You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

Septum nasi memiliki banyak fungsi, termasuk memisahkan aliran udara nasal menjadi dua ruang yang berbeda, menyokong dorsum nasi, dan mempertahankan bentuk kolumela dan tip. Deviasi traumatik atau abnormalitas bentuk dari septum nasi dapat menyebabkan obstruksi aliran udara hidung dan deformitas kosmetik. Aliran udara yang sedikit dapat menyebabkan gangguan penciuman, gangguan humidifikasi dan filter udara, dan menurunkan aliran oksigen yang masuk ke paru-paru. Deviasi septum anatomikal juga dapat menyebabkan penyakit sinus kronis.1 Deviasi septum nasi merupakan penyebab obstruksi nasi yang paling sering ditemukan.2 Bentuk septum yang normal ialah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitasn pada satu sisi rongga hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung, batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).4 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), dan tepi kartilago septum.4

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebtu vibrise. Tiap kavum nasi memiliki empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.4 Pada dinding lateral terdapat tiga buah konka, yaitu konka superior, konka media, dan konka inferior. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidnung terdapat rongga sempit yang disebut meatur. Terdapat tiga meatus, yaitu meatus inferior, media, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.4

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis), dan kolumela.4 Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4 Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung.4 Bagian depan dan atas rongga hidung mendapatkan persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melaui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan autonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensorius dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisial mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.4 Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.4 Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina media.4 yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.4 Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area).4 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup.4

2.2. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung adalah:1,4 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara

inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi Silia Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4. Indra penghirup Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.3. DEVIASI SEPTUM NASI

Septum nasi jarang terletak pada posisi lurus di tengah rongga hidung, namun derajat deviasi yang besar akan menyebabkan obstruksi aliran udara nasal. Pada banyak kasus, keadaan ini dapat dikoreksi dengan pembedahan, dengan hasil yang memuaskan.5

1.3.1. Etiologi Penyebab paling sering dari deviasi septum nasi adalah trauma dan kesalahan perkembangan septum nasi.6 1. Trauma Pukulan di bagian lateral hidung dapat menyebabkan pergeseran letak dari kartilago septum dari alur vomerine dan puncak maksila. Sedangkan pukulan berat dari arah depan akan menyebabkan lekukan, lilitan, fraktur, dan duplikasi dari septum nasi. Trauma hidung sering terjadi pada anak-anak.6

Trauma juga dapat terjadi saat kelahiran dengan kesulitan melahirkan, ketika hidung tertekan selama melewati jalan lahir. Trauma lahir harus diberikan perawatan segera.6 2. Kesalahan pada perkembangan Septum nasi dibentuk oleh proses tektoseptal yang berasal dari pertemuan dua bagian dari perkembangan palatum di garis tengah tubuh. Selama perkembangan gigi, perkembangannya kebih lanjut berada di palatum yang menurun dan melebar untuk mengakomodasi gig-gigi.6 Pertumbuhan yang tidak sama antara palatum dan dasar dari tengkorak dapat menyebabkan lekukan septum nasi. Pada keadaan mulut yang diam, seperti pada hipertropi adenoid, palatum sering melengkung sangat tinggi sehingga septum mengalami deviasi.6 Deviasi septum nasi juga dapat ditemukan pada kasus dengan bibir dan palatum sumbing dan pasien dengan abnormalitas dentis.6 3. Ras Pada manusia dengan ras Caucasian lebih sering terjadi dibandingkan dengan Negro.6 4. 5. 6. Faktor herediter6 Kongenital7 Sekunder Septum nasi dapat mengalami deviasi akibat tumor, massa, atau polip di hidung.7

1.3.2. Klasifikasi Deviasi dapat melibatkan hanya kartilago, tulang, atau keduanya.6,7 1. Dislokasi anterior Kartilago septum dislokasi ke salah satu kavum nasi. 2. C-shaped Deformity Septum berdeviasi dalam bentuk melengkung ke salah satu sisi. Kavum nasi di sisi konkaf septum nasi akan melebar dan dapat menunjukkan hipertrofi turbinasi kompensasi.

3. Spurs Spur merupakan shelf-like projection, sering ditemukan pada pertemuan antara tulang dan kartilago. Spur dapat menekan ke dinding lateral dan menyebabkan sakit kepala dan epistaksis. 4. Penebalan Penebalan ini dapat berupa hematoma atau over riding dari fragmen septal yang mengalami dislokasi.

