You are on page 1of 44

TUGAS PENGANTAR SOSIOLOGI NAMA KELOMPOK : Monina Selfi Karlina Lola Silvayana Wahyu Puspita Sari Ivana Triany

Putri

BAB 7 Stratifikasi Sosial

KONSEP STRATIFIKASI
in all societiesfrom societies that are meagerly developed and have barely attained the dawning of civilization, down to the most advance and powerful societiestwo classes of people appeara class that rules and a class that is ruled (Mosca, 1939)

Dalam bab ini kita akan memusatkan perhatian pada suatu ciri yg menandai tiap masyarakat, yaitu pada adanya ketidaksamaan (inequality) diantara status individu dan kelompok yg terdapat didalamnya. Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yg menyatakan persamaan manusia. Di bidang hukum, misalnya, kita mengenai anggapan bahwa dihadapan hukum semua orang adalah sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama. Dalam hal adat Minangkabau kita mengenal ungkapan tagok sama tinggi, duduk samo rendah yg berarti bahwa setiap orang dianggap sama. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Dalam kutipan dari buku Mosca tersebut diatas misalnya, kita melihat bahwa dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di bidang kekuasaan: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuasaan, sedangkan sisanya dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria lain; misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan prestise dalam masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yg dimilikinya dalam sosiologi dinamakan stratifikasi sosial (social stratification) . Kita telah melihat uraian Ralph Linton bahwa sejak lahir orang memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan antarindividu atau kemampuan. Berdasarkan status yg diperoleh dengan sendirinya ini, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yg diperoleh ini, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi. Suatu bentuk dari stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age stratification). Dalam sistem ini anggota masyarakat yg berusia lebih muda mempunyai hak

dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yg lebih tua. Dalam hukum adat masyarakat tertentu, mialnya, anak sulung memperoleh prioritas dalam pewarisan harta atau kekuasaan. Asas senioritas yg dijumpai dalam stratifikasi berdasarkan usia ini dijumpai pula dalam bidang pekerjaan. Dalam berbagai organisasi modern, misalnya, kita sering melihat adanya usia antara karyawan yg memangku jabatan sama. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka waktu tertentumisalnya dua tahun, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya dapat dipangku oleh karyawan yg telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yg dipertimbangkan untuk mengisinya ialah mereka yg dianggap paling senior. Sistem yg dianut di kalangan pegawai negeri kita, misalnya, merupakan perpaduan antara merit system (sistem penghargaan terhadap prestasi) dan sistem senioritas. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan bilamana kita menjumpai bahwa jabatan yg dipangku dosen didalam struktur organisasi perguruan tinggi negeri (seperti jabatan ketua jurusan, pembantu dekan, dekan dan sebagainya) serta jabatan fungsional mereka (seperti asisten ahli,lektor,guru besar) memperlihatkan hubungan erat dengan usia para pemangku jabatan, meskipun usia memang bukan satu-satunya ukuran yg dipakai untuk mengusulkan seorang pemangku jabatan. Masih pentingnya asas senioritas dijumpai pula dalam sistem kenaikan pangkat dosen. Dosen tetap pada perguruan tinggi negeri yg tidak berhasil naik pangkat ke golongan IV sebelum mencapai usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk jabatan guru besar, apapun gelar akademik yg dimilikinya dan apa pun prestasi dan sumbangannya dalam bidang keahliannya.

Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada faktor perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu herarki. Dalam banyak masyarakat, status lakilaki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki sering memperoleh pendidikan formal lebih tinggi daripada perempuan. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif terbatas, dan dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak terdapat di strata yg rendah, dengan status dibidang administratif, dan sering menerima upah atau gaji lebih rendah daripada laki-laki. Ada pula stratifikasi yg didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak dan kewajiban antara anak, ayah, ibu, paman, kakek, dan sebagiannya sering mengarah ke suatu herarki. Pun ada pula sistem stratifikasi yg didasarkan atas keanggotan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi keagaman (religious stratification), stratifikasi etnik (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification). Pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan warna kulit. Tatkala di Afrika Selatan masih berlaku sistem Apartheid, dijumpai pembedaan hak dan kewajiban antara org kulit hitam dan org kulit putih, suatu pembedaan yg dimasa lalu pernah dilaksanakan pula di Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Selatan. Disamping dibeda-bedakan berdasarkan status yg diperoleh, anggota masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yg diraihnya, sehingga menghasilkan bebagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya ialah startifikasi pendidikan (educational stratification): hak dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yg berhasil mereka raih.

Sistem stratifikasi lain yg kita jumpai dlm kehidupan sehari-hari ialah stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Dibidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yg mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asisten dosen, lektor, dan guru besar; antara tamtama,bintara,perwira pertama,perwira menengah,perwira tinggi. Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu prembedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini kita mengenal, antara kain, pembedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan mereka menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat kita terdapat sejumlah besar warga yg tidak mampu memenuhi keperluan minimum manusia utk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula warga yg seluruh kekayaan pribadinya bernilai diatas Rp 1 miliar. Dikalangan pertanian di pedesaan kita menjumpai pembedaaan antara petani pemilik tanah dan buruh tani. Kita masih ingat bahwa Marx memakai kriteria pemilikan atas alat produksi untuk membedakan antara kaum borjuis dan kaum proletar.

SISTEM STRATIFIKASI TERTUTUP DAN TERBUKA


Apa ciri yg membedakan sistem stratifikasi berdasarkan perolehan dgn stratifikasi berdasrkan raihan? J. Milton Yinger mencoba merumuskan empat kriteria utk membedakan sistem kelas, sistem kasta, dan sistem mayoritas-minoritas, meskipun ia menyadari bahwa kriteria yg dibuatnya tersebut merupakan tipe ideal. Kriteria yg diajukan Yinger terdiri atas keanggotaan berdasarkan kelahiran, endogami, dukungan institusi bagi perlakuan berbeda, dan penerimaan status oleh kelompok yg lebih rendah (lihat Yinger, 1966:40-56). Berdasarkan kriteria Yinger ini suatu sistem kasta ditandai oleh keanggotaan melalui kelahiran, endogami, kecenderungan dukungan institusi bagi perlakuan berbeda, dan

kecendrungan penerimaan status oleh kelompok yg lebih rendah. Artinya, seseorang hnya dapat menjadi anggota suatu kasta melalui kelahiran; ia hanya dapat menikah dengan org dari kasta yg sama; masyarakat cenderung merestui pelakuan berbeda bagi orang yg kastanya berbeda; dan org yg menjadi anggota kasta lebih rendah akan cenderung menerima kedudukannya yg lebih rendah sebagai hal yg wajar. Sistem minoritas dan mayoritas pun masih ditandai kecenderungan utk menerima keanggotaan melalui kelahiran dan endogami, dukungan institusi bagi perlakuan berbeda dan penerimaan status rendah oleh kelompok yg lebih rendah, namun kecenderungan tersebut lebih lemah daripada kecenderungan pada sistem kasta. Yang dimaksudkan disini ialah bahwa seorang anggota kelompok minoritas ada yg dapat menjadi anggota suatu kelompok mayoritas (atau sebaliknya) tanpa memalui kelahiran, dan ada yg mulai dapat menikah dengan anggota kelompok mayoritas (atau minoritas); dalam masyarakat mulai terdapat institusi yg menentang perlakuan berbeda bagi anggota kelompok lain; dan dikalangan kelompok yg statusnya lebih rendah mulai ada pihak yg tidak menerima status yg lebih rendah tersebut. Pada sistem kelas kecenderungan utk menerima anggota melalui kelahiran dan pola hubungan endogami masih banyak dijumpai tetapi dalam frekuensi lebih kecil daripada kecenderungan pada sistem kasta dan sistem minoritas-mayoritas; dan institusi masyarakat mulai cendrung menantang pelakuan berbeda, sedangkan sebagian besar anggota kelompok yg lebih rendah pun tidak menerima status lebih rendah yg telah mereka duduki. Sebagaimana yg telah dikemukakan Yinger klasifikasinya ini merupakan tipe ideal dan dalam kenyataaan kita akan menjumpai berbagai pengecualian. Sebagaimana dapat kita lihat dari uraian tokoh sosiologi India, M. N. Srinivas (1952), sistem kasta di India ( yg diberi nama varna) sebenarnya terdiri atas ribuan jati, suatu kelompok endogen yg

mempraktikkan suatu pekerjaan tradisional dan mempunyai otonomi tertentu dlm bidang budaya, ritual,dan hukum. Srinivas mengamati bahwa kadangkala hubungan hipergami antarkasta dimungkinkan, walaupun ini selalu terwujud dalam pernikahan seorang laki-laki dari kasta lebih tinggi dengan seorang perempuan dari kasta lebih rendah dan tidak sebaliknya. Srinivas pun menguraikan bahwa suatu kelompok kasta rendah sering dapat pindah status ke kasta lebih tinggi dengan jalan meniru gaya hidup kasta yg lebih tinggi itu (suatu proses yg oleh Srinivas dinamakan Sanskritization), meskipun proses ini terjadi dalam beberapa generasi. Adanya proses Sankritization) ini sudah merupakan indikasi bahwa warga kasta lebih rendah tidak selalu menerima status mereka yg rendah. Dalam sosiologi kita mengenal pembedaan antara stratifikasi tertutup dan stratifikasi terbuka. Keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan seringtidaknya seseorang yg mempunyai status tertentu memperoleh status dalam strata yg lebih tinggi (lihat Yinger, 1966:34). Menurut Yinger suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup samasekali manakala setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yg sama dgn orangtuanya, dan dinamakan terbuka samasekali manakala setiap anggota masyarakat menduduki setiap status berbeda dgn status orangtuanya (dapat lebih tinggi atau lebih rendah). Disini pun kenyataan empirik berada diantara dua kutub tersebut : tidak ada masyarakat yg stratifikasinya terbuka sama sekali atau pun tertutup sama sekali. Yinger memperkirakan bahwa dalam masyarakat yg paling terbuka, yaitu masyarakat industri modern, hanya sepertiga anggota yg status nya lebih tinggi atau lebih rendah daripada status orangtuanya.

