You are on page 1of 2

Menimbang Open Access: Strategi Penanaman Kejujuran Akademik yang Taktis Ari Zuntriana Pustakawan Perpustakaan Pusat UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang Kejujuran akademik kini telah semakin meluntur. Ini ditandai dengan kasus kecurangan intelektual yang bisa dikatakan bukan lagi bersifat kasuistik, namun telah jamak terjadi. Bentuk yang paling lazim adalah plagiarisme. Ironisnya, perilaku tak terpuji ini menjangkiti hampir semua insan akademik tanpa memandang status dan golongan. Pelaku plagiat bisa berasal dari kalangan mahasiswa semua strata, dosen, dan bahkan mereka yang bergelar guru besar sekalipun. Beberapa kasus plagiarisme yang sempat terungkap di media massa sejatinya hanyalah fenomena gunung es. Di lapangan, kasus plagiarisme kelas teri sangat mungkin terjadi hampir tiap hari. Plagiarisme dapat dipilah menjadi dua macam, yaitu secara tidak sengaja (inadvertent plagiarism) dan sengaja (deliberate plagiarism). Ketidaktahuan dan ketidakpedulian mengenai tata cara pengutipan dan parafrase menjadi penyebab utama terjadinya plagiarisme tidak sengaja. Plagiarisme jenis ini bisa diatasi dengan memberikan pengajaran tentang etika dan tata cara penulisan yang benar. Sedangkan plagiarisme sengaja adalah kasus plagiarisme yang dilakukan murni karena unsur kesengajaan. Tulisan ini akan berfokus pada upaya meminimalisir kasus plagiarisme secara sengaja. Untuk selanjutnya, istilah plagiarisme secara otomatis akan merujuk pada plagiarisme kelas berat ini. Berdasarkan UU Hak Cipta tahun 2002, plagiarisme dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta asal unsur pelanggaran dipenuhi, yaitu melanggar hak cipta yang telah terdaftar dan adanya unsur penyebaran tanpa seijin pemegang hak cipta. Ini bisa dimaknai bahwa plagiarisme akan menjadi pelanggaran hak cipta hanya jika ada kerugian yang bersifat material. Karena belum tentu membawa kerugian materi, plagiarisme lebih sering dimasukkan ke dalam ranah etika daripada ranah hukum. Kita bisa berkaca dari kasus plagiarisme yang baru-baru ini menimpa tiga calon guru besar di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Kabarnya mereka hanya mendapatkan sanksi berupa penurunan pangkat/golongan dan pengguguran gelar guru besar, bukan pencopotan dari jabatan. Meskipun sanksinya lebih bersifat moral, kita harus tahu bahwa plagiarisme tetap saja merupakan penodaan serius terhadap semangat kejujuran akademik. Ini jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan sendiri yang hendak menyemai akhlak baik dan sifat luhur yang ada dalam diri manusia. Budaya instan sering dituding sebagai biang keladi merebaknya plagiarisme. Mental ingin cepat sampai tujuan apapun caranya menjadi mantra bagi mereka yang kepepet saat mencari referensi, entah karena malas atau kurang bisa membagi waktu. Mentalitas lemah ini lantas bertemu dengan era Internet yang menawarkan solusi praktis untuk memperoleh informasi. Mudah ditebak, banyak orang yang akhirnya memilih jalan pintas dengan mencuri ide, gagasan, kalimat, dan hasil karya orang lain. Namun, benarkah hanya itu akar masalahnya? Jika memang demikian yang terjadi, apakah hanya dengan menanamkan integritas dan kejujuran masalah plagiarisme akan terselesaikan? Saat ini kita memerlukan sebuah strategi penanaman kejujuran akademik yang lebih taktis dan mampu menjawab tantangan ini dalam jangka panjang. Melirik open access Kemudahan akses informasi ibarat pisau bermata dua. Informasi yang dibuka secara luas beresiko disalahgunakan, salah satunya menjadi sasaran para plagiator. Semakin mudah akses, semakin mudah pula orang melakukan plagiat. Ini berlaku untuk semua informasi yang dapat diakses melalui Internet. Namun, ada antitesis yang melawan pendapat pertama ini.

