You are on page 1of 19

1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih
sayang bagi alam semesta (rahmah lil alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai
salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran
cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari
bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai
salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak
zaman Rabiah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik
orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki.
Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi,
terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena
kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual.
Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern
membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.








2

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari mahabbah?
2. Apa dasar-dasar ajaran mahabbah?
3. Siapa perintis tasawuf mahabbah?
4. Apa saja doktrin-doktrin mahabbah dan bagaimana pengaruhnya?


C. Tujuan pembahasan
1. Ingin memahami pengertian dari mahabbah
2. Ingin memahami dasar-dasar ajaran mahabbah
3. Ingin memahami siapa perintis tasawuf mahabbah
4. Ingin memahami doktrin-doktrin mahabbah dan pengaruhnya











3

PEMBAHASAN
A. Pengertian mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mujam al-falsafi, Jamil
Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari
benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau
penyayang.Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi
dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata
mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau
aliran dalam tasawwuf yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhaniah
pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al
Qusyairi sebagai berikut: almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang
mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya
dan yang seorang hamba mencintai Allah swt.
Mahabbah (cinta kepada Alloh) adalah kedudukan yang diperebutkan
dan dibidik oleh banyak orang. Ilmunya diperebutkan dan dikejar oleh mereka
yang bergerak cepat (menuju Alloh). Semilir anginnya dicari oleh para ahli
ibadah. Ia adalah makanan pokok hati, nutrisi rohani dan penyejuk mata. Ia adalah
kehidupan yang barang siapa terhalang darinya, niscaya ia termasuk gololngan
orang-orang yang mati. Ia adalah cahaya yang barang siapa kehilangan darinya,
niscaya ia berada dalam lautan kegelapan. Ia adalah obat yang barangsiapa tidak
mendapatkan nya, niscaya hatinya akan terjangkit segala macam penyakit. Ia
adalah kenikmatan yang barang siapa tidak memperolehnya, niscaya seluruh
kehidupannya dipenuhi dengan kecemasan dan kepedihan.
1


1
Syaikh Dr. Ahmad farid, manajemen qalbu ulama salaf, terj. Najib junaidi
(surabaya, pustaka eLBa, 2008) hlm, 341
4

B. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran
maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta
khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-
unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh
kalangan orientalis.
2

a. Dalil-dalil dalam al-Quran, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
;g`4 +EEL- }4`
7OgC-4C }g` p1 *.-
-41-E^ g4+Oc:g47
pUE *.- W
4O--4 W-EONL4`-47
OE- :NO =. O4
O4O4C 4g~-.- W-EONU
^O) 4pu4O4C =-EOE^-
Ep EO^- *.
4OgE_ Ep4 -.-
CgE- -EOE^-
^g)
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai
Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada
Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).


2
Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis,
misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke
Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi Utsmani, (Bandung:
Pustaka, 1985) hal. 22-34.
5



2) QS. Al-Maidah ayat 54
OgO^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 }4` O>O4C
74g` }4N gOgLCg1 4O=O
O)O4C +.- O)
gcg47 +O4^Oc:g474
O-.gO O>4N
4-gLg`u^- EEOgN
O>4N 4jOg^-
])_O_7 O) O):Ec
*.- 4 4pOC O4`O
j* _ ElgO N;_ *.-
gO1g>uNC }4` +7.4=EC _
+.-4 77c4 v1)U4
^)j
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran ayat 31
~ p) +L7
4pOcl> -.-
Og^ON)lE>
N7l):NC +.-
Og^4C4 7
74O+^O +.-4
EOOEN _OgOO ^@
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
6

b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai
berikut:

Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan


merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya
karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci
dilemparkan ke neraka.
3


..


.Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan
ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya,
maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar;
menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang
ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.

Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya


daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
4

2. Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta
(mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya

3
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami as-Shahih al-
Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1,
hal. 14.
4
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt), juz 1, hal.
67.
7

dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya
cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (marifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia
kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
5

b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang
terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut. Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya

5
Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-
Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.

