You are on page 1of 24

TIRTAYATRA

BERANDA HARI RAYA PURA BERBAGI

Kamis, 23 Februari 2012


Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali. Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur. Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi

sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti: -- Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas), -- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka) -- Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan) Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :

1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. 2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme 3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:

Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.

Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja. Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:

jaba untuk bagian paling luar bangunan jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah

jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari:

Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.

Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

berikut bagian-bagian dari rumah Bali: 1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang 2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat 3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain yang masih junior. 4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu

5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. 6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya. 7. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga. 8. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. 9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Arsitektur bali atau yang buat rumah dibali disebut juga Undagi. Begitulah tradisi pembuatan rumah di Bali. Landasan filosofis ASTA KOSALA KOSALI

Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini. Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

Landasan Etis

Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala. Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha

Landasan Ritual Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama

yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. Konsepsi perwujudan Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam : 1. Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. 2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi. 3. Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masingmasing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi). 4. Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu. Pemilihan Tanah Pekarangan. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah : 1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan), 2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan), 3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan) 4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),

5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad), 6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan), 7. karang tenget, 8. karang buta salah wetu, 9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi), 10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah 11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau bengualid (busuk) Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun. Pekarangan Sempit. Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar. Rumah Bertingkat. Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas. Rumah Susun. Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan. Dewasa Membangun Rumah.

Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa. Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi.Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem. Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.

Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya. Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

Upacara Membangun Rumah.

Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah Angrubah sawah dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti. Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara

upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat. Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada : Bentuk Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya. Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi

tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah: 1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga 2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala 3. Konsep keseimbangan kosmologi 4. Konsep proporsi dan skala manusia 5. Konsep court, Open air 6. Konsep kejujuran bahan bangunan Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali: 1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi. 2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali. 3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografis dan ekonomi masyarakat. Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya. Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba

sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal ) adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal diantaranya; Tanah Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras. Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi. Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki. Kurang Bagus Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka. Tata Letak Bangunan Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab

munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api. Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air. Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat. Pintu Masuk Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan. Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Diposkan oleh Wahyu Sastrawa di 20:09 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Label: BERBAGI Reaksi: 2 komentar:

1. rare angon24 Februari 2012 19:06

Om Swastiastu; blognyane becik tur mawiguna anggen semeton Bali ring sejebag jagat.. niki tiyang naler juru ngambar, simpang driki Help You See Beyond Reality Balas

2. Wahyu Sastrawa25 Februari 2012 08:17 suksma. blog rare angon malih becikang. dumogi blog2 sane ngangkat indik bali, samiang mawiguna. astungkara !! Balas Muat yang lain... Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Cari

Tentang Aku

Wahyu Sastrawa Denpasar, Bali, Indonesia ga ada yang special,, silahkan anda menilai,,! Lihat profil lengkapku

Populer

Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal sert...

PURA SEGARA RUPEK Pura Segara Rupek Menjaga Bali dari Segara Rupek TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainka...

DEWATA NAWA SANGA Nawa Dewata atau Dewata Nawa Sanga adalah sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali. Sembil...

PURA KAHYANGAN JAGAT http://julianatamanbali.blogspot.com/ Sesuai arti harafiahnya, Pura Kahyangan Jagat adalah pura yang universal. Seluruh umat ciptaan Tuha... SEJARAH UTSAWA DHARMA GITA (UDG) - Om Swastyastu. Berikut saya sampaikan mengenai Sejarah Utsawa Dharma Gita di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi Umat Hindu dan Sahabat sedang mencari jalan ...

