You are on page 1of 26

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang menyerang susunan saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat (A. Kosasih, 2008).

Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).

2.2. Etiologi Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu , diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis ) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 2730 C ( Depkes, 2005).

M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas : a. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan di media buatan . b. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin .

c. M.leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi DDopa (DDihydroxyphenylalanin). d. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer. e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

2.3. Patofisiologi Masuknya kuman dalam tubuh dapat melalui beberapa kemungkinan, di antaranya dapat melalui kulit yang tidak utuh, saluran nafas atau saluran pencernakan. Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman menuju ketempat prediksinya yaitu sel Schewann pada saraf tepi.

Di dalam sel ini kuman berkembang biak, selnya pecah kemudian menginfeksi sel Schwann yang lain atu ke kulit tergantung derajat imunitas penderitanya. Pada imunitas yang tinggi akan terjadi kusta tipe tuberkuloid, sedangkan pada imunitas yang rendah akan terjadi tipe lepromatus.

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam telapak kaki mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respon imun sellulernya akan menghasilkan granulomagranuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.Sebenarnya M.Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh karena itu penyakit kusta dapat

disebut sebagai penyakit imunologik, gejala-gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya ( Marwali Harahap, 2000).

2.4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinisk biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin, 2000).

Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tandatanda utama atau Cardinal Sign, yaitu : 1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa . Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematous ) yang mati rasa (anestesi ).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : a.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa. b.Gangguan fungsi motoris: kelemahan (parese) atau kelumpuhan (paralisis). c.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kering dan retak-retak.

3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

2.5. Klasifikasi Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya menentukan

tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita, penentuan tipe penyakit kusta pada seseorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histopatologik, dan status imun penderita menjadi :

1.

TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan

kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2.

BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering

bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3.

BB : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.

Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( ).

4.

BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,

bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( ).

5.

LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil,

jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( ).

Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu : Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB). Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO adalah sebagai berikut :

2.6. Diagnosis a. Anamnesis 1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak . 2). Apakah ada riwayat kontak . 3). Riwayat pengobatan sebelumnya.

b.Pemeriksaan kulit / rasa raba. Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.

c.Pemeriksaan saraf (nervus) Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti

kerusakan pada saraf-saraf utama.

2.Teknik Pemeriksaan Saraf . a.Saraf Ulnaris. Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken di antara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri ke atas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .

b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 1).Penderita diminta duduk di suatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rileks. 2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan . 3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang . 4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian ke kanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita .

c.Saraf Tibialis Posterior . 1). Penderita masih duduk dalam posisi rileks. 2). Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan pasien ) 3). Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita.

3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita. Cara pemeriksaan Fungsi Saraf . Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki . a. Mata Fungsi Motorik (Saraf Facialis ) 1).Penderita diminta memejamkan mata. 2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak , apakah ada celah . 3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal lagoftalmus 3 mm, mata kiri atau kanan. Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan di lapangan.

b.Tangan 1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus ) a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga . b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain . d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif . e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa. f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .

g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis . a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa.

(2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. Penilaian : (a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh. (b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah . (c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat. (d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut . Penilaian : (e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah . (f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat

b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari ) (1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap ke atas,dan dalam posisi ekstensi.

(2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk ke arah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut. (3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan . Penilaian : (a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah . (c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan Otot Pergelangan tangan ). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita. (2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal ke atas (ektensi). (3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi (ke atas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi . Penilaian : (a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . (c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa digerakkan ke atas).

c. Kaki 1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior ) a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap ke atas . b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita . c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan. d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm. e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

3).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ). a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit). b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita ke bawah /lantai . Keterangan: c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat. d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan ke atas)

2.7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Bakterioskopik Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam antara lain dengan ZIEHLNEELSEN. Bakterioskopik negatif bukan berarti seseorang tidak mengandung M. leprae.

Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritromatosa dan paling infiltratif.

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan untuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup dan berbahaya karena dapat berkembang biak dan menular ke orang lain, sedangkan fragmented dan granular adalah bentuk mati.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. Bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP. 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.

2. Pemeriksaan Histopatologik Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepramatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsurunsur tersebut.

3. Tes Lepromin Tes lepromin adalah tes nonspesifik untuk klasifikasi dan prognosis kusta, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistim imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin disiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal, kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi fernandez), atau 3- minggu (reaksi Matsuda).

Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritem yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test pada M. tuberculosis. Reaksi Matsuda bernilai : 0 : papul berdiameter 3mm atau kurang. +1 : papul berdiameter 4-6 mm. +2 : papul berdiameter 7-10 mm. +3 : papul berdiameter > 10 mm atau papul dengan ulserasi.

4. Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologik ini dapat membantu apabila gejala klinis dan bakteriologik tidak tidak jelas. Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Macamnya adalah : Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination). Uji ELISA (Enzymed Linked Immunosorbent Assay). ML dipstick (Mycobacterium leprae Dipstick).

2.8. Reaksi Kusta Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai pelbagai gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta, yang dapat dianggap kelaziman pada perjalanan penyakit atau komplikasi kusta. Seluruh komplikasi penyakit kusta. Seluruh komplikasi penyakit kusta meliputi: - Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. Leprae - Komplikasi akibat