You are on page 1of 44

Problema kekurangan air untuk irigasi terlalu sering didengar sejak waktu yang lama, dan kerugian yang

diakibatkan oleh kekurangan air tersebut sangat besar, oleh karena banyak sawah yang sudah ditanami padi akhirnya mati kekeringan, dan tentu saja panen berlimpah yang diharapkan oleh petani menjadi gagal total. Krisis akan air dan sumber air di Indonesia dewasa ini bersumber dari: Jumlah pensusuk yang meningkat sangat cepat Terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat pembabatan hutan yang dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga mengakibatkan merosotnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau Terjadinya kemarau panjang pada tahun 1991, 1994, dan 1997 Kualitas air yang mengalami penurunan cukup tajam di berbagai wilayah Kegiatan penambangan sumber-sumber air tanah yang lebih besar dari kemampuan alam mengisi kembali Timbulnya masalah air dan sumber air juga memberi petunjuk bahwa sistem lingkungan yang mendukung berlangsungnya proses daur hidrologi mungkin sedang atau telah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut disebabkan berkurangnya luasan hutan pada kawasan tangkapan hujan (catchmen area), tekanan penduduk yang berlebihan, pemanfaatan air dan sumber air yang melampaui daya pasok alamiahnya dan tingkat sedimentasi yang berlebihan.

A. Tinjauan Pustaka E.1 Batasan Kekeringan Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak sirkulasi musiman ataupun penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada episode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam kondisi iklim normal. Dampak akibat terjadinya kekeringan sangat luas, secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. B. Tujuan Dengan menggunakan data curah hujan bulanan untuk analisis kekeringan dan ketersediaan air terutama bagi wilayah tadah hujan di Kalimantan Selatan, diharapkan dapat memberikan informasi tambahan yang lebih detil tentang kondisi yang terjadi disuatu wilayah guna mendukung informasi mengenai jumlah curah dan sifat hujan bulanan yang telah berjalan. C. Ruang Lingkup Data curah hujan yang digunakan untuk analisis kekeringan melalui Indeks Standard Curah Hujan atau Standardized Precipitation Index (SPI) di wilayah Kalimantan Selatan menggunakan data curah hujan bulanan dari 87 pos peramatan, baik data peramatan dari stasiun BMG, SMPK, maupun pos hujan observatorium kerjasama. (data terlampir)

BAB II LANDASAN TEORITIS Proses terjadinya kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim, kejadian ini adalah kekeringan meteorologis yang merupakan tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berkurangnya kondisi air tanah yang menyebabkan terjadinya stress pada tanaman (terjadinya kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah yang ditandai menurunnya tinggi muka air sungai ataupun danau (terjadinya kekeringan hidrologis) Untuk

lebih memudahkan dalam pemahaman mengenai kekeringan, maka pengertian kekeringan tersebut dibagi lagi secara lebih spesifik sebagai berikut : A. Kekeringan Meteorologis Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis Intensitas kekeringan

merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. berdasarkan definisi meteorologis adalah sebagai berikut; 1. kering : apabila curah hujan antara 70% - 85% dari kondisi normal (curah hujan dibawah normal) 2. sangat kering : apabila curah hujan antara 50% - 70% dari kondisi normal (curah hujan jauh dibawah normal) 3. Amat sangat kering : apabila curah hujan < 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh dibawah normal) B. Kekeringan Pertanian

Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut : 1. Kering : apabila daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena ringan s/d sedang) 2. Sangat kering : apabila 2 / daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena berat) 3 3. Amat sangat kering : apabila seluruh daun kering (terkena puso) C. Kekeringan Hidrologis Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian

muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan. sebagai berikut : 1. kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah periode 5 tahunan 2. sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh dibawah periode 25 tahunan 3. Amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh dibawah periode 50 tahunan D. Kekeringan Sosial Ekonomi Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari dari terjadinya kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologis. E. Analisis kekeringan Terjadinya kekeringan meteorologis merupakan tanda awal terjadinya kekeringan, sehingga perlu dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat kekeringannya sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. Salah satu metode yang digunakan dalam analisis kekeringan meteorologis ini adalah menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index) yang diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : dan dikembangkan oleh McKee et al tahun 1993. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah

Metode ini merupakan model untuk mengukur kekurangan/deficit curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Perhitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai fungsi frekuensi atau peluang kejadian sebagai berikut;

Kekeringan adalah suatu keadaan di mana curah hujan lebih rendah dari biasanya/normalnya. Sebagai contoh menurut BMG, bulan mulai kering jika jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 harian) kurang dari 50 mm dan diikuti oleh dasarian berikutnya atau kurang dari 150 mm/bulan yang merupakan nilai impasnya dengan laju evapotranspirasi rata-rata bulanan. Istilah kering disini juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana curah hujannya sedikit. Sementara yang disebut tahun kering, yaitu tahun di

mana kejadian kering di Indonesia terjadi sebagai akibat kuatnya tekanan udara di Benua Australia. Sedang istilah tahun ENSO, yaitu tahun di mana kekeringan akibat fenomena global El Nino Southern Oscillation (ENSO) terjadi, seperti kekeringan pada tahun 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Kekeringan pertanian adalah sebagai suatu periode dimana lengas tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati. Definisi kekeringan hidrologis adalah suatu periode di mana aliran sungai di bawah normal dan atau bila tampungan air untuk waduk tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena dampak kekeringan.

Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama petani. Terlebih lagi bencana kekeringan mengakibatkan kurang tersedianya air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakat. Pada tahun 1997 pada saat fenomena EL-Nino kuat sekali mengakibatkan kekeringan di hampir wilayah Indonesia. Bencana kekeringan selain diakibatkan oleh kurangnya curah hujan juga dapat diakibatkan oleh kurangnya daya serap air. Kurangnya daya serap air dipicu oleh perubahan tata guna lahan dari kawasan hutan berubah menjadi kawasan industri, perumahan dan lainlain. Sehingga kadar air tanah pada satu kawasan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian dan kebutuhan air bersih sehari-hari. Dalam bidang pertanian, informasi spasial tentang indeks kekeringan sangat diperlukan, karena dengan informasi ini dapat ditentukan pola tanam dan pemilihan varietas yang cocok. Informasi indeks kekeringan dapat dibuat berdasarkan karakteristik iklim seperti pola hujan bulanan, suhu udara, penguapan, dan sifat fisis tanah itu sendiri. Informasi lain yang penting adalah informasi ketersediaan air tanah. Dengan informasi ini dapat direncanakan budidaya tanaman dan tataguna lahan.

Pengertian & Latar Belakang Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.

Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal.

Klasifikasi Kekeringan Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :

a. Kekeringan Meteorologis Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:

kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di bawah normal)

sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan jauh di bawah normal)

amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).

b. Kekeringan Hidrologis Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:


kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah periode 25 tahunan

amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan

c. Kekeringan Pertanian Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:


kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang) sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena berat)

amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)

d. Kekeringan Sosial Ekonomi Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.

Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:

e. Kekeringan Antropogenik Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.

Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:


Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50% Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40% Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%. Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara meninjaunya.

Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air.

Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap pertumbuhannya. Tanaman padi

misalnya, memerlukan cukup banyak air selama pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.

Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan. Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan. Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:

1. Petani tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya dan kapan saja. 2. Terjadinya perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau lebih awal atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air untuk tanaman tak mencukupi. 3. Terjadi kerusakan jaringan pengairan. 4. Keadaan ekstrim. Langkah-Langkah yang Dilakukan untuk Menghadapi Kemungkinan Kekeringan

A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi. Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara: 1. Pembuatan peta kekeringan 2. Penentuan tipe-tipe iklim di daerah kita Peta kekeringan dapat diperoleh dari instansi terkait yang mempunyainya. Mungkin di dinas pertanian setempat, dan lain-lain. Kami di stasiun Klimatologi Banjarbaru Badan Meteorologi dan Geofisika memberikan layanan tersebut. Berikut adalah contoh peta potensi kekeringan di Kalimantan Selatan bulan Mei 2009.

Peta potensi kekeringan/kebakaran hutan 2009 diperuntukkan bulan Mei sampai dengan Oktober. Sedangkan peta potensi banjir/tanah longsor dibuat untuk bulan Januari sampai dengan Juni dan Nopember sampai Desember. Untuk melihat keseluruhan peta dapat dilihat pada blog http://miftahulmunir.wordpress.com.

Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah: 1. Rata-rata curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun). 2. Curah hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan. 3. Curah hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah longsor. 4. Peta dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan. Faktanya agar dilakukan evaluasi di lapangan. Adapun kriteria yang digunakan dalam curah hujan bulanan adalah: 1. Rendah, bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan 2. Sedang, bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan 3. Tinggi, bila curah hujan di atas 300 mm/bulan

Penentuan tipe iklim antara lain: a. Tipe iklim Thornwaite Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.

Keterangan P = Curah hujan bulanan T = Suhu bulanan rata-rata E = Penguapan

b. Tipe iklim Mohr Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:

Bulan kering jika curah hujan satu bulan kurang dari 60 mm. Bulan lengas jika curah hujan satu bulan antara 60 mm sampai 100 mm Bulan basah jika curah hujan satu bulan lebih dari 100 mm Penggolongan iklim menurut Mohr ditentukan oleh banyaknya bulan-bulan basah dan

bulan-bulan kering dari rata-rata curah hujan bulanan selama periode beberapa tahun pada umumnya 10 tahun.

c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah, atau

Schmidt-Ferguson menggolongkan iklim di Indonesia menjadi 8 (delapan) golongan yaitu:

d. Tipe Iklim Boerema Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :

1. Pola equatorial Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.

2. Pola Monsun Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.

3. Pola Lokal Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.

d. Tipe Iklim Oldeman Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.

Bulan basah (BB) : Bulan dengan curah hujan satu bulan > 200 mm Bulan lembab (BL) : Bulan dengan curah hujan satu bulan 100-200 mm Bulan kering (BK) : Bulan dengan curah hujan satu bulan < 100 mm. Oldeman membagi tipe utama iklim menjadi 5 katagori yaitu A, B, C, D dan E

berdasarkan

jumlah

bulan

basah

secara

berturut-turut.

Sedangkan subdivisi ditentukan menjadi 4 didasarkan pada jumlah bulan kering berturutturut.

Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe iklim Oldeman sebagai berikut:

Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung rata-ratanya.

Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada posting yang akan datang.

B. Pengecekan Neraca Klimatologi Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather. Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.

Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.

Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut : KL = TLP =

Keterangan

KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah

Langkah-langkah penghitungan : 1. Kolom curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan. 2. Kolom evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput) dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney Criddle dan seterusnya. 3. Kolom CH - ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial 4. Kolom APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH - ETp negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp negatif. 5. Pengisian kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan tabel Soil

Moisture retention atau rumus sebagai berikut : 1.000412351 + (-1.073807306)/KL

k =

6. Kolom DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT bulan sebelumnya.

7. Kolom ETa (Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada bulanbulan terjadi APWL (CH <> 8. Kolom defisit (D) diisi ETp-ETa 9. Kolom surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT. Lalu disusun neraca air lahan sesuai langkah-langkah tersebut di atas. Detil dan aplikasi dari neraca air lahan akan dijelaskan pada posting yang akan datang.

Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.

C. El-Nino El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).

Ciri-ciri terjadinya El Nino : 1. Memanasnya suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di atas rata-ratanya (penyimpangan positif) > 1.5 C di kawasan equator Samudera Pasifik bagian timur. Mendinginnya suhu muka laut hingga di bawah rata-ratanya (penyimpangan negatif) < 1,5 C di kawasan Indonesia. 2. Perubahan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) nilai negatif (< -10) 3. Melemahnya angin pasat timur di atas perairan Samudera Pasifik hingga di bawah normalnya.

Efek dari kejadian El Nino untuk daerah Indonesia, mengakibatkan curah hujan berkurang. Sehingga yang perlu kita waspadai bila El Nino terjadinya pada musim kemarau dan efek terburuknya bisa terjadi kekeringan. Bila terjadinya pada musim hujan hanya mengakibatkan curah hujannya berkurang.

Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif). Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir. Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.

D. Prakiraan Musim BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan: 1. Permulaan musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi. 2. Perbandingan terhadap rata-ratanya yang menginformasikan maju mundurnya awal musim. 3. Sifat hujan yang menginformasikan berapa besar dan sifat curah hujan selama musim tersebut. Informasi ini dapat dipergunakan untuk mempertajam tingkat kecurigaan kita terhadap kekeringan. Misalnya sudah terindikasi kemungkinan akan terjadi kekeringan, selanjutnya musim kemarau yang diprakirakan terjadi lebih awal atau kemaraunya lebih panjang. Maka ini dapat memperkuat indikasi akan terjadinya kekeringan.

E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.

Sumber : Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Kentjus Soesilo. 2007. Gawar Dini Kekeringan dalam Workshop Penguatan Kemampuan UPT BMG dalam Pelayanan Informasi MKKuG untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi, Cuaca dan Iklim Tahap II. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN -1DRAFT FINAL SEKRETARIAT TKPSDA 2003

Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dll).

Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak bisa dielakkan yakni merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam dapat dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad. Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang panjang akan dapat dijumpai variasi cuaca yang beragam, misalnya : bulan basah bulan kering, tahun basah tahun kering, dekade basah dan dekade kering dll. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di dunia yang mengakibatkan terjadinya tekanan penggunaan lahan dan air telah menurunkan daya dukung lingkungan, sehingga kekeringan ini cenderung semakin sering terjadi dan meluas.

Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan ouflow atau antara presipitasi dan evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air.

Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat luas, komplek, dan juga rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena air merupakan kebutuhan pokok dan vital seluruh mahluk hidup yang tidak dapat digantikan dengan sumberdaya lainnya.

Datangnya bencana kekeringan belum dapat diperkirakan secara teliti, namun secara umum berdasarkan statistik, terlihat adanya fenomena terjadinya kekeringan kurang lebih setiap empat atau lima tahun sekali. Bencana kekeringan dapat disebabkan antara lain oleh curah hujan yang jauh dibawah normal pada areal yang airnya telah dimanfaatkan secara maksimal atau pada musim kemarau panjang.

Dari segi sosial, dampak yang ditimbulkan pada bencana kekeringan berbeda dengan dampak pada bencana banjir, tanah longsor, tsunami, gempa bumi. Pada bencana yang disebutkan diatas, secara sosial dengan cepat dapat menghimpun kesetiakawanan social dari berbagai pihak dalam memberikan bantuan (jangka pendek atau jangka panjang). Dilain pihak, bencana kekeringan dapat menimbulkan perpecahan dan konflik yang meluas yang meliputi konflik antar pengguna dan antar pemerintah.

Sebagian tugas Pemerintah Daerah adalah melaksanakan penanggulangan kekeringan. Untuk itu diperlukan Pedoman Menejemen Kekeringan. Untuk membantu kegiatan

Pemerintah Daerah dalam upaya menanggulangi terjadinya bencana tersebut.

1. 2. Maksud dan Tujuan

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan kerja bagi Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan kegiatan menejemen kekeringan agar dapat dilaksanakan secara cepat, tepat dan berhasil guna sesuai dengan pola pengelolaan wilayah sungai. Pedoman ini digunakan bersama pedoman lain yang terkait dengan maksud saling melengkapi. Untuk melaksanakan pedoman ini Pemerintah Daerah perlu membuat petunjuk teknis danpetunjuk pelaksanaan sesuai dengan kondisi Daerah masing- masing. Tujuan pembuatan pedoman ini adalah sebagai acuan untuk mengumpulkan data, meramalkan kekeringan dan memprakirakan dampak kekeringan, sehingga dapat

memberikan informasi teknis dalam rangka penanggulangan bencana kekeringan dan diharapkan bencana tersebut dapat diantisipasi dan kerugian akibat bencana tersebut dapat ditekan menjadi sekecil mungkin.

1. 3. Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman ini meliputi pendahuluan, pengertian, klasifikasi kekeringan, kelembagaan, manajemen, koordinasi, dan pelaporan.

BAB II PENGERTIAN 1. Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan ke anak sungai dan sungai utama yang bermuara ke danau atau laut. 3. Stakeholder adalah organisasi atau individu yang mempunyai perhatian, atau berkepentingan pada sumberdaya air dan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya air. 4. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah,

termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air l aut yang dimanfaatkan di darat.

5. Sumber air adalah tempat dan atau wadah air alami dan atau buatan yang terdapat pada, di atas, maupun di bawah permukaan tanah. 6. Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan, keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang. 7. Prasarana sumberdaya air adalah bangunan -bangunan sumberdaya air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumberdaya air, baik langsung maupun tidak langsung. 8. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 9. Sumberdaya Air adalah air dan sumber air yang sudah diberdayakan sehingga dapat

digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa yang mempunyai nilai kegunaan tambah dibandingkan dengan nilai kegunaan aslinya. 10 . Alokasi air adalah penjatahan air untuk berbagai keperluan pada daerah aliran sungai dalam memenuhi kebutuhan air bagi para pengguna air dari waktu ke waktu dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas air berdasarkan asas kemanfaatan umum, keseimbangan dan kelestarian. 11 . Pola Tanam adalah pengaturan waktu tempat, jenis dan luas tanaman disertai penggunanaan air yang efisien untuk memperoleh produksi optimal. 12 . Debit aliran adalah volume air yang mengalir per satuan waktu.

BAB III KLASIFIKASI KEKERINGAN

Untuk memudahkan Pemerintah dan masyarakat dalam memahami masalah kekeringan, berikut diuraikan klasifikasi kekeringan yang terjadi secara alamiah dan atau ulah manusia, sebagai berikut:

3.1. Alamiah a. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

b. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah . Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. c. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi. d. Kekeringan Sosial ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan. e. Kekeringan Hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan

3.2. Perbuatan Manusia Kekeringan Tidak Taat Aturan terjadi karena: a. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air. b. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

Dari klasifikasi kekeringan sebagaimana tercantum dalam angka 3.1 dan 3.2, maka prioritas penanganan penanggulangan kekeringan disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing.

Khusus untuk kekeringan yang disebabkan ketidaktaatan para pengguna air dan pengelola prasarana air, perlu komitmen dari semua pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang sudah ditetapkan.

Untuk masyarakat perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif sehingga para pengguna air memahami dan melaksanaka n pola yang ditetapkan.

Kekeringan merupakan bencana yang kerap terjadi dan menimbulkan banyak kerugian. Berbeda dari bencana alam lainnya, kekeringan bersifat merayap, berakumulasi secara lambat, tidak jelas awal dan akhirnya, sehingga sulit mendefinisikan secara tepat dan berlaku umum mengenai tingkat keparahannya. Dampak kekeringan bersifat non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang menimbulkan kerusakan struktur yang terlihat nyata. Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, yaitu kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi. Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi kejadian kekeringan. Karena kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia, demikian pula tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal. Penelitian dan pengembangan mengenai indeks kekeringan diperlukan sebagai indikator untuk mendeteksi, memantau dan mengevaluasi kejadian kekeringan; perkembangan teknologi pengambilan data dan metodologi analisis, serta memberikan arah baru pengembangan indeks; dan kebutuhan para pemangku kepentingan untuk pelaksanaan alokasi air di lapangan.

Pendahuluan Latar Belakang Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang mengancam kehidupan dan menimbulkan kerugian besar. Menurut Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (2007), berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun antara 1993-2002 yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan, mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi iklim menunjukkan

