You are on page 1of 17

RESISTENSI TERHADAP STUDI ISLAM DI PTAI

(Studi Atas Kritik-Kritik Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz Terhadap Studi Islam di IAIN/UIN)
A. Latar Belakang Masalah Peran IAIN dalam penyebaran pemikiran Islam yang modern tidak dapat diabaikan untuk meneliti pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia. Keinginan untuk mendirikan sekolah tinggi Islam telah menjadi impian sebagian tokoh muslim. Keinginan tersebut muncul karena pendidikan Islam yang ada, khususnya pesantren, mengambil jarak dengan perubahan yang pada saat itu identik dengan westernisasi. Sekolah Tinggi Islam, nama yang diajukan pada awalnya, dimaksudkan untuk mencetak kelompok intelektual yang memiliki basis pengetahuan keislaman dan kebudayaan yang kuat sebagai alternatif pendidikan ala Barat. Gagasan Satiman dan Hatta tentang pendirian sekolah tinggi Islam dilandasi empat pokok pikiran1: 1. Kesadaran bahwa umat Islam tertinggal dalam bidang pendidikan dibandingkan nonmuslim 2. Masyarakat non-muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka 3. Perlunya menghubungkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional 4. Unsur lokal penting diperhatikan dalam pendidikan Islam. Pada perkembangannya, studi Islam di PTAI ternyata tidak bisa dilepaskan dari kerangka studi Islam yang umum di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Mesir dan Arab Saudi. Studi Islam di PTAI tidak lepas dari ilmu-ilmu tradisional Islam, yaitu fiqh, ushul fiqh, hadits, ilmu hadits, tafsir, ilmu tafsir, ilmu kalam, dan bahasa Arab. Wacana Islam secara normatif menjadi wacana dominan di PTAI, terlebih PTAI di daerah-daerah. Atho Mudzhar mencatat ada 3 jenis metodologi konvensional yang berkembang di IAIN Walisongo, utamanya sebelum tahun 1970-an.2 Pertama adalah metodologi
1Lihat Fuad Jabali dan Jamhari (penyunting). IAIN dan Modernisasi di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002. h. 3-4. 2Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Cet. IV. 2002. h. 1-2

penelitian tafsir yang terkait dengan topik-topik yang sekarang terangkum dalam ulum al-Quran. Kedua, metodologi penelitian hadis yang terangkum dalam ilmu musthalah hadis. Ketiga, ilmu ushul fiqh atau ilmu dasar-dasar fiqh. Tiga metodologi konvensional tersebut kemudian dikenal sebagai metodologi yang berbasis kepada paradigma bayani.3 Paradigma bayani adalah paradigma studi dan pemikiran Islam yang berbasis kepada teks, yaitu Alquran dan hadis dan mengutamakan proses berpikir deduktif-analogis. Paradigma semacam itu dikenal pula dengan sebutan studi Islam secara normatif, sebagai lawan dari studi Islam kontemporer yang bersifat historis atau deskriptif.4 Perkenalan dengan studi Islam di Barat berlangsung sejalan dengan perubahan kiblat studi Islam dari Timur Tengah ke Barat. Mukti Ali adalah tokoh yang dikenal sebagai pelopor perubahan kiblat PTAI dari Timur Tengah ke Barat. Ketika menjabat Menteri Agama tahun 1971-1978, ia banyak mengirimkan dosen PTAI (IAIN) ke negara-negara Barat. Hal itu dapat dipahami karena Ali sendiri mendapatkan gelar MA dari MCGill University di Kanada.5 Tercatat setahun setelah ia diangkat menjadi menteri agama, ada kurang lebih 55 orang dosen IAIN dan pejabat Depag yang dikirim ke berbagai negara Barat. Data IAIN Jakarta menunjukkan bahwa pada periode 1973-1978 ada 35 orang yang dikirim ke luar negeri: Australia 6 orang, Inggris 2 orang, Mesir 7 orang, Sudan 2 orang, Kanada 9 orang, dan Belanda 8 orang. Perubahan orientasi tersebut berimbas kepada studi Islam di IAIN. Berbagai pendekatan kontemporer yang berkembang di Barat pun berpengaruh kepada pola studi Islam di PTAI. Secara umum, tren studi Islam di Barat dapat diklasifikasikan menjadi empat. Pertama adalah pendekatan humaniora, seperti antropologi, sejarah,
3Sebutan paradigma bayani dikemukakan pertama kali oleh Muhammad Abid alJabiri. Istilah bayani, sebagai sebuah metode ijtihad, sebenarnya telah dikenal dalam tradisi ushul fiqh Islam. Akan tetapi paradigma bayani, sebagai sebuah paradigma dalam kajian Islam yang khas dalam tradisi ortodoksi Islam diperkenalkan oleh al-Jabiri. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri. Bunya al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nidm alMarifah fi al-Tsaqafah al-Islamiyyah, Beirut: Markaz al-Tsaqafy al-Araby. 1993. 4Pembedaan antara kajian Islam normatif dan historis di kalangan akademisi PTAI di Indonesia dipopulerkan oleh Amin Abdullah melalui bukunya Studi Islam: Normativitas Historisitas? 5Lihat Dadi Darmadi dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds.). Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI. 2000.h. 341.

