You are on page 1of 3

Hukum Internasional : Kepentingan Strategis di Balik Sengketa Sipadan dan Ligitan

Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.1 Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kini dalam tahap yang menentukan. Dari Den Haag, Belanda, pers melaporkan, saat oral hearing di Mahkamah Internasional (In2ternational Court Justice), delegasi Indonesia kembali mempertegas sikapnya atas dua pulau tersebut. Sementara itu, pihak Malaysia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dengan demikian, status kedua pulau tersebut sangat tergantung pada keputusan Mahkamah Internasional. Dalam perundingan terakhir beberapa tahun silam, Indonesia dan Malaysia memang bersepakat menetapkan status kedua pulau dalam posisi status quo dan menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada Mahkamah Internasional. Mengenai peluang kedua negara memenangkan sengketa di Mahkamah Internasional, di atas kertas menurut beberapa pengamat hingga kini peluangnya masih fifty-fifty. Namun karena de facto saat ini kedua pulau itu dalam penguasaan Malaysia, kemungkinan besar Mahkamah Internasional lebih berpihak ke Malaysia. Apalagi selama ini, perhatian Malaysia terhadap kedua pulau ini relatif lebih baik dibanding dengan Indonesia yang cenderung menelantarkannya. Pemerintah Indonesia tampak bersikap pasrah menerima apa pun yang akan diputuskan oleh Mahkamah Internasional. Sikap pemerintah tersebut, meski tentu mengundang pertanyaan,namun dapat dimaklumi. Pasalnya, selain kedua pihak (Indonesia-Malaysia) telah bersepakat menyerahkan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional, juga sebagian elite politik secara terselubung berniat menjual kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Niat tersebut sempat dilontarkan oleh anggota MPR/DPR-RI, Prof. Dr. Astrif S. Soesanto beberapa tahun silam. Alasannya, kedua pulau itu tidak membawa manfaat signifikan bagi Indonesia. Juga diharapkan dari hasil penjualannya dapat membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang amat parah saat itu. Namun gagasan tersebut kemudian meredup akibat kerasnya reaksi masyarakat, terutama dari para tokoh masyarakat Kabupaten Balongan yang dengan tegas menolak penjualan Pulau Sipadan ke negara manapun. Alasannya selain penjualan pulau bertentangan dengan prinsip keutuhan wilayah negara RI, juga Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan hak historis Kesultanan Balongan dan karena itu harus menjadi bagian dari wilayah RI. Jika melihat alotnya penyelesaian masalah sengketa Sipadan dan Ligitan, tentu jelas adanya nilai strategis dari kedua pulau itu, baik bagi regional Asia Tenggara, maupun bagi dunia internasional di masa mendatang. Tulisan ini mencoba mengupas aspek kepentingan strategis dalam sengketa ini. Akar Sengketa Sengketa status pemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia berawal di tahun 1969, yakni ketika dua negara bertetangga ini menetapkan garis batas landas kontinen kedua negara. Dalam hal ini, Indonesia menggunakan peta peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang tegas mencantumkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah Hindia Belanda, meski letaknya berimpitan dengan perbatasan wilayah kekuasaan Inggris. Sebaliknya, pihak Malaysia berpatokan pada peta peninggalan Inggris yang juga mencantumkan dua pulau tersebut sebagai wilayah jajahan Inggris.
1 Penulis Merupakkan Pengamat Hukum Internasional 2 1