bahwa hal ini akan semakin parah pada masa mendatang. Hal ini akan memberikan dampak yang besar terutama untuk negara berkembang. Salah satu komponen penting dari strategi kekeringan nasional adalah sistem pemantauan kekeringan secara komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan berakhirnya kekeringan, menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi pada berbagai sektor terutama sektor pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan. Dalam deklarasi Lincoln mengenai indeks kekeringan (WMO, 2009), dinyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya frekuensi dan besarnya kekeringan, para ahli telah sepakat untuk menggunakan sebuah indeks kekeringan meteorologi untuk meningkatkan efektifitas pemantauan dan pengelolaan resiko iklim di dunia. Indeks kekeringan yang dimaksud adalah Standardized Precipitation Index (SPI). Dengan indeks SPI ini kekeringan didefinisikan mulai terjadi jika nilai SPI negatif, dan kekeringan berakhir jika SPI telah berubah menjadi positif. Deklarasi Lincoln ini juga menyatakan bahwa akan dibentuk dua kelompok kerja untuk merekomendasikan indeks serupa, yang dapat digunakan secara global untuk menangani permasalahan kekeringan pertanian dan kekeringan hidrologi. Untuk membahas indeks kekeringan pertanian telah dilaksanakan WMO/UNISDR Expert Meeting on Agricultural Drought Indices di Murcia, Spanyol pada tanggal 2-4 Juni 2010, sedangkan untuk indeks kekeringan hidrologi, telah diselenggarakan WMO/UNISDR Expert Meeting on Hydrological Drought Indices di Jenewa, Swiss pada tanggal 1-2 September 2011. Namun demikian, pada pertemuan Jenewa tersebut belum diperoleh kesepakatan mengenai indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan secara global. Maksud dan Tujuan Makalah ini membahas indeks kekeringan hidrologi pada berbagai negara, dan kemungkinan penerapannya di Indonesia. Tujuannya adalah untuk dapat lebih baik mengelola alokasi air, terutama pada masa kekeringan.

Alokasi Air dan Kekeringan Alokasi Air Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2011) mendefinisikan alokasi air sebagai upaya pengaturan air untuk berbagai keperluan dari waktu ke waktu dengan memperhatikan jumlah dan mutu air pada lokasi tertentu. Penyelenggaraan alokasi air adalah rangkaian kegiatan pengaturan

air yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian, pemantauanevaluasi, serta koordinasi, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan Alir Penyelenggaraan Alokasi Air (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2011) Pengelolaan kekeringan merupakan salah satu aspek dari alokasi air. Roman (2005) menyatakan bahwa ruang lingkup permasalahan sistem alokasi air terdiri atas: hak guna air, penentuan alokasi air, sistem administratif, pengaturan tampungan air di waduk, keandalan sistem, penggunaan air yang beragam, kebutuhan aliran pemeliharaan di sungai, dan pengelolaan kekeringan. Pada saat terjadi kekeringan, dimana jumlah air yang tersedia tidak dapat memenuhi semua kebutuhan air, maka perlu ditentukan prioritas alokasi air. Pengertian Kekeringan Wilhite (2010) menyatakan bahwa kekeringan berbeda dari bencana alam lainnya pada 4 hal, yaitu: 1) Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir terjadinya sulit ditentukan; 2) Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah terjadi kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat keparahannya. Walaupun banyak terdapat definisi tetapi tidak ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang tepat untuk para ilmuwan, pengambil keputusan, dan masyarakat luas. Contohnya, batas untuk menyatakan kekeringan pada umumnya tidak terkait langsung dengan dampak spesifik pada

sektor ekonomi; 3) Dampak kekeringan adalah non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampaknya menyebar lebih luas, tidak terlokalisir seperti bencana alam lainnya; 4) Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi. Kekeringan didefinisikan secara umum oleh UN-ISDR (2009) sebagai kekurangan curah hujan dalam suatu periode waktu, biasanya berupa sebuah musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor lingkungan. Kekeringan meteorologi didefinisikan sebagai kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Sedangkan kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. Kekeringan hidrologi didefinisikan sebagai kekurangan pasok air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Wilhite (2010) menyatakan perbedaan berbagai jenis kekeringan tersebut pada Gambar 2 Untuk membedakan berbagai tingkat kekeringan, pada dasarnya terdapat 3 faktor yang menentukan, yaitu intensitas, durasi, dan luas yang terkena dampak. Intensitas menyatakan derajat kekurangan hujan atau dampak lainnya yang biasa dinyatakan dengan penyimpangan dari indikator iklim atau indeks dari kondisi normal. Sebagaimana bencana alam lainnya, kekeringan juga memiliki komponen alami dan komponen masyarakat. Resiko kekeringan merupakan hasil perkalian antara daerah yang terkena kekeringan dengan kerawanan masyarakat terhadap kekeringan (Wilhite, 2010).

Variabilitas Iklim

Berkurangnya hujan (jumlah,intensitas, waktu)

Suhu tinggi, angin kencang, kelembaban rendah, sinar matahari terik, tiada awan

Berkurangnya infiltrasi, larian, perkolasi, imbuhan air tanah

Meningkatnya evaporasi dan transpirasi

Tanaman mengalami stress kekurangan air, berkurangnya panen

Berkurangnya aliran sungai, air di danau, waduk, kolam, berkurangnya lahan basah, habitat satwa liar

Dampak ekonomi

Dampak sosial

Dampak lingkungan

Gambar 2 Kekeringan meteorologi, pertanian, hidrologi dan sosio-ekonomi (Wilhite, 2010) Kekeringan Hidrologi Kekeringan hidrologi didefinisikan oleh Nalbantis et al (2008) sebagai berkurangnya secara nyata air yang tersedia dalam berbagai bentuk siklus hidrologi di daratan, yaitu sebagai air di sungai, air di waduk dan danau, dan air tanah. Pengertian lain kekeringan hidrologi diberikan oleh Tallaksen et al (2004) sebagai keadaan ketersediaan air berada di bawah rata-rata alami, yang berlanjut secara regional. Sementara Panu et al. (2002) mendefinisikan kekeringan hidrologi sebagai periode waktu jumlah air di sungai, danau, akuifer, dan tanah berada di bawah rata-rata.

Kekeringan sosio-ekonomi

Waktu

Berkurangnya lengas tanah

Kekeringan hidrologi Kekeringan pertanian

Kekeringan Meteorologi

UN-ISDR (2009) mendefinisikan kekeringan hidrologi sebagai kekurangan air permukaan dan air tanah relatif terhadap kondisi rata-rata pada berbagai saat dalam musim. Seperti halnya dengan kekeringan pertanian, kekeringan hidrologi tidak memiliki hubungan yang langsung antara jumlah curah hujan dengan banyaknya air di sungai, waduk, danau, dan akuifer, sebab komponen sistem hidrologi tersebut digunakan untuk berbagai keperluan seperti irigasi, air minum, dan lainnya. Terdapat perbedaan waktu antara datangnya hujan dan ketika terjadi kekurangan air di permukaan dan air tanah. Terkait dengan kekeringan meteorologi, Rathore (2005) menyatakan bahwa kekeringan hidrologi merupakan dampak dari kekeringan meteorologi jangka panjang, yang menguras habis air di sungai, danau dan waduk, serta menurunkan muka air tanah. Rossi et al (2007) menegaskan perbedaan antara kekeringan hidrologi (hydrological drought) dengan kekurangan air (water shortage). Kekeringan hidrologi disebabkan oleh kekeringan meteorologi, atau kondisi kurangnya curah hujan.