filologi, filsafat, dan ilmu bahasa. Kedua menggunakan pendekatan teologi. Ketiga, menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, politik, dan psikologi. Keempat, menggunakan studi area, yang evolusi metodologi studi Islam di Barat.7 Perkenalan dengan studi Islam di Barat membuat studi Islam di PTAI mengalami perkembangan pesat, dari sudut metodologi dan pendekatannya. Studi Islam tidak lagi terbatas kepada ilmu-ilmu tradisional Islam dengan metodologi konvensional, melainkan menjadi luas dengan penggunaan disiplin ilmu sosial dan humaniora. Persentuhan antara IAIN dengan lembaga-lembaga pendidikan Barat membuka pintu bagi pengkajian Islam yang lebih bersifat metodologis dan historis. Tren tersebut merupakan bagian dari proyek Mukti Ali untuk mengubah citra IAIN, sebagai lembaga pendidikan yang marjinal menjadi lembaga pendidikan yang lebih disegani. Ketika banyak kalangan anak-anak petani pedesaan yang masuk IAIN, kultur IAIN berangsur menjadi kultur marginal. Mukti Ali secara sistematis mengarahkan IAIN agar berorientasi kepada modernitas.8 Pengiriman para dosen ke negara-negara Barat menjadi pilihan bagi perubahan kebijakan di PTAI (IAIN) dalam jangka panjang. Kerjasama IAIN dengan Institut of Islamic Studies McGill University, misalnya, menghasilkan banyak lulusan yang berperan di IAIN. Fuad Jabali dan Jamhari mengklasifikasikan ada tiga generasi mahasiswa yang dikirim ke McGill University, yaitu generasi 1950, 1970, dan 1990. Generasi pertama 1950 antara lain diwakili oleh Mukti Ali, H.M. Rasjidi, Anton Timur Jaelani, Tedjaningsih Kaylani, Mochtar Naim, Harun Nasution, dan Kafrawi Ridwan. Harun Nasution adalah peraih gelar Ph.D. Generasi kedua antara lain A. Hafizh Basuki, Zaini Muchtarom, Murni Djamal, Muhammad Idris, Nouruzzaman Shiddiqy, Bisri Affandi, Saifuddin Ansyari, A.
6A. Qodri A. Aziziy. Pendekatan ilmu-ilmu Sosial dalam Kajian Islam: Sebuah Overview Dalam Amin Abdullah dkk. (eds.) Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2000. h. 132-134. 7Lihat Richard C. Martin. Islamic Studies: History of the Fileds dalam Nur A. Fadhil Lubis (Compilator), Introductory Readings: Islamic Studies, Medan: IAIN Press. 1998. 8Dadi Darmadi dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds.). Problem. h. 16-17

mempergunakan studi interdisipliner di

dalamnya.6 Berbagai tren tersebut sebenarnya juga menunjukkan berbagai tahap dalam