Pandangan kedua mengatakan bahwa ketika informasi dibuat sedemikian terbuka, maka tindak plagiarisme akan lebih mudah ditekan. Setiap tindak kecurangan akan semakin mudah terdeteksi karena masyarakat, termasuk penulisnya sendiri, langsung bertindak sebagai pengawas atas hasil karyanya. Inilah salah satu kelebihan dari open access yang belum banyak disadari. Gerakan open access bermula dari sebuah kesadaran bahwa ilmu hakikatnya bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama. Gerakan ini kemudian dipernyata dengan membuka akses terhadap hasil penelitian dan karya ilmiah yang dihasilkan oleh warga kampus dan para peneliti. Ini yang mendasari lahirnya institutional repository (IR) di banyak perguruan tinggi, termasuk cikal bakalnya berupa muatan lokal (local content) yang disimpan di Digital Library UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Muatan lokal adalah semua karya yang dihasilkan oleh sivitas akademika perguruan tinggi, seperti skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dan laporan penelitian. Patut ditekankan bahwa yang dibagi adalah informasi yang terkandung di dalam karya, bukan hak ciptanya. Banyak praduga ditujukan terhadap IR karena kekhawatiran koleksi digital ini akan menjadi sasaran empuk para plagiator. Padahal jika disikapi dengan bijak, membuka saluran akses melalui IR bisa menjadi cara ampuh memerangi plagiarisme. Plagiator yang menyalin mentah-mentah hasil penelitian orang lain akan berpikir berkali-kali karena karya abal-abal yang ditulisnya akan bersanding dengan karya asli yang sama-sama dapat diakses secara luas di Internet. Ini tentu menjadi peringatan besar yang jauh lebih efektif daripada kuliah khusus tentang pentingnya integritas akademik yang berbusa-busa namun cepat dilupakan. Kita perlu memahami bahwa plagiarisme sampai kapanpun akan sulit dihilangkan. Bahkan di negara maju sekalipun plagiarisme masih menjadi musuh bersama dan utama dunia akademik. Ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir, bukan menghapusnya secara total. Melalui kebijakan open access, kita tidak akan hanya menanamkan integritas, tapi juga kepercayaan diri dan tanggung jawab ilmiah kepada masyarakat. Akan sangat disayangkan jika karya para mahasiswa dan dosen hanya berakhir di rak perpustakaan yang daya aksesnya tentu sangat terbatas jika dibandingkan dengan disediakan secara online. Pun, IR juga bermanfaat untuk meminimalisir angka redudansi topik penelitian dalam penyusunan karya. Tentu kita tidak mau membuang dana, waktu, dan energi untuk mengangkat topik penelitian yang sudah mendekati titik jenuh, bukan? Ada lagi kelebihan open access yang lain. Prestasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyandang gelar PTAIN terbaik se-Indonesia versi Webometric juga tak lepas dari kebijakan open access. Masyarakat menjadi tahu bahwa kita produktif dan memiliki SDM berdaya saing tinggi yang mampu menghasilkan karya-karya terbaik. Tanpa perlu promosi besar-besaran mereka mengunjungi web perpustakaan digital kita dan akhirnya mengenal kampus ini dengan lebih baik. Inilah saatnya kita mulai berpikir terbuka dan menumbuhkan kesadaran baru bahwa penanaman kejujuran akademik perlu ditopang dengan strategi yang jauh lebih taktis daripada sebelumnya. Dalam era teknologi informasi, menyimpan rapat-rapat karya yang kita punya sama halnya dengan menyembunyikan harta karun yang sangat berharga namun membiarkan orang lain memandang kita miskin. Bagaimana orang akan tahu kekayaan intelektual yang kita punya jika kita tidak pernah mempublikasikannya secara terbuka? Jadi, tidak ada alasan untuk takut membuka keran akses muatan lokal hanya karena ancaman plagiarisme. Kita harus melawannya dengan cara yang strategis dan elegan. Mari bersama mendukung gerakan open access!

You might also like