Pengelolaan Kekeringan Pengelolaan kekeringan pada dasarnya adalah mengurangi resiko parahnya kejadian kekeringan, dan hasilnya adalah mengurangi dampak kerugian akibat kekeringan. Strategi pengelolaan kekeringan telah diidentifikasikan oleh Wilhite et al (2006) bahwa ada 4 komponen penting di dalamnya, yaitu: 1) tersedianya informasi yang tepat waktu dan dapat diandalkan pada para pengelola dan pengambil kebijakan; 2) kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi dan penerapan informasi tersebut; 3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan resiko untuk para pengambil kebijakan; dan 4) tindakan oleh para pengambil keputusan yang efektif dan konsisten dalam mendukung strategi kekeringan nasional. Pengelolaan kekeringan secara tradisional (Bazza, 2002) terdiri atas tahapan sebagai berikut: 1) Memantau ketersediaan air di sungai, danau dan waduk, serta air hujan; 2) Menentukan awal terjadinya kekeringan; 3) Menyiapkan program bantuan dan pendanaan, yang didasarkan atas penilaian singkat, dengan dana yang diambil dari bantuan, pinjaman, dan anggaran yang tidak terencana dengan baik; 4) Melaksanakan program bantuan, yang seringkali dilaksanakan oleh lembaga khusus atau satuan tugas; dan 5) Setelah kekeringan berlangsung, pihak-pihak terkait melupakan semuanya, dan kembali ke kehidupan normal.

Adler (2010) mengungkapkan bahwa walaupun telah terjadi pergeseran pengelolaan kekeringan, yaitu dari reaktif menjadi program preventif dan mitigasi dampak bencana kekeringan, akan tetapi masih kurang adanya perhatian terhadap aspek hukum. Hukum dan kelembagaan dapat mendorong kearah upaya yang lebih pro aktif dan berorientasi pada pencegahan, dengan adanya peraturan dan lembaga yang memfasilitasi masyarakat dalam mitigasi bencana kekeringan.

Indeks Kekeringan Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi kejadian kekeringan. Kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia. Demikian pula tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal (Niemeyer, 2008). Perlunya mengembangkan indeks kekeringan adalah: 1) secara ilmiah diperlukan indikator untuk mendeteksi, memantau dan mengevaluasi kejadian kekeringan; 2) perkembangan teknologi pengambilan data dan metodologi analisis juga memberikan arah baru pengembangan indeks; dan 3) Kebutuhan para pemangku kepentingan untuk pelaksanaan alokasi air di lapangan. Sementara itu Rossi et al (2007) memberikan persyaratan dari indeks kekeringan yang ideal untuk sistem pemantauan kekeringan adalah: a) menyatakan kekurangan air dalam komponen meteorologi dan hidrologi; b) menggunakan data hidrometeorologi yang mudah diperoleh secara tepat waktu; c) dapat menjelaskan kondisi kekeringan, walau masih dalam tahap awal kekeringan; d) dapat membandingkan berbagai kondisi kekeringan yang berbeda waktu dan lokasi; e) menjelaskan dampak kekeringan; dan f) dapat menilai tingkat kekeringan untuk memandu tindakan yang harus dilakukan.

Kekeringan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir setiap Negara dunia ini dan hal yang normal, yang umumnya terjadi pada iklim meskipun kekeringannya berbeda pada tiap wilayah. Kekeringan (drought) sebenarnya sukar untuk diberi batasan yang tegas, sebab

kekeringan mempunyai definisi berbeda tergantung bidang ilmu, tergantung daerah, kebutuhan, dan sudut pandangnya. Sebagai contoh, definisi kekeringan di Libya dimana curah hujan kurang dari 180 mm, sedangkan definisi kekeringan di Bali dimana tidak turun hujan selama 6 hari berturut-turut (National Drought Mitigation Center, 2006). Menurut International Glossary of Hyrology (WMO 1974) dalam Pramudia (2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius. Sedangkan Soenarno dan Syarief dalam Desvita (2003) menyatakan bahwa kekeringan menunjukkan dampak dari suatu kondisi dinamis baik kualitas maupun kuantitas air tersedia (supply side) yang tidak dapat memenuhi jumlah dan kualitas air yang dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang dan waktu.

Gambar 1. Bagan Macam-Macam Kekeringan Dan Dampaknya Pada Masing Masing Bidang Ilmu (sumber: National Drought Mitigation Center (NDMC), 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kekeringan adalah curah hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media penyimpanan air, dan jenis tanaman sebagai subjek yang menggunakan air. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu

tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian (BAKORNASPB, 2007). Pengertian kekeringan pada masing-masing bidang ilmu tersebut dijelaskan pada gambar 1. Kekeringan atau kekurangan hujan yang sangat kuat, terjadi jika hujan yang jatuh dalam suatu periode 12 bulan masuk ke dalam kategori 10% terkering. Di wilayah timur Indonesia, kekeringan biasanya berkaitan dengan nilai SOI yang sangat negatif dan biasa disebut dengan El-Nino (Prabowo, Mulyono dan Nicholls, 2002). Menurut Tannehill (1947) di United States, kekeringan membawa kepada pemikiran kegagalan panen, lahan gersang, jalan berdebu dan kekurangan persediaan air karena kurangnya hari hujan yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Kekeringan adalah normal dan merupakan gambaran umum iklim meskipun banyak kekeliruan mengingat hal tersebut jarang terjadi dan terjadi tiba-tiba. Kekeringan juga disebut sebagai penyimpangan sementara, yang membedakan dari kegersangan, yang dibatasi wilayah curah hujan yang rendah dan merupakan ciri iklim (Hayes, 2006). Namun, pada dasarnya kekeringan mengandung hubungan antara ketersediaan dan kebutuhan air, dimana kekeringan bermula dari defisiensi curah hujan dengan periode waktu terpanjang.

F.2 Dampak Kekeringan Kejadian kekeringan akibat berlangsungnya El-Nino telah menimbulkan dampak terhadap produksi pangan di Indonesia. Namun demikian dampak yang terjadi tidak begitu konsisten. Sebagai contoh produksi beras tidak mengalami penurunan yang drastis akibat kejadian ini kecuali tahun 1991, 1994 dan 1997. Untuk kedelai, produksi menurun cukup nyata pada tahun El-Nino 1982, 1987, 1994, 1996 dan 1997. Hal ini disebabkan data pada tingkat nasional tidak bisa menggambarkan perbedaan produksi antar daerah, hasil pengamatan menunjukkan bahwa total luas areal yang terkena kekeringan juga bervariasi menurut jenis tanaman, serta El Nino yang biasanya dimulai bulan April atau Mei dimana hal ini terlihat dari cepatnya laju penambahan areal terkena kekeringan dalam bulan Mei sampai akhir tahun. Oleh karena itu dampak kekeringan akibat El Nino terhadap produksi pangan harus dihitung dimulai pada musim kemarau sampai akhir tahun (Boer, 1999).