Farichin Chumaidy, dan Muhammad Asyari.9 Setelah vakum beberapa saat, proyek tersebut berlanjut kembali pada masa Menteri Agama Munawwir Syadzali. Sebagian besar dari nama-nama di atas menduduki peran penting dalam perkembangan orientasi studi Islam di lingkungan IAIN. Tidak mengherankan apabila pada masa-masa selanjutnya, pengaruh studi Islam di Barat sangat terasa, khususnya di program magister maupun program doktor. Secara kelembagaan Harun Nasution adalah pelopor kajian Islam dengan menggunakan metodologi Barat di IAIN. Fenomena itulah yang kini menjadi sasaran kritik dari beberapa pihak. Pengiriman para dosen IAIN ke luar negeri, khususnya ke perguruan-perguruan tinggi di Barat, dipandang sebagai biang keladi menjamurnya gagasan-gagasan nyleneh (menyimpang) yang bermunculan di IAIN. Hartono Ahmad Jaiz secara terangterangan menganggap bahwa pengiriman mahasiswa/dosen ke luar negeri tersebut bertanggung jawab terhadap proses pemurtadan di IAIN.10 Itu pula yang menjadi kritik kaum fundamentalis terhadap para mahasiswa IAIN, terutama yang dikategorikan liberal.11 Dalam konteks tersebut, institusi IAIN menjadi tempat berkembangnya liberalisme dalam beragama. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi pendidikan yang menempatkan agama sebagai obyek ilmu sehingga halhal yang sakral mengalami proses desakralisasi. Itulah konsekuensi logis upaya memajukan PTAI sebagai lembaga keilmuan dan intelektual. Kaum liberal mendapatkan habitat yang tepat di PTAI. Para pengambil kebijakan di IAIN pun tampaknya tidak menolak kecenderungan kajian-kajian Islam yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru tersebut dan lebih melihat itu sebagai dinamika dan proses pendewasaan pemikiran. Tren tersebut kemudian mendapatkan respon dari berbagai pihak yang khawatir bahwa perkembangan studi Islam tersebut melenceng dari dasar-dasar ajaran Islam. Perkembangan revivalisme Islam di lingkungan perguruan tinggi umum membuat wacana kembali kepada Islam murni sebagaimana dipraktekkan oleh salaf al-shalih menguat. Kembali kepada ajaran murni identik dengan kembali kepada ajaran Islam

9Lihat Fuad Jabali dan Jamhari (penyunting), IAIN dan Modernisasih. 24. 10Hartono Ahmad Jaiz, Ada pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Cet. III. 2005. h. 56. 11Untuk contoh Lihat Majalah Suara Hidayatullah.,Edisi I/XIX Mei 2006.

sebagaimana dipraktekkan oleh generasi Islam pertama (kaum salaf).12 Hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan kajian-kajian Islam kontemporer yang justru mencoba memahami Islam melalui perspektif-perspektif yang baru. Kekhawatiran terhadap studi Islam yang berkembang di PTAI di sebagian kalangan bahkan mengarah kepada kecurigaan adanya konspirasi missionaris di luar negeri (Barat) untuk meracuni pemikiran Islam. Karena itu, kajian Kristologi yang berkembang di kalangan umat Islam guna membendung Kristenisasi pun mulai memasukkan beberapa wacana yang berkembang di PTAI sebagai bagian dari kajian Kristologi.13 Secara khusus Adian Husaini menyebutkan bahwa di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, sejumlah siswa melakukan tindakan yang sama seperti yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani, khususnya di Barat, yang melegalkan perkawinan sejenis.14 Dengan demikian, perkembangan studi Islam secara metodologis di PTAI-PTAI ternyata menimbulkan resistensi dari sebagian kalangan umat Islam. Hartono Ahmad Jaiz lewat bukunya Ada Pemurtadan di IAIN menjadi tokoh pelopor kritik terhadap IAIN/UIN. Selanjutnya Adian Husaini menulis beberapa karya yang terkait dengan kritik terhadap studi Islam di IAIN/UIN. Kritik Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini mewakili kritik-kritik yang sistematis dan jelas artikulasinya terhadap studi Islam di PTAI, selain banyak lagi kritik oleh berbagai kalangan. Resistensi tersebut menimbulkan pertanyaan menarik tentang argumentasi yang
12Gerenasi salaf adalah generasi muslim pertama yang dipandang memiliki wewenang dalam masalah agama. Generasi salaf tersebut meliputi sahabat, tabiin, dan tabi tabiin. Generasi salaf dipandang sebagai generasi panutan yang menjadi cerminan pelaksanaan Islam secara benar. Lihat dalam Cyrill Glasse. Ensiklopedi Islam Ringkas. Diindonesiakan oleh Ghufron A. Masadi dari The Concise Encyclopaedia of Islam, Jakarta : PT Raja Gafindo Persada. 1996. h. 351. 13Sanihu Munir, seorang ahli Kristologi versi Islam kontemporer, menyampaikan dugaan mengenai sebab keanehan sikap pendukung Islam Pluralis dan Liberal. Ia menduga bahwa kekeliruan kesimpulan dan kesalahan arah yang dilakukan oleh pendukung Islam Pluralis dan Liberal antara lain disebabkan mereka latah dan patuh mengikuti setiap ajaran dan nasehat ilmuwan pluralis tentang Kristen dan memiliki komitmen untuk melindungi kemusyrikan Kristen. Sanihu Munir, Islam Meluruskan Kristen: Islam Liberal dan Pluralis itu Kebangkitan ataukan Penyimpangan Islam? Surabaya: Victory Press. Cet. II. 2004. h. 229. 14Lihat Adian Husaini. Liberalisasi Islam di Indonesia, Makalah disampaikan pada acara A Two Days Workshop: on Islamic Civilization Studies yang diselenggarakan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) dan ICMI Orwil Jateng 21-23 Juli 2006 di Bandungan. h. 4.