MOBILITAS SOSIAL
Dalam sosiologi mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial; Social mobility refers to the movement of individuals or groupsup or downwithin a

social hierarchy (Ransford, 1980:491). Mobilitas vertikal mengacu pada mobilitas keatas atau kebawah dalam stratifikasi sosial; pun ada apa yang dinamakan lateral mobility (lihat Giddens, 1989:229) yang mengacu pada perpindahan geografis antara lingkungan setempat, kota dan wilayah. Sebagaimana nampak dari definisi Ransford diatas, mobilitas sosial dapat mengacu pada individu maupun kelompok.contoh yang diberikan Ransford mengenai mobilitas sosial individu ialah perubahan status seseorang dari seorang tukang menjadi seorang dokter; mobilitas sosial suatu kelompok terjadi manakala suatu minoritas etnik atau kaum perempuan mengalami mobilitas, misalnya mengalami peningkata dalam penghasilan rata-rata bila dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Ransfords pun mengutip contoh yang diberikan Sorokin mengenai mobilitas kelompok, yaitu turunnya status suatu dinasti penguasa (lihat Ransfords, 1980:492-493). Menurut Ransfords mobilitas dapat terjadi pula pada kekuasaan, privilese, maupun prestise (lihat Ransfords,1980:492). Suatu pokok bahasan yang banyak mendapat perhatian ahli sosiologi ialah masalah mobilitas intragenerasi dan mobilitas antar generasi. Mobilitas intragenerasi memacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam amasa hidupnya; misalnya, dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi. Mobilitas antargenerasi, dipihak lain, memacu pada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orang tuanya; misalnya anak seorang tukang sepatu yang berhasil menjadi insinyur, atau anak menteri yang menjadi pedagang kaki lima. Suatu studi terhadap sejumlah dosen tetap dari lima perguruan tinggi negeri di Jawa, misalnya, memperlihatkan bahwa orangtua para dosen yang diteliti cenderung berpendidikan menengah-suatu petunjuk bahwa dikalangan para dosen tersebut telah terjadi mobilitas vertikal antar generasi, mengingat bahwa para dosen tersebut telah meraih pendidikan tinggi yang merentang mulai dari jenjang sarjana sampai kejenjang doktor (lihat Sunarto, 1980).

Suatu studi yang sering menjadi bahan acuan dalam bahasan mengenai monilitas atargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat. Kedua ilmuan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relatif terbuka karena didalamnya telah terjadi mobilitas sosial vertikal antar-generasi, dan dalam mobilitas intra-generasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebih besar dari pada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orangtua. Dengan perkataan lain, dalam tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status orangtuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal karirnya sendiri. Pada masyarakat yang mempunyai sistem stratifikasi terbuka pergantian status dimungkinkan. Meskipun dalam masyarakat demikian terbuka kemungkinan bagi setiap anggota masyarakat untuk naik-turun dalam herarki sosial, dalam kenyataan mobilitas sosial antar-generasi maupun intragenerasi yang terjadi bersifat terbatas. Masih cukup banyak anggota masyarakatnya yang menduduki status yang tidak banyak berbeda dengan status orangtua mereka, dan selalu ada saja anggota masyarakat yang tidak berhasil meraih status sederajat dengan status yang pernah diduduki orangtuanya.

JUMLAH LAPISAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT


Berapakah jumlah lapisan sosial (strata) yang terdapat ada dalam suatu sistem stratifikasi ? Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan sosial. Ada yang merasa cukup dengan klasifikasi dalam dua lapisan. Marx, misalnya, membedakan antara kelas borjuis dan proletar; Mosca membedakan antara kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai; banyak ahli sosiologi membedakan antara kaum elit dan massa, antara orang kaya dan orang miskin.

Sejumlah ilmuan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih. Kita sudah sering menjumpai, misalnya, pembedaan antara kelas atas, kelas menang dan kelas bawah. Warner bahkan merinci tiga kelas ini menjadi enam kelas: kelas atas atas (upper upper), atas bawah (lower upper), menengah atas (upper middle), menengah bawah (lower middle),bawah atas (upper lower) dan bawah bawah (lower lower. Lihat Zanden, 1979:273). Dalam penelitiannya didaerah Simalungun, Sumatera Utara R. William Liddle membedakan antara elit pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten atau kotamadia, dan provinsi (lihat Liddle, 1970:209). Sajogoyo membagi petani miskin di Jawa dalam tiga lapisan: petani lapisan III (cukup), yang luas tanahnya diatas 0,5 ha; lapisan II (miskin), yang luas tanahnya antara 0,25 dan 0,5 ha; dan lapisan I (miskin sekali) yang luas tanahnya dibawah 0,25 ha atau buruh tani yang tidak punya tanah (lihat Sajogoyo, 1978). Bernard Barber memeperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu diantaranya ialah kensep rentang (span), yang mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah (Barber, 1957). Dalam masyarakat kita, misalnya, menjumpai rintangan yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Di bagian terbawah kita menjumpai penghasilan dibawah Rp. 100.000 per bulan atau Rp. 1,2 juta per tahun; di Jakarta awal tahun 90-an, misalnya, kita dapat menjumpai pegawai negeri dengan gaji dibawah Rp. 50.000 per bulan, buruh pabrik yang penghasilannya sekitar Rp. 16.000 per minggu, pabrik yang memberikan upah minimum buruh sebesar Rp1.750 per hari (atau sekitar Rp.45.000 perbulan), dan pembantu rumah tangga yg berpenghasilan sekitar Rp.35.000 per bulan. Dibagian teratas stratifikasi dibidang penghasilan, dipihak lain, kita akan menjumpai penghasilan yg mencapai antara Rp800 juta dan Rp1 miliar per tahun (lihat Warta Ekonomi 23,1990), atau sekitar Rp.66.7 juta sampai ke Rp83.3 juta per bulan. Di bidang kepangkatan pegawai negeri rentang antara pangkat rendah, golongan IA dan pangkat tertinggi, golongan Ivd adalah 16 jenjang artinya; antara keadaan tuna wisma yg tidak

mempunyai apa-apa kecuali pakaian yg melekat ditubuhnya, dan pengusaha yg kekayaan pribadinya berjumlah diatas Rp1 miliar. Konsep rentang memberikan kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan (atau kecilnya pemerataan) dalam masyarakat. Konsep terkait lainnyayg dialukan Barber ialah konsep bentuk (shape), yg mengacu pada proporsi org yg terletak di kelas sosial yg berlainan (lihat Barber, 1957). Suatu stratifikasi dapat berbentuk segitiga. Ini berarti bahwa semakin tinggi posisi dalam stratifikasi,semakin sedikit jumlah posisi yg tersedia. Stratifikasi yg mendekati bentuk piramida ini kita jumpai misalnya dlm stratifikasi jabatan pimpinan dlm pemerintahan daerah: jumlah kepala desa atau lurah melebihi jumlah camat, jumlah camat melebihi jumlah bupati atau walikota, dan jumlah bupati atau walikota melebihi jumlah gubenur. Stratifikasi tidak selalu berbentuk segitiga atau piramida, karena kita sering menjumpai situasi yg didalamnya terdapat sejumlah besar posisi rendah dan sejumlah kecil posisi tinggi. Situasi kesenjangan besar ini sering dijumpai dlm masyarakat yg sedang berkembang. Dari penduduk Indonesia yg menurut sensus penduduk 1990 berjumlah 179 juta jiwa, misalnya, hanya terdapat sekitar 50 orang penduduk yg berpenghasilan antara Rp300 juta dan Rp1 miliar, dan dari perkiraan bahwa hanya terdapat 10 orang yg kekayaan pribadinya bernilai di atas Rp100 juta hingga Rp5 miliar (lihat Warta Ekonomi 18,1990) kita melihat bahwa dalam masyarakat kita jumlah org yg sangat kaya atau berpenghasilan sangat tinggi sangat sedikit. Dibidang pendidikan formal, dalam masyarakat kita pun dijumpai kesenjangan besar antara mereka yg berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yg berpendidikan tinggi. Data sensus 1971 dari BPS, misalnya, menunjukkan bahwa pada tahun 1971 dikalangan penduduk berusia 10 tahun keatas 41,01% tidak bersekolah, 52,35%

berpendidikan dasar (32,97% tidak selesai), 4,3% berpendidikan SLP, 2,03% berpendidikan SLA dan hanya 0,31% berpendidikan tinggi. Dalam masyarakat industri maju dapat dijumpai stratifikasi yg berbentuk intan: posisi dilapisan bawah dan atas berjumlah relatif sedikit bila dibandingkan dengan posisi lapisan menengah. Dalam studi yg dilakukan Warner dikota Jonesville, Amerika Serikat, misalnya, kelas atas berjumah 2,7%, menengah atas 11%,menengah bawah 31%,bawah atas 41% dan bawah bawah 14% (dikutip dalam Zanden, 1979:273). Data ini menunjukkan bahwa stratifikasi masyarakat kota Jonesville berbentuk intan; mayoritas penduduk berada pada kelas menengah bawah dan bawah atas. Data sensus mengenai angkatan kerja Jepang pada tahun 1975, misalnya, menunjukkan bahwa para pemilik modal, manajer swasta dan pejabat tinggi pemerintah merupakan5,9% dari angkatan kerja, sedangkan para pemilik modal kecil, termasuk didalamnya pedagang dan pengusaha sektor jasa, berjumlah 29,4%. Meskipun buruh nampaknya merupakan kelas terbesar karena berjumlah 63,3%, namun kategori ini mencakup 21,3% dari angkatan kerja yg merupakan tenaga administrasi dan tenaga kerja kantor yg sangat berspesialisasi sehingga buruh jumlahnya tidak melebihi 39,7%. Dengan demikian data ini menunjukkan bahwa stratifikasi pekerjaan di Jepang cenderung berbentuk intan karena posisi kebanyakan tenaga kerja Jepang berada di tengah stratifikasi.