Kebutuhan tanaman terhadap air untuk setiap fase pertumbuhan akan berbeda, baik dalam satu jenis tanaman atau antar jenis. Sehingga sensitivitas terhadap cekaman air juga akan berbeda-beda bagi setiap fase. Kekeringan atau cekaman air akan terjadi pada saat kebutuhan air salah satu fase tidak tercukupi. Doorenbos dan Pruit (1975) mendefinisikan kebutuhan air tanaman sebagai tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Menurut Robertson (1975) kebutuhan air total untuk tanaman padi sawah selama hidupnya cukup tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebutuhan air konsumtif tanaman padi sawah mulai naik pada pertumbuhan vegetatif kemudian mencapai maksimum pada periode reproduktif dan menurun pada peride pemasakan. Tanaman menggunakan banyak sekali air. Contohnya, padi membutuhkan 300 sampai 950 mm air per musim tanam, sorghum butuh 300 sampai 650 mm. Air dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman: air sebagai komponen utama dalam proses fotosintesis dan respirasi, penting untuk mengatur tekanan turgor sel-sel (air menjaga kesegaran jaringan-jaringan tanaman), mempertahankan suhu tanaman, membantu

penyerapan unsur hara dari tanah lewat proses transpirasi, sebagai pelarut bahan mineral dan karbohidrat, merupakan medium untuk perpindahan berbagai unsuir hara dan larutan lainnya di dalam tanaman. Jadi, air dari hujan sangat vital bagi pertumbuhan tanaman. Kung dalam Hidayat (2005) menyebutkan bahwa kebutuhan air untuk beberapa jenis tanaman pangan adalah sebagai berikut: Kedelai Jagung : 300-350 mm (3,5 bulan) atau 75-100 mm per bulan : 350-400 mm (4 bulan) atau 85-100 mm per bulan : 400-500 mm (5 bulan) atau 80-100 mm per bulan : 380-880 mm (4,5 bulan) atau 85-185 mm per bulan.

Kacang tanah Padi sawah

Dampak kekeringan juga terjadi pada tanah. Dimana tanah sebagai media tumbuh tanaman, penyimpanan air dan sumber hara. Menurut Soepardi (1983), air yang tersedia dalam tanah dipengaruhi oleh hisapan dan kelengasan, kedalaman tanah dan pelapisan tanah. Karakteristik tanah yang berhubungan dengan ketersediaan air biasanya diwakili oleh nilai Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP).

Menurut Turyanti (1995), terjadinya penurunan kualitas tanah akibat iklim maupun oleh aktivitas manusia dalam mengelola lahan akan menciptakan kondisi tekstur yang buruk, padat dan miskin hara. Hal ini akan menyebabkan penurunan produksi tanaman, selain cekaman air, juga kekurangan unsur hara. Lahan sulit dibajak setelah mengalami musim kering yang panjang. Mempersiapkan lahan pun tidak dapat dimulai hingga hujan turun cukup banyak untuk melunakkan tanah. Terbatasnya ketersediaan air akan menurunkan luas area penanaman pada lahan irigasi akan tetapi hasil per satuan luas akan meningkat karena meningkatnya intensitas radiasi (Partridge, 2002). Purwandani, 1998 membuktikan bahwa pengaruh El Nino di Indonesia tidak hanya berdampak buruk (kekeringan dan kebakaran), tetapi disisi lain pengaruh El Nino di perairan Indonesia ternyata memberikan keuntungan dengan munculnya upwelling di perairan Indonesia yang pada akhirnya meningkatkan populasi ikan. Terlihatnya upwelling di perairan Indonesia berkonotasi erat dengan meningkatnya DO (oksigen terlarut).

F.3 Hujan Secara umum, hujan merupakan sumber air utama dan menentukan pola perubahan kondisi air tanah, khususnya pada lahan tadah hujan dan pertanian lahan kering. Air merupakan unsur utama yang menentukan produktivitas tanaman. Kekurangan dan kelebihan air akan berpengaruh besar pada tingkat produktivitas. Hujan yang kurang musim akan menimbulkan cekaman air bagi tanaman dan bisa berakibat pada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan akar, pembungaan, penyerbukan dan pengisian biji sehingga hasil akan turun. Kelebihan hujan juga bisa berakibat sama, menyebabkan banjir di lahan dan mengganggu pertumbuhan tanaman, hujan yang berkepanjangan selama pembungaan juga bisa menganggu: penyerbukan, pembentukan dan pengisian biji, berkembangnya hama dan penyakit, menganggu operasi lapangan seperti penyiapan lahan, pembajakan, pemanenan, pengolahan pasca panen, dan lain-lain. Menurut Partridge (2002), hujan di Indonesia dipengaruhi oleh El Nino Osilasi Selatan (ENSO). Tetapi besar kecilnya pengaruh itu beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengaruh itu sangat besar pada daerah yang memiliki pola hujan monsun, kecil pada daerah

yang memiliki pola hujan ekuatorial serta tidak jelas pada daerah yang memiliki pola lokal (yaitu pola hujan yang berkebalikan dengan pola monsun). Spatial coherence atau pengaruh keruangan yang relatif luas menunjukkan pengaruh faktor geofisik yang mendasari distribusi keruangan pengaruh ENSO terhadap hujan. Pulau dan pegunungan dapat mengganggu pola angin umum atau regional dan menghasilkan angin lokal. Pola lokal ini terkadang menyebabkan adanya daerah yang biasa disebut bayangan hujan (Partridge, 2002). Hujan merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer bebas. Daerah jatuhnya maupun besarnya curah hujan yang turun merupakan proses beberapa faktor yaitu kelembaban udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan hadapan lereng (Sandy, 1987). Proses hujan dapat terjadi, jika beberapa mekanisme agar fase uap yang lembab yang tidak jenuh dapat berubah menjadi fase cair. Hal ini terjadi bila udara dekat permukaan tanah menjadi lebih dingin karena mengalami proses pengangkatan udara, menjadi jenuh dan kemudian mengembun. Mekanisme pengangkatan udara yang kuat dapat terjadi oleh aktivitas konveksi, yaitu radiasi balik yang ditimbulkan oleh permukaan tanah setelah beberapa saat menerima limpahan energi dari radiasi matahari, proses ini dominan terjadi di daerah tropik. Mekanisme pengangkatan udara juga dapat terjadi akibat adanya hambatan pergerakan masa udara pada permukaan tanah (orografik), atau dapat pula terjadi pada saat berlangsungnya konvergensi (Haryanto, 1998). Sosrodarsono, 1985 dalam Haryanto (1998), menjelaskan hujan dari proses konvektif terkenal menimbulkan kerusakan pada tanah. Karena energi kinetik yang besar sebagai akibat intensitasnya yang besar (torrential) dan tetes hujannya yang besar pula. Hujan konvektif disebabkan oleh naiknya udara yang panas dan ringan di sekitar udara yang lebih rapat dan dingin. Perbedaan suhu yang mencolok antara udara di bagian bawah dekat permukaan tanah dengan udara di lapisan yang lebih tinggi terjadi akibat pemanasan permukaan tanah yang intens pada siang hari dan menimbulkan arus termal (convection) yang memindahkan masa udara di bagian bawah ke lapisan yang lebih tinggi, sehingga memberi peluang yang besar untuk proses pengembunan.