Masa ini bertepatan dengan datangnya para Arya dari Majapahit dan berkuasa di Bali sekitar abad XIV. Pada tahun 1350 pemerintah majapahit mengangkat Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati di Bali dengan keraton yang berpusat di Samprangan (sebelah timur kota Gianyar). Dalam Kekawin Jawa dari abad XIV, Nagarakrtagama mengungkapkan tentang penyebaran kebudayaan Majapahit ke Bali, dikatakan bahwa pada periode ini bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi (the chancellery language) berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. Masuknya intervensi Majapahit membawa sistem stratifikasi sosial ke dalam masyarakat Bali yang di kenal dengan sebutan catur warna : Brahmana, Kesatria, Wesya dan Sudra. Kehadiran catur warna memunculkan istilah: Geria sebagai rumah tinggal untuk golongan Brahmana; Puri sebagai tempat tinggal golongan Kesatria; Jero adalah tempat tinggal golongan Kesatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung; dan Umah adalah tempat tinggal dari golongan Wesya dan Sudra. Dengan demikian di periode ini bentuk arsitektur rumah tinggal sangat ditentukan oleh faktor tingkatan kasta, status sosial dan peranannya di masyarakat. Pengaruh kebudayaan Majapahit dalam arsitektur Bali juga terlihat dari mulai munculnya penggunaan bata pengganti batu, yakni bata digosokan dengan bata yang lain dengan sedikit air akan luluh dan membentuk konstruksi dinding tanpa siar. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri lagi sejak ditemukannya penggunaan balok bata persegi panjang untuk pondasi di pura Pegulingan, Gianyar Bali pada tahun 1984. Balok persegi panjang ini menyerupai batu bata yang ditemukan di situs Majapahit, Trowulan. Temuan ini memperkuat kepercayaan para ahli bahwa bangunan tradisional Bali banyak melestarikan arsitektur Majapahit. Pada pemerintahan Raja Dalem Waturenggong datang seorang bhagawanta besar dari Kediri (Jawa Timur), bernama Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau ke Bali untuk perjalanan rohani

(tirtayatra) pada tahun 1489, bersamaan dengan pudarnya kerajaan Majapahit. Bhagawanta ini juga seorang budayawan dan arsitek. Kehadirannya sangat mempengaruhi pengembangan dan penyempurnaan ajaran agama Hindu dan pola arsitektur di Bali, hingga membawa masa pemerintahan Dalem Waturenggong ke puncak kebesaran dan kejayaannya. Dang Hyang Nirartha menegaskan kembali Keesaan Tuhan melalui konsep arsitektur Padmasana sebagai bangunan tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu perjalanan beliau di Bali banyak berkaitan dengan kehadiran tempat suci yang ada di sepanjang pesisir pantai Bali. Dang Hyang Nirarta kembali menegaskan ajaran iwa Siddhanta dengan memuja Tri Purusa yang merupakan perwujudan Tuhan dalam posisi vertikal sebagai penguasa tiga dunia yakni: Dewa iwa penguasa dunia bawah/nista; Sada iwa penguasa dunia tengah/madya; dan ketika Beliau berada di alam atas/utama dikenal dengan nama Parama iwa. Tri Purusa sebagai pedoman dalam setiap kegiatan ritual masyarakat Bali hingga pada perwujudan arsitekturnya. Konsep alam atas, alam tengah, dan alam bawah berlaku menyeluruh dalam perencanaan arsitektur dari saat penentuan teritorial, tata letak bangunan, tata nilai, hingga pada ragam hias Arsitekturnnya

Mau Dibawa ke Mana Arsitektur Bali?


Posted on October 12, 2011 by wahyudigatot

Seperti diketahui, mainstream pembangunan wilayah Bali yang menjadi subjek pembangunan adalah masyarakat berikut kebudayaan Bali itu sendiri. Sektor kebudayaan yang menjadi nafas dan vitalitas kehidupan masyarakat diupayakan terus lestari hingga munculnya komitmen Ajeg Bali yang tak lain bermakna agar terus lestarinya lingkungan hidup dan kebudayaan Bali. Perkembangan arsitektur bangunan yang merupakan elemen dari kebudayaan Bali memang digadang-gadang agar terus menampakkan wajah dan identitas Bali. Jati diri arsitektur Bali bukan saja diperlukan sebagai idealisme lingkungan binaan dan kebanggaan semata, namun juga keharusan dari sisi politis dan kepariwisataan yang terkait dengan strategi pembangunan ekonomi Bali. Dan memang daerah ini mempunyai arsitektur tradisional yang mengakar secara ekologis, sosiologis dan budaya. Menyimak rancang bangun arsitektur, sesungguhnya di Bali ada ragam arsitektur yang hadir dan tumbuh menjadi khazanah arsitektur di Bali. Literatur sejarah perkembangan arsitektur di Bali menyebut, menurut Putu Rumawan Salain (1999), secara kronologis ada (1) Zaman Prasejarah, (2) Zaman Bali Aga abad I hingga IX, (3) Zaman Bali Kuno abad IX hingga XIV, (4) Bali Majapahit