DIMENSI STRATIFIKASI
Diatas telah dibahas penggolongan anggota masyarakat berdasarkan berbagai dimensi. Ada dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnik, kelompok ras, pendidikan formal, pekerjaan dan ekonomi. Dimensi apakah yg digunakan para tokoh sosiologi klasik untuk mengkaji stratifikasi sosial ?

Kita telah melihat bahwa perubahan sosial secara mendasar dan menyeluruh yg melanda masyarakat Eropa telah mewujudkan pembagian kerja semakin rinci dalam masyarakat. Pembagian kerja tersebut telah membawa diferensiasi sosial yg tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal tetapi juga secara vertikal. Dengan demikian tidaklah mengherankan mengapa diferensiasi sosial, termasuk juga stratifikasi

sosial,merupakan suatu pokok bahasan yg sejak awal sosiologi telah menarik perhatian para perintisnya. Pandangan mengenai stratifikasi yang sangat menonjol dalam sosiologi adalah pandangan mengenai kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx kehancuran feudalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis (bourgeoisie) yang memiliki alat produksi dan kelas proletar (ploretariat) yang tidak memiliki alat produksi (lihat Marx dalam Smelser, 1973:73-85). Dengan makin berkembangnya industry para pemilik alat produksi makin banyak menerapkan pembagian kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan dikalangan buruh semakin meningkat dan upah buruh makin menurun. Karena kaum ploretar semakin dieksploitasi mereka mulai menpunyai kesadaran kelas (class consciousness) dan semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas (class struggle) akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas (classless society) karena pemilikan pribadi atas alat produksi telah dihapuskan. Pandangan Marx ini dikecam oleh banyak ilmuan social. Kritik utama ditujukan pada digunakannya hanya satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi, untuk menetapkan stratifikasi social; banyak ilmuan yang berpendapat bahwa disamping dimensi ekonomi dijumpai pula dimensi lain untuk membeda-bedakan anggota masyarakat. Kritik lain ialah bahwa dalam kenyataan masyarakat industry mengenai lebih dari dua kelas. Selain itu, berbada dengan

ramalan Marx, perjuangan kelas tidak terjadi di masyarakat industri maju di Eropa Barat dan Amerika melainkan justru di masyarakat sedang berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin dan tidak dipelopori oleh kaum buruh diperkotaan melainkan oleh kaum gerilia di pedesaan. Pun banyak ilmuan yang mengkritik ramalan Marx mengenai masyarakat tanpa kelas, karena hingga kini, lebih dari 100tahun semenjak Marx meninggal, masyarakat demikian belum pernah terwujud meskipun sejak awal abad ini telah muncul banyak Negara yang ideologinya didasarkan dengan ajaran Marx. Max Weber termasuk diantara ilmuan social yang tidak sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi social. Oleh karena itu ia mengemukakan bahwa disamping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Dalam uraiannya mengenai persebaran kekuasaan dalam masyarakat Max Weber memperkenalkan pembedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai (lihat Weber dalam Gerth dan Mills, 1958:180-195), yang merupakan dasar bagi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi social. Menurut Weber, kelas ditandai oleh beberapa hal. Pertama, kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances): peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan peluang untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, maka orang yang berada di kelas yang sama menpunyai persamaan apa yang oleh Weber dinamakan situasi kelas (class situation), yaitu persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Dengan demikian para pengusaha kita yang melalui usaha mereka dibibang ekonomi berhasil memupuk kekayaan pribadi dalam jumlah yang besarnya kira-kira sama (misalnya Rp.500 juta)dan dapat menikmati cara hidup yang sama serta memiliki pengalaman

pribadi yang sama (misalnya memiliki pesawat terbang pribadi, atau berlibur dengan keluarga keluar negeri) dapat dianggap berada dalam situasi kelas yang sama sehinnga merupakan anggota kelas yang sama. Menurut Weber kategori dasar untuk menbedakan kelas ialah kekayaan yang dimiliki dan factor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi. Dimensi lain yang menurut Weber digunakan orang untuk membeda-bedakan anggota masyarakat ialah dimensi kehormatan. Menurut Weber manusia dikelompokkan dalam kelompok status (status groups), yang menurutnya laksana komunitas yang tak berbentuk. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status (status situation) yang sama, yaitu orang yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan tertentu. Dalam berbagai suku bangsa di masyarakat kita misalnya, kita mengenal perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata, seperti misalnya pembedaan antara priyayi dan wong cilik pada orang Jawa, pembedaan antara meramba dan ata pada orang Sumba, antara orang yang bergelar triwangsa (kasta tertinggi) dan mereka yang bergelar jaba di Bali, antara para penghulu serta kaum kerabat mereka dan orang yang bukan kemanakan batali darah para penghulu di Minangkabau (lihat, antara lain, tulisan-tulisan Koentjaraningrat, Clifford Geertz, dan Harsja W.Bachtiar dalam Koentjaraningrat, ed., 1964). Weber mengemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Di bidang pergaulan gaya hidup dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Para an ggota suiatu kelompok status, misalnya, cenderung menjalankan endogamy; pernikahan dengan orang dari kelompok l,ebih rendah cenderung dihindari. Dimasa lalu putra mahkota (kini kaisar) Jepang, Akihito, pernah menghebohkan masyarakatnya karena menikah dengan perempuan yang bukan bangsawan. HaL serupa pernah pula terjadi dikerajaan Inggris. Larangan interaksi ini pernah dijumpai pul;a dalam masyarakat yang dimasa lalu mengenal

diskriminasi ras seperti Afrika Selatan dan Daerah tertentu di Negara bagian selatan Amerika Serikat. Kadang-kadang larangan interaksi ini dapat mencakup larangan menyentuh anggota kelompok status lain; di India, misalnya, mereka yang menduduki kasta (Varna) lebih tinggi tidak dibenarkan menyentuh tubuh dan bahkan bayangan memerka yang berada diluar kasta (Harijari). Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan sebuah adat istiadat masyarakat. Monopoli suatu kelompok status antara lain terwujud dalam gaya berbusana: dimasa lalu corak kain tenun ikat tertentu di Flores atau corak kain batik tertentu di Jawa Tengah hanya dapat dikenakan oleh kaum bangsawan, di India para harijan tidak diperkenankan memakai baju. Di India mereka yang berkasta tinggi tidak diperkenankan makan daging dan minum minuman keras. Di masa diskriminasi ras masih ditegakkan di Negara bagian Selatan Amerika Serikat, seseorang berkulit putih menyapa orang laki-laki kulit hitam dengan sapaan boy sedangkan orang kulit hitam harus menyapa orang laki-laki kulit putih dengan sapaan Sir. Selain kedua ukuran tersebut diatas yaitu ukuran ekonomi dan kehormatan, menurut Weber masyarakat dapat dibedakan pula berdasarkan kekuasaan yang dipunyai. Disebutkan olehnya bahwa partai merupakan suatu gejala yang melibatkan tatanan kekuasaan, kekuasaan didefinisikan oleh Weber sebagai peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk yang berlaku dalam

mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tantangan dari orang lain yang ikut serta dalam komunal itu (lihat Weber. 1920: 180). Menurut Weber partai diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan social yaitu pada dipengaruhinya tindakan bersama untuk mencapai tujuan yang terencana. Cara yang ditempuh partai untuk memperoleh kekuasaan berbeda-beda ; ada yang menggunakan kekerasan fisik dan ada yang berusaha memperoleh dukungan suara dengan memakai berbagai cara seperti uang, pengaruh social, pemberian saran, tipudaya, intimidasi dan sebagainya. Pembedaan Weber antara macam stratifikasi ini kemudian diikuti oleh sejumlah ahli sosiologi, walaupun dengan modifikasi tertentu. Pengaruh Weber ini antara lain Nampak dalam pandangan Peter Berger, yang mendefinisikan stratifikasi social sebagai berikut : Social stratification refers to the fact that any society will consist of levels that relate to each other in terms of soperordination and subordination, be it power, privilege prestige (Berger:1978:94). Disini jelas bahwa stratafikasi diartikannya sebagai perjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan bawahan atas dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan , pengaruh Weber Nampak pula dalam karya Jeffries dan Ransford. Dengan menggunakan tiga ukuran; kekuasaan (power), privilese (privilege), dan prestise (prestige) mereka membedakan tiga macam stratifikasi, yaitu herarki kekuasaan (power hierarchies) yang didasarkan pada

kekuasaan, herarki kelas (class hierarchies) yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa, dan herarki status (status herarchies) yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial (lihat Jeffries dan Ransford,1980:57-80).

