You are on page 1of 21

1 | P a g e

PERNIKAHAN TIDAK RESMI DI


KALANGAN MAHASISWA
(Cases Study of Muhammadiyah Malang University)





Brought By: Mazizaacrizal
a.k.a
Dewa ngAsmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com
: www.facebook.com/mazizaacrizal
E-mail : mazizaacrizal@yahoo.com


2 | P a g e







ABSTRAK

The objective of this research is to know the factors of unofficial marital among
students, why they took that decision and how much information that they underabout
it. The object of this research was the students of University of Muhammadiyah Malang,
who decided to get married unofficially. To collecting the data, researcher use field
research method. The instrument of this study is observation and interview.
Finally, the data was analyzed using qualitative descriptive method, to find out the
answer the research problem.
The research revealed on its results that there are many reasons why students did
the unofficial marital such as they would like to avoid pre-sexual activities before marital
and it is the main problem in Islam marital. Actually, the students understood about the
formal marital, but most of them did not understand yet about the right and the
obligation between husband and wife.

Key Words:
Illegal marriage, students, knowledge

Pendahuluan
Fase kehidupan manusia mengalami perkembangan, mulai fase pertumbuhan
anak-anak, dewasa masa tua kemudian fase kematian, dalam fase dewasa terjadilah
hubungan sosial yang luas baik antar sesama jenis maupun lain jenis dimana satu
dengan yang lainnya saling terjadi ketertarikan, ketertarikan tersebut dapat berakibat
yang lebih jauh dalam dua pilihan, yaitu pergaulan bebas atau mengarah ke jenjang
perkawinan. Apabila pergaulan bebas yang dipilih maka akan berdampak pada diri
orang tersebut, selain bertentangan dengan norma sosial, norma hukum juga
bertentangan norma agama, apalagi bila hal ini terjadi dikalangan mahasiswa akan
berdampak sangat besar dalam dunia pendidikan, sebab bagi mahasiswa sebagai
komunitas terpelajar adalah masa-masa yang paling rawan dan identik dengan seks,
sehingga harus mampu mengatur dalam kehidupan sosial mereka. Namun apabila
3 | P a g e


pintu perkawinan yang dipilih, maka harus dilakukan juga dengan cara yang sesuai
dengan hukum yang berlaku dan perkawinan merupakan alternatif yang lebih baik.
Hal ini tercantum dalam firman Allah surat ar-Rum : 21 sebagai berikut:
}g`4 gOg-4C-47 up 4-UE
7 ;}g)` 7O^ ~w}4^e
W-EONL7O4g E_^1)
EE_4 :4LuO4 LEE14OE`
OE;O4O4 _ Ep) O) ElgO
e4CE Og 4pNO-E4-4C
^g


"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, mewajibkan semua warga
negaranya untuk tunduk pada aturan-aturan hukum yang ada, demikian pula dalam
masalah perkawinan, telah di atur dalam Undang-undang Perkawinan misalnya
dalam UU. No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 Tahun 1991
serta aturan-aturan yang lain. Di dalamnya diatur bahwa setiap perkawinan harus
dicatat, namun dalam masyarakat masih terdapat pemahaman yang bertentangan
dengan undang-undang tersebut, yaitu masih ditemukannya praktek perkawinan yang
tidak diikuti dengan suatu pencatatan atau yang lebih dikenal dengan perkawinan
sirri (perkawinan di bawah tangan).
Dalam pandangan hukum, sah atau tidaknya suatu ikatan perkawinan dapat
dibuktikan dengan ada tidaknya suatu akte perkawinan, apabila tidak dapat
dibuktikan dengan akte perkawinan maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah,
demikian pula apabila seseorang melakukan perkawinan di bawah tangan atau yang
lebih dikenal dengan perkawinan sirri, model perkawinan seperti inipun
dikelompokkan sebagai perkawinan yang tidak sah.
4 | P a g e


Kawin Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab al-Muwattha, karya
Imam Malik, salah satu kitab tertua yang dimiliki umat Islam selain al-Qurn dan
al-Hadits ternyata telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri itu berasal dari ucapan
Umar Ibnu al-Khattab ra, ketika diberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak
dihadiri oleh saksi kecuali hanya seorang lelaki dan seorang perempuan maka ia
berkata: Ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti
aku rajam
1
.
Perkawinan sirri itu terjadi karena sebagian masyarakat masih ada yang
memahami ketentuan perkawinan lebih menekankan perspektif fiqih sentris,
sehingga tidak perlu melibatkan petugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai
petugas resmi yang diserahi tugas itu, belum lagi apabila ada oknum yang
memanfaatkan peluang ini untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa
mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah
perkawinan, seperti poligami liar tanpa izin istri pertama, atau tanpa izin Pengadilan
Agama. Kenyataan semacam ini, menjadi hambatan besar suksesnya pelaksanaan
Undang-undang perkawinan tersebut.
2