abad XIV hingga XIX, (5) Masa kolonial tahun 1849 hingga 1945, (6) masa kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang. Masa sebelumnya hingga Bali Majapahit (abad XV XIX) dianggap masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi oleh lontar Hasta Kosala-Kosali dan Hasta Bumi. Arsitektur tradisional sekalipun sama sumber dan landasan filosofinya tetapi sesungguhnya plural dalam perwujudan dan keberadaannya, variatif dalam ragam wujud dan tata ruangnya. Untuk daerah dataran ada variasi perbedaan dengan daerah pegunungan, Bali Selatan berbeda dengan Bali bagian Utara. Hingga masa kolonial (Abad 20) terjadi perjumpaan antara arsitektur lokal dan tradisional dengan arsitektur Barat sebagai arsitektur pendatang, menjadikan khazanah arsitektur di Bali lebih kaya ragam dan gaya. Khazanah arsitektur terus berkembang menuju masa kemerdekaan (1945) hingga masa sekarang. Masa kini karena pengaruh globalisasi yang membawa dampak perkembangan teknologi, pergeseran cara berpikir yang lebih rasional, perubahan gaya hidup dan ekonomi, muncul juga gaya arsitektur pendatang yang lain yang dikenal sebagai gaya universal seperti gaya mediteran, art deco, kubisme, minimalis. Paralel dengan itu hadir juga di Bali gaya arsitektur nusantara seperti arsitektur Jawa, Lombok, Minang dan sebagainya. Ragam yang juga menghiasi wajah arsitektur di Bali adalah penyesuaian fungsi, bentuk dan rupa arsitektur vemacular dan tradisional karena kebutuhan dan tuntutan perkembangan zaman menjadi gaya arsitektur masa kini yang lebih pragmatis. Juga berkembang gaya arsitektur hasil interpretasi atas prinsip (kaidah) perancangan arsitektur tradisional terhadap fungsi bangunan komersial dan perkantoran. Kaidah fungsi ini di dalam arsitektur tradisional Bali tidak termuat dengan jelas. Pada perkembangan berikutnya, ragam gaya arsitektur tersebut ada yang bersinergi, bercampur dan menambah ragam rupa arsitektur seperti yang disebut gaya ekletik, hibrida dan sinkretik. Paparan tersebut adalah realitas arsitektur di Bali, atau yang hadir di Bali. Lantas apakah yang disebut arsitektur Bali khususnya dalam konteks masa kini dan masa esok? Apakah arsitektur Bali masa kini adalah sesuatu yang sudah jadi dan dengan difinisi yang tertutup sehingga menjadi statis dan selesai? Jawabannya, tentunya arsitektur Bali ibarat arsitektur Indonesia, yang terus mencari bentuk dan kesejatian diri, terus mentransformasi menyesuai dengan peradaban dan budaya masa kini untuk menuju masa esok. Bila arsitektur Indonesia akar dan sumber kearsitekturannya adalah keragaman arsitektur tradisi dan vernacular dari seluruh nusantara, maka arsitektur Bali masa kini, harapannya, merujuk pada arsitektur tradisional Bali sebagai sumber dan akar kearsitekturan. Atau arsitektur tradisional dengan reinterpretasi dan mentransformasi hingga menjadi relevan dan kontekstual dengan ruang, waktu dan situasi masa kini untuk menuju masa esok. Untuk masa kini adalah bagaimana transformasinya dalam menjawab dan mengakomodasi pergeseran dan perubahan budaya dan lingkungan hidup sebagai habitatnya, termasuk dengan konteks pergeseran dan perkembangan ragam gaya arsitektur pendatang di Bali. Dan apakah transformasi menuju masa kini dan esok membuahkan tradisi Baru? Waktulah yang akan menjawabnya. Ciri Pokok

