-kadang secara kuat dan buas melawan kehendak mereka, terhadap kehendak negara dan masyarakat dominan. Sementara banyak orang.harus mengesampingkan budaya mereka, bahasa mereka, agama dan tradisi mereka, dan harus menyesuaikan diri dengan aturan yang asing dan kebiasaan sistem sebagai hasil konsiliasi dan reproduksi instituasi nasional, termasuk didalamnya adalah pendidikan dan sistem hukum)

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukanlah suatu hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya terkhusus dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit kulit dan kulit hitam dan bertujuan memajukan serta memelihara integritas nasional.

C. Tujuan Pendidikan multikultural sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat modern karena ia dapat merupakan alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera, dimana suku bangsa dalam suatu negara atau

bangsa-bangsa di dunia dapat duduk bersama, saling menghargai, dan saling membantu. Pendidikan multikultural diperlukan untuk meluaskan pandangan seseorang bahwa kebenaran tidak dimonopoli oleh dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri tetapi kebenaran dapat pula dimiliki oleh kelompok yang lain. Pendidikan multikultural berusaha menolong siswa

mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung, menolong siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, menolong siswa mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Farris & Cooper (1994) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk

memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. D. Pengembangan Bentuk pengembangan Pendidikan Multikultural di setiap negara dapat berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masingmasing negara. Pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia dapat berbentuk : 1. Penambahan materi multikultural yang dalam aktualisasinya berupa pemberian materi tentang berbagai budaya yang ada di tanah air dan budaya berbagai belahan dunia. Pesan multikultural bisa dititipkan pada semua bidang studi atau mata pelajaran yang memungkinkan untuk itu. Semua bidang studi bisa bermuatan multikultural. Namun disadari bahwa ada mata pelajaran yang lebih mungkin dibandingkan yang lain untuk

mengajarkan Pendidikan Multikultural. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial lebih mungkin mengajarkan multikultural dibandingkan dengan matematika. 2. Berbentuk bidang studi atau mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sekarang sudah ada perintisan yang dilakukan dalam bentuk satu mata pelajaran atau bidang studi yang berdiri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar Pendidikan Multikultural sebagai ide, gerakan reformasi dan proses tidak dilakukan sambil lalu dan seingatnya namun benar-benar direncanakan secara sistematis. Tiga hal di atas tidak akan dapat dicapai bila hanya dicantumkan sebagai satu pokok bahasan atau sub pokok bahasan dalam satu bidang studi. 3. Berbentuk program dan praktek terencana dari lembaga pendidikan. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi dari kelompok yang berbeda. Konsekuensinya, Pendidikan Multikultural tidak dapat diidentifikasi sebagai praktek aktual satu bidang studi atau program pendidikan saja. Lebih dari itu, pendidik yang mempraktekkan makna Pendidikan Multikultural akan

menggambarkan berbagai program dan praktek yang berkaitan dengan persamaan pendidikan, perempuan, kelompok etnis, minoritas bahasa, kelompok berpenghasilan rendah, dan orang-orang yang tidak mampu. 4. Pada wilayah kerja sekolah Pendidikan Multikultural mungkin berarti (1) suatu kurikulum yang berhubungan dengan pengalaman kelompok etnis; (2) suatu program yang mencakup pengalaman multikultural, dan (3) suatu total school reform, upaya yang didesain untuk meningkatkan keadilan pendidikan bagi

E. Hambatan-Hambatan Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut. 1. Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimpletasikannya.Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multicultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM,

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu 2. Munculnya Gejala Diskontinuitas Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsure pelaku pendidikan di sekolah, baik

itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas. Di samping itu, upaya tersebut perlu dilakukan pula terkait dengan penciptaan konsistensi dalam menyediakan kondisi dan situasi bagi peserta didik yang kondusif dan suportif demi terpeliharanya kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. 3. Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan. Bila berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah dicapai sebab dalam pendidikan multikultural nilai-nilai masyarakat madani itu yang ingin ditanamkan pada siswa sejak dini 4. Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para