8

Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya. Selanjutnya al-
Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan
tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan
seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan
keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri
dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai
pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang
Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia
mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang
lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan
membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap
kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan
motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
9

tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada
hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu
juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka
cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada
makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena
itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak
dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika
seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan
menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak
dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai
rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan
sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan
dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan
korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
10

menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh
mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat
seorang Imam Syafii, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka
tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafii betul-betul menarik atau
tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang
bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun
keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari
betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul
ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab
bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman
dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang
sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara
keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta.
Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
11

memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan
akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat
lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal
tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang
menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian
lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu,
kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu
menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-
orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut
adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.
C. RABIAH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA
Tokoh yang memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah. Ia
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup
antara tahun 713-801 M, ada juga yang menyebutkan ia meninggal pada tahun
185/796 M. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian
dibebaskan. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari
keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang
disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
6


6
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-
Syamilah), juz 1, hal. 68.
12

Corak tasawuf Rabiah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan
tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya.
Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya
pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabiah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh
Rabiah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah
diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena
mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku
melihat keindahan-Mu yang abadi.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabiah kepada Allah, maka seolah
cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya
untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun,
tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan
sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini
juga Rabiah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang
hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah
semata.
7

D. DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai
bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan

7
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal. 74.
13

melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam
semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara, baik dalam Alquran maupun
hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah
disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah
suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila
kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan
sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang
menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan
menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah
menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat
yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta
adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk
kedurhakaan.
8
Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya,
kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa
beban.
9

2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang
tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah
sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada
Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan
demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah

8
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,
(Bandung: Mizan, 1993), hal. 278-279.
9
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Taarruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf,
(tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
14

itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada
cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta
yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya
Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta
tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah
bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha
Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan
itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap
Allah.


3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi
dalam kitabnya al-Luma, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di
depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah,
mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha) kepada Allah. Sedangkan hal
adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh
hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu tempat yang berada di
dalam jiwa dan tidak statis.
10

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi
tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di
samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar

10
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah,
1960), hal. 65-66.
15

pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar,
zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi.
Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
11

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu
keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya
tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan
demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang
hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.

4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada
Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-
ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini
timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
terkoyaknya tabir dan tersingkapnya rahasia Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah
lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan
duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya

11
Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-
Syamilah), juz 3, hal. 465.
16

cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya,
namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Yaqub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju
kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta
macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai
sebagai pengganti sifat-sifatnya.
E. PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabiah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui
puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi
tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu
menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih
manusiawi.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema
yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas
lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi
dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma, al-Qusyairi dengan ar-
Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam
al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang
kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Said bin Abi al-Khair, al-Jilli,
Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi
kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti
Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.




17









KESIMPULAN
1. Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah (cinta kepada
Alloh) adalah kedudukan yang diperebutkan dan dibidik oleh banyak
orang.
2. Dasar-Dasar Ajaran Mahabbah
a. Dasar syara
b. Dasar filosofis
3. Tokoh yang memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah. Ia
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia
hidup antara tahun 713-801 M, ada juga yang menyebutkan ia meninggal
pada tahun 185/796 M.
4. Doktrin-doktrin mahabbah
a. Makna Cinta di Kalangan Sufi
b. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
c. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
d. Tingkatan Cinta
18

Pengaruhnya : Semenjak Rabiah al-Adawiyah mengungkapkan corak
tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun
mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun
tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih
dekat dan lebih manusiawi.





DAFTAR PUSTAKA
+ Syaikh Dr. Ahmad farid, manajemen qalbu ulama salaf, terj. Najib junaidi
(surabaya, pustaka eLBa, 2008) hlm, 341
+ Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003).
+ Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu
Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi Utsmani, (Bandung:
Pustaka, 1985).
+ Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Taarruf li Mazhab Ahl at-
Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
+ Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
(Beirut, Dar al-Marifah, tt).
+ Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973).
+ Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah
asy-Syamilah)
+ Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam
Program Syamilah).
19

You might also like