You are on page 1of 5

PRODUK TEKSTIL INDONESIA MENINGKAT PASCA ACFTA

15 February 2011 No Comment Jakarta, 14 Februari 2011 (Business News) Produk tekstil, khususnya garmen dari Indonesia tetap memiliki potensi besar untuk pasar dalam negeri maupun ekspor setelah lebih dari satu tahun implementasi ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Kekhawatiran terhadap semakin membanjirnya tekstil, garment China ke Indonesia juga semakin menurun, karena memang sudah terjadi pergeseran. (ekspor) China besar, tetapi sudah terjadi pergeseran ke negar-negara lain, termasuk Indonesia. Pasar di Eropah, Amerika juga sudah harus mencari sumber-sumber lain untuk pasokan ke negaranya. Bahkan tiga emerging exporters yaitu Bangladesh, Vietnam dan Indonesia. Tetapi dari ketiganya, Bangladesh yang paling competitive karena mereka bersedia dan mau mensupply (order) dalam jumlah kecil. Sementara Indonesia tidak ingin supply dalam jumlah kecil, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kepada Business News (13/2). Pemenuhan order garment dalam jumlah kecil (small amount) tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena negara-negara di Eropah sangat fashion oriented, sehingga konsumen cenderung memilih dan tidak suka kalau produk yang sama digunakan oleh orang lain. Fashion adalah selera bagi masyarakat di Eropah. Selain jumlah order yang kecil, produk garmen lebih disukai yang tailor made, yang menyesuaikan permintaan tertentu. Sehingga Kementerian Perdagangan menyarankan untuk bisa mencontoh Bangladesh demi peningkatan ekpor tekstil, garment kita ke pasar luar negeri. Peluang lain yang dimiliki oleh produk Indonesia adalah pasar dalam negeri yang besar dan daya beli masyarakat dalam negeri yang meningkat. Tahun 2010 daya beli penduduk Indonesia per tahun meningkat mencapai US$ 3.000 untuk tekstil, termasuk alas kaki. ACFTA juga memberi manfaat bagi industri TPT (tekstil dan produk tekstil) Indonesia karena ada peningkatan ekspor sebesar 35% tahun 2010 dan tejadi peningkatan perdagangan kedua negara sebesar 24%. Hal ini menunjukkan kedua negara dapat bertumbuh bersama karena saling melengkapi. Selain strategi tailor made dan order yang small amount, Kemdag juga terus memfasilitasi berbagai kegiatan promosi produk tekstil, garment Indonesia di dalam dan luar negeri. China sangat competitive, sehingga menjadi pesaing Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir sempat menurun karena apresiasi mata uang, perang dagang China dengan beberapa negara terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Upah buruh semakin mahal, dapat menjadi peluang bagi produk Indonesia untuk meraih pasar yang lebih luas. Kalau fabric/kain, China masih lebih unggul dibanding Indonesia. Tetapi untuk garment, produk kita sudah masuk ke konsumen yang higher end, medium up (menengah ke atas). API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) juga bersama Kementerian terus mengadakan promosi, sehingga daya saing produk kita terus bisa bersaing. Di tempat yang sama, Ketua API Ade Sudradjat mengatakan bahwa kendatipun ekspor China masih sangat besar, tetapi bahan bakunya juga banyak import dari Indonesia. Satu tahun pasca implementasi ACFTA, dampak positipnya adalah peningkatan ekspor Indonesia ke China sampai 70 persen. Untuk Synthetic Fibre, Indonesia unggul sehingga surplus sekitar 30 persen dari ekspor ke China. Produk benang, Indonesia juga masih dominan dibanding China. Tetapi untuk fabric (kain), sudah 12 tahun, Indonesia masih kalah dibanding China. Kita juga belum tahu

kapan kita bisa mematahkan dominasi China (untuk kain). Garment Indonesia juga masih seimbang dengan China. Ekspor kita ke China tidak akan menurun drastis karena masyarakat China juga masih konsumtif, termasuk untuk kebutuhan pakaian. Saya sempat amati, semakin banyak masyarakat di kota-kota besar di China yang semakin konsumtif. Bahkan antrian untuk membeli produk garment Indonesia juga sering terlihat di kota-kota besar di China, Ade mengatakan kepada Business News (13/2). API juga menyoroti safeguard Turki terhadap propduk tesktil, garment Indonesia. Turki menjadi pintu masuk produk Indonesia ke Eropah. Dengan penerapan safeguard, sebetulnya kedua negara sama-sama rugi. Karena selama ini, tekstil dan garment Indonesia yang diimport ke Turki, ternyata di re-ekspor ke Eropah. Mereka re-ekspor ke German, Perancis. Sehingga penerapan safeguard terhadap Indonesia akhirnya mengundang reaksi keras dari Asosiasi pertekstilannya Turki. Bahkan importir lokal di Turki menyampaikan petisi ke pemerintahnya. Ekspor Indonesia sempat mencapai 11,2 milyar USD tahun 2010. Sementara prediksi untuk tahun 2011, ekspor bisa terus naik yaitu sekitar 15 milyar, dengan volume yang lebih kecil. (SL)

http://www.businessnews.co.id/ekonomi-keuangan/produktekstil-indonesia-meningkat-pasca-acfta.php