10

pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, perbedaan, dan keragaman akan menjadi kurang disukai dan kurang dianggap penting kelompok budaya, etnis, dan ekonomis. Ini lebih luas dan lebih komprehensif dan biasa disebut reformasi kurikulum. 5. Gerakan persamaan. Gerakan persamaan ini lebih dilhat sebagai kegiatan nyata daripada sekedar dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di Kabupaten Nabire, Papua ada sebuah kampung yang mencerminkan gerakan kebhinekaan yang bernama Kampung Bhineka Tunggal Ika. Penduduk Kampung Bhineka Tunggal Ika ini terdiri dari orang Papua, Timor, Jawa dan Bugis. Mereka yang tinggal di sana mendapat tanah seluas 2 hektar tiap kepala keluarga untuk ditanami dengan tanaman coklat dan tanaman produktif lainnya. Mereka hanya boleh menggarap tanah itu dan tidak boleh menjualnya. Mereka harus menunjukkan kemampuan bertani yang baik lebih dahulu sebelum diterima menjadi warga Kampung Bhineka Tunggal Ika. Kini kampung itu telah menjadi besar dan di Kabupaten Nabire, Papua ini direncanakan akan membentuk Kampung Nusantara yang terdiri dari generasi muda berusia 27 tahun hingga 35 tahun. Ada kesadaran akan keberagaman budaya yang menghilangkan sekat-sekat agama dan adat. Mereka saling mengunjungi saat orang dari agama lain merayakan hari besarnya. Mereka harus menghormati hukum nasional dan hukum adat setempat. Misalnya, buah pohon tetangga yang masuk ke pekarangan tetangga menjadi milik tetangga itu. Orang

11

yang melanggar akan ditindak tegas. Bahkan menurut adat di sana, orang yang mengambil milik tetangganya boleh dibunuh. Di Manado, Sulawesi Utara, ada juga gerakan semacam ini. Mereka akan dengan suka rela membantu tetangga dan masyarakat yang berlainan agama bila tetangganya itu membutuhkan. Misalnya membangun masjid atau gereja. Sebagai sebuah gerakan, maka Pendidikan Multikultural perlu dimasyarakatkan dalam karya nyata di samping lokakarya. Dan tidak kalah pentingnya adalah adanya program pendidikan yang ditayangkan berbagai siaran televisi, radio atau pun internet. Perlu dihimbau, kalau tidak mungkin diharuskan, untuk menayangkan program yang bernuansa budaya dalam siaran mereka. Sekarang ini sudah ada beberapa stasiun yang mencoba menayangkan program semacam itu dan hasilnya bagus. Diharapkan hal ini bisa lebih ditingkatkan lagi untuk mengurangi acara-acara yang justru menimbulkan hasutan dan pertikaian. 6. Proses Sebagai proses, maka tujuan Pendidikan Multikultural yang berasal keadilan sosial, persamaan, demokrasi, toleransi dan penghormatan hak asasi manusia tidak mudah tercapai. Perlu proses panjang dan berkelanjutan. Perlu ada pembudayaan di segenap sektor kehidupan.

12

BAB III Penutup

A. Kesimpulan Pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang (education for all). Pendidikan multikultural berjalan bergandengan tangan dengan proses demokratisasi di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi itu dipicu oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna kulit, agama dan gender. Istilah multikulturalisme bukan sekadar pengakuan akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi pengakuan itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan the right to culture B. Saran 1. Belajar saling menghormati dan menghargai orang atau kelompok lain agar keanekaragaman bukan menjadi alasan perpecahan persatuan dan kesatuan republik Indonesia. 2. Menghormati prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 3. Menumbuhkan kesadaran keragaman (plurality),

kesetaraan(equality), kemanusiaan(humanity), keadilan(justice) dan nilai-nilai demokrasi(democration values) yang diperlukan dalam beragam aktivitas sosial.

13

Daftar Pustaka Larassati , Minten Ayu.Sejarah

Pendidikan

Multikultural

di

Indonesia.http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/20/sejarah-pendidikan multikultural-di-indonesia/.(diakses tanggal 23-2-2012).

Arifudin, Iis.2007. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah.INSANIA. Vol. 12 No. 2.220-233

Mendatu,Achmanto.PendidikanMultikultural.http://smartpsikologi.blogspot.co m/2007/08/ pendidikan-multikultural.html.(diakses tanggal 25-2-2012) Maulanusantara.Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik.

http://maulanusantara.wordpress.com/2008/04/30/pendidikan-multikulturaldalam-tinjauan-pedagogik/. (diakses tanggal 25-2-2012)

Pendidikan Multikultural.http://memorykuliah.blogspot.com/2011/03/pendidikanmulti kultural.html. (diakses tanggal 27-2-2012)Rochmadi, N.W.2008.

Ilmu Pengetahuan Sosial.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

14

You might also like