dikemukakan oleh para penolak studi Islam kontemporer dan motivasi yang melatarbelakanginya. Karena itu, penelitian ini difokuskan kepada tema Resistensi terhadap Studi Islam di PTAI, studi atas kritik-kritik Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz terhadap Studi Islam di IAIN.. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, tampak bahwa ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari studi Islam di PTAI. Pertama adalah terjadinya proliferasi metodologi studi Islam di PTAI. Kedua, proliferasi tersebut terjadi karena persinggungan para akademisi di PTAI dengan studi Islam di Barat. Ketiga, aneka metodologi dan pendekatan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan sebagian umat Islam akan pengaruh Kristen dan penyimpangan pemikiran Islam di PTAI. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa persoalan berikut: 1. Apa kritik Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini terhadap studi Islam di IAIN/UIN? 2. Bagaimana posisi dan arti penting kritik keduanya dilihat dalam konteks pengembangan studi Islam di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap persoalan berikut: 1. Mengungkap kritik Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini terhadap studi Islam di IAIN/UIN. 2. Mengungkap posisi dan arti penting kritik keduanya dilihat dalam konteks pengembangan studi Islam di Indonesia D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Memberikan pemahaman mengenai argumentasi dan peta keberatan terhadap studi Islam di IAIN/UIN di sebagian kalangan umat Islam. 2. Memberikan timbangan atas keberatan terhadap studi Islam di PTAI berdasarkan kebutuhan dan realitas pengembangan studi Islam di Indonesia.

E. Kerangka Konseptual Islamic Studies dapat dipahami sebagai kajian mengenai Islam. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, kajian mengenai Islam terkait dengan upaya memahami ajaran Islam. Ilmu-ilmu tradisional Islam, seperti fiqh dan ushul fiqh, hadits dan ilmu hadits, tafsir, dan ilmu tafsir, ilmu tasawwuf, dan ushul al-din (teologi) membentuk kerangka dasar ilmu-ilmu tradisional Islam, di samping ilmu bahasa Arab, sebagai perangkat instrumentalnya. Ibnu Butlan (w. 1068), seorang ahli fisika muslim, telah mencatat tiga pembagian ilmu, yaitu 1) ilmu Islam, 2) ilmu alam dan filsafat, dan 3) ilmu sastra.15 Ilmu-ilmu Islam tersebut menempati posisi terkemuka dalam kajian keilmuan dalam sejarah intelektual Islam. Ilmu-ilmu Islam diajarkan oleh institusi-institusi resmi, baik masjid maupun madrasah di era klasik Islam. Karena itu, istilah ilmu agama Islam dengan mudahnya akan diasosiasikan dengan ilmu-ilmu tradisional Islam tersebut. Ilmu-ilmu tersebut di kalangan masyarakat muslim, termasuk masyarakat muslim di Indonesia, telah melembaga dalam institusi pendidikan Islam, mulai dari pesantren sampai ke perguruan tinggi Islam (PTAI). Menurut Qodri Azizy, ilmu-ilmu tersebut semakin menekankan aspek keagamaan sehingga berkembang menjadi semacam doktrin.16 Ilmu-ilmu tradisional Islam berangkat dari sebuah paradigma yang dibangun di atas otoritas teks, yaitu Alquran dan hadits. Metode utama yang digunakan adalah deduktif dan analogis. Metode tersebut terepresentasi secara baik dalam ushul fiqh Islam. Pandangan dunia yang melandasi metode tersebut adalah bahwa Tuhan, sebagai pembuat hukum dan aturan, menyatakan kehendaknya melalui tuntutan firmannya (khitab). Karena itu, untuk memahami kehendak Tuhan harus dimulai dari analisis struktur firman Tuhan tersebut. Paradigma tersebut oleh Abid al-Jabiri disebut dengan paradigma bayani. Paradigma bayani adalah pola pemahaman terhadap teks-teks agama (Islam) yang didasarkan atas logika bahasa Arab.17 Paradigma tersebut menjadi paradigma dominan
15George Makdisi. The Rise of Colledge, Islamic Institution of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981. h. 75. 16A. Qodri Abdillah Aziziy, Pengantar Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Makalah disampaikan pada Annual Conference PPS-IAIN/UIN di UIN Makassar, 27 November 2005. h. 1 17Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai pemahaman bayani, burhani dam irfani