Ekspor Tekstil China Merosot di 2012


Minggu, 03 Juni 2012 15:30 Administrator

Produksi tekstil China 10 kali lipat Indonesia/ist Duniaindustri (Juni 2012) Kabar gembira bagi industri nasional. Ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) China diperkirakan merosot di 2012 sejalan dengan krisis yang tengah melanda Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, selama Januari-Februari 2012 ekspor garmen (pakaian jadi) China turun 2,5%, sedangkan ekspor tekstil negeri Tirai Bambu itu turun 2,6%. Pada April 2012, ekspor garmen China naik tipis sekitar 1%, namun ekspor tekstil negeri itu tetap turun 0,3%. Tren empat bulan pertama di 2012 dapat dikatakan ekspor TPT China mengalami penurunan.

"Meskipun dari sisi persentasi penurunannya sangat kecil, bila dilihat dari nilainya sangat besar karena di tahun lalu ekspor TPT China berada di atas US$ 200 miliar. Bandingkan dengan ekspor TPT Indonesia yang tahun lalu hanya mencapai US$ 13 miliar," kata Redma. Penurunan ekspor China tersebut akan berdampak pada negara berpenduduk besar yang akan dijadikan pasar buangan produk yang tidak bisa diekspor ke AS maupun Eropa karena kapasitas produksi mereka sangat besar. "Terlebih untuk produk sektor hulu seperti serat dan benang, negara produsen benang dan kain seperti Indonesia dan Brasil adalah target utama barang buangan China," tegasnya. Redma mencontohkan, di kuartal I-2012 ekspor benang pintal poliester (PSF) China ke AS turun 700 ribu ton. "Artinya, produsen PSF China gagal menjual 700 ribu ton PSF ke pasar domestik karena ekspor benang ke AS turun, jika ditambah dengan penurunan ekspor ke Uni Eropa diperkirakan bisa mencapai 1,5 juta ton, bisa dibayangkan berapa besar stok PSF dan benang pintal polyester yang mereka punya saat ini yang siap dibuang ke pasar ekspor dan Indonesia adalah salah satunya," paparnya. Serat dan benang asal China tentu akan diekspor dengan harga yang tidak pasti. "Suka-suka saja (harga), produsen China tidak peduli rugi, karena menyimpan stok terlalu lama akan makin rugi. Harga normal akan dijual dipasar domestik, kalau domestik tidak bisa menyerap mereka akan buang ke Indonesia dengan harga di bawah produsen kita, dumping lah," tandasnya. Duniaindustri.com mencatat kapasitas produksi industri tekstil di China lebih dari 10 kali lipat kapasitas produksi industri tekstil Indonesia. Sebagai perbandingan, kapasitas produksi tekstil China ditaksir 62 juta ton per tahun, sementara Indonesia hanya 6,2 juta ton per tahun. Tidak mengherankan jika tekstil China menguasai pasar internasional, termasuk Indonesia. Presiden Direktur PT Dalitex Kusuma (produsen tekstil Indonesia) Rudy Unjoto mengakui China saat ini meningkatkan kapasitas produksi tekstilnya 10 kali lipat dibanding Indonesia sehingga mampu menguasai pasar internasional. Untuk itu, dia minta agar pemerintah lebih serius memperhatikan keterbatasan infrastruktur sehingga tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bisa dominan di pasar dunia, unggul dibanding dengan produk serupa dari ASEAN. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menambahkan pengusaha tekstil dan produk tekstil meminta pemerintah serius membangun infrastruktur, seperti jalan tol, listrik dan pelabuhan laut dalam upaya meningkatkan daya saing produk itu di pasar internasional. "Sampai saat ini kendala infrastruktur masih saja menjadi permasalahan bagi pengusaha tekstil. Padahal infrastruktur penting bagi kelancaran usaha," katanya. Dia mencontohkan akses jalan tol yang menuju Pelabuhan Tanjung Priok dinilai sudah tidak memadai lagi sehingga menghambat kelancaran arus ditribusi tekstil dan produk tekstil (TPT) yang akan diekspor maupun bahan baku impor. Akibat akses jalan tol yang tidak memadai disamping sering terjadi kemacetan kendaraan, mengakibatkan tidak efisiensinya harga TPT, sementara persaingan di pasar internasional kian ketat.