Secara formal, sahnya perkawinan diatur dalam pasal 2 UU.No. 1 Tahun 1974
pasal 2 ayat 1 & 2 sebagai berikut:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bunyi pasal inilah yang menimbulkan penafsiran secara dikotomis, yaitu
dengan dipisahkannya ayat yang mengatur sahnya suatu perkawinan menurut agama
dan fungsi pencatatan perkawinan itu sendiri yang bersifat administratif. Disatu sisi
suatu perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut aturanaturan yang
terdapat dalam ajaran/keyakinan seseorang, misalnya kalau seseorang beragama
Islam, maka selama perkawinan tersebut telah memenuhi dua hal yaitu rukun dan
syaratnya maka perkawinan itu tersebut sah, miskipun perkawinan tersebut tidak
diikuti dengan pencatatan. Perbedaan antara syarat dan rukun perkawinan ialah,
bahwa rukun perkawinan sebagaian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi

1
Sujari Dahlan , Fenomena Nikah Sirri (Pustaka Progresif, Surabaya, 1996)
5 | P a g e


suatu perkawinan kalau tidak ada rukun-rukun tersebut. Sedangkan syarat ialah suatu
yang mesti ada dalam perkawinan, tetapi tiada termasuk salah satu bahagian daripada
hakikat perkawinan itu.
3

Adapun rukun dan syarat tersebut adalah:
1. Rukun Perkawinan
a. Adanya kedua mempelai laki laki dan perempuan
b. Adanya wali
c. Adanya dua orang Saksi laki-laki
d. Adanya Ijab dan qabul
2. Syarat Perkawinan
a. Antara laki-laki dan perempuan tersebut tidak mempunyai hubungan nasab
b. Kedua mempelai telah Dewasa
c. Salah satu pihak tidak terikat dengan perkawinan yang lain
d. Wali Perkawinan, harus seorang laki-laki
4

Padahal pencatatan suatu perkawianan merupakan suatu perlindungan hukum
terhadap perkawinan tersebut, hal ini ditegaskan dalam pasal 5 Kompilasi Hukum
Islam sebagai berikut:
- Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan
harus dicatat
- Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang no. 22 tahun 1946 jo. Undang-
undang No. 342 tahun 1954
Secara teknis pencatatan perkawinan tersebut dijelaskan dalam pasal 6 sebagai
berikut :
- Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
- Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan Hukum
5


2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997)
3
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Hidakarya Agung, Jakarta, 1977.
4
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Bagian Penerbitan Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta, 1989).
5
DPR.RI, Kompilasi Hukum Islam (DEPAG RI Dirjend Binbagais, Jakarta, 2001).
6 | P a g e


Penegasan pasal di atas, menunjukkan bahwa ikatan perkawinan memerlukan
legalitas, agar tujuan perkawinan tersebut dapat dicapai yaitu untuk menciptakan
keluarga sakinah, bahagia dan kekal. Tujuan perkawian tersebut secara rinci adalah
sebagai berikut:
a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusian
b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
c. Memperoleh keturunan yang sah
6

Praktek perkawinan sirri ini masih berkembang di masyarakat, sehingga
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perkawinan di bawah tangan
(perkawian sirri), khususnya dalam komunitas Agent of Social Change yaitu
dikalangan mahasiswa.

Pengertian Perkawinan
Perkawinan pada awalnya tidak terlembaga seperti saat ini, kemudian
dilembagakan dengan aturan-aturan adat, dimana antara komunitas masyarakat satu
dengan yang lainnya tidak mempunyai kesamaan, misalnya dalam hal pemilihan
jodoh, calon suami menggunakan kekuatan fisik sebagai dasar untuk menentukan
pasangannya, sedangkan pada masyarakat yang lainnya menggunakan hartanya
sebagai dasar pijakannya. Bahkan dalam masyarakat jawa sebagian masih
menggunakan paramater tertentu untuk menentukan pasangannya itu, misalnya
keturunan siapa, bagaimana kondisi/derajat keluarganya dan seberapa besar
kekayaan orang tua atau yang bersangkutan (bibit, bobot dan bebet), ketiga pijakan
di atas nampaknya masih sangat sulit untuk dihapuskan, mengingat masyarakat jawa
masih dominan kultur feodalismenya. Sedangkan dalam ajaran Islam, untuk
menentukan calon pasangannya menggunakan kriteria yang berbeda dengan
masyarakat adat di atas, namun perbedaan tersebut kalau dikaji lebih mendalam akan
ditemukan beberapa kesamaan antara keduanya. Kriteria apa saja yang digunakan
dalam ajaran Islam, antara lain seperti dikemukakan Rasulullah saw dalam salah satu
hadis, sebagai berikut:

6
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU. No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan
Islam, Bind -Hillco, Jakarta, 1986.
7 | P a g e



. .