dalam khazanah intelektual Islam, khususnya intelektual Islam ortodoks, atas jasa Imam Syafii, yang kemudian dikenal sebagai pendiri ushul fiqh. Pada perkembangannya, umat Islam berkenalan dengan ilmu-ilmu yang berkembang di Barat yang menekankan kepada kajian empiris. Ilmu-ilmu tersebut berorientasi kepada pemahaman fakta sosial dan interpretasi terhadap realitas sosial maupun nilai-nilai sosial. Persinggungan umat Islam dengan sistem pendidikan Barat juga berpengaruh terhadap intelektualitas Islam. Wacana dialog turas dan tajdid muncul sebagai respon umat Islam atas ketertinggalan mereka dari Barat. Dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat tersebut umat Islam kemudian mengadaptasi metodologi keilmuan yang berkembang di Barat. Para intelektual muslim kontemporer mengupayakan dialog dengan peradaban Barat untuk mencari bentuk intelektualitas Islam yang lebih mampu berdialog dengan modernitas.

Fazlur Rahman, seorang pemikir muslim kontemporer merumuskan teori double


movement. Rahman menawarkan landasan metodologis bagi neomodernisme Islam. Rumusan double movement mengkombinasikan hermeneutika dengan tradisi tafsir dalam Islam. Ali Syariati memperkenalkan secara kritis berbagai pemikiran dan ideologi dunia, seperti marxisme, eksistensialisme, materialisme, dan berbagai kajian sosiologi untuk menciptakan ideologi intelektual muslim yang mau untuk melakukan perubahan sosial. Mohammed Arkoun mengembangkan pendekatan semiotika dan dekonstruksi untuk mengkaji Alquran guna menggali ajaran substansial Islam yang relatif bebas dari berbagai kerak-kerak yang menutupinya.18 Abdellahi Ahmed an-Naim lewat karyanya Toward Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law19 meninjau kembali hubungan syariat dengan negara, khususnya berkaitan dengan hukum publik untuk menyesuaikan ajaran
lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nidmi al-Marifah fi al-Thaqafah al-Arabiyyah, Beirut; Markaz al-Thaqafi al-Arabi, cet. III, 1993 18Lihat misalnya dalam Mohammed Arkoun. Rethinking IsLam: Common Question, Uncommon Answer, Oxford: Westview Press. 1994. Lihat pula dalam Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media bekerjasama dengan Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2002. 19Diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International dalam Islam tahun 1994.

Islam dengan konteks pergaulan dunia modern.20 Hassan Hanafi memperkenalkan gagasan tentang kiri Islam, oksidentalisme, agama dan revolusi, dan turas dan tajdid untuk membangun nalar Islam21 Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd melakukan pembacaan ulang terhadap warisan intelektual Islam dengan menggunakan metode kritik teks dari tradisi semiotik dan hermeneutika untuk membaca teks keagamaan sehingga teks tidak hanya dibaca secara literal, melainkan dibaca pula signifikansi sosial politik yang melatarinya.22 Terakhir, Muhammad Abid Al-Jabiri menemukan ada tiga alur perkembangan Islam yang membentuk pemikiran dan praktek Islam saat ini. Tiga alur tersebut adalah bayani, burhani, dan irfani. Ketiga alur tersebut muncul karena persinggungan Alquran dengan berbagai kebudayaan yang ada saat itu.23 Arus pemikiran Islam kontemporer tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam studi Islam di kalangan para intelektual Islam dalam rangka menyikapi perubahan sosial dunia. Di Indonesia sendiri, banyaknya dosen PTAI lulusan dari universitas-universitas di Barat membuat studi Islam mengalami transformasi yang sangat cepat. Para intelektual muda Islam dituntut untuk mampu menyelaraskan dimensi keagamaan yang kental dalam ilmu-ilmu Islam tradisional dan dimensi keilmuan dalam studi Islam kontemporer. Muncullah kemudian istilah normativitas dan historisitas dalam kajian Islam.
20An-Naim, Syariahh. xx-xxi. 21Lihat Kazhuo Simoghaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi. Diindonesiakan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Yogyakarta: LkiS, Cet. VII, 2004. dan Ahmad Khudori Soleh. Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik. Dalam A Khudori Soleh (ed.) Pemikiran Islam Kontemporer Yogyakarta: Jendela. 2003. h. 58-59 22Hamka Hasan dalam pengantar buku Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadiyat al-Majaz fi al-Quran Inda Mutazilah. Diindonesiakan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan. Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam Alquran menurut Mutazilah Bandung: Mizan. 2003. h. 13-15. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafii wa Tasis al-Aidulujiyah al-Wasatiyah. Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdliyyin bersama dengan terjemahan Musykilat al-Bahts fi al-Quran: al-Imam alSyafii bayna al-Qadasah wa al-Basyariyah. dengan judul Imam Syafii: Modernisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: LkiS, Cet. II, 2001. 23Lihat Amin Abdullah. al-Tawil al-Ilmi: Ke Arah Pembaharuan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam Jurnal al-Jamiah. Vol 39 No. 2 July-December 2001. Lihat juga uraian tentang pemikiran al-Jabiri mengenai turats dan hadats/tajdid dalam Armando Salvatore, The Rational Authentication of Turath in Contemporery Arab Thought: Muhammad al-Jabiri and Hasan Hanafi. Jurnal Muslim World. Vol. LXXXV. No. 3-4, July-Oktober 2005.