Apapun perwujudan arsitektur Bali masa kini yang terus berproses menunjukkan eksistensinya, tetap ada ciri pokok yang tidak boleh hilang yang bersumber dari aspek religi dan kultur masyarakat Bali yaitu pertama, sebagai arsitektur yang harmoni. Arsitektur harmoni adalah karakter dan inheren sebagai watak dasar arsitektur Bali. Harmoni dengan lingkungan alam, antarmanusia, dengan Tuhan yang bersumber dari filosofi Tri Hita Karana yang terus direinterpretasi agar relevan dengan perkembangan waktu. Ciri kedua, adanya ruang bersama (komunal) dalam kebersamaan rasa ruang. Ini konsep dasar yang paling mendasar pemahaman tentang ruang (spasial) dalam arsitektur tradisional Bali, yang bersumber dari filosofi Tri Angga (vertical), Tri Mandala (horizontal) dan Tri Hita Karana (balance). Untuk arsitektur Bali masa kini, konsep ini tetap inheren dengan tentunya direaktualisasi dan reinterpretasi dengan pemahaman yang kontekstual dan relevan. Ciri ketiga, adanya kesinambungan sejarah perkembangan arsitektur di Bali, agar arsitektur Bali tidak terlepas dari ekologi, kultur, sejarah, arsitektur tradisional, dan dengan problematik masyarakatnya. Ciri keempat, pluralitas wujud (bentuk dan rupa) arsitektur. Walau sama dalam sumber filosofi namun implementasinya mesti menyesuai dan kontekstual dengan tempat (desa), waktu (kala) dan situasi kondisi (patra), seperti yang ditunjukkan dalam realitas empiris arsitektur tradisionalnya di berbagai daerah di seluruh Bali. Namun bila ditengok fakta dan realita masa kini arsitektur yang terbangun di seluruh wilayah Bali nampak jelas tidak menuju arah arsitektur Bali yang diharapkan yang potensial menuju pembentukan jati diri dan eksistensinya. Arsitektur yang tampil menampakkan beberapa wajah, namun yang dominan adalah wajah konservatif, muncul juga wajah modern universal yang ekstrim. Kedua tipologi disain tersebut sama-sama terlepas dari konteksnya. Yang pertama adalah wajah konservatif yang terkondisikan oleh belenggu pemahaman arsitektur tradisional yang kurang transformatif. Tipologi disainnya dalam konteks waktu (kala) kekinian kurang, bahkan tidak, adaptif terhadap pergeseran dan perubahan menuju modernisasi. Makna dan rupa arsitekturnya tetap konservatif di tengah pergeseran gaya hidup masyarakat Bali yang lebih modern. Dalam konteks tempat (desa), gaya arsitektur yang tampil nyaris seragam padahal kondisi geografis dan akar arsitektur vernacularnya di tiap daerah di Bali berbeda-beda. Dalam konteks situasi kondisi (patra) dengan berkembangnya bahan bangunan yang teknologis dan modern pemanfaatannya terkendala oleh belenggu pemikiran bahwa dengan perubahan bentuk bangunan lebih teknologis dan modern rupa arsitektur tradisional menjadi hilang. Hampir semua fungsi bangunan menampakkan tipologi arsitektur konservatif ini. Di pihak lain, tampak wajah modern universal dan kontemporer yang ekstrem hingga terlepas dari konteks arsitektur tradisional dan vernaculantas Bali. Tipologi disain ini beranggapan, dengan menampilkan gaya arsitektur modern yang universal dan memarginalkan rupa arsitektur lokal, dianggapnya menjadi lebih modern. Tipologi ini jelas kebablasan dan ekstrem dalam memodernkan arsitektur tradisional dan keliru dalam menginterpretasi arsitektur Bali modern. Sebagian disain bangunan villa, perkantoran, ruko adalah contoh tipologi ini. Walau ada juga yang menampakkan penjelajahan disain yang inovatif menghadirkan arsitektur hibrida dan sinkretik yang nampak modern tetapi kontekstual dengan Bali. Atau arsitektur dengan rupa campuran, rupa