Suatu hal yang ditekankan Weber ialah adanya kemungkinan adanya hubungan antara dan kedudukan menutut beberapa dimensi, maksudnya, seseorang yang mempunyai kekuasaan politik mungkin saja menduduki posisi terhormat dalam herarki status dan bahkan menduduki posisi tinggi dalam herarki kelas. Kebalikannya demikian pula: ada orang miskin yang kedudukannya tidak trepan danmg dan tidak memiliki kekuasaan apapun. Dalam masyarakat kita memang dapat mengenal banmyak contoh mengenai kesepadanan antara posisi dalam dimensi berbeda. Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX, misalnya, dimasa hidupnya memiliki posisi tinggi dalam herarki kekuasaan (selain menjadi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, beliau pernah pula memangku berbagai jabatan penting dalam Pemerintahan RI mulai dari Menteri Negara, Menteri Utama, Menteri Koordinator, Wakil Perdana Menteri sampai ke Wakil Presiden RI), dalam herarki status (sebagai Sultan beliau adalah bangsawan dengan posisi tertinggi dalam herarki status kesultanan Yogyakarta dan anatara lain memiliki berbagai tanda jasa dan gelar kehormatan dari dalam dan luar negeri), dan dalam herarki kelas (beliau memiliki beberapa perusahaan). Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, misalnya, berpendapat bahwa mereka yang posisinya tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi berlainan (lihat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 253-254). Tetapi perbadaan antara ketiga macam herarkipun harus tetap diperhatikan, dan adanya ketidak sepadanan antara posisi dalam dua atau tiga herarki berlainan pun merupakan suatu kemungkinan yang dapat saja terjadi. Kebanyakan diantara kita tentu pernah mendengar atau membaca tentang stereotip pengusaha dari kalangan etnik Tionghoa di daerah pemukinan Tionghoa seperti di Glodok di Jakarta Kota, yang bekerja sendiri disuatu ruang sempit dengan hanya bersenjatakan alat hitung tradisional cipoa dan telepon tetapi dalam sehari mampu menjalin sejumlah transaksi yang nilainya dapat mencapai puluhan juta rupiah. Pengusaha demikian jelas menduduki posisi tinggi dalam hirarki ekonomi, tetapi

dalam hirarki status kehormatan dan hirarki kekuasaan politik posisinya kemungkinan besar rendah. Di Yogyakarta atau Surakarta kita mungkin masih dapat menjumpai situasi dimana seseorang berusia lanjut berbusana sederhana yang sedang berjalan kaki tiba-tiba dengan penuh rasa hormat disembah sambil duduk bersila oleh seseorang lain yang mengenalnya sebagai bangsawan terpandang dari kalangan kraton. Meskipun orang tua tersebut menurut adat setempat menduduki posisi cukup tinggi, di bidang politik ia belum tentu mempunyai kekuasaan apapun dan di bidang meteri pun belum tentu dapat dianggap mampu.

KELAS SOSIAL Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu sosial. Makna yang diberikan pada konsep tersebut bereda-beda; meskipun konsep tersebut menduduki posisi yang sangat penting dalam teori Marx, namun ia tidak pernah mendefinisikannya secara tegas. Yang jelas ia mengaitkannya dengan pemilikan alat produksi. Kita pun telah melihat bahwa Weber tidak menbatasi konsep tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi memberikan makna lebih luas, sehingga selain mencakup penguasaan atas barang meliputi pula peluang untuk memperoleh penghasilan. Menurut Giddens, peluang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang dimaksudkan Weber ini tidak hanya berupa penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa keterampilan dan kemampuan yang diantara lain tercermin dari ijazah (lihat Giddens, 1989:212). Bagaimanakah para ilmuan sosial masa kini mendefinisikan konsep kelas? Peter Berger, yang menganggap system kelas sebagai tipe stratifikasi terpenting dalam masyarakat Barat masa kini, mendefinisikan kelas sebagai a type of stratification in which ones general position in society is basically determined by economic criteria (Berger, 1980:95). Dari

perumusan ini nampak bahwa, seperti juga dalam perumusan Marx dan Weber, konsep kelas dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan criteria ekonomi. Jeffries pun mendasarkan pandangannya mengenai kelas pada pandangan para tokoh klasik tersebut di atas. Ia mengemukakan bahwa kelas sosial merupakan social and economic groups constituted by a coalescence of economic, occupational, and educational bonds (Jeffries, 1980:73-80). Jadi Jeffries melihat bahwa konsep kelas melibatkan perpaduan antara ikatan ekonomi (yang oleh Jeffries dianggap sebagai segi terpenting dari kelas), pekerjaan, dan pendidikan. Meskipun konsep kelas ini mencakup tiga dimensi yang berbeda satu dengan yang lainjeffries antara lain mengemukakan bahwa seorang guru besar bergelar Doktor cenderung berpenghasilan rendah sampai menengah, sedangklan seseorang yang sangat kaya belum tentu berpendidikan sarjana mudanamun Jeffries menggabungkannya dengan alasan bahwa di antara ketiga dimensi tersebut terdapat kesalingterkaitkan yang erat. Menurut Jeffries pekerjaan merupakan segi penting dari kelas. Dikemukakannya pula bahwa pendidikan sering menjadi prasyarat bagi pekerjaan tertentu. Weber mendefinisikan kelas sebagai kelompok orang ; hal serupa kita jumpai dalam definisi jeffries. Namun ada ahli sosiologi yang berpandangan kelas tidak hanya menyangkut orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Bernard barber, misalanya, medefinisikan kelas asia sebagai himpunan keluarga. Ini mencerminkan pandangannya bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam satu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Bilamana seorang kepala keluarga menduduki suatu status tinggi, misalnya status presiden suatu BUMN, duta besar atau menteri, maka status istri (atau suami bila yang mengalami kenaikan status adalah perempuan) dan anak-anaknya akan tinggi pula. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi stasus yang semula diduduki kepala keluarga, seperti misalnya kasus Nyonya Corajon Aquino, seorang ibu rumah tangga

yang terpilih menjadi presiden Fhiliphina setelah suaminya, Senator Benigno Aquino dibunuh. Kasus lain ialah Rajiv Gandhi, seorang pilot Air India yang menjadi Perdana Menteri Pakistan jabatan yang pernah di pangku ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto beberapa tahun setelah ayahnya menjalani hukuman mati karena dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan merencanakan pembunuhan lawan politiknya. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya. Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status didalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa

sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya, lebih sering terjadi antara orang yang kelasnya sama daripada denga orang dari kelas lebih rendah atau lebih tinggi.

PENJELASAN BAGI ADANYA STRATIFIKASI Dalam sosiologi dijumpai berbagai pandangan berbeda mengenai sebab-musababnya ada stratifikasi dalam masyarakat. Salah satu diantaranya ialah pandangan Kingsley Davis dan Wilbert Moore, yang dikemukakan pada tahun 1945. Pandangan ini dikenal sebagai penjelasan fungsionalis karena menekankan pada fungsi status dalam masyarakt yang dinilai menunjang kesinambungan masyarakat (lihat antara lain Zanden dalam Sinarto, ed., 1985 : 231-238). Moore dan Davis mengemukakan stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat. Dalam masyarakat terdapat status yang harus ditempati agar masyarakat dapat

berlangsung. Anggota masyrakat perlu diberi rangsangan agar mau menempati status tersebut dan, setelah menempati status, bersedia menjalankan peran sesuai dengan harapan masyarakat (expectation). Semakin penting status yang perlu ditempati, dan semakin sedikit tersedia anggota masyarakat yang dapat menempati, semakin besar pula imbalan yang diberikan masyarakat. Perbedaan imbalan tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya stratifikasi dalam masyarakat. Status yang penting tetapi hanya dapat ditempati sejumlah kecil orang karena persediaan orang yang memenuhi syarat terbatas diberi imbalan besar dan terletak di stratum atas pada stratifikasi sosial; status yang tidak penting dan dapat ditempati banyak orang karena persediaan oranmg yang memenuhi syarat sangat besar memperoleh imbalan kecil terletak distratum bawah. Menurut pandangan ini, misalnta, status sebagai buruh kasar menduduki peringkat rendah karena tidak memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi dan dapat ditempati banyak orang sehingga diberi imbalan rendah. Status sebagai manejer atau eksekutif, dipihak lain, memerlukan pendidikan, latihan, keahlian dan kemampuan tinggi yang hanya dapat dipenuhi sejumlah kecil orang sehingga orang yang menempatinya perlu diberi imbalan tinggi. Sejumlah ahli sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan pretise. Kekayaan, kekuasaan dan prestise tersebut jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang tidak memilikinya berusaha untuk menpertahankannya dan bahkan memperluasnya. Pandangan seperti ini yang dikenal sebagai penjelasan konflik antara lain bersumber pada pemikiran Marx (yang hanya menitikberatkan pada dimensi ekonomi) dan Weber (yang membedakan antara dimensi

kekuasaan, ekonomi, dan prestise. Lihat, antara lain, Cellins dalam Karabel dan Halsey, ed.,1977).