1.3.3. Gejala Klinis Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung. Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme kompensasi.3 Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Penciuman dapat terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.3 Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi yang menyebabkan stagnasi dari sekresi hidung.3 Epistaksis daat terjadi akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang menyebabkan mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas.3

10

1.3.4. Penatalaksanaan Penatalaksanaan berupa koreksi septum hanya dilakukan bila pasien mengalami gejala yang persisten dan berulang.7 Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi submukosa (Submucous Resection of the Nasal Septum) dan septoplasti.3 Reseksi submukosa dilakukan dengan cara mukoperikondrium dan mukoperiosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang tulang rawan dari septum diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Tindakan ini memiliki banyak komplikasi, seperti pendarahan, kerusakan di jaringan sekitarnya, rinore cairan serebrospinal, perforasi septum, sinekia, infeksi, hematoma septum, dan lain-lain.3 Indikasi dilakukan reseksi submukosa adalah:7 a. Hidung tersumbat total b. Infeksi saluran nafas atas berulang c. Sinusitis berulang d. Epistaksis berulang e. Nyeri kepala f. Infeksi telinga tengah g. Deformitas hidung memerlukan rinoplasti disamping reseksi submukosa. Septoplasi dilakukan dengan cara mereposisi tulang rawan yang bengkok. Prosedur ini merupakan operasi konservatif. Operasi ini sangat menolong dilakukan pada anak-anak seta meminimalisasi komplikasi yang timbul bila dilakukan reseksi submukosa.7

1.3.5. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada deviasi septum nasi adalah:7 1. Sinusitis berulang 2. Infeksi telinga tengah

11

3. Pernafasan mulut, menyebabkan infeksi faring, laring, dan tracheobronchial tree berulang. 4. Asma 5. Rinitis atropi

12

BAB III PENUTUP

Deviasi septum nasi merupakan penyebab obstruksi nasi yang paling sering ditemukan. Bentuk septum yang normal ialah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitasn pada satu sisi rongga hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Penyebab paling sering dari deviasi septum nasi adalah trauma dan kesalahan perkembangan septum nasi. Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung. Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata, Penciuman dapat terganggu hingga anosmia, gejala rinitis berulang, epistaksis. Penatalaksanaan berupa koreksi septum hanya dilakukan bila pasien mengalami gejala yang persisten dan berulang. Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi submukosa (Submucous Resection of the Nasal Septum) dan septoplasti.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Kridel, R.W.H., Kelly, P.E., MacGregor, A.R. The Nasal Septum. In: Cummings, C.W., et al. Otolaryngology Head & Neck Surgery Volume Two, 4th Ed. Philadelphia: Mosby. 2005. p1001. 2. Boies, L.R. Chronic Nasal Obstruction. In: Boies, L.R. Fundamental of Otolaryngology, A Textbook of Ear, Nose, and Throat Diseases, 3th ed. Philadelphia: W.B. Saunders. 1990. p217-221. 3. Nizar, N.W., Mangunkusumo, E. Kelainan Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010. p126-127. 4. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010. p118-122. 5. Bull, P.D. The Nasal Septum. In: Lecture Notes on Diseases og The Ear, Nose, and Throat 9th ed. USA: Blackwell. 2002. p81-84. 6. Dhingra, PL. The Septum and Its Deseases. In: Dhingra, PL. Diseases of Ear, Nose, and Throat 4th ed. India: Elsevier. 2003. p140-143. 7. Bhargava, K.B., et al. Diseases of The Nasal Septum. In: Bhargava, K.B., et al. A Short Textbook of E.N.T. Diseases 5th ed. Mumbai. 2002. p175183.

14

Kridel, R.W.H., Kelly, P.E., MacGregor, A.R. The Nasal Septum. In: Cummings, C.W., et al. Otolaryngology Head & Neck Surgery Volume Two, 4th Ed. Philadelphia: Mosby. 2005. p1001. 2 Boies, L.R. Chronic Nasal Obstruction. In: Boies, L.R. Fundamental of Otolaryngology, A Textbook of Ear, Nose, and Throat Diseases, 3th ed. Philadelphia: W.B. Saunders. 1990. p217-221. 3 Nizar, N.W., Mangunkusumo, E. Kelainan Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010. p126-127. 4 Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010. p118-122. 5 Bull, P.D. The Nasal Septum. In: Lecture Notes on Diseases og The Ear, Nose, and Throat 9th ed. USA: Blackwell. 2002. p81-84. 6 Dhingra, PL. The Septum and Its Deseases. In: Dhingra, PL. Diseases of Ear, Nose, adn Thorat 4th ed. India: Elsevier. 2003. p140-143. 7 Bhargava, K.B., et al. Diseases og=f The Nasal Septum. In: Bhargava, K.B., et al. A Short Textbook of E.N.T. Diseases 5th ed. Mumbai. 2002. p175-183.

15

You might also like