lokal dan universal yang nampak harmoni dan east meet west. Sebagian arsitektur hotel resor, villa, dan rumah tinggal adalah contoh disain inovatif ini. Menyimak realitas arsitektur tersebut berikut arah perkembangannya, tentunya tidak bisa terlepas dari masyarakat Bali sebagai bagian kesejatian diri arsitekturnya, dan komunitas pelaku arsitektur Bali sebagai elemen yang ikut berpengaruh, menentukan dan bertanggung jawab. Terhadap arsitektur Bali masa kini yang kurang tranformatif dan berpotensi menuju arsitektur Bali yang stagnan, ada baiknya disimak para pelaku arsitekturnya yang secara determinan menentukan dan bertanggungjawab yaitu Sekolah Arsitektur (Perguruan Tinggi), Pemerintah Daerah, organisasi profesi dan arsitek.

Bali Majapahit Berbeda dengan Bali Kuna yang secara kuat dipengaruhi oleh mitos India, mitos India tidak begitu kuat pengaruhnya di Bali Majapahit, karena Bali Majapahit lebih dekat dengan mitos Jawa. Hal ini nampak dari beberapa teks dan mitologi yang berkembang di Bali, mulai dari kitab Usana Jawa, Usana Bali, Batur Kemulan sampai dengan sejarah Pancaka Tirta. Dalam berbagai kisah mitologi, Gunung Tonglangkir diceritakan sebagai penggalan Gunung Mahameru; Gunung Semeru, Tonglangkir dan Rinjani. Demikian pula dengan asa-usul geneologis; Hyang Putra Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh yang bersumber dari Sang Hyang Pasupati yang bersemayam di Gunung Semeru di Pulau Jawa. Selanjutnya mitos Jawa ini diperkuat oleh kedatangan ekspedisi Gadjah Mada ke Bali yang menempatkan Dinasti Kepakisan sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Bali. Kehadiran bangun kuasa baru ini tidak hanya berpengaruh pada pembentukan tatanan sosial-politik baru yang sering disebut Negara dan desa-desa Apanage (majapahit), namun kemudian menegakan sebuah tafsir keagamaan baru yang hegemonik. Tafsir keagamaan inilah yang kemudian melalui instrumen kekuasaan masuk secara penetratif ke desa-desa Bali Kuna (James Danandjaja:1990). Namun, penetrasi sistem kepercayaan dominan itu tidak selalu berakibat penghancuran pada sistem agama lokal, kadangkala hubungannya bisa koeksistensi atau bahkan sinkretisme, di mana sistem agama dominan berdampingan dengan sistem agama lokal. Walaupun demikian, sistem kepercayaan yang dianut oleh pemegang kuasa politik menjadi acuan dari sistem kepercayaan sosial masyarakat Bali keseluruhan. Relasi antara kekuasaan dan bangun paham keagamaan sedemikian kuatnya sehingga keduanya berada dalam hubungan yang mutualistik. Hal ini nampak jelas dalam lontar Widhi Papinjatan dan sebagainya. Secara geneologis, pemegang kuasa politik di Bali juga cenderung mencari garis pertautan

silsilah dengan Jawa bukan dengan India. Misalnya dinasti Kepakisan dan keturunan Dhyang Nirartha dihubungkan dengan Mpu Tantular dan Mpu Bharadah yang memegang peranan politik di Jawa. Demikian pula dengan keturunan para Arya di Bali yang mencari pertautan dengan kekuasaan Jayabhaya di Kediri.

Asta Kosala Kosali : Konsep Tata Letak Rumah Bali


Diposkan oleh Langit Biru

Pernahkah kalian liat penataan rumah di Bali?? Bagaimana Rumah yang ada dibali?? Kenapa Orang Bali sering membuat rumah yang bangunannya terpisah-pisah?? trus apa aja yang ada di Rumah tersebut?? baik, kita akan bahas penataan Rumah dan Bangunan Suci di Bali yang disebut dengan Asta Kosala Kosali.