"Perempuan itu dikawini karena empat perkara; karena kekayaannya,
kecantikannya, keturunannya dan karena agamanya. Pilihlah yang kuat agamanya,
niscaya engkau akan memperoleh berkah (keberuntungan)." (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas nampak sekali bahwa agama merupakan persyaratan
yang mendasar dalam sebuah perkawinan. Agama adalah kumpulan dari seluruh
kebaikan serta sendi bagi kebaikan istri dan keluarga. Wanita yang selalu berpegang
teguh pada agamanya akan mampu memberikan cinta, kasih sayang dan kelembutan
kepada anggota.
Dari segi bahasa, perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan
terjemahan dari bahassa Arab "nikah". Disamping kata nikah, dalam bahasa Arab
lazim juga dipergunakan kata ziwaj untuk maksud yang sama. Kata nikah
mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang sebenarnya kata nikah itu berarti
berkumpul, sedang dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian
perkawinan. Dalam penggunanan sehari-hari kata nikah lebih banyak dipakai dalam
pengertian terakhir, yaitu dalam arti kiasan.
Kata Nikah ditinjau dari segi bahasa berarti mengikat tali perkawinan, dapat
juga berarti bersetubuh dengan istri. Abu Ali al-Qaly berkata, Dalam kata-kata
orang Arab hanya sedikit sekali perbedaan dalam kata nikah yang berarti akad
(mengikat tali perkawinan) atau bersetubuh dengan istri.
Sedangkan dari segi istilah ada beberapa pandangan untuk mendifinisikan
sebuah perkawinan sebagai berikut:
1. Menurut Hukum Islam.
Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk mnghalalkan hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup keluarga, yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara
yang diridloi Allah.
8 | P a g e


2. Menurut Prof.DR.Wirjono Prodjodikoro,SH.
Perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu..
3. Menurut Prof. R. Subekti,SH.
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.
4. Menurut Drs. Abdul Azis
Perkawinan adalah Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-
laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban
bagi keduanya
7

5. Menurut Drs. Abd. Rahman Ghazaly, MA.
Perkawinan adalah mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan
ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan
pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan termasuk
pelaksanaan agama, maka didalamnya terkandung adanya tujuan/maksud
mengharapkan keridhaan Allah SWT
6. Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
7. Dalam Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan
untuk menaati perintah Allah dan melakukannya adalah merupakan ibadah.
Adapun tujuan perkawinan tersebut adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, sehingga untuk mewujudkan tujuan
yang begitu mulia maka harus didasari dengan pijakan hukum yang kokoh tidak
dapat dibubarkan kecuali dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Prinsip- prinsip Perkawinan

7
Abdul Azis, Rumah tangga Bahagia Sejahtera (Wicaksono,Semarang, 1990), hal. 16
9 | P a g e


Dalam perkawinan terdapat prinsip dasar yang sangat penting dalam ikatan
perkawinan, untuk mengetahui prinsip-prinsip, tidak terlepas dari definisi
perkawinan itu sendiri.
Prinsip-prinsip perkawinan itu antara lain;
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, hal ini
menjadi tanggung jawab kedua pasangan suami istri untuk mencapainya.
Kebahagiaan tidak hanya tercukupinya kebutuhan jasmani namun juga
kebutuhan rohani.
2. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan ini, berfungsi untuk mendapatkan kepastian hukum dari adanya
ikatan perkawinan tersebut.
3. Pada prinsipnya perkawinan itu menganut azas monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 maupun kompilasi hukum Islam
merumuskan ketentuan seseorang dapat beristri labih dari satu apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Adanya jaminan bahwa suami mampu memenuhi keperluan hidup istri-
istri dan anak-anaknya.
e. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istrinya apabila mempunyai istri
lebih dari seorang
4. Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya, hal ini bertujuan agar kedua
pasangan itu mampu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang kekal, tanpa
berfikir untuk melakukan perceraian. Di Indonesia kematangan jiwa seseorang
diukur berdasarkan usia dari masing-masing calon pasangan tersebut, bagi
seorang wanita minimal telah berusia 16 tahun sedangkan bagi seorang laki-
laki minimal telah berusia 19 tahun. Sedangkan bagi calon pasangan yang
10 | P a g e


belum mencapai usia tersebut maka dapat mengajukan dispensasi perkawinan
ke Pengadilan Agama.
5. Dalam melaksanakan perkawinan, kedua pasangan tersebut mempunyai hak
dan kedudukan yang sama, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Kelima prinsip di atas kalau dikaji secara mendalam, mununjukkan bahwa
perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Sehingga perkawinan bukanlah semata-mata bertujuan untuk melampiaskan nafsu
belaka tetapi suatu institusi yang sangat sakral dan memiliki tujuan yang sangat
mulia. Pernikahan itu pula untuk mengokohkan, memperkuat dan menyebarkan
dakwah dan bukan untuk bersenang-senang, menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi ataupun hanya sekedar hobi memperbanyak istri, karena lewat pintu
perkawinan inilah akan dapat dijaga dalam 5 hal, yaitu terjaga agamanya, jiwanya,
terjaga akalnya, terjaga keturunannya dan terjaga harta bendanya.

Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
Dalam pelaksanaan perkawinan ada beberapa rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Rukun dari perkawinan tersebut antara lain:
a. Adanya mempelai laki-laki dan perempuan.
Dalam undang-undang disyaratkan bagi mempelai laki-laki minimal berusia 19
dan bagi seorang perempuan minimal berusia 16 tahun.
b. Adanya wali mempelai perempuan.
Wali mempunyai kedudukan yang penting dalam peristiwa perkawinan, sebab
wali dapat menentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
c. Adanya dua orang saksi laki-laki
d. Adanya ijab dan qabul.
Sejak diucapkannya ijab qabul maka kedua insan tersebut telah sah menjadi
suami istri, sehingga diantara keduanya menimbulkan akibat hukum, hak dan
kewajiban, artinya kedua pasangan tersebut halal melakukan hubungan suami istri
dan hubungan keduanya menimbulkan hak dan kewajiban, yaitu istri berhak
mendapatkan nafkah dari suami, atau suami berkewajiban memberi nafkah kepada
11 | P a g e


istrinya tersebut, nafaqah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam
bentuk materi, karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan
kewajiban dalam bentuk nonmateri, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak
termasuk dalam artian nafaqah, miskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata
yang selama ini secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan
dalam bentuk materi disebut nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah itu tidak
ada lahir atau batin. Yang ada adalah nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang
bersifat lahiriah atau materi.
8

Hak dan kewajiban tersebut juga telah diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974
Pasal 30 s/d 34 serta dalam Kompilasi hukum Islam pasal 77 s/d 84.

Legislasi Perkawinan
Selain keempat rukun di atas, agar peristiwa perkawinan tersebut memiliki
kekuatan hukum yang tetap, maka Undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974
mensyaratkan untuk mencatatkan perkawinan tersebut pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang tidak dicatat oleh petugas yang berwenang dikategorikan
sebagai perkawinan sirri. Istilah perkawinan sirri ini mengalami pergeseran makna,
semula yang disebut dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan syari'at Islam tetapi tidak diikuti dengan perayaan perkawinan
(walimatul ursy) atau tanpa mengundang sanak famili. Mengadakan walimah
perkawinan hukumnya sunah muakad, adapun mendatanginya adalah wajib kecuali
bila ada udzur. Walimah artinya adalah berkumpul, karena pada waktu itu berkumpul
suami istri.
Alasan pernikahan sirri biasanya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan
dalam hubungan pria wanita yang sudah saling mencinta, sementara mereka belum
siap berumah tangga, atau karena masing-masing masih mempunyai tugas dan
kesibukan yang belum terselesaikan. Bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah
sirri merupakan bentuk alternatif pemecahan yang paling baik dalam mengatasi
pergaulan muda-mudi yang menjurus pada hal-hal yang dilarang agama.
9


8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Prenada Media, Jakarta, 2006) hal. 165
9
Zuhdi A Muhdlor, , Memahami Hukum Perkawinan (Al-Bayan, Bandung,1994), hal. 22
12 | P a g e


Sejak diberlakukannya undang-undang (hukum positif), istilah kawin sirri ini
berubah maknanya, yaitu suatu perkawinan yang tidak dicatat oleh Pejabat yang
berwenang, walaupun perkawinan tersebut dirayakan dengan sangat meriah.
Pencatatan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
pasal 2 ayat 1-3.

