You are on page 1of 20

Artikel Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis Nur Aida Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kom- pleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi ja- ringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan se- hingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas me- nuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom obstruksi pasca TB. SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet (2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin (3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner (4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus (5) . Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada pen- derita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). KEKERAPAN Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang pernah diteliti (Tabel 1). Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB Peneliti Tahun Kekerapan Ref. Cuggel Gaensler Martin dan Haller Lancaster dan Tomasshesfki Malik dan Martin Snider et al Tanuwiharja Tanuwiharja Sardikin Giriputro 1955 1959 1961 1963 1969 1971 1980 1988 1989 44 % 42,6 % 50,4 % 34 % 32 % 41,8 % 50,4 % 46,9 % 16,7 % 1 5 2 6 7 8 9 10 11 PATOGENESIS Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter- jadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara (3) . Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. Sedangkan Gaensler (5) dan Snider et al (8) menyatakan bahwa kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren (5) berpendapat bahwa bronkitis kro- nis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell (11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada ke- linci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi (12) . Baum (13) , Crofton dan Douglas (14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas

daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et al (15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru de- ngan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti (2,611,13) Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi lesi (9) . Pemeriksaan perubahan faal ven- tilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persa- habatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mem- punyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit (9) . Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sin- drom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga me- nimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan spirometri. SISTIM IMUNITAS TUBUH Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesi- fik dan nonspesifik (16,17) (Gambar 1). Gambar 1. Sistem Imun (16) Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter- depan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap anti- gen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan respon- nya (17,18) . Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik (1922) . Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme( 20,22) . Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya (20) . Kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mem- punyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini me- ngandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupa- kan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai resep- tor terhadap komplemen. Adanya reseptorreseptor ini me- ningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen (17,20,21) . Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat me- ngeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi (20) . TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertama- tama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis (18) . Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan meta- bolisme,

metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang ter- penting adalah hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). Chaparas 1984 (23) menerangkan bahwa mikobakterium tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melindunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga meng- aktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusak- an jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makro- fag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepas- kan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T me- lepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksiaksi mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pem- bentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksida- tif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen mem- bunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi matriks (24) . Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru (24) . Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi ber- arti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut (24,25) : 1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli. 2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase. 3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema. 4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti (25) : a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel terutama pneumosit I. b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis. c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun. Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya be- ban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan

faal paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri. KESIMPULAN Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara lain : 1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. 2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena pro- ses TB. 3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB. 4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.pro- teolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama se- hingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang , menahun dan mengakibatkan gangguan faal pant yang dapat dideteksi secara spirometri. SARAN Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan hipereaktifitas bronkus. KEPUSTAKAAN 1. Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185. 2. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med. 1961; 54: 1156. 3. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 127. 4. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1964; 89: 8304. 5. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kum- pulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun. 5465. 6. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis a cause of emphysema. Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435. 7. Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13. 8. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971; 103: 625. 9. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni 1980. p. 7784. 10. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif. Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989. 11. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphyse- matous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc. 1958; 78: 848861. 13. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and Company. 2nd ed., 1974; p. 263. 15. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir. Dis. 1961; 83: 354. 16. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 172. 17. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991. 18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 : 35587. 19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In: Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd ed. New York: Raven Press. 1989: 133. 20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985; 87: 24752. 21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co. 1988: 58998. 22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1986: 31339. 23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immu- nol. 1984; 2: 126. 24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl. 1) : 56. 25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during lung inflammation. Chest 1987; 92: 161.

Patogenesis Sindrom Obstruksi

Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis Nur Aida Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom

obstruksi pasca TB. SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet (2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin (3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner (4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus (5) . Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). KEKERAPAN Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang pernah diteliti (Tabel 1). Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB Peneliti Tahun Kekerapan Ref.

Cuggel Gaensler Martin dan Haller Lancaster dan Tomasshesfki Malik dan Martin Snider et al Tanuwiharja Tanuwiharja Sardikin Giriputro 1955 1959 1961 1963 1969 1971 1980 1988 1989 44 % 42,6 % 50,4 % 34 % 32 % 41,8 % 50,4 %

46,9 % 16,7 % 1 5 2 6 7 8 9 10 11 PATOGENESIS Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada terjadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara (3) . Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. Sedangkan Gaensler (5) dan Snider et al (8)

menyatakan bahwa kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam

perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren (5) berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell (11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi (12) . Baum (13) , Crofton dan Douglas

(14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et al (15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru dengan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti (2,611,13) Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi lesi (9) . Pemeriksaan perubahan faal ventilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persahabatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif

antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mempunyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit (9) . Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sindrom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga menimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan spirometri. SISTIM IMUNITAS TUBUH Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesifik dan nonspesifik (16,17) (Gambar 1). Gambar 1. Sistem Imun

(16) Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan responnya (17,18) . Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik (1922) . Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme( 20,22) . Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya (20) . Kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini me-

ningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen (17,20,21) . Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi (20) . TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertamatama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis (18) . Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan metabolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H 2 O

2 ). Chaparas 1984 (23) menerangkan bahwa mikobakterium tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-

dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon

lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi matriks (24) . Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru (24) . Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk

matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut (24,25) : 1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli. 2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase. 3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema. 4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti (25) : a)

Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel terutama pneumosit I. b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis. c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun. Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri. KESIMPULAN Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara lain : 1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. 2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.

3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB. 4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang , menahun dan mengakibatkan gangguan faal pant yang dapat dideteksi secara spirometri. SARAN Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan hipereaktifitas bronkus. KEPUSTAKAAN 1. Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185. 2. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med. 1961; 54: 1156. 3. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 127. 4. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1964; 89: 8304.

5. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kumpulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun. 5465. 6. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis a cause of emphysema. Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435.

7. Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13. 8. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971; 103: 625. 9. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni 1980. p. 7784. 10. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif. Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989. 11. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphysematous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc. 1958; 78: 848861. 13. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and Company. 2nd ed., 1974; p. 263. 15. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir. Dis. 1961; 83: 354. 16. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 172. 17. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991. 18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 : 35587. 19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In: Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd ed. New York: Raven Press. 1989: 133. 20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985; 87: 24752. 21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co. 1988: 58998. 22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1986: 31339. 23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immunol. 1984; 2: 126. 24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl. 1) : 56. 25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during lung inflammation. Chest 1987; 92: 161. Diposkan oleh Abdul Haris Awie di 17:47

You might also like