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti * Musti(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas), * Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka) * Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan) Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang mpunya rumah. begitu. nah selain itu Konsep ini juga berdasarkan oleh Kepercayaan masyarakat bali akan Buana Agung

(makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti : 1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. 2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme 3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. dan Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada DSB. Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. seperti misalnya kasta di masyarakat. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan. nah kalo yang ini biasanya dibangun oleh kasta Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh bikin yang seperti ini. tetapi mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja. Kasta itu merupakan sistem hirarki, nah kalo di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. gimana sih pengaruhnya?? gini. dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi, dari jaba, jabajero dan jero. * jaba untuk bagian paling luar bangunan * jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah * jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal nah, di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari Nista Madya dan Utama. di bangunan Bali terdapat beberapa konstruksi yang mengacu ke b. kita bahas sekarang ya gimana sih konstruksinya. kita mulai dari Nista. Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. selain itu juga, ada konsepnya berdasarkan kelipatan tiang atau kolom. seperti itu Rumah tinggal di Bali itu tidak dijadikan satu, disini dibagi menjadi beberapa ruangan yang

dimana bangunannya dipisah. mungkin kalo pemikiran gw, kalo terjadi bencana seperti kebakaran yang terbakar hanya satu bagian doang, yang lain tidak. trus kalo terjadi gempa, gampang untuk keluar rumah. selain itu halaman juga banyak. coba yuk kita lihat apa saja bagian-bagian rumahnya. 1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. 2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. 3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar 4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang 5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat 6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu 7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain yang masih junior. 8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. 9. Paon(Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga. 10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya Sumber:http://www.mantrahindu.co.cc/2009/10/asta-kosala-kosali-sebuah-konsep-tata.html Sumber Yang Berkaitan:adamadhava.mpdconsultant.com

PENERAPAN KONSEP TRI HITA KARANA DALAM PERENCANAAN PERUMAHAN DI BALI

Dibukanya Pulau Bali sebagai daerah pariwisata memerlukan fasilitas pendukung lainnya, termasuk perumahan yang memerlukan lahan yang luas, sedangkan perumahan telah ada, terutama di kota-kota sudah sangat padat, dan lahan yang masih tersisa sangat terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, perlu ada strategi di dalam perencanaan sehingga memenuhi persyaratan perumahan yang sehat dimana dicapai dengan terpenuhinya unsur-unsur fisik, psikologi, dan sosial oleh penghuni dalam menggunakan perumahan tersebut.

Dalam perencanaan perumahan dapat dicapai dari dua segi, menyesuaikan dengan lingkungan dan memanfaatkan teknologi. Teknologi diciptakan karena ada kekurangan dalam proses biologis, atau membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tetapi menggunakan teknologi berlebihan, mengakibatkan keadaan kritis pada lingkungannya. Faktor utama penyebab pecemaran lingkungan adalah manusia. Oleh karena itu, untuk mengatasi lingkungan di Bali diperlukan pendekatan kultural dengan kearifan lokal yang telah dimiliki, salah satunya Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya.
1. Hubungan Manusia dengan Tuhan

Untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan dalam jiwa, setiap pemeluk agama Hindu diajarkan lima prisip kepercayaan yang disebut Panca Srada yaitu: a. Brahman percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, b. Atman percaya adanya roh, c. Karma Pala percaya kepada segala perbuatan pasti ada hasilnya, d. Reinkarnasi percaya adanya penitisan kembali, e. Moksah tujuan akhir pemeluk Hindu, yaitu ketenangan abadi atau bebas dari ikatan duniawi. Dalam upaya untuk mengharmoniskan hidup ini dengan Tuhan dengan sesama manusia dan lingkungan, pemeluk agama Hindu perlu melaksanakan panca yadnya yakni dewa yadnya, pitra yadnya, resi yadnya, manusa yadnya, dan buta yadnya. Agar bisa melakukan hubungan antara atma dengan paratma atma untuk bisa mencapai kesucian jiwa Lebih lanjut, jika lahan yang tersedia memungkinkan perlu dibangun fasilitas persembahyangan pada setiap rumah dan perumahan yang memadai sesuai dengan desa kala patra dengan mempertimbangkan lahan yang tersedia.
2. Hubungan Manusia dengan Manusia