Normativitas adalah kajian Islam yang menekankan dimensi keagamaan (ubudiyah) yang berangkat dari upaya memahami teks agama. Sementara itu historisitas adalah upaya memahami praktek ajaran tersebut dalam dimensi realitas. Menurut Amin Abdullah, studi keilmuan (wilayah historisitas) mengandaikan pendekatan kritis, analitias, empiris, dan historis, sementara pendekatan keagamaan (normativitas) menuntut sikap memihak, ideologis, dan amaliyah.24 Dua ragam kajian Islam kontemporer menjadi dua sisi mata uang dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Ragam kajian normatif, sebagaimana dicatat oleh Atho Mudzhar, meliputi: 1) metodologi penelitian tafsir, 2) metodologi penelitian hadis, dan 3) ilmu ushul fiqh atau ilmu dasar-dasar fiqh.25 Sementara itu, ragam studi Islam historis meliputi empat bidang, yaitu 1) pendekatan humaniora, 2) pendekatan ilmu-ilmu sosial, dan 3) studi area, yang interdisipliner di dalamnya.26 Dua ragam itulah yang selalu dalam proses tarik menarik dalam studi Islam di PTAI. Hal itu terjadi karena PTAI menanggung dua harapan sekaligus dari masyarakat, yaitu harapan agar PTAI menjadi lembaga kajian ilmiah dan harapan agar PTAI menjadi lembaga pendidikan keagamaan.27 Hal tersebut berdampak kepada penelitian di bidang agama (Islam). Taufiq Abdullah menyatakan bahwa penelitian agama bersifat mendua karena penelitian itu, di satu sisi, dilakukan untuk mencari kebenaran agama, sedang di sisi lain penelitian tersebut dilakukan sebagai usaha menemukan dan memahami realitas empiris. Karena itu, terkadang terjadi kekaburan antara agama sebagai sesuai yang diyakini dan dihayati dan agama sebagai sasaran (subject matter) penelitian.28 Problem-problem itulah yang menjadi bagian dinamika dalam studi Islam di PTAI. Hal tersebut bagi sebagian pihak dipandang sebagai sebuah berkah dan kemajuan dalam studi Islam, namun bagi sebagian pihak dipandang sebagai ancaman bagi agama Islam itu sendiri.
24Amin Abdullah. Studi Agamah. 104-105. 25Atho Mudzhar. Pendekatanh. 1-2 26A. Qadri A. Aziziy. Pendekatan ilmu-ilmu Sosial dalam Kajian Islam: Sebuah Overview. Dalam Amin Abdullah dkk. (eds.) Mencari Islamh. 132-134. 27Amin Abdullah. Studi Agamah. 103-104 28Lihat Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (eds.) Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991. h. xii.

