You are on page 1of 7

BAB I PENDAHULUAN Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penting untuk menentukan kondisi sosial dan

kesehatan masyarakat dalam suatu kelompok masyarakat yang berhubungan dengan faktor penyebab kematian bayi. Apabila Infant Mortality Rate (IMR) suatu wilayah tinggi, menunjukkan status kesehatan di wilayah tersebut rendah. IMR merupakan jumlah kematian bayi yang berumur kurang dari satu tahun selama tahun X per seribu jumlah kelahiran selama tahun X. Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan anakanak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. AKB kerap dipakai untuk mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk. Mengingat kegiatan registrasi penduduk di Indonesia belum sempurna sumber data ini belum dapat dipakai untuk menghitung AKB. Sebagai gantinya AKB dihitung berdasarkan estimasi tidak langsung dari berbagai survei. Menurunkan Angka Kematian Bayi adalah salah satu bunyi dari Milenium Development Goals, yaitu pada target nomor empat. Tujuan MDGs nomor empat adalah menurunkan Angka Kematian Balita Sebesar Dua Pertiganya, antara 1990-2015. Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68 pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil. Indonesia juga telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam upaya penurunan kematian bayi dalam beberapa dekade terakhir. Pada 1960, Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia adalah 128 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini turun menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup pada 1989, pada 1992 dan pada 1995. Pada dekade 1990-an, rata-rata penurunan lima persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade 1980-an sebesar empat

persen per tahun. Walaupun pencapaian telah begitu menggembirakan, tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Oleh karena itu, Indonesia harus berjuang lebih keras lagi dalam menurunkan Angka Kematian Bayi karena jika AKB Indonesia tinggi, tentu citra Indonesia juga akan buruk di mata dunia. Kematian Bayi yang tinggi di Indonesia tentunya disebabkan oleh beberapa hal. Makalah ini akan membahas tentang penyebab tingginya Angka Kematian Bayi di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

Masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia adalah angka kematian bayi dan balita yang masih cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ( SDKI ), Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yaitu 35 bayi per 1000 kelahiran. Bila dirincikan 157.000 bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari. Angka kematian bayi di Indonesia masih sangat tinggi, diperkirakan setiap jam 18 bayi di Indonesia meninggal dunia ( Badan Pusat Statistik, 2003 ). Angka kematian bayi Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dalam upaya penurunan kematian bayi dalam beberapa dekade terakhir. Pada 1960, Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia adalah 128 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini turun menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup pada 1989, 57 pada 1992 dan 46 pada 1995. Pada dekade 1990-an, rata-rata penurunan 5% per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade 1980an sebesar 4% per tahun ( SDKI 1991, 1994 dan 1997 ). Walaupun pencapaian telah begitu menggembirakan, tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (GOI-UNICEF, 2000). Banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi. Ada faktor kesehatan anak, faktor lingkungan seperti keadaan geografis, faktor nutrisi dan sebagainya. Dalam hal ini, kesehatan komunitas sangat penting, walaupun tidak mengecilkan sistem kesehatan teknologi tinggi. pentingnya memberdayakan puskesmas sepenuhnya. Perlu adanya peningkatan kualitas kader-kader puskesmas atau posyandu. Selain itu, juga penting untuk menggandeng dokter-dokter umum serta bidan-bidan dalam menangani masalah bayi dan balita. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dokter umum dan bidan. Saat ini jumlah doker anak di Indonesia hanya sekitar 2.300 dan 600 orang diantaranya berada di Jakarta sisanya tersebar di daerah. Padahal idealnya harus ada 2.500 dokter anak. Selain itu, perlu adanya standarisasi rumah sakit. Ini penting untuk mengetahui rumah sakit mana yang bisa dijadikan rujukan untuk si bayi atau balita yang sakit. Tak hanya peningkatan SDM kesehatan dan standarisasi rumah sakit, tapi juga pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada anak juga berperan penting menurunkan angka kematian bayi. Bayi pertama setelah menyusui dipisahkan untuk ditimbang, dicap dan disuntik. Setelah usia 10 jam di diletakkan didada ibu kembali. Menunda inisiasi menyusui, akan meningkatkan kematian bayi. Penyebab utama

tingginya angka kematian bayi dan balita adalah gangguan pada saat bayi baru lahir (neonatal) dan penyakit infeksi, seperti diare dan pneumonia serta kekurangan gizi (gizi buruk). Penyebab kematian bayi ini mencakup berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus, infeksi dan masalah pemberian Asi (Syafei, dikutip dari kompas 2008).

Masalah pada Neonatus Periode BBL (neonatal) adalah masa 28 hari pertama kehidupan manusia. Pada masa ini terjadi proses penyesuaian sistem tubuh bayi dari kehidupan intra uteri ke kehidupan ekstra uteri. Masa ini adalah masa yang perlu mendapatkan perhatian karena pada masa ini terdapat mortalitas paling tinggi (Rudolf, 2006).