Menghadapi perbedaan tersebut, Indonesia menyodorkan bukti sejarah, yakni teks prasasti pada bangunan mercusuar di Pulau Sipadan yang menjelaskan pembangunan mercusuar tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bukti tersebut disanggah oleh Malaysia. Dan untuk memperkuat sanggahannya, Malaysia menyodorkan sejumlah bukti yang menjelaskan selain Belanda, pihak Inggris juga pernah mengoperasikan mercusuar ini. Selanjutnya untuk mendukung klaim atas dua pulau tersebut, Indonesia mengemukakan fakta historis, yakni keberadaan dua pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Balongan. Karenanya otomatis menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Namun argumen ini ditampik pihak Malaysia dengan dalih wilayah Kesultanan Balongan di masa lampau sangat luas karena saat itu juga mencakup sebagian wilayah Malaysia saat ini. Berbagai pertemuan bilateral berulang kali digelar untuk memecahkan sengketa teritorial ini, namun tetap tidak menghasilkan penyelesaian final karena kedua negara tetap bersikukuh pada pendirian masing-masing. Akibatnya, penetapan garis batas landas kontinen di kawasan tersebut menjadi semakin rumit, apalagi Filipina kemudian mengajukan klaimnya terhadap wilayah Sabah yang pada masa lampau menjadi jajahan Kesultanan Sulu. Penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya selalu mengalami jalan buntu. Akan tetapi dengan didasari semangat kebersamaan ASEAN, kedua negara akhirnya bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian kasus ini kepada Mahkamah Internasional. Hingga saat ini, Mahkamah Internasional belum juga berhasil melahirkan keputusan yang tuntas, sehingga dua pulau ini seakan-akan menjadi daerah tak bertuan. Nilai Strategis Yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia-Malaysia sangat serius memperebutkan dua pulau kecil (pulau karang) ini? Adakah nilai strategis yang lain dari kedua pulau tersebut, selain sebagai obyek wisata? Jawabannya tentu harus dillhat dalam konteks perkembangan dinamika politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, terutama berkaitan dengan posisi strategis perairan laut Sulawesi dimasa mendatang. Berkaitan dengan itu, berbagai kajian mengungkapkan sejumlah nilai strategis baik bagi Indonesia maupun bagi Malaysia jika berhasil menguasai kedua pulau itu, yakni: Pertama berkaitan dengan penguasaan jalur pelayaran internasional. Di masa mendatang diperkirakan akan terjadi pergeseran rute pelayaran internasional dari Selat Malaka ke jalur baru: Samudera Hindia, Selat Lombok (atau Selat Sunda), Laut Jawa, Selat Makasar dan ke arah Laut Sulu, Laut Cina Selatan atau Samudera Pasifik. Implikasi dari perubahan rute pelayaran internasional ini, posisi Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi penting dan strategis, karena dapat berfungsi sebagai titik pengendalian pelayaran. Negara yang menguasai dua pulau tersebut tentu dapat memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Perlu diketahui karena perubahan rute pelayaran ini dalam banyak hal akan lebih menguntungkan Indonesia dan Malaysia di satu pihak, dan akan mengurangi pendapatan Singapura, maka Singapura belum sepakat dengan pengalihan rute pelayaran tersebut. Jalur Selat Malaka padahal sudah tidak memungkinkan bagi keselamatan dan keamanan pelayaran kapal-kapal dengan ukuran tertentu. Misalnya, jenis super tanker, kapal angkut peti kemas, dan sebagainya. Untuk merespons perubahan ini, Malaysia telah mengembangkan pelabuhan di negara bagian Sabah, yakni Tawao dan Sampuma, serta meningkatkan pembangunan kota Kinabalu. Dalam soal ini, Indonesia agak terlambat. Indonesia padahal dapat memperoleh keuntungan melalui pengembangan Pelabuhan Makasar dan Balikpapan. Kedua, penguasaan sumber daya alam. Dengan menguasai Pulau Sipadan dan Ligitan, suatu negara akan memperoleh hak yurisdiksi atas perairan sekitarnya seluas 200 mil laut, sebagai Zona Ekonomi Esklusif. Penguasaan atas perairan laut tersebut jelas membawa keuntungan

bagi negara bersangkutan, mengingat kandungan kekayaan alamnya yang berlimpah. Berbagai penelitian membuktikan bahwa perairan sekitar Sipadan dan Ligitan selain kaya dengan sumber daya alam hayati (berbagai jenis ikan dan flora serta fauna laut lainnya), juga menyimpan sumber daya alam tambang. Terutama minyak dan gas bumi selain itu, perairan di kawasan ini cukup potensial dimanfaatkan bagi pengembangan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Ini berarti negara yang menguasai Sipadan dan Ligitan dapat memperoleh keuntungan yang bemakna strategis dan berjangka panjang. Ketiga, pengendalian politik-ekonomi masyarakat perbatasan. Mengingat hubungan antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di kawasan ini telah terjalin lama dan bersifat tradisional, maka negara yang menguasai kedua pulau tersebut jelas dapat memanfaatkannya demi kepentingan nasionalnya. Para pelaut tradisional dari Kawasan Timur Indonesia, misalnya, sudah biasa menjadikan Tawao dan Samporna sebagai pasar penjualan hasil bumi, Dari sini pula mereka membawa berbagai barang kebutuhan rumah tangga. Para pelaut/pedagang memang lebih memilih ke Tawao dan Samporna, ketimbang ke Surabaya (Jawa), karena selain faktor harga bagi komoditas relatif lebih baik. Juga harga barang-barang kebutuhan rumah tangga di wilayah Sabah pada umumnya jauh lebih murah. Begitu pula masyarakat Sabah lebih memilih berdagang ke Indonesia ketimbang ke Malaysia Barat yang dibatasi dengan Laut Cina Selatan yang ganas. Lalu lintas perdagangan tradisional ini menjadi masalah bagi Indonesia. Soalnya, komoditas yang dijual ke Malaysia jelas tidak membayar pajak, karena lebih merupakan perdagangan ilegal melalui penyelundupan. Mengatasi penyelundupan memang tidak mudah. Karena perbedaan pemahaman serta pertentangan kepentingan antara masyarakat di satu pihak dengan pemerintah di lain pihak, khususnya mengenai ketentuan lintas hubungan perdagangan di kawasan tersebut. Preseden Buruk Bangsa Indonesia tentu kini sedang harap-harap cemas menanti keputusan Mahkamah Internasional. Sebab bila akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan menyerahkan Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, maka tentu menjadi preseden buruk bagi Indonesia dalam menghadapi sengketa perbatasan di masa mendatang. Namun lebih menyedihkan adalah sikap para elite penguasa negeri ini yang terkesan saling lempar tanggung jawab dalam menghadapi kasus ini. Kini nasi sudah menjadi bubur. Sebagai bangsa beradab, Indonesia tentu tidak mudah mengingkari apa yang telah disepakatinya bersama Malaysia untuk menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada Mahkamah Internasional dan akan taat kepada keputusan lembaga internasional ini. Menghadapi realitas yang mendebarkan ini, tentu yang dapat dilakukan hanyalah berdoa dan berharap semoga Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serta perairan di sekitarnya yang strategis dan kaya-raya dengan kekayaan alam tetap menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan RI.

You might also like