Manusia tidak akan sempurna bila hidup sendiri. Manusia akan menata hubungan dengan yang lainnya dengan bermasyarakat. Menurut Pudjiwati Sajogyo dalam Sosiologi Pembangunan, masyarakat pada umumnya dapat diklasifikasikan atas: 1. Kesatuan budaya dan keagamaan 2. Kesatuan pekerjaan /ekonomi. 3. Kesatuan politik. Dalam budaya Bali yang penduduknya kebanyakan agama Hindu memperhatikan pembinaan keluarga mulai dari terbentuknya janin sampai meninggal penuh dengan upacara adat dan agama. Sedangkan hubungan yang lebih besar dibidang budaya, politik, ekonomi dilaksanakan di atas kesatuan kelompok seperti banjar, sekeha, subak. Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan periode, sehari-hari, mingguan maupun tahunan, dalam perencanaan agar dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh dalam perencanaan kurang dipikirkan adanya ruang terbuka untuk menerima tamu pada saat pelaksanaan upacara pernikahan atau upacara besar lainya, maka upacara tersebut harus dilakukan di luar lingkungan perumahan yang biasanya membutuhkan dana yang lebih banyak.

3. Hubungan Manusia dengan Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan mencakup sangat luas. Menurut Emil Salim dalam Lingkungan Hidup dan Pembangunan mengungkapkan bahwa lingkungan hidup dan pembangunan diartikan sebagai segala benda, kondisi dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Secara umum, lingkungan sering di klasifikasikan dalam: 1. Lingkungan Abiotik; yaitu lingkungan benda-benda mati seperti air, tanah, gas, api, dan gas energi yang terkandung didalamnya. 2. Lingkungan Biotik; yakni, flora, fauna, dan segala sesuatu yang memiliki zat hidup baik yang hidup di darat maupun di air. 3. Lingkungan cultural/kebudayaan yakni mencakup seluruh aktivitas manusia yang menempati dimensi ruang yang tidak terbatas. Bangunan rumah dalam perumahan tradisional Bali perencanaanya memperhatikan lingkungan abiotik dengan menutup bangunan dengan tembok penyengker (tembok keliling), sedangkan tiap bangunan yang ada di dalamnya dibiarkan terbuka agar bisa memanfaatkan cahaya, udara, dengan leluasa dengan membuka ruang seluas mungkin yang bisa berorietasi ketengah (natah). Satu areal pekarangan pada rumah tradisional Bali pada umumnya dibagi atas tiga bagian yaitu bagian luan (atas) digunakan untuk tempat persembahyangan, bagian tengah untuk tempat tinggal sedangkan bagian teben (rendah) untuk menyimpan bahan-bahan yang tidak berguna lagi dan memelihara hewan. Pada setiap areal ini juga direncanakan tempat-tempat untuk tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat untuk sarana upacara, kebutuhan rumah tangga maupun untuk obat-obatan. Dari segi kekuatan juga diperhatikan pemilihan bahan bangunan, juga disesuaikan dengan lingkungannya sebagai akibat dari posisi pulau Bali yang merupakan jalur gempa, maka bahan struktur lebih banyak dipertimbangkan menggunakan bahan-bahan yang lebih fleksibel, seperti kayu maupun bambu. Dari segi keindahan bahan-bahan yang dipakai, bahan alamiah dengan warna aslinya, penempatannya juga diatur sesuai dengan logika seperti bahan yang memberi kesan yang ringan ditempatkan pada bagian atas sedangkan bahan yang kesannya berat ditempatkan pada bagian bawah dengan proporsi yang telah terencana. Hal-hal tersebut dapat memberi gambaran dan inspirasi untuk membantu perencanaan rumah dan perumahan untuk masa kini dan yang akan datang. Sumber: Dewa Nyoman Wastika,Adnyana under

Link yang bersangkutan : adamadhava.mpdconsultant.com

You might also like