Gizi Kurang dan Gizi Buruk Gangguan pertumbuhan akibat gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah yang kurang pangan. Tidak hanya juga terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Bahkan di daerah penghasil pangan masih terjadi kasus gizi buruk. Begitu juga yang terjadi di perkotaan dan ditengah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi menengah. Penyebab gizi kurang dan gizi buruk dapat dipilah menjadi tiga hal, yaitu: pengetahuan dan perilaku serta kebiasaan makan,penyakit infeksi, ketersediaan pangan. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari tahun 2007 ke 2010, untuk gizi kurang tetap 13,0 dan untuk gizi buruk, dari 5,4 menjadi 4,9.

Penyakit Infeksi Masalah ketiga penyebab kematian pada bayi dan terutama balita adalah penyakit infeksi, diare dan pneumonia. Pencegahan, deteksi dini, serta penanganan yang cepat dan tepat dapat menekan kematian yang diakibatkan penyakit ini. Diare erat kaitannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat, ketersediaan air bersih, serta sanitasi dasar. Pneumonia terkait erat dengan indoor and outdoor pollution (polusi di dalam dan di luar ruangan), ventilasi, kepadatan hunian, jenis bahan bakar yang dipakai, kebiasan merokok, status gizi, status imunisasi dan lama pemberian ASI . Sosialisasi yang terkait dengan upaya pencegahan dan deteksi dini serta mengurangi faktor resiko menjadi hal penting.

Selain faktor langsung tersebut terdapat pula faktor tidak langsung. Beberapa faktor menjadi penyebab tidak langsung kematian bayi dan balita. Dari sisi kebutuhan (demand), antara lain adalah sosial ekonomi yang rendah, pendidikan ibu, kondisi sosial budaya yang

tidak mendukung, kedudukan dan peran perempuan yang tidak mendukung, akses sulit, serta perilaku perawatan bayi dan balita yang tidak sehat. Sementara ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang belum merata, kesinambungan pelayanan KIA yang belum memadai, pembiayaan pelayanan KIA yang belum memadai, menyumbangkan masalah dari sisi supply. Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah dan ditangani. Namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan, keadaan sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik, terlambatnya deteksi dini dan kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan kesehatan. Bayi normal yang dilahirkan di rumah sakit maupun di klinik bersalin biasanya hanya mendapat perawatan selama 2-3 hari. Perawatan selanjutnya di rumah sepenuhnya dilakukan oleh ibu. Bagi ibu yang pertama kali melahirkan, merawat bayi baru lahir merupakan hal yang tidak mudah. Walaupun demikian setiap ibu harus mengetahui cara perawatan bayi secara benar dan sehat karena hal tersebut merupakan syarat mutlak sebagai orangtua (Pudjiaji, 1992). Perilaku ibu dalam melakukan perawatan bayi baru lahir dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh ibu yang didapat dari orangtuanya (tradisi), tenaga kesehatan dan media cetak. Dengan demikian perilaku ibu dalam merawat bayi baru lahir sangat menentukan kesehatan bayinya. Selain hal diatas, Penyebab Kematian Bayi dan Balita secara tak langsung ialah kurangnya ketersediaan dan penyebaran tenaga kesehatan yang masih menjadi masalah dalam penurunan kematian bayi dan balita. Bila dilihat ketersediaan bidan di desa, masih banyak desa yang tidak memiliki bidan. Hanya provinsi di pulau Jawa dan sebagian kecil Sumatera yang melebihi 80% desa yang memiliki bidan. Papua dan Papua Barat barkisar antara 2040%, sebagian besar provinsi di pulau Kalimantan baru 40-60% desa yang memiliki bidan. Dari penyebarannya terlihat sebagian besar masih berkumpul di pulau Jawa. Kendala bagi keberadaan bidan di desa antara lain: Di kabupaten tertentu jumlah bidan tidak sesuai dengan jumlah desa. Untuk itu perlu dilihat ketersediaan dan pemanfaatan perawat di desa. Bidan desa tidak bertempat di desa sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Tidak adanya reward dan punishment bagi bidan desa Demikian juga dengan ketersediaan dan penyebaran dokter spesialis anak. Belum semua kabupaten memiliki dokter spesialis anak yang merupakan tempat rujukan pelayanan kesehatan anak.