mempergunakan studi

F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dalam rangka melakukan eksplorasi terhadap resistensi atas studi Islam di PTAI. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian literatur. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji bahan-bahan yang terdapat dalam karya-karya cetakan. Bahan-bahan yang menjadi obyek penelitian antara lain29: a. Bahan primer, yaitu buku-buku yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini yang berisi kritik terhadap studi Islam di IAIN. b. Bahan sekunder, yaitu buku-buku yang terkait dengan biografi pengarang, buku-buku tentang studi Islam di IAIN, brosur, makalah, dan surat keputusan dari Menteri Agama. Wawancara digunakan sebagai bahan pendukung untuk lebih mempertegas pemahaman mengenai kebijakan pengembangan studi Islam di PTAI. Pihak-pihak yang dijadikan sebagai informan adalah pengambil kebijakan di PTAI, dalam hal ini adalah dari Kopertais X Jateng dan Pembantu Rektor I IAIN Walisongo Semarang. Data-data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan pendekatan semiotika strukturalis. Pembacaan terhadap sebuah teks, berdasarkan pembacaan strukturalisme, akan memunculkan dua tuntutan kerja, 1) pembacaan teks itu secara teks itu sendiri (intratekstual); dan pembacaan teks dilihat hubungannnya dengan teks lain (intertekstual). Kedua pembacaan tersebut bersifat saling melengkapi karena makna teks hanya dapat dipahami dengan membaca teks itu sendiri, akan tetapi makna sebenarnya hanya dapat dipahami berdasarkan pembacaan terhadap teks-teks yang lain. Analisis semiotika dilakukan melalui pemetaan isi teks dalam bilah paradigmatik. Bilah paradigmatik ada bilah klasifikasi berdasarkan prinsip persamaan dan pertentangan. Prinsip persamaan dilakukan dengan mengumpulkan tanda-tanda dalam suatu karya yang memiliki makna sama dalam sebuah bingkai logosentrisme.
29Sumber-sumber yang digunakan dalam penyusunan metode penelitian adalah 1) Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002; 2) Koentjaraningrat (ed.). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Puataka Utama. 1991; dan 3) S. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik-Kulitatif. Bandung: Transito. 1996.

11

Sedangkan prinsip-prinsip perbedaan juga dilakukan dengan mengumpulkan tandatanda dalam suatu karya sastra yang memiliki arti sama dalam bingkai logosentrisme dan beroposisi biner dengan tanda-tanda yang lain. Setelah pemetaan dalam bilah paradigmatik dilakukan, selanjutnya dilakukan pemetaan dalam bilah sintagmatik, yaitu dengan menghubungkan dua bingkai dalam oposisi biner secara logis dan naratif.30 Analisis semiotika akan memudahkan untuk mengetahui lebih dalam dan sistematis argumentasi dan peta nalar yang digunakan oleh Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz. G. Rancangan Daftar Isi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Telaah Pustaka F. Metode Penelitian II. STUDI ISLAM DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI) A. Kiblat Studi Islam di PTAI B. Diversivikasi Obyek Kajian Studi Islam C. Penggunaan Metodologi-metodologi Ilmiah Kontemporer III. KRITIK ADIAN HUSAINI DAN HARTONO AHMAD JAIZ TERHADAP STUDI ISLAM DI PTAI A. Biografi Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz B. Aktivitas Sosial-Keagamaan Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz C. Pemikiran Keagamaan Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz D. Kritik Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz terhadap Studi Islam di PTAI IV. ARTI PENTING KRITIK ADIAN HUSAINI DAN HARTONO AHMAD JAIZ A. Muatan ideologis dalam Kritik Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini
30Penelitian dengan pendekatan semiotika didasarkan atas tulisan Subur Wardoyo. Semiotika Panduan Praktis Bahan Ajar Mata Kuliah Semiotika di Program Pasca Sarjana UNDIP tahun 2004.

B. Orientasi Kritik Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz dalam Pengembangan Tradisi Pemikiran Islam C. Arti Penting Adian dan Hartono dalam Pengembangan Studi Islam di PTAI. V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran C. Penutup H. Desain Penelitian 1. Peneliti: a. Ketua b. Anggota c. Anggota 2. Waktu 3. Lokasi I. : Dr. Zuhad, M.A. : R u p i i , M.Ag. : Ahwan Fanani, M.Ag. : 6 (Enam) Bulan, yaitu bulan Maret Agustus 2008 : Semarang dan kota-kota lain yang Terkait

Jadwal penelitian Kegiatan Maret April Bulan Mei Juni Juli Agust us

Pengumpulan Data Analisis Data Penulisan Laporan

X X

X X

X X

X X

X X X X

J. Anggaran Dana: Kebutuhan Honor Peneliti Bahan Penulisan/Penggandaan Satuan Jumlah

3 X @ 2.500.000 7.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000

13

Laporan Transportasi Biaya Seminar Proposal Jumlah

1.500.000 1.500.000 1.000.000 1.000.000 15.000.000

Demikian proposal ini dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan penelitian ini. S Semarang, 24 September 2007 Peneliti, Dr. Zuhad, M.A. Rupii, M. Ag. Ahwan Fanani, M. Ag.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufiq, dan Rusli Karim (eds.) Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991. Abdullah, Amin, dkk. (eds.) Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan.