Pemahaman Perkawinan Sirri dikalangan Mahasiswa
Dalam upaya untuk melegalkan hubungan suami istri, maka perlu dilakukan
tindakan yang bersifat legal pula, pengertian legal disini haruslah memenuhi
ketentuan yang ada dalam undang-undang, namun dikalangan mahasiswa masih
ditemukan pemahaman bahwa legal disini adalah semata-mata memenuhi syarat-
syarat dan rukun dalam agama saja, hal ini dapat dipahami karena di dalam pasal 2
ayat 1 dan 2 Undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa perkawian dianggap
sah apabila memuhi ketentuan dalam agama, sedangkan pencatan di KUA dianggap
sebagai ketentuan yang bersifat administrasi semata, pemahaman tersebut menjadi
sebab munculnya praktek perkawinan di bawah tangan atau yang dikenal dengan
perkawinan siri. Dengan melakukan perkawinan siri ini mahasiswa merasa aman
dalam melakukan aktifitasnya sebagai layaknya suami istri, sehingga kehidupan
mereka begitu bebas dalam pergaulannya. Selain untuk menghilangkan sekat-sekat
ketentuan dalam syariat Islam, perkawinan sirri ini dilakukan untuk kepastian
hubungan mereka dan juga efisiensi dalam berbagai hal, misalnya dalam membayar
sewa kos, konsumsi dan biaya hidup lainnya selama mereka sedang menempuh studi.
Perkawinan sirri adalah sebagai pilihan alternatif untuk menghindari perbuatan
perzinahan, bahkan sebagai cara untuk keamanan diri dalam berhubungan dengan
lain jenis dan untuk menghindari penolakan dari masyarakat, sebab dilingkungan
masyarakat, persoalan norma agama. norma hukum dan norma sosial masih begitu
diperhatikan.

Praktek perkawinan sirri dikalangan mahasiswa
Dalam melakukan perkawinan sirri ini ada beberapa cara yang dilakukan oleh
mahasiswa, antara lain :
1. Perkawinan dengan persetujuan kedua orangtua
13 | P a g e


Dalam perkawian sirri seperti ini kedua orangtua mengetahui dan menyetujui
perkawian tersebut, tetapi kedua orangtua memberikan syarat selama mereka
studi harus menyelesaikan studi mereka terlebih dahulu, sehingga selama studi
mereka belum selesai maka belum boleh melakukan hubungan suami istri atau
menunda dahulu keinginan mereka untuk memiliki anak.
2. Perkawinan dengan sepengetahuan saudara
Artinya bahwa dalam melakukan perkawinan hanya disaksikan oleh saudaranya
saja, yaitu kakak mereka, karena mereka belum berani menyampaikannya kepada
orangtua.
3. Perkawinan tanpa sepengetahuan kedua orangtua
Cara seperti ini dilakukan karena ada beberapa faktor yang menjadi alasannya:
a. Orangtua tidak menyetujui hubungan tersebut, ketidaksetujuan orangtua
disebabkan oleh beberapa faktor pula antara lain;
1. Orangtua mengharapkan studi yang sedang mereka tempuh dapat
diselesaikan terlebih dahulu tanpa diganggu dengan adanya perkawinan,
sebab dengan mereka nikah akan sangat menggangu studi mereka,
apalagi dengan kelahiran anaknya .
2. Menganggap tidak sebanding dengan pilihan anaknya, bisa karena faktor
sosial maupun faktor ekonominya.
3. Orangtua telah memiliki pilihan calon suami bagi putrinya apabnila
putrinya nanti telah selesai dari studinya.
4. Adanya perbedaan keyakinan agama, hal ini memang hal yang sangat
prinsip dalam menempuh ikatan perkawinan.
b. Mereka belum berani menyampaikan secara langsung kepada orangtua,
karena status mereka, baik secara fisk maupun finansial masih sangat
tergantung kepada orangtua, sehingga kalau sampai orangtua mengetahui,
mereka khawatir studi mereka akan berakhir.
c. Mereka mencari jalan yang aman, artinya dengan nikah sirri pandangan
masyarakat terhadap hubungan mereka berubah sehingga menjadi lebih
aman.
d. Untuk menyelamatkan dan memastikan hubungan mereka, terutama hal ini
terjadi pada diri wanita takut kehilangan pasangan hidupnya.
14 | P a g e