F.4 Indeks Kekeringan

Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju, aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Dalam pengambilan keputusan, nilai indeks kekeringan berciri angka tunggal jauh lebih berarti dibandingkan data mentah (Hayes, 2006). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ogallo dan Gbeckor-kove (1989) dalam Turyanti (1995) bahwa curah hujan merupakan indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian. Menurut Hounam et. al (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk: 1. mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan kering/tingkat kekeringan dari suatu wilayah 2. memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu 3. mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal 4. melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional Ada beberapa indeks yang diukur dari banyaknya presipitasi pada suatu periode waktu yang menyimpang dari data historis. Walaupun tidak ada indeks-indeks penting yang menjadi dominan pada semua kondisi, beberapa indeks lebih baik digabungkan untuk penggunaan tertentu. Agar dapat dibandingkan indeks yang satu dengan indeks yang lain. Indeks kekeringan banyak macamnya. Macam-macam indeks tersebut antara lain, Standardized precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity Index(PDSI), Crop Moisture Index (CMI), Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Indeks (RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatar belakangi daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masingmasing klasifikasi. Pemetaan wilayah kekeringan telah dilakukan dengan berbagai metode yang berbeda. Salah satu diantaranya yang sering digunakan adalah metode Palmer. Seperti yang telah dilakukan oleh Sudibyakto (1985) di daerah Kedu Selatan, Jawa Tengah, dimana hasil perhitungan indeks kekeringan didasarkan pada data curah hujan titik menimbulkan indeks yang terlalu basah (over estimate). Kemudian oleh Historiawati (1987) di daerah Purwodadi dan Grobogan, Jawa Tengah, serta Turyanti (1995) di daerah Jawa Barat menyatakan bahwa evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat kekeringan di Jawa Barat sangat bervariasi dengan nilai indeks sekitar -25 hingga 139. Nilai indeks ini sangat

beragam, mulai ekstrim kering hingga ekstrim basah. Daerah Pantai Utara dan Pantai Selatan pada tahun 1987, 1991, 1994 mengalami kondisi cukup parah dengan nilai indeks kekeringan di bawah -10. Hasil dari ketiga penelitian tersebut menyatakan bahwa curah hujan dan indeks kekeringan yang dihasilkan memperlihatkan kecenderungan embutan yang sama.

2.5 Palmer Drought Severity Index (PDSI) Analisis neraca air untuk meneliti kekeringan salah satunya dikembangkan oleh Palmer. Palmer menggunakan model dua lapis tanah yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Evapotranspirasi potensial diduga dari suhu rata-rata dengan metode yang telah dikembangkan oleh Thornthwaite. Hasil dari metode ini selain nilai index juga koefisien parameter iklim, yaitu koefisien limpasan (run off), koefisien imbuhan (recharge), koefisien evapotranspirasi, dan koefisien kehilangan lengas (loss). Dari koefisien tersebut dilakukan perhitungan curah hujan yang telah terjadi selama bulan tertentu untuk mendukung evapotranspirasi, limpasan, dan cadangan lengas yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal (Hounam et al., 1975). Indeks kekeringan Palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari keadaan normalnya di suatu daerah (Tabel 1). Metode Indeks kekeringan Palmer

berguna untuk mengevaluasi kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering (Guttman et al., dalam Turyati 1995). Available Water Capacity (AWC) atau kapasitas air tersedia juga diperlukan dalam pengolahan data Palmer dan koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungan Palmer agar dapat mengetahui panjang hari didaerah tersebut. Menurut National Drought Mitigation Center, (2006) Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas dan topografi yang seragam. Palmer Classifications

Indeks Kekeringan Sifat Cuaca = 4.00 Ekstrim basah 3.00 - 3.99 Sangat basah 2.00 - 2.99 Agak basah 1.00 - 1.99 Sedikit basah 0.50 - 0.99 Awal selang basah

0.49 (-0.49) Normal -0.50 (-0.99) Awal selang kering -1.00 (-1.99) Sedikit kering -2.00 (-2.99) Agak kering -3.00 (-3.99) Sangat kering = -4.00 Ekstrim kering Tabel 1. Kelas Indeks kekeringan Palmer dan Sifat Cuaca (Hounam et al.,1975).

2.6 Analisis Neraca Air dengan Metode Thornthwaite Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho, 1998 mengenai neraca air dengan metode Thornthwaite-Mather bahwa air hujan yang di permukaan tanah, sebagian menjadi lengas tanah (soil moisture), air tanah (groundwater) dan sebagian akan menjadi aliran permukaan (surface run off). Persentase ketiga komponen tersebut tidak tetap. Tergantung pada faktorfaktor seperti jenis tanah (khususnya tekstur tanah), tata guna lahan dan kedalaman perakaran. Kemampuantanah untuk menyimpan air (water holding capacity) dapat diduga tanpa melakukan pengukuran langsung. Sedangkan lengas tanah ini akan selalu berubah-ubah tergantung dari evapotranspirasi dan hujan. Kapasitas air tersedia (available water capacity) merupakan air yang terikat antara kapasitas lapang dan titik layu tanaman. Air tersedia ini berupa air tersedia untuk tanah dijumlahkan sampai kedalaman akar dan dinyatakan sebagai air tersedia total. Jumlah air yang tersedia pada zone perakaran tergantung dari faktor meteorologi yaitu neraca antara curah hujan dan evapotranspirasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor tanah yang menyangkut hubungan antara kandungan air dalam tanah (perkolasi). Nilai air tersedia dalam tanah besarnya beragam dari jenis tanah satu ke jenis tanah lainnya, bahkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Lengas tanah merupakan faktor utama yang ditentukan oleh keadaan lengas sebelumnya.

RINGKASAN

IKA SURYANTI. Analisis Hubungan Antara Sebaran Kekeringan Menggunakan Indeks Palmer dengan Karakteristik Kekeringan (Studi Kasus: Provinsi Banten). Dibimbing oleh HENY SUHARSONO dan ARIS PRAMUDIA.