DAMPAK STRATIFIKASI Adanya perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup sebagaimana nampak dari pernyaan Max Weber berikut ini: status honor is normally expressed by the fact that above all else a specific style of life can be expected from all those who wish to belong to the circle. Linked with thios expectation are restrictions on social intercourse (Weber, 1920:187). Sejumlah ahli sosiologi berusaha meneliti bagaimana perbedaan kelas sosial terwujud dalam perbedaan dalam perilaku (lihat, antara lain, Bendix dan Lipset, 1965; vanden Zanden, 1979). Salah satu perbedaan perilaku kelas dijumpai dalam busana yang dipakai warga masyarakat kita di perkotaan. Dalam berbusana, baik laki-laki maupun perempuan dari kelas sosial yang berbeda mempunyai kerangka acuan yang berbeda pula. Kaum perempuan kita dari kalangan kelas atas yang berbusana Barat, misalnya, akan banyak yang cenderung berbusana dengan mengacu pada karya perancang mode terkenal dari Paris, New York, London, Tokyo, atau Roma. Kaum perempuan kelas menengah kebawah akan lebih cenderung memakai busana ciptaan perancang mode terkenal dalan negeri. Sedangkan pilihan busana mereka yang berada dikelas bawah akan cenderung berorientasi pada desain yang ditentukan para grosir pakaian jadi dipusat penjualan pakaian seperti misalnya Pasar Tanah Abang atau Pasar Cipulir di Jakarta.

perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada herarki prestise ,tetapi juga pada herarki kekuasaan dan privilese . kita lihat bahwa setiap kelas social pun menampilkan gaya hidup yang khas . ogburn dan nimkoff (1958) menyajikan suatu sketsa dari majalah life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah ( high-brow) , menengah bawah ( lower middle-brow ) , menengah atas ( upper middle-brow ) dan atas ( high-broiw ) masing2 mempunyai selera khas dalam hal pakaian , perlengkapan rumah tangga, hiburan ,makanan ,minuman,bacaan , senirupa , rekaman music, permainan dan kegiatan . keadaan serupa dapat kita amati pula dalam masyarakat kita . di kaca mobil sedan pribadi mewah milik banyak warga dari kelas menengah atas kita menjumpai gambar temple dengan tulisan seperti I Love New York atau Tokyo Disneyland , di kaca mobil sederhana milik warga dari kelas menengah bawah gambar tempelnya akan lebih cendrung berbunyi , misalnya Taman Safari atau Dunia Fantasi . banyak warga kelas menengah atas memaksi baju kaos dengan tulisan nama tempat tujuan wisata di luar negeri seperti Monte CarloMonaco ,Amsterdam, Sydney,Bangkok atau Singapore. Warga kelas menengah 2 kemungkinan besar lebih banyak memakai baju kaos dengan tulisan nama daerah tujuan wisata dalam negeri seperti Kuta Beach, Taroja Montain Eden, Lombok Senggigi Beach , Kelimutu ende flores atau welcome to batam island .kalau warga kelas menengah atas mampu memakai barang luks seperti tas merek Gucci atau jam tangsn merek rolex , mk warga kelas bawah lebih cenderung memakai tas produk sentra industry kecil seperti Cibaduyut, jam tangan merek tidak terkenal atau mungkin jam tangan dengan mrek ASPAL (adsli tapi palsu ). Keluarga kelas menengah atas di daerah pemukiman elit Jakarta dapat menikahkan putra-putri mereka di hotel berbintang lima atau bli yang mewah dengan mengundang ribuan undanagn, suatu kegiatan yang sebelum krisis moneter 19971998 pun sudah menelan biaya paling sedikit beberapa ratus juta rupiah, keluarga kelas bawah di daerah pinggiran Jakarta lebih cenderung menikahkan putra-putrinya secara sangat

sederhana di rumah dengan menghadirkan undangan dalam jumlah terbatas dan menyajikan hidangan sekadarnya , kadang2 dengan disertai hiburan kelompok music dangdut atau film layar tancep yang dapat ikut dinikmati khalayak di sekitar tempat pesta ,kadang2 dengan iringan music daerah melalui rekaman kaset . dalam kaitan dengan perbedaan antarkelas ini para ahli sosiologi sering berbicara mengenai symbol status , yaitu symbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat . berger misalnya , menjelaska konsep simbolisme status sebagai berikut : by the use of various symbols ... one keeps on showing the world where one has arrived (berger , 1980:95). Dari pandangan berger bahwa orang senantiasa memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diraihnya dengan memakai berbagai symbol kita dapat menyimpulkan bahwa symbol status berfungsi untuk member tahu status yang di duduki seseorang . dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa menjumpai symbol status demikian . salah satu di antaranya , misalnya, ialah cara menyapa. Pernahkah anda memperhatikan bagaimana seorang majikan menyapa seorang pembantu rumah tangga ? biasanya seorang majikan menyapa pembantu rumah tangga dengan menyebut namanya saja . pembantu rumah tangga , di pihak lain ,harus menyapa majikan dengan sapaan bapakatau ibu . dari cara menyapa ini kita dapat mwngetahui siapa yang berstatus lebih tinggi dan siapa yang berstatus lebih rendah . Di samping cara menyapa , bahasa da gaya bicara pun merupakan symbol yang menceerminkan status . di masa lalu kaum elite kita yang pernah mengikuti pendididkan di sekolah belanda sering bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa belanda atau suatu bahasa yang merupakan percampuran antara bahasa daerah dan bahasa belanda . kini, setelah bahasa belanda tergeser oleh bahasa inggris , banyak di jumpai orang dari kalangan elite menggunakan bahasa Indonesia di campur dengan kata bahasa inggris . mereka yang

mempunyai peluang untuk belajar atau tinggal di lebih satu Negara asing bahkan mencampur bahasa mereka dengan kata dari beberapa bahasa asing lain seperti bahasa perancis atau jerman . dalam kebudayaan jawa di kenal perbedaan bahasa bagi orang yang statusnya berbeda ; orang yang status nya lebih tinggi (seperti misalnya ayah,nenek,ibu,paman ,bangsawan,atasan ) menggunakan bahasa ngoko dalam percakapannya dengan orang yang berstatus lebih rendah (anak,cucu,menantu,bawahan) sedangkan orang yang statusnya lebih rendah, menggunakan bahasa krama atau krama inggil dalam percakapannya dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Perbedaan status tidak hanya tercermin dari cara menyapa , cara berbahasa, dan cara bergaya. Dalam interaksi antara orang yang statusnya berbeda , perbedaan status ini dapat dilihat pula dari pola komunikasi nonverbal yang terjadi, seperti kebiasasn melipat kedua tangan di depan badan,menundukkan badan atau menundukkan kepala seseoramg di kala berinteraksi denggan orang berstatus lebih tinggi, atau dibenarkannyaorang berstatus lebih tinggi menatap mata dan menunjukkan jarinya kepada orang berstatus lebih rendah . Penyebutan gelar ,pangkat atau jabatan pun memeberikan petunjuk mengenai seseorang dalam masyarakat, baik yang diperoleh sengan sendirinya maupun yang diraih melalui usaha. Cara penulisan nama seseorang , misalnya pada kartu nama,sering memberikan kepada kita petunjuk mengenai berbagai status yang di punyai orang bersangkutan.di depan nama seseorang, misalnya, kita dapat menjumpai singkatan yang mrnunjukkan status seperti Brigjen.Andi , atau Sutan (gelar kebangsawanan), Prof,(jabatan fungsional tertinggi bagi dosen ). Di samping nama dan gelar kartu nama juga memuat tempat kerja dan jabatan yang kini dipangku oleh pemegangnya ( seoerti misalnya rector suatu universitas negeri atau general manager suatu perusahaan swasta) serta alamat rumah . dikalangan orang jepang

kebiasaan tukar-menukar

kartu nama manakaia dua orang bertemu untuk pertama kali

merupakan suatu adat yang dianggap sangat penting karena berfungsi memberitahu status masing2 pihak sehingga keduanya dapat berinteraksi sesuai dengan status yang dimiliki. Petunjuk lain mengenai status ialah busana yang dikenakan . di bidang pekerjaan , pakaian seragam beserta segala perlengkapannya memang sengaja didesain untuk menunjukkan perbedaan status . dari pkaian seragan yang dugunakan seseorang kita tidak hanya dapat mengetahui keanggotaan kelompoknya( kejaksaan,departemen perhubungan ,POLRI,TNI-AL,PN GARUDA ) .tetapi sering juga kedudukannya dalam kelompok (pegawai tinggi,bintara,pilot).tetapi pakaian tidak resmi pun dapat memberikan petunjuk mengenai status pemakainya;busana gaya mutakhir berkualitas tertentu dengan merek terkenal seperti Nina Ricci, Giordano,Benetton,Hammer,Levis dan Arrow berharga cukup mahal sehingga menunjukkan bahwa pemakainya merupakan anggota kelas menengah ke atas. Selain dari busana yang dikenakan , status pun tercermin dari perlengkapan dan perhiasan pribadi lain seperti jam tangan,tas,kaca mata,dasi,sepatu dan sebagainya. Status seseorang tercermin pula dari tipe dan letak tempat tinggalnya. Di tiap kota besar dijumpai daerah pemukiman yang penghuninya cenderung berasal dari kalangan elite ,baik yang berupa daerah elite yang telah lama ada (misalnya sejak zaman penjajahan) maupun yang pemukiman elite pun kita sering masih dapat mengamati perbedaan yang mencerminkan perbedaan status ,misalnya ukuran rumah dan tanah ,desain rumah,bahan baku yang digunakan , perlengkapan rumah dan sebagainya . Kegiatan rekreasi pun merupakan symbol status yang penting. Di masa kiburan , misalnya , dalam masyarakat kita ada keluarga yang bepergian kee luar negeri , ada yan g bepergian ke luar pulau , ada yang bepergian ke luar kota , dan ada yang hanya pergi ke

tempat hiburan dalam kota seperti kebun binatang atau taman hiburan rakyat. Kalau di masa lampau darmawisata atau karyawisata yang dilakukan para siswa dan mahasiswa kita terbatas pada daerah tujuan wisata di kota , daerah atau pulau lain ,maka kini sudah ada siswa dan mahasiswa yang secara berombongan pergi ke daerah tujuan wisata di luar negeri. Di bidang olahraga kita pun melihat bahwa ada keluarga yang berolahraga di padang golf , ada yang di sarana olahraga yang tersedia di pusat kebugaran , ada yang di gelanggang olahraga yang disediakan pemerintah setempat atau di lapangan tengah kota , dan ada yang di tanah kosong di sela-sela daerah pemukiman kumuh. Kegiatan menonton film pun berbeda : ada keluarga yang menonton film mutakhir di bioskop sinepleks ,ada yang menonton film lama di bioskop biasa , ada yang menonton film lebih lama lagi di bioskop terbuka yang dijuluki misbar (gerimis musbar) dan ada yang dipertunjukan filmlayar tancep di halaman rumah penduduk. Di bidang tari-menari kita dapat menjumpai muda-mudi yang berjoget dengan irama dangdut di lapangan terbuka. Siaran radio yang dipancarkan dengan pemancar gelombang FM stereo yang cenderung menyiakan lagu barat terbaru lebih banyak didengar oleh khalayak dari kalangan menengah keatas. Sedangkan siaran yang dipancarkan dengan pemancar gelombang AM dan cenderung menyiarkan music pop Indonesia atau music daerah lebih banyak didengar oleh khalayak dari kalangan menengah kebawah .keterlibatan dalam jenis rekreasi memberikan petunjuk kuat mengenai status seseorang . Dari berbagai contoh tersebut di atas kita melihat bahwa kegiatan tersebut , selain mempunyai saatu fungsi, yaitu makan dan berpakaian untuk memenuhi keperluan pokok, bermukim untuk melindungi diri terhadap alam , berbahasa untuk keperluan komunikasi , berkendaraan untuk mencapai tempat tujuan dengan cepat, berkreasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental pun mempunyai fungsi lain, yaitu untuk menunjukkan kedudukan seseorang dalam masyarakat.