Praktik nikah sirri yang dilakukan mahasiswa ada 2 kategori yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Nikah sirri, dengan memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh
syariat, yaitu adanya kedua calon mempelai, adanya wali nikah dari mempelai
perempuan, adanya 2 orang saksi dan adanya ijab qabul namun tidak
ditindaklanjuti dengan pencatatan di KUA.
2. Nikah sirri, dengan memenuhi rukun dan syarat perkawinan tetapi ada salah satu
rukun perkawinan yang dilakukan penyimpangan, yaitu dengan menggunakan
wali nikah selain orang tua kandung, yaitu tokoh agama yang bertindak selaku
wali untuk menikahkan kedua pasangan tersebut.
Adapun dalam masalah pemberian nafkah, lebih banyak mengandalkan dari
kedua orangtua, hal ini dapat dipahami karena status mereka masih mahasiswa yang
belum memiliki pekerjaan tetap, hal ini juga disebabkan pemahaman mereka tentang
pemberian nafkah belum menjadi kewajiban suami, padahal dalam pandangan
hukum Islam seseorang yang telah melakukan perkawinan wajib memberi nafkah
kepada istri
Padahal apabila suatu perkawinan telah dilakukan maka akan timbul hak dan
kewajiban sebagai seorang suami dan istri, paling tidak ada beberapa fungsi suami
antara lain sebagai pemimpin dan pembimbing istri, pendidik dan pembina, pemberi
nafkah keluarga, pelindung dan pendamping istri.
Hal-hal tersebut di atas seharusnya dipahami oleh masing-masing pasangan
yang melakukan perkawian sirri, sehingga tidak terjadi pentelantaran terhadap istri
maupun anak-anak mereka kelak, jadi harus dihilangkan pemahaman tentang nikah
sirri yang salah yaitu hubungan suami-istri tanpa batas, sedang nafkah mencari
sendiri-sendiri
Dengan meluruskan pemahaman ini sebetulnya akan mengurangi nikah sirri itu
sendiri, karena pada prinsipnya akibat yang ditimbulkan antara nikah resmi dangan
nikah sirri adalah sama, yaitu sama-sama menimbulkan hak dan kewajiban diantara
kedua pasangan tersebut, hanya yang membedakan adalah adanya penundaan
pencatatan perkawinannya. Penundaan ini dapat dipahami karena mereka secara
mental belum siap untuk disebut sebagai suami istri.
15 | P a g e


Kalau dilihat dari sudut maslahah mursalah, sebenarnya perkawinan sirri ini
akan lebih banyak merugikan kaum perempuan, kerugian-kerugian tersebut dapat
diinventarisasi sebagai berikut:
1. Bila suami tidak memberi nafkah , maka istri tidak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan
2. Bila suami akan menikah lagi, maka istri tadak dapat melakukan pencegahan
perkawinan
3. Bila terjadi ketidak cocokan, maka tidak dapat dilakukan perceraian di
Pengadilan, karena pengadilan hanya akan menerima sengketa perkawinan
apabila perkawinan tersebut dilakukan secara legal yang dibuktikan dengan
adanya Akta Nikah.
4. Bila suami istri akan mengurus akta kelahiran anak yang dilahirkan, maka akan
mengalami kesulitan.
Undang-undang tersebut baik yang telah diatur dalam undang-undang
perkawinan nomer 1 tahun 1974 maupun dalam Kompilasi hukum Islam yang di
dalamnya ditegaskan bahwa (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaaanya itu. (2). Tiaptiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ayat di atas perlu diberi catatan disini, seharusnya dalam pasal 2
ayat 1 dan 2 tidak perlu dipisah, agar tidak terjadi penafsiran yang multitafsir, yaitu
antara sahnya perkawian dengan administrasi perkawinan.
Praktik perkawinan sirri dikalangan mahasiswa lebih banyak termotivasi oleh
tindakan untuk menghindari perzinahan, sehingga pesoalan yang muncul di
kemudian hari tidak menjadi pertimbangan utama, persoalan yang muncul pasca
perkawinan dianggap sebagai suatu persoalan yang mudah untuk diatasi, yang
penting mengesahkan perkawinan lebih dahulu secara hukum agama, padahal
persoalan yang muncul pasca perkawinan sangatlah komplek dan bahkan lebih rumit
untuk diselesaikan. Ibaratnya solusi nikah siri adalah pilihan keluar dari masalah
untuk menuju masalah yang lebih besar bukan menyelesaikan masalah tanpa
masalah , yang seharusnya dengan adanya perkawinan akan berdampak pada
ketenangan jiwa seseorang. Salah satu cara untuk mencapai ketenangan jiwa tersebut
adalah menghindari dari perbuatan zina.
16 | P a g e