Yogyakarta: Tiara Wacana. 2000. Abdullah, Amin, al-Tawil al-Ilmi: Ke Arah Pembaharuan Paradigma Penafsiran Kitab Suci. Dalam Jurnal al-Jamiah. Vol 39 No. 2 July-December 2001. -------------------, Studi Islam: Normativitas Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Arkoun, Mohammed, Rethinking IsLam: Common Question, Uncommon Answer. Oxford: Westview Press. 1994. Azizy, Ahmad Qodri Abdillah, Pengantar Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Makalah disampaikan pada Annual Conference PPS-IAIN/UIN di UIN Makassar, 27 November 2005. Darmadi, Dadi, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds.). Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam. Jakarta: Departemen Agama RI. 2000. Husaini, Adian, Liberalisasi Islam di Indonesia. Makalah disampaikan pada acara A Two Days Workshop: on Islamic Civilization Studies yang diselenggarakan Universitas Sultan Agung dan ICMI Orwil Jateng 21-23 Juli 2006 di Bandungan. Jabali, Fuad, dan Jamhari (penyunting). IAIN dan Modernisasi di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002. Jabiri, Muhamad Abid, Bunya al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nidm al-Marifah fi al-Tsaqafah al-Islamiyyah. Beirut: Markaz al-Tsaqafy al-Araby. 1993. Jaiz, Hartono Ahmad, Ada pemurtadan di IAIN. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Cet. III. 2005. Koentjaraningrat (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991 Lubis, Nur A. Fadhil, (Compilator). Introductory Readings: Islamic Studies. Medan: IAIN Press, 1998. Makdisi, George, The Rise of Colledge, Islamic Institution of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. Masadi, Ghufron A., dari The Concise Encyclopaedia of Islam, Jakarta; PT Raja Gafindo Persada, 1996. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002 Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV. 2002. Munir, Sanihu, Islam Meluruskan Kristen: Islam Liberal dan Pluralis itu Kebangkitan ataukan Penyimpangan Islam? Surabaya: Victory Press. Cet. II. 2004. Naim, Abdullahi Ahmed an, Toward Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law Diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan 15

Hubungan International dalam Islam tahun 1994. Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik-Kulitatif. Bandung: Transito. 1996. Soleh, Ahmad Khudori, Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik. Dalam A Khudori Soleh (ed.) Pemikiran Islam Kontemporer Yogyakarta: Jendela. 2003. Salvatore, Armando, The Rational Authentication of Turath in Contemporery Arab Thought: Muhammad al-Jabiri and Hasan Hanafi. Jurnal Muslim World. Vol. LXXXV. No. 3-4, July-Oktober 2005. Supena, Ilyas, dan M. Fauzi. Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Yogyakarta: Gama Media bekerjasama dengan Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2002. Simoghaki,Kazhuo, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi. Diindonesiakan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Yogyakarta: LKiS. Cet. VII. 2004. Suara Hidayatullah. Edisi I/XIX Mei 2006. Wardoyo, Subur, Semiotika Panduan Praktis Bahan Ajar Mata Kuliah Semiotika Program Pascasarjana UNDIP, 2004. Zayd, Nasr Hamid Abu, al-Imam al-Syafii wa Tasis al-Aidulujiyah al-Wasatiyah. Diindonesiakan oleh Khoiron Nahdliyyin bersama dengan terjemahan Musykilat al-Bahts fi al-Quran: al-Imam al-Syafii bayna al-Qadasah wa al-Basyariyah, dengan judul Imam Syafii: Modernisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: LKiS. Cet. II. 2001. ---------------------------- , Al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadiyat al-Majaz fi al-Quran Inda Mutazilah. Diindonesiakan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam Alquran menurut Mutazilah Bandung: Mizan. 2003.

Proposal Penelitian Kelompok

RESISTENSI TERHADAP STUDI ISLAM DI PTAI


(Studi atas Kritik-Kritik Adian Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz terhadap Studi Islam di IAIN/UIN)

Oleh: Dr. Zuhad, M.A. R u p i ' i , M. Ag. Ahwan Fanani, M. Ag.

DIAJUKAN UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN PENELITIAN DIPA IAIN WALISONGO SEMARANG TAHUN 2008

17

You might also like