Dia mengkhawatirkan apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin TPT Indonesia akan kalah bersaing dengan negara pesaing, mengingat saat ini sudah banyak negara produsen TPT yang jadi pesaing serius. "China misalnya saat ini sudah lepas landas menjadi produsen TPT handal dunia," katanya. Ade menyebutkan Vietnam dan kamboja sudah menjadi ancaman serius bagi Indonesia mengingat pemerintah negara tersebut sangat serius mendorong dan memfasilitasi industri TPTnya. Myanmar saat ini juga bisa menjadi ancaman mendatang bagi industri TPT Indonesia walaupun saat ini negara itu masih berkutat dengan soal politik di dalam negeri. "Tapi nanti kalau Myanmar sudah menjadi negara demokrasi maka akan makin banyak investor yang berinvestasi di situ dan ini tentunya jadi ancaman kita," katanya. Indonesia berambisi menjadi salah satu raksasa produsen tekstil dunia dengan nilai devisa ekspor sekitar US$ 19 miliar atau Rp 171 triliun pada 2015. Saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI menjadi raksasa peringkat 9 terbesar dunia untuk garmen (hilir), sedangkan di tekstil (hulu) peringkat 11 dunia. Industri TPT nasional memiliki jumlah mesin pemintal benang terbesar keempat di dunia, 7,85 juta mata pintal. Menurut Ade Sudrajat, pada 2010 ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai US$ 11,21 miliar, naik 21% dibanding 2009. Dari nilai itu, ekspor TPT Indonesia menguasai 1,67% pangsa dunia, 4,55% pangsa pasar di Amerika Serikat, dan 1,28% pangsa di Uni Eropa. Industri TPT nasional saat ini merupakan sektor manufaktur dengan penyerapan tenaga kerja yang terbesar sekitar 1,84 juta orang. Industri TPT menyerap tenaga kerja 15% dari total penyerapan pekerja di sektor manufaktur nasional. Bahkan, saat krisis global tahun lalu, ekspor TPT masih mampu meraih surplus lebih dari US$ 6 miliar, katanya. Dia menjelaskan, dengan struktur industri yang hampir lengkap, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk TPT nasional mencapai 66%. Ini memperlihatkan kekuatan dan kedalaman struktur industri TPT telah mapan, katanya. Namun, sebelum menjadi raksasa tekstil dunia, sejumlah masalah perlu dibenahi untuk mendukung pengembangan industri TPT nasional. Salah satu masalah itu adalah bahan baku tekstil yakni kapas masih diimpor sekitar 99,5%. Kapas menjadi salah satu bahan baku tekstil dengan kontribusi terbesar yakni 38%, disusul serat poliester (produk turunan minyak) dan serat rayon (produk turunan kayu/pulp). Asosiasi telah menyusun roadmap pengembangan industri TPT nasional. Dalam roadmap itu disebutkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional membutuhkan investasi tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mencapai visi 2015. Dalam lima tahun ke depan, ekspor TPT nasional diprediksi menguasai 2,9% pangsa pasar dunia, 88% pangsa pasar domestik, dan 16% pangsa pasar Asean, tuturnya. Total perdagangan TPT dunia mencapai US$ 583 miliar pada tahun lalu. Dari nilai itu, Tiongkok dan Hong Kong menguasai pangsa 36,6%, disusul Turki (3,91%), India (3,28%), AS (2,87%), Korea (2,11%), Pakistan (1,92%), dan Indonesia (1,67%).

Produsen TPT nasional harus mampu bersaing di dua pasar ekspor utama, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Amerika Serikat, industri TPT nasional berada di peringkat lima pemasok utama. Tiongkok mendominasi impor tekstil AS dengan pangsa 35%, kemudian Vietnam (5,82%), India (5,44%), Meksiko (5,31%), dan Indonesia (4,55%). Pasar tekstil AS setara dengan 25% dari total perdagangan TPT dunia senilai US$ 93,18 miliar. Indonesia harus melampaui Vietnam, India, dan Meksiko untuk menjadi pemain utama di AS, selain Tiongkok.(Tim redaksi 01) Rekomendasi Indonesia sebagai salah satu produsen tekstil dan produk tekstil skala besar di dunia memiliki potensi untuk meningkatkan peringkat di dunia. Potensi itu tercermin dari jumlah mesin pemintal benang yang dimiliki industri ini terbesar keempat di dunia, 7,85 juta mata pintal. Padahal, saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI menjadi raksasa peringkat 9 terbesar dunia untuk garmen (hilir), sedangkan di tekstil (hulu) peringkat 11 dunia. Hal itu didukung dengan adanya tren pengalihan order prinsipal tekstil asing dari China ke Indonesia karena lonjakan biaya tenaga kerja di Negara Tirai Bambu itu. Sekarang tinggal bagaimana produsen dan pemerintah berkolaborasi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk mencapai target tersebut. Mustahil atau realistis target tersebut tergantung upaya bersama.

You might also like