In all societies , the clothes which all people wear have at least three ( mixed latent and manifest) functions : utilitarian, esthetic, and symbolic of their social role. Dalam sosiologi masyarakat amerika symbol status merupakan satu konsep yang telah lama dikenal dan digunakan. Dalam masyarakat tersebut perbaikan status dan pencapaian sukses melalui usaha dan prestasi merupakan kegiatan yang tidak hanya dibenarkan tetapi bahkan dianjurkan. Dorongan untuk maju ini mengakibatkan suatu lomba meraih status yang dikenal dengan nama rat race . untuk menunjukkan status yang telah dicapai itulah symbol status menduduki tempat penting. Dalam masyarakat kita masa kini yang sedang berada dalam proses industrialisasi berkembang suatu kelas menengah yang dalam banyak hal, setidak-tidajnya dalam hal gaya hidup , cenderung mengikuti model yang telah berpuluh-puluh tahun berkembang di Negara industry maju, terutama amerika serikat. Sebagaimana telah dapat kita baca dalam media massa, kini kita telah mempunyai ratusan konglomerat yang ditunjang oleh sejumlah eksekutif yang harta pribadinya ada yang melebihi Rp 1 miliar. Dikalangan para professional , manajer dan eksekutif yang merupakan kelas menengah baru kita berkembang nilai yang mengarah ke ambisi meraih status lebih tinggi serta sikap dan perilaku dan symbol status ysng menyertainya. Meskipun ada yang mempertanyakan apakah para eksekutif muda kita (kadang2 di juluki yuppies) mempunyai dorongan berprestasi sama dengan rekan mereka di amerika serikat,namun dalam hal gaya hidup seperti cara bermukim , cara berekreasi , cara berpakaian ,cara berkendaraan dan sebagainya memang di jumpai banyak persamaan . penggunaan kartu kredit bergengsi yang memungkinkan pengeluaran besar dengan leluasa, penggunaan telepon genggam ,belanja di pusat perbelanjaan elit di kota besar di luar negeri seperti Singapore ,hongkong atau Tokyo , memakai busana, perhiasan dan prfum produk luar negeri (dalam negeri yang bergengsi ), berekreasi di diskotek,karaoke atau klub malam , makan di restoran mahal yang mengkhususkan diri pada hidangan khas, berkendaraan sedan

mewah, bermukim di kawasan permukiman atau apartemen yang di lengkapi berbagai fasilitas perniagaan, olahraga dan hiburan merupakan bagian dari gaya hidup yang telah dapat dinikmati sejumlah eksekutif ,manajer,dan professional kita bersama keluarga mereka (mengenai gaya hidup kelas menengah kita dan beberapa Negara tetangga lihat , antara lain , buku yang diedit Richard Robison dan David S.G. Goodman berjudul : the new rich in Asia : mobile pnones , McDonalds and middle-class revolution ). Selain gaya hidup yang mengarah ke konsumerisme dan matrealisme ini mulai dijumpai pula nilai lain , seperti misalnya pemupukan semangat kerja tinggi(sifat kecanduan bekerja yang dikenal dengan nama workaholic ) dan , khusus nya di kalangan sejumlah perempuan carier , penundaan hidup berkeluarga demi karier. Suatu pengembangan yang menarik ialah bahwa dalam masyarakat amerika, dalam mana konsep symbol status dan rat race berasal, ki I justru muncul berbagai gejala yang memberikan kesan bahwa di sana telah mulai muncul arus baru dalam system nilai masyarakat . di kalangan tertentu symbol status yang selama berpuluh-puluh tahun seakanakan diagung-agungkan dan dengan teknologi sering menjadi semakin canggih mulai di tinggalkan dan gaya hidup yang lebih sederhana mulai dicanangkan dan ditumbuhkan. Meskipun kini mungkin terlalu dini untuk berbicara mengenai suatu arus balik yang memang bermakna dan untuk mengatakan bahwa yang Nampak adalah suatu kecenderungan yang mapan dan bukan suatu gejala yang akan segera berlalu lagi , namun gejala itu sendiri cukup menarik karena selain menarik perhatian pers telah pula memancing komentar sejumlah ahli sosiologi dan peneliti. Dalam hal sikap mulai dijumpai eksekutif yang tidak lagi menganggap status,karier dan penghasilan tinggi sebagai tujuan utama dan mulai mementingkan nilai lain seperti kebahagiaan keluarga dan hidup bertetangga secara gotong-royong. Mungkin menarik pula untuk dikemukakan bahwa kini di jepang muncul keperluan untuk membendung pertumbuhan ekonomi yang dinilai terlalu tinggi. Untuk mencapai tujuan

tersebut masyarakat diimbau untuk mengurangi kecenderungan untuk bekerja keras dan menabung penghasilannya. Agar rekreasi dan konsumsi dapat ditingkatkan antara lain mulai dirintis pengurangan hari kerja dan jam kerja per hari .

Makna stratifikasi bagi peluang hidup dan perilaku


Kedudukan dalam suatu kelas social tertentu mempunyai arti penting bagi seseorang . kita telah melihat bahwa Max Weber mengaitkan kedudukan dalam suatu kelas dengan life chances , yaitu peluang untuk hidup. Kekayaan dan pemilikan yang dimiliki seseorang dan keluarganya memang mempunyai pengaruh besar terhadap peluang hidupnya ; terhadap nasibnya . seorang warga masyarakat kita yang berpenghasilan tinggi secara financial mampu menjalani pemeriksaan dan perawatan medis di luar negeri . misalya di taiwaan , Tokyo atau singapura dan menarik manfaat dari perkembangan terakhir di dunia medis sehingga dapat memperpanjang harapan hidupnya ; seseorang yang termasuk golongan berpenghaslan rendah banyak yang mendadak menunggal dunia tanpa diketahui sebab sebenarnya karena tidak mengenal manfaat upaya medic modern dan andaikan tahu pun tidak akan mampu membiayai pemeriksaan Dan perawatan medic yang paling sederhana . Dalam bukunya class, statusband power bendix dan lipset (1965) menyajikan sejumlah tulisan berbagai ilmuwan social yang memprlihatkan adanya perbedaan dalam perilaku kelas. Antara lain disebutkan bahwa perbedaan kelas social berkaitan denagn perbedaan fertilitas (notenstein),harapan hidup pada bayi pada waktu lahir ( mayer dan hauser),kestabilan keluarga (Hollingshead), kesehatan mental (green), perilaku

seks(Kinsey,pomeroy dan martin),kehidupan beragama (pope), mode (baber dan lobel ), dan sikap politik ( saenger).

Di bidang kependudukan notenstein menyajikan berbagai data yang memperlihatkan bahwa di sejumlah kota di amerika serikat terdapat hubungsn negative antara pendidikan dan jumlah anak. Datanya menunjukkan bahwa pasangan berpendidikan lebih tinggi cenderung mempunyai lebih sedikit anak daripada pasangan yang pendidikannya lebih rendah. Kedudukan dalam stratifikasi social membawa dampak pada harapan hidup. Dari data kependudukan kota Chicago dalam periode 1920-1940 mayer dan hauser antara lain menyimpulkan bahwa harapan hidup bayi pada waktu lahir di kalangan kelas ekonomi teratas cenderung lebih tinggi daripada di kalangan kelas ekonomi terbawah. Dalam kestabilan keluargapun diamati hubungan dengan kelas. Hollingshead, misalnya, melihat bahwa keluarga kelas atas lebih stabil daripada keluarga kelas bawah. Menurutnya keluarga kalangan atas yang telah mapan, yaitu mampu bertahan selama dua generasi atau lebih, cenderung lebih stabil daripada keeluarga kelas atas baru, yaitu keluarga yang baru memasuki kelas atas dalam satu generasi. Keluarga kelas atas baru menurutnya lebih sering di landa perceraian, broken home, dan kecanduan minuman keras. Selanjutnya Hollingshead mengemukakan bahwa keluarga dari kalangan menengah atas relative lebih stabil daripada dari pada keluarga dari kalangan atas baru dan dari kalangan kelas buruh. Perceraian jarang terjadi, dan suami atau istri jarang meninggalkan pasangannya . ketuhan keluarga kalangan kelas menengah bawah , di pihak lain terancam oleh konflik antara orang tua dan anak dan antara sesame saudara kandung. Kelurga yang menurut Hollingshead menderita banyak gangguan terhadap keutuhannya ialah keluarga dari kalangan kelas buruh; dibandingkan dengan keluarga kelas menengah, keluarga kelas buruh lebih sering dilanda perpecahan, perpisahan suami istri, dan kematian salah seorang pasangan. Namun keluarga yang menurut Hollingshead paling dilanda ketidakstabilan ialah keluarga kalangan kelas bawah. Dibandingkan dengan kelas lain