Salah satu kejadian alam yang perlu diwaspadai adalah kondisi dimana tanah tidak memiliki cadangan air yang cukup yang memungkinkan terjadinya kekeringan. Tingkat/taraf kekeringan suatu wilayah berbeda satu dengan yang yang lain. Untuk mengetahui seberapa besar nilai perbedaan kekeringan masing-masing daerah, digunakan salah satu metode yaitu Indeks Palmer. Usaha yang sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi kekeringan adalah dengan memahami karakteristik iklim wilayah tersebut dengan baik. Dengan hal ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi kebijaksanaan dalam pengelolaan areal pertanian, sehingga kondisi iklim ekstrim tidak akan menyebabkan kerugian yang terlalu besar. Karakterisasi kekeringan merupakan analisis sifat-sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi kekeringan secara fisik di lokasi penelitian. Analisis keterkaitan antara karakter kekeringan dengan indeks kekeringan adalah upaya untuk menterjemahkan nilai-nilai dari indeks atau derajat kekeringan ke dalam besaran fisik yang menunjukkan sifat-sifat dari parameter kekeringan yang diolah berdasarkan data curah hujan. Delineasi wilayah rawan kekeringan adalah tahapan menggambarkan kondisi dan sifat kekeringan di lokasi penelitian melalui informasi secara spasial dalam bentuk peta-peta. Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi kekeringan klimatologis di provinsi Banten, melakukan analisis indeks kekeringan menggunakan metode Palmer, dan melakukan analisis hubungan antara indeks kekeringan dengan karakteristik kekeringan. Rata-rata CH tahunan provinsi Banten 2070,62 mm/tahun, dengan CH berpola monsun. Dalam menganalisis hubungan antara curah hujan bulanan dengan peluang DHK dapat didekati dengan persamaan eksponensial terbalik. Dimana semakin tinggi curah hujan maka semakin kecil peluang terjadinya DHK, begitu pula sebaliknya. Karakteristik provinsi Banten memiliki sebaran curah hujan yang tidak merata untuk dibeberapa daerah. Untuk stasiun Bobojong antara hari hujan dan hari kering saling

berkesinambungan, dengan memiliki paling sedikit hari hujan dan memiliki hari kering paling banyak. Sehingga dapat dikatakan daerah Bobojong dominan kering. Di stasiun Kalimati memiliki peluang DHK=5, DHK=10, DHK=15 yang paling besar, sehingga dapat disimpulkan stasiun Kalimati paling sering terjadi hari kering pada hari yang berturut-turut. Hasil analisis linear dan kuadratik menunjukkan fluktuasi antara PDSI dengan 8 parameter karakteristik kekeringan di provinsi Banten, memiliki rata-rata R P 2 yang kecil, sehingga dapat dikatakan nilai indeks Palmer hanya sedikit berkorelasi terhadap 8 parameter. Hanya hubungan PDSI dengan CH yang memiliki nilai R P 2 P P yang cukup besar. Stasiun Cikomara indeks kekeringannya lebih kuat dikorelasi oleh curah hujan. Sedangkan melalui perbandingan antara nilai R P 2 P linear dan kuadratik hitung dengan nilai RP 2 tabel, pada analisis hubungan antara PDSI dengan P10 memiliki stasiun terbanyak yang signifikan dibandingkan 7 parameter lainnya. P Korelasi antara PDSI dengan 8 parameter karakteristik kekeringan pada 4 stasiun terpilih (Ciboleger, Kosambi Dalam, Sampang peudeuy, dan Bengkok Ciminyak), besar korelasinya terhadap curah hujan. Pada regresi linear berganda metode stepwise dipilih yang berkorelasi kuat dan yang tidak berkorelasi dihilangkan oleh metode ini. Di stasiun Ciboleger, PDSI besar berkorelasi dengan parameter CH dan P00. Stasiun Kosambi Dalam, diwakili parameter CH, DHK= 15, dan JHK. Stasiun Sampang Peudeuy, diwakili parameter CH, HH, dan DHK=5. Stasiun Bengkok Ciminyak, diwakili parameter CH, HH dan P10.

Hasil evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat kekeringan di provinsi Banten cukup bervariasi, dengan nilai indeks sekitar -8.14 hingga 13.38. Hal ini berarti kondisi lengas tanah di provinsi Banten cukup beragam, mulai dari ekstrem kering hingga ekstrem basah. Sebarannya menunjukkan provinsi Banten pada bulan terbasah dan terkering masih dianggap normal menurut Palmer, dengan nilai indeks antara -0.21 hingga 1.23. Pada seleksi curah hujan rata-rata terbasah dan terkering tiap stasiun, nilai PDSI tertinggi ada di stasiun Panancangan. Hal ini dapat dikatakan bahwa stasiun Panancangan dominan basah. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks kekeringan Palmer setiap bulan pada seluruh tahun, menunjukkan sebaran yang hampir merata dengan nilai indeks rata-rata dari 40 stasiun di

provinsi Banten sebesar 0.37 atau dapat dikatakan sifat cuaca di provinsi Banten adalah normal menurut indeks kekeringan palmer.

mulai

Penentuan tujuan & lingkup, tinjauan pustaka studi Survei awal menentukan lokasi

Pengumpulan data primer - Lokasi titik-titik infrastruktur - Kondisi titik-titik infrastruktur - Wawancara

Pengumpulan data sekunder - Peta Sungai Kampar - Karakteristik Sungai Kampar - Sedimentasi Sungai Kampar

Kompilasi Data Analisa Data Keadaan infrastruktur Sungai Kampar

Infrastruktur mengalami kerusakan

Ya

Dibutuhkan penanggulangan

Tidak Tidak dibutuhkan penanggulangan selesai Gambar 8 Bagan alir penelitian Analisa biaya

B. Jadwal Rencana Pelaksanaan Tugas Akhir Berikut ini adalah rencana kegiatan pelaksanaan tugas akhir : Tabel 2 Jadwal rencana pelaksanaan tugas akhir
No 1 2 3 4 5
6

Kegiatan Pengumpulan Referensi Pembuatan Proposal Pengumpulan Data Survei Pendahuluan Seminar Proposal
Survei Lapangan dan Penelitian

Bulan 3 4

7 8 9

Pengolahan dan Analisis Data Hasil Penelitian Seminar Hasil Sidang TA

C. Daftar Pustaka Affandi, Mukhammad Risyal. 2007. Pengaruh Kedalaman Aliran terhadap Perilaku Gerusan Lokal di Sekitar Abutmen Jembatan. Skripsi Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Balai Penyelidikan Sungai. 1995. Penelitian Dampak Penambangan Bahan Galian Golongan C terhadap Morfologi dan Bangunan Sungai. Bandung : Puslitbang Pengairan. Graf, Walter Hans. 1984. Hydraulics of Sediment Transport. Chelsea : Water Resources Publications. Memed, Moch & Lili Sadeli. 1988. Aspek-Apek Teknik Pengamanan Morfologi Sungai dan Bangunan Airnya terhadap Kegiatan Penambangan Bahan Galian C. Jakarta : Hathi. Wibawa, Yanto & Yiniarti. 1994. Penelitian Keamanan Jembatan Akibat Perubahan Morfologi Sungai. Bandung : Puslitbang Pengairan.

Wibowo, Okky Martanto. 2007. Pengaruh Arah Aliran terhadap Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Jembatan. Skripsi Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

http://geospasial.bnpb.go.id/2010/06/15/peta-indeks-bencana-kekeringan-provinsi-riau/ PETA

You might also like