Adapaun alasan bahwa dengan melakukan perkawinan sirri dikarenakan tidak
memiliki biaya, menurut peneliti tidaklah tepat, sebab di dalam pelaksanaan
perkawinan apabila seseorang tidak cukup biaya dalam perkawinan tersebut, maka
dapat mengajukan dispensasi dalam biaya perkawinan bahkan dapat dibebaskan dari
biaya perkawinan tersebut.
Namun apabila alasan tidak mampu memberikan nafkah kepada istri, inipun
bukan alasan yang mendasar, dalam undang-undang diamanatkan bila perkawinan
telah dilakukan maka suami wajib memberi nafkah, namun bila kebutuhan rumah
tangga tersebut tidak dapat tercukupi, maka istri dapat turut serta dalam pemenuhan
kebutuhan rumah tangga tersebut sebagai shodaqah kepada keluarga, maka langkah
untuk menikah secara legal adalah pilihan yang paling rasional dan sangat tepat.
Dengan nikah secara legal maka kehidupan rumah tangga tersebut terlindungi oleh
Undang-undang ,sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 pasal 5.
Dalam perkawinan paling tidak ada tiga faktor yang akan muncul:
1. Faktor Sosial, yaitu dengan perkawinan pada intinya akan menyatukan dua latar
belakang sosial yang berbeda dan juga pada intinya perkawinan adalah
menyatukan dua keluarga besar tersebut, bukan hanya menyatukan dua insan
saja.
2. Faktor Agama, dilihat dari sudut agama dengan perkawinan akan memunculkan
perubahan status hukum terhadap kedua pasangan tersebut, yang semula
hubungan keduanya diharamkan oleh agama, maka dengan perkawinan menjadi
sah dan halal.
3. Faktor hukum, dengan adanya ikatan perkawinan maka akan berakibat hukum
kepada kedua orang pasangan tersebut, antara lain:
a. Suami isteri tersebut saling mewarisi, apabila salah satu meninggal dunia.
b. Suami isteri secara hukum terlindungi dengan perkawinan tersebut.
c. Suami isteri tersebut, akan timbul hak dan kewajiban yang telah di atur baik
dalam agama maupun dalam Undang-undang yang berlaku.
d. Apabila tidak ada kecocokan dalam rumah tangga, maka dapat menempuh
pintu perceraian yang di atur oleh hukum. Dalam istilah teknis syariat, cerai
artinya berpisah dimana suami menghendaki atas dasar hak.
17 | P a g e



Solusi dalam perkawinan di bawah tangan
Praktik perkawinan di bawah tangan sangat sulit untuk dilakukan pencegahan,
mengingat praktik perkawinan ini masih menyisakan penafsiran terhadap sahnya
perkawinan antara hukum agama dengan hukum positif, selama pemahaman ini tidak
disatukan maka akan selalu muncul praktik perkawinan sirri tersebut, baik
perkawinan yang barsifat monogami maupun perkawinan sirri yang mengarah pada
tindakan poligami. Untuk meminimalisir dampak perkawinan sirri perlu dilakukan
beberapa tindakan, antara lain:
1. Tindakan yang bersifat preventif, yaitu dengan meninjau kembali hukum yang
mengatur perkawinan yang telah diatur sejak 1974 tersebut, yang masih
memisahkkan pasal 2 ayat 1 dan 2, sehingga menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda di masyarakat, padahal tujuan hukum adalah menciptakan
masyarakat yang tertib yang bersumber dari penafsiran hukum yang satu.
2. Tindakan yang berupa sangsi hukum, yaitu apabila terjadi penyimpangan dalam
hukum perkawinan harus ada sangsi hukum yang lebih tegas dan lebih berat..
3. Bagi pelaku nikah sirri diupayakan agar segera ditindaklanjuti dengan pencatatan
perkawinan tersebut, hal ini perlu dilakukan sosialisasi pentingnya tindakan
pencatatan tersebut, serta akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak
memiliki bukti secara legal formal
4. Harus ada kepastian hukum, bahwa perkawinan sirri dilarang dalam sistem hukum
di Indonesia dengan alasan apapun.
5. Perlu diberikan contoh-contoh yang berdampak kurang baik terhadap perkawinan
sirri tersebut, misalnya adanya tindakan pentelantaran terhadap anak, maupun
terhadap istri. Dampakdampak tersebut dapat diinventarisir sebagai berikut:
a. Terhadap istri, dengan adanya perkawinan sirri, seorang tidak dapat
melakukan tindakan upaya hukum bila suami menikah lagi atau suami
melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami atau suami melakukan
tindakan kekerasan terhadap istri, baik kekerasan secara fisik, kekerasaan
psikis , kekerasan seksual maupun penelantaran dalam rumah tangga dan hal
ini sangatlah besar peluangnya terjadi, karena suami mengetahui bahwa
18 | P a g e


perkawinan yang dilakukan tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam
pandangan negara.
b. Terhadap Anak.
1. Seorang anak akan kesulitan untuk mengurus akta kelahiran serta hal-hal
yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang membutuhkan identitas
seorang anak. Padahal di negara Indonesia, perlindungan terhadap anak
telah di atur dan telah dikuatkan dengan dikeluarkannya Undang-undang
perlindungan anak nomor 23 tahun 2002, salah satu pasalnya, yaitu pasal 3
menyatakan bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinnya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
2. Sedangkan status anak dari perkawinan sirri tersebut, menurut hukum
negara sebagai anak tidak sah, sehingga berakibat hukumnya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya saja, hal ini diatur dalam
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 42 dan 43. Pasal-pasal inilah
yang perlu disosialisasikan dan ditekankan kepada seluruh lapisan
masyarakat, sebab kalau hanya dilarang saja sedangkan dampak yang
ditimbulkan tidak disosialisasikan, maka akan terus terjadi perkawinan
sirri tersebut di tengah-tengah masyarakat.
c. Terhadap Lingkungan Sosial.
Lingkungan sosial adalah tempat lahirnya generasi yang akan meneruskan
eksistensi suatu bangsa, sehingga di lingkungan sosial perlu dilakukan
penegakan hukum.
d. Terhadap harta benda, dengan adanya perkawinan yang belum diakui secara
hukum, maka apabila terjadi perceraian akan berdampak pada harta yang
diperoleh selama perkawinan tersebut, suami dengan mudahnya menguasai
harta tersebut. Dan juga bila terjadi kematian salah satu pihak, maka akan
berdampak pula terhadap posisi harta waris yang ditinggalkan.

