You are on page 1of 1

SELASA, 10 APRIL 2012

POP LINGKUNGAN

Emisi Perkotaan

Meningkat Pesat
Emisi karbon dioksida di lingkungan perkotaan diperkirakan mencapai 36,5 miliar metrik ton pada 2030.
BINTANG KRISANTI
Berkembang dengan buruk
Sayangnya, pertumbuhan yang terjadi di perkotaan kebanyakan tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah kota. Cara kota berkembang sejak Perang Dunia II, baik secara sosial maupun lingkungan, tidak berkelanjutan. Dampak lingkungan dari urbanisasi terlalu besar untuk terus berlangsung, kata Karen Seto, profesor lingkungan perkotaan dari Yale University. Seto menambahkan perubahan sosial dan lingkungan telah terjadi juga di daerah pinggiran Amerika Utara. Pada wilayah tersebut ketergantungan masyarakat akan kendaraan bermotor semakin besar dan dianggap menjadi hal yang lumrah. Dengan tingginya populasi dan konsumsi bahan bakar fosil, tidak mengherankan jika emisi karbon dioksida (CO2) pun melonjak. Peneliti menghitung, saat ini lebih dari 70% emisi CO2 dunia berasal dari perkotaan. Jika tidak ada tindakan nyata penghematan energi, emisi perkotaan akan tumbuh menjadi 36,5 miliar metrik ton pada 2030. Pada 2010 emisi perkotaan telah mencapai 25 miliar metrik ton, padahal pada 1990 masih 15 miliar metrik ton.
MI/RAMDANI

EMISI: Tingginya populasi


dan konsumsi bahan bakar fosil di perkotaan membuat emisi karbon dioksida kawasan tersebut melonjak. Saat ini wilayah perkotaan menjadi sumber terbesar emisi global.

ELAMA ini konsumsi bahan bakar fosil dikenal sebagai sumber permasalahan lingkungan global. Namun, dari lokasi mana emisi dan tekanan lingkungan lain itu timbul belum dengan sepakat diungkapkan oleh para ahli. Jawaban atas pertanyaan besar itu baru muncul dalam Konferensi Internasional Planet Under Pressure yang berlangsung di London, Inggris, akhir bulan lalu. Sebagaimana dilansir Reuters, studi para ahli yang dipresentasikan dalam konferensi itu menunjukkan bahwa kota-kota besar menjadi sumber masalah lingkungan dunia. Permasalahan itu mencakup produksi emisi karbon, penggunaan air dan pangan hingga lahan. Dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, pertumbuhan kota-kota besar di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,5 juta km2 atau setara dengan gabungan wilayah Prancis, Jerman, dan Spanyol. Membengkaknya luas perkotaan seiring dengan populasi penduduk kota yang bertambah. Berdasarkan data perkiraan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), populasi global meningkat dari sekarang 7 miliar menjadi 9 miliar penduduk pada 2050. Sebagian besar pertumbuhan terjadi karena migrasi dari perdesaan ke perkotaan. Hal itu berpotensi menambah 1 miliar manusia ke kota. Jumlah tersebut akan meningkatkan populasi di kota hingga mencapai total 6,3 miliar pada 2050 dari sekitar 3,5 miliar pada bulan lalu.

MI/SATRIO KUSUMO

berasal dari luar. Makanan, air, produk, dan energi. Kita perlu memikirkan adanya sumber daya yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan kota, kata Sybil Seitzinger,

kar Dhakal, Direktur Eksekutif Proyek Karbon Global yang berbasis di Tokyo, mengatakan kota-kota yang baru tumbuh masih memiliki peluang untuk perencanaan diet emisi yang

Peneliti menghitung, saat ini lebih dari

Perbaikan
Para peneliti menyadari urbanisasi memang tidak dapat dihentikan. Namun, mereka berpendapat ada banyak ruang untuk memperbaiki dampak lingkungan dan sosial perkotaan. Salah satunya dengan cara pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Semua yang dibawa ke kota

70% emisi CO2 dunia berasal dari PERKOTAAN.


Direktur Eksekutif Program Geosfer-Biosfer Internasional di Royal Swedish Academy of Sciences, Swedia. Para ahli lain berpendapat bahwa perbaikan pengelolaan perkotaan harus dimulai dari sistem transportasi. Shobhamenyeluruh. Namun untuk kota yang telah lama berdiri, cara yang mungkin dilakukan ialah lewat jalur bebas hambatan yang waktunya dapat disesuaikan. Dengan cara itu, kemacetan lalu lintas yang menjadi sumber pemborosan energi dapat di-

uraikan. Kemacetan memang telah dianalisis menghabiskan bahan bakar, waktu, dan menyebabkan polusi. Ekonomi dunia kehilangan 1%-3% produk domestik bruto akibat kemacetan. Di New York, kemacetan menimbulkan kerugian produktivitas hingga US$4 miliar atau sekitar Rp36 triliun per tahun. Selain teknologi lalu lintas, para ahli mengatakan penggunaan sensor dan alat pengukur untuk kapasitas jaringan pembangkit listrik serta pasokan listrik juga dapat membantu menghemat energi. Perencana kota dapat menargetkan penggunaan lahan yang lebih esien, standar bangunan yang lebih baik, dan kebijakan untuk mempromosikan transportasi publik ketimbang penggunaan mobil pribadi. Beberapa kota di Eropa telah

melakukan upaya untuk meningkatkan pengelolaan yang lebih hijau. Salah satunya ibu kota Islandia, Reykjavk, yang menggunakan energi panas bumi dan tenaga air untuk pembangkit tenaga listrik. Di Kanada, Kota Vancouver menyuplai 90% kebutuhan energinya dari sumber daya yang dapat diperbarui seperti angin dan energi matahari. Pemerintah Kota Vancouver telah membuat perencanaan energi bersih dan pengelolaan kota yang berkelanjutan hingga 100 tahun ke depan. Di Asia, salah satu negara yang sangat mendukung pengelolaan kota yang berkelanjutan ialah Jepang. Di Tokyo, pemerintah menargetkan penghematan energi 15% pukul 09.00-20.00. Program penghematan energi diterapkan pada operasional peralatan listrik hingga gaya hidup. Pada 2005, pemerintah menerapkan program baju kerja tanpa dasi. Para karyawan dianjurkan mengenakan kaus polo (berkerah) atau kemeja gaya Hawaii yang umum dikenakan di Pulau Okinawa sehingga dapat beradaptasi pada cuaca yang lebih hangat tanpa perlu menyalakan pendingin udara. Di universitas-universitas terdapat pengawas yang akan mematikan lampu begitu ruangan selesai digunakan. Kepedulian masyarakat akan penggunaan energi kota juga ditingkatkan dengan pengumuman tentang emisi yang disiarkan di tempattempat umum. (*/M-1)

bintang @mediaindonesia.com

You might also like