, dalam keluarga kelas bawah dijumpai paling banyak kasus perceraian ,perpisahan, dan hidup bersama diluar nikah. Hubungan antara kelas social dan perilaku seks di ulas oleh Kinsey, pomeroy dan martin. Data yang mereka kumpulkan diA.S memperlihatkan bahwa dalam kelompok usia 15-25 tahun masturbasi dan kontak fisik intim tanpa melakukan hubungn seks (prtting) lebih banyak dijumapai dikalangan orang berpendidikan tinggi daripada dibkalangan orang berpendidikan dasar atau menengah . sebaliknya, perilaku homoseks dan hubungan seks dengan pekerja seks lebih banyak dijumpai dikalangan orang berpendidikan dasar dan menengah daripada di kalangan mereka yang berpendidikan tinggi. Pope memusatkan perhatian pada keterkaitan antara social dan agama dan menyajikan data survai yang menunjukkan bahwa di amerika pada tahun 1945-46 penganut aliran baptis,agama katolik,aliran Lutheran ,aliran Methodist,agama yahudi dan aliran Episcopalian cenderung berasal dari kelas bawah, sedanfkan aliran Presbyterian dan congregational cenderung berasal dari kelas menengah . ia memperlihatkan pula bahwa orang beraliran baptis, beragama katolik dan beraliran Lutheran cenderung tidak menyelesaikan pendidikan menengah atau bahkan berendidikan lebih rendah, sedangkan orang dari aliran congregational, aliran Episcopalian,agama yahudi, aliran Presbyterian dan aliran Methodist cenderung menyelesaikan pendidikan menengah mereka atau berpendidikan tinggi. Saenger mempelajari hubungan antara kelas dan perilaku politik dan antara lain menemukan bahwa dalam pemilihan umum di New York pada tahun 1944 orang

berpenghasilan rendah cenderung memberikan suara bagi partai Demokrat, sedangkan orang berpenghasilan menengah dan tinggi cenderung memilih partai republic. Saenger pun memperlihatkan bahwa para pemilih yang berpendidikan menengah atas lebih cenderung menyatakan bahwa hasil pemilihan umum akan membawa perubahan daripada pemilih yang

berpendidikan menengah pertama ke bawah, dan bahwa para pemilihyang berpendidikan menengah ke atasblebih cenderung menyatakan bahwa hasil pemilihan umum membawa dampak terhadap diri pribadi mereka dari pada pemilih yang berpendidikan menengah pertama ke bawah. Sejauh manakah temuan mengenai perilaku kelas tersebut di atas berlaku pula dalam masyarakat kita? Kurangnya studi terhadap perilaku kelas dalam masyarakat kita serta adanya perbedaan besar antara masyarakat kita dengan masyarakat Amerika .tidak memungkinkan kita untuk membuat generalisasi. Dalam beberapa hal kita mungkin akan menjumpal persamaan; misalnya dalam hal harapan hidup bayi. Dalam bidang tertentu, seperti misalnya pola asuh anak, kita pun dapat mengharapkan adanya perbedaan dalam perilaku kelas yang akan cenderung mempengaruhi nasib (life chances). Kita dapat misalnya mengamati perbedaan dalam pola asuh keluarga lapisan menengah dan lapisan bawah di kawasan perkotaan kita. Anak-anak dari lapisan bawah banyak yang terpaksa putus sekolah dan kemudian bekerja karena orang tua mereka tidak mampu lagi menyekolahkan mereka, dan sewaktu masih dapat sekolah pun anak-anak tersebut banyak yang.harus mencari uang untuk membantu ekonomi rumah tangga dengan jalan menjadi pedagng asongan, tukang semir sepatu, penjual surat kabar atau melakukan pekerjaan lain di sektor informal. Anakanak dari lapisan menengah dan atas, di pihak lain, banyak yang dapat dengan leluasa melanjutkan pendidikan sampai jenjang tertinggi dan selama rnengikuti pendidikan formal memperoleh berbagai kemudahan dan orang tua mereka, seperti jemputan atau kendaraan pribadi dengan supir (atau kendaraan pribadi, bila mereka telah mampu mengemudi kendaraan bermotor); berbagai fasilitas yang menunjang proses belajar, seperti ruang belajar yang nyaman, buku, majalah dan berbagai perlengkapan elektronik; rumah sewa atau rumah pribadi lengkap dengan pembantu rumah tangga di kawasan permukiman elite, bilamana anak-anak tersebut bersekolah atau kuliah di kota (atau bahkan negara) lain.

CARA MEMPELAJARI STRATIFIKASI SOSIAL

Bagaimana kita dapat mengenal stratifikasi sosial? Menurut Zanden dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari stratifikasi sosial (lihat Zanden,1979:267-274). Pendekatan pertama yaitu pendekatan objektif dinamakan demikian karena menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan atau penghasilan. Menurut Zanden, dalam pendekatan ini kelas dilihat sebagai suatu kategoni statistik yang, sebagaimana telah kita lihat dalam pembahasan kita mengenai kelompok, tidak ditandai oleh adanya kesadaran jenis, hubungan sosial antara anggota maupun organisasi. Dengan memakai pendekatan objektif ini seorang ilmuwan sosial dapat mendapatkan kategori statistik sendiri. ia dapat, misalnya, membagi masyarakat dalam lapisan masyarakat berpendidikan dasar, menengah, dan tinggi; dalam lapisan masyarakat berpenghasilan hingga Rpl00.000 per bulan, di atas Rpl00.000 sampai Rp500.000, di atas Rp500.000 sampai Rpl.000.000, dan di atas Rp1.000.000; dalam lapisan masyarakat yang bekerja sebagai tenaga manajer dan eksekutif, tenaga profesional, tenaga administrasi, dan tenaga kenja kasar. Pendekatan subyektif merupakan pendekatan yang menurut Zanden melihat kelas sebagai suatu kategori sosial, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis. Stratifikasi menurut pendekatan subyektif ini disusun dengan meminta pada responden survai untuk menilai status sendiri dengan jalan menempatkan diri pada suatu skala kelas, misalnya kelas atas, kelas menengah, kelas bawah. Data yang terkumpul memberikan gambaran subyektif mengenal stratifikasi. Dalam studi Hodge dan Treimani tahun 1968, misalnya, 2.2% dari responden

menyatakan diri mereka berada di kelas atas, 16.6% di kels menengah atas, 44% di kelas menengah, 34.3% di kelas buruh, dan 2.3% di kelas bawah (lihat Zanden, 1979:270). Dalam pendekatan ketiga, pendekatan reputational para subyek penelitian diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu. Menurut Zanden di sini kelas dipandang sebagai suatu kelompok sosial yang ditandai oleh kesadaran kelompok dan interaksi antaranggota. Dengan cara ini antara lain dapat disusun suatu skala prestise pekerjaan (occupational prestige scale) yang memperlihatkan peringkat prestise suatu pekerjaan tertentu dalam suatu komunitas. Skala yang disusun Treiman, misalnya, memperlihatkan bahwa peringkat tertinggi datam suatu skala prestise pekerjaan di suatu kota ditempati oleh pekerjaan dokter dan guru besar universitas, sedangkan peningkat pertama, kedua dan ketiga dan bawah masing-masing ditempati oleh penjaga gedung, karyawan migran, dan orang yang menggantungkan hidupnya pada tunjangan sosial pemerintah. Stratifikasi melalui pendekatan reputasi ini dapat disusun pula dengan mengamati pola pergaulan sehari-hanl dalam komunitas; misalnya dengan mengamati siapa yang bergaul dengan siapa, siapa berkencan dan menikah dengan siapa, siapa menjauhi siapa dan sebagainya.

UPAYA MASYARAKAT UNTUK MENGURANGI KETIDAKSAMAAN

Sebagaimana telah kita lihat, masyarakat yang mempunyai sistem stratifikasi tertutup menunjang ketidaksamaan sosial sehingga tidak menganjurkan mobititas sosial. Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka, di pihak lain, menganut asas persamaan sosial dan

membenarkan serta menganjurkan mobititas sosial. Dalam masyarakat demikian setiap orang mengharapkan perlakuan dan kesempatan yang sama tanpa memandang perbedaan yang dibawa sejak lahir seperti perbedaan jenis kelamin, usia, ras, suku bangsa, dan agama. Persamaan yang bagaimanakah yang dikehendaki masyarakat? Mengenai hal ini terdapat pandangan berbeda (lihat Komblum, 1989; Ught, Keller dan Calhoun, 1989). Ada masyarakat yang berpandangan bahwa apa yang dapat diperoleh seorang anggota masyarakat tergantung pada kemampuannya. Masyarakat Amerika, misalnya, merupakan masyarakat yang cenderung menekankan pada pentingnya asas ini; setiap anggota masyarakat dianggap berhak atas kesempatan yang sama (equality of opportunity) untuk meraih sukses melalui prestasi. ini berarti bahwa sukses yang diraih seseorang tergantung pada prestasinya; orang yang berprestasi dapat meraih status tinggi serta segala imbalan yang menyertainya, sedangkan orang yang tidak berprestasi akan tetap menduduki status rendah. Masyarakat lain lebih menekankan asas yang menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan. Meskipun asas ini sangat menonjol pada komunisme yang berpandangan bahwa seseorang diharapkan menyumbangkan tenaganya pada masyarakat sesuai dengan kemampuannya tetapi akan memperoleh imbalan sesuai dengan keperluannya, namun asas bahwa pemberian imbalan dalam masyarakat perlu didasarkan pada pemenuhan keperluan pokok anggota masyarakat pun dianut oleh banyak masyarakat yang tidak menganut komunisme. Menurut Ught, Keller dan Calhoun (1989:314) para politikus konservatif yakin bahwa pemenuhan keperluan dan penyaluran ambisi diatur melalui mekanisme pasar, sedangkan para politikus liberal percaya bahwa anggota masyarakat yang rentan perlu dibantu oleh pemerintah. Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai negara me nerapkan berbagai program. Dalam masyarakat kita pun terdapat berbagai usaha untuk membantu anggota masyarakat yang tidak mampu memenuhi keperluan pokok mereka. Kita