Salah satu akses dan solusi untuk mengatasi masalah perawatan bayi baru lahir adalah melalui pelayanan-pelayanan kesehatan yang banyak dijangkau oleh masyarakat pengguna yang mengadakan program peningkatan perilaku ibu tentang perawatan yang aman dan tepat bagi bayi baru lahir. Contohnya ialah fenomena yang terlihat di kota Medan bahwa masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk kebutuhan pelayanan persalinan dan perawatan bayi baru lahir banyak menggunakan klinik bersalin. Program yang dapat mengkondisikan perilaku ibu untuk dapat melakukan perawatan bayi baru lahir yang aman dan tepat seharusnya sudah menjadi salah satu kebijakan pemerintah untuk menjamin terwujudnya perilaku sehat dan peningkatan derajat kesehatan bayi baru lahir (Barbara, 2002). Keberhasilan program peningkatan perilaku ibu acuannya disesuaikan dengan kondisi awal perilaku yang akan diubah tentang perawatan BBL sehingga perlu diketahui bagaimana gambaran perilaku ibu dalam perawatan BBL. Dengan mengintegrasikan defenisi perilaku menurut Notoatmodjo (2003) dapat diketahui bahwa perilaku ibu dalam perawatan bayi baru lahir dapat dipelajari. Perilaku ibu dalam perawatan BBL merupakan perilaku ibu untuk mempertahankan kesehatan bayinya. Perilaku ibu dalam perawatan BBL yang kurang baik dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi, selain itu dapat juga menyebabkan kesakitan dan bahkan kematian pada bayi. Dengan demikian perilaku ibu yang baik dalam perawatan bayi diharapkan dapat membantu mengurangi angka kesakitan pada bayi sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahreni (2006) bahwa pendidikan kesehatan efektif terhadap perubahan perilaku ibu primipara dalam perawatan tali pusat bayinya. Perubahan perilaku penyebab langsung kematian bayi dan balita sebenarnya relatif dapat ditangani secara mudah, dibandingkan upaya untuk meningkatkan perilaku masyarakat dan keluarga yang dapat menjamin kehamilan, kelahiran, dan perawatan bayi baru lahir yang lebih sehat. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memperbaiki perilaku keluarga dan masyarakat, terutama perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk upaya mencari pelayanan kesehatan serta memperbaiki akses, memperkuat mutu manajemen terpadu penyakit bayi dan balita, memperbaiki kesehatan lingkungan termasuk air bersih dan sanitasi, pengendalian penyakit menular, dan pemenuhan gizi yang cukup. Tantangan lain yang harus mendapatkan perhatian serius adalah upaya untuk memperkecil kesenjangan antara perkotaandan pedesaan dan kesenjangan antarprovinsi dan kabupaten/ kota. Intervensi pada golongan miskin dan

kelompok rentan di pedesaan dan wilayah terpencil merupakan salah satu strategi kunci untuk menghilangkan kesenjangan ini. Walaupun demikian, kantong-kantong dengan angka kematian yang tinggi di daerah perkotaan tidak bisa diabaikan, karena daerah dengan populasi besar ini yang mempunyai daya ungkit yang tinggi bagi penurunan angka kematian bayi dan balita, terutama pada kematian neonatal. Ada beberapa kebijakan dan program di Indonesia untuk menurunkan Angka Kematian Bayi ( AKB ), antara lain: 1. Program yang disebut EMAS (expanding maternal and newborn survival) yang dilakukan USAID ini berlangsung selama lima tahun dengan total anggaran 55 juta dolar Amerika. Seluruhnya, ada 30 kabupaten/kota. Enam provinsi dipilih, karena memiliki angka kematian ibu dan kematian bayi yang tinggi. Program ini merupakan bantuan warga Amerika untuk Indonesia demi mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan millennium atau MDGs pada 2015. Bantuan ini juga meringankan beban Indonesia. 2. Program BKKBN, Pelatihan untuk melakukan pertolongan dalam persalinan tersebut sekaligus juga diisi dengan pelatihan untuk melakukan pemasangan alat kontrasepsi. Diharapkan dengan adanya pelatihan tersebut, maka pertolongan kelahiran yang berada di daerah terpencil bisa dilakukan secara medis sehingga kematian ibu dan bayi bisa ditekan. 3. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) melakukan pemecahan masalah dengan memaksimalkan peran posyandu dan puskesmas, serta menggandeng dokter umum dan bidang. IDAI juga akan mendorong pemerataan sebaran dokter anak dan standarisasi rumah sakit. Target nasional, pada 2015 AKI akan turun dari 228/100.000 kelahiran hidup menjadi 102/100.000 kelahiran hidup begitu juga dengan angka kematian bayi turun menjadi 23/1.000 kelahiran hidup. 4. Program Inisiasi Menyusui Dini ( IMD), Setiap tahunnya lebih dari 25.000 bayi Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat diselamatkan dengan pemberian ASI eksklusif. Pentingnya kematian bayi ini untuk diturunkan, terkait dengan tujuan ke empat Millenium Development Goal "reduce infant mortality".

You might also like