19 | P a g e


Sesuatu yang menjadi hajat hidup, dibutuhkan, dan menjadi kepentingan,
berguna mendatangkan kebaikan bagi seseorang, itulah yang dimaksud dengan
kemaslahatan. Keluarga tentunya mempunyai kemaslahatan yang demikian. Baik si
suami, si istri, maupun anak-anaknya masing-masing mempunyai kemaslahatan
sendiri-sendiri, maupun bersama. Disamping itu, mereka sebagai manusia tentunya
juga mempunyai kemaslahatan diri dan tidak pula terlepas dari kemaslahatan
bersama atau dari masyarakatnya.
Adapun dampak perkawinan tidak hanya terhadap pasangan tersebut tetapi
juga terhadap masyarakat di sekitarnya. Apalagi setelah dalam perkawinan tersebut
lahir seorang anak, jangan sampai anak tersebut tidak merasakan kasih sayang kedua
orangtuanya atau anak tersebut sampai digugurkan (aborsi). Islam membolehkan
pencegahan kehamilan karena darurat bukan berarti Islam membolehkan juga aborsi,
yaitu suatu pengrusakan kandungan yang benar-benar sudah bersisi janin atau bakal
janin, itu adalah sebuah kejahatan terselubung yang sadis.

Penutup dan Kesimpulan
Nikah sirri miskipun persoalan klasik, namun tetap menarik untuk dikaji,
khususnya dikalangan mahasiswa, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ,
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ada beberapa faktor yang mendorong mahasiswa untuk melakukan praktek
perkawinan sirri antara lain :
a. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap norma agama yaitu takut
terjebak pada masalah perzinahan, dimana dalam pergaulan dikalangan
mahasiswa sangat longgar sekali, mahasiswa dikelompokkan sebagai
masyarakat yang terpelajar dan mampu mengatur dirinya sendiri, karena
sebagaian besar adalah mahasiswa yang jauh dari pengawasan orangtua
secara langsung
b. Untuk efisiensi, alasan ini berkaitan dengan masalah finansial yang terkait
dengan kebutuhan hidup sehari-hari
2. Adapun pemahaman mahasiswa terhadap perkawinan sirri (di bawah tangan )
sebagian besar sangat baik dan mahasiswa mengetahui akibat hukum yang
ditimbulkan oleh perkawinan sirri tersebut, antara lain dapat diketahui dari :
20 | P a g e


a. Sebagian besar Mahasiswa mengetahui adanya aturan secara formal yang
mengatur masalah perkawinan
b. Dikalangan mahasiswa belum mengetahui akibat hukum dari perkawinan
sirri tersebut, sehingga keputusan untuk nikah sirri adalah solusi sesaat, yaitu
mengatasi masalah tetapi masuk kemasalah baru yang lebih besar
c. Dikalangan mahasiswa masih terdapat pemahaman bahwa dengan
perkawinan sirri belum menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami istri

21 | P a g e


Daftar Pustaka

Azis, Abdul, Rumah tangga Bahagia Sejahtera (Wicaksono, Semarang, 1990)
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam (Bagian Penerbitan Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, 1989).
Bukhari, Kutubus Tisah Bab Nikah No. 4700.
Dahlan, Sujari, Fenomena Nikah Sirri (Pustaka Progresif, Surabaya,1996).
DPR.RI, Undang-undang Perkawinan (Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986).
DPR.RI, Undang-undang RI. Nomr 23 Tahun 2004 (Citra Umbara, Bandung, 2004).
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 1971.
DPR.RI, Kompilasi Hukum Islam (DEPAG RI Dirjend Binbagais, Jakarta, 2001).
Maliki, Muhammad Alwi, Etika Islam tentang Keluarga (Mutiara Ilmu, Surabaya,
1995).
Muhdlor, Zuhdi.A, Memahami Hukum Perkawinan (Al-Bayan, Bandung,1994).
Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal UU. No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam (Bind -Hillco, Jakarta, 1986).
Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedi Islam (PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Prenada Media, Jakarta,
2006).
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Hidakarya Agung, Jakarta,
1977).

You might also like