mengenal, antara lain, berbagal program Pemerintah seperti program Inpres Desa Tertinggal (IDT), program pembangunan perumahan rakyat murah bagi anggota masyarakat berperighasilan rendah, program kredit mahasiswa, beasiswa, dan pembebasan SPP bagi siswa atau mahasiswa yang tidak mampu, pemberian subsidi kepada sekolah swasta, program oang tua asuh, penyediaan sarana kesehatan murah seperti PUSKESMAS, POSYANDU, dan program obat generik, penyediaan kredit ringan bagi pengusaha ekonomi lemah, proyek penyediaan air minum dan listrik bagi masyarakat desa, pemberlan subsidi untuk menekan harga bahan bakar dan minyak, sistem pajak yang membebaskan anggota masyarakat berpenghasilan rendah darl beban pajak dan membebani anggota masyarakat berpenghasilan tlnggi dengan beban pajak yang semakin berat (pajak progresif) dan sebagainya. Beberapa masyarakat bahkan berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi perbedaan antanndlvkiu. Usaha membatasi perbedaan aitarindividu ml senng dimulai sejak masa bayi, karena disadarl bahwa keluarga merupakan sumber utama ketidaksamaan sosial. Dalam masyarakat komunis seperti Uni Soviet den RRT di masa lampau, mtsalnya, anak-anak telah sejak sangat dm1 dipisahkan dan orang tua den diddik bersama dalam komune tempat mereka disosialisasi untuk menganut asas persamaan. Hal serupa dijumpal pula datam sistem kibbutz di Israel.

RINGKASAN
Pembedaan angeta masyarakat berdasarkan status yang dimiiHdnya dalam sosiolpi dinamakanstratifikasi sosial. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya, kita menjumpal adanya berbagal macam stratifikasi. Anggota masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagal jenis stratifikasi lain.

Dalam sosiologi kita mengenal pembedaan antara stratifikasi tertutup dan stratiflkasi terbuka. Keterbukaan suatu sisteni stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan sening-tidaknya seseorang yang mempunyal status tertentu memperoleh status dalam strata yang lebih tlnggi. Dalam sosiologi mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratiflkas, sosial Mobilitas vertikal mengacu pada mobilitas ke atas atau ke bawah dalam stratiflkasi sosial. Pun ada apa yang dinamakan lateral mobility (lihat Giddens, 1989:229) yang mengacu pada perpmndahan geografis antara lingkungan setempat, kota dan wilayah. Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan sosial. Ada yang merasa cukup dengan kiasifikasi dalam dua lapisan, dan ada pula yang membedakan antara tiga lapisan atau lebih. Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu di antaranya Ialah konsep rentang, yang mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dengan lepinc tethw proporsi Bab 7: Stratlfikasi Sosial Menurut Marx kehancuran feodalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industni modem telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaltu kelas borjuis dan kelas proletar. Marx meramalkan bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalul suatu perjuangan kelas akan berhasil merebut alat produksi dan kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas. Pandangan Marx ml dikecam oleh banyak ilmuwan sosial. Kritik utama ditujukan pada digunakannya hanya satu dimensi, yaitu dimensi ekononil, untuk menetapkan stratifikasi sosial. Kritik lain ialah bahwa dalam keniyataan masyarakat industri mengenal lebih dan dua kelas. Konsen terkait lainnya ialah konsep bentuk (shape), yang mengacu pada

Weber mengemukakan bahwa di samping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Max Weber memperkenalkan pembedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai, yang merupakan dasar bagi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial. Pengaruh Weber nampak dalam pandangari Berger, yang mengartikan stratiflkasi sebagai perijenjangan masyarakat me)adi hubungan atasan-bawahan atas dasar kekuasaan, keyaan dan kehormatan. Pengaruh Weber nampak pula dalam karya Jeffries dan Ransford; dengani menggunakan ukuran kekuasaan, privilese, dan prestise mereka membedakan tiga macam stratifikasi, yaitu herarki kekuasaan, herarki kelas, dan herarki status. Suatu hal yang ditekankan Weber ialah kemurigkinan adanya hubungan antara kedudukan menurut beberapa dimensi. Pandangan Davis dan Moore, yang dikenal sebagai penjelasan fungsionalis, menekankan pada fungsi status dalam masyarakat yang dinlai menunjang kesinambungan masyarakat. Sejumlah ahil sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian keria yang rnemungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Kedudukan dalam suatu kelas sosiat tertentu mernpunyai arti penting bagi seseorang. Perbedaan kelas sosial berkaitan dengan perbedaan fertilitas, harapan hidup bayi pada waktu lahir, kestabilan keluarga, kesehatan mental, perilaku seks, kehidupari beragama, mode, dan sikap politik. Dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari stratifikasi sosial seperti pendekatan obyektif, pendekatan subyektif, dan pendekatdn reputational. Ada masyarakat yang berpandangan bahwa apa yang dapat diperoleh seorang anggota masyarakat tergantung pada kemampuannya. Masyarakat lain lebih menekankan asas yang menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan peridapatan.

Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai negara menerapkan berbagai program Beberapa masyarakat bahkan berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi perbedaan indvidu.

KONSEP PENTING

Bentuk (shape) stratiflkasi: proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan (Barber). Herarki kekuasaan (power hierarchies): herarki yang didasarkan pada kekuasaan (Jeffries dan 106 Pen gantar Sosiologi

Herarki kelas (class hierarchies): herarki yang didasarkan pada penguasaafl atas barang dan jasa (Jeffries dan Ransford). Herarki status (status hierarchies): herarki yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial (ieffrles dan Ransford). .Jati: suatu kelompok endogeri yang mernpraktikkan suatu pekerjaan tradisional dan mempunyal otonomi tertentu dalam bidang budaya, ritual, dan hukum. Kelas (class): posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi (Berger). Kelas borfuis (bourgeoisie): kelas yang memiliki alat produksi (Marx). Kelas proletar (proletariat): kelas yang tidak memiliki alat produksi (Marx). Kelas soslal (social class): melibatkan perpaduan antara ikatan ekonomi (yang oleh Jeffries dianggap sebagal segi terpenting dari kelas), pekerjaan, dan pendidikan (Jeffries). Kelompok status (status groups): orang yang berada dalam situasi status (status situation) yang sama.

Mobilitas antargenerasi: perbedaan status yang dicapal seseorang dengan status orang tuanya. Mobilitas intragenerasi: mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya. Mobilitas lateral (lateral mobility): perpindahan geografis antara lingkungan setempat, kota dan wilayah (Giddens). Mobilitas sosial: gerak naik-turun individu atau kelompok dalam suatu herarki sosial (Ransford). Mobilitas vertical: mobilitas ke atas atau ke bawah dalam stratifikasi sosial. Pendekatan objektif: pendekatan yang menggunakan ukuran objeldif berupa vanabel yang dapat diukur secara kuantitatif seperti pendidikan, pekerjaan atau penghasilan. Pendekatan reputational: pendekatan yang di dalamnya para subyek penelitian diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu (Zanden). Pendekatan subyektif: pendekatan yang melihat kelas sebagal suatu kategori sosial, sehingga ditandal oleh kesadaran jenis (Zanden). Persamaan kesempatan (equality of opportunity): persamaan kesempatan untuk meraih sukses melalui prestasi. Rentang (span) stratifikasi: perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah (Barber). Slrnbolisme status (status symbolism): penggunaan berbagal simbol untuk secara terusmenerut memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diraihnya (Berger). Sanskritisasl (sanskritization): proses melalui mana suatu kelompok kasta rendah sering dapat pindah status ke kasta lebih tinggi dengan jalan meniru gaya hidup kasta yang Iebih tinggi

Sistem stratifikasi terbuka sama sekali: sistem stratifikasi yang di dalamnya setiap anggota masyarakat menduduki status ber-beda dengan status orang tuanya (Yinger).

Sistem stratifikasi tertutup sama sekali: sistem stratifikasi yang di dalamnya setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orang tuanya (Yinger).

Situasi kelas (class situation): yaitu persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup (Weber).

Skala prestise pekerjaan (occupational prestige scale): skala yang memperlihatkan peringkat prestise suatu pekerjaan tertentu dalam suatu komunitas.

Stratifikasi ekonomi (economic stratification): stratifikasi yang membedakan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan mated oleh seseorang.

Stratifikasi etnik (ethnic stratification): stratifikasi yang membedakan warga masyarakat berdasarkan keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik.

Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification): stratifikasi.yang membedakan warga masyarakat berdasarkan jenis kelamin seseorang.

Stratifikasi keagamaan (religious stratification): stratifikasi yang membedakan warga masyarakat berdasarkan agama yang dianut kelamin seseorang.

Stratifikasi okupasi (Occupational stratification): stratifikasi yang membedakan warga masyarakat berdasarkan okupasi seseorang.

Stratifikasi pendidikan (educational stratification): stratifikasi yang membedakani warga masyarakat berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi yang diraih seseorang.

Stratifikasi ras (racial stratification): stratifikasi yang membedakan warga masyarakat berdasarkan keanggotaan seseorang dalam kelompok ras.

Stratifikasi sosial (social stratification): pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.

Stratifikasi usia (age stratification): stratifikasi yang mmbedakan warga masyarakat berdasarkan usia seseorang.

Stratifikasl sostal (social stratification): penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasanbawahan atas dasar kekuasaar,, kekayaan dan kehormatan (Berger).

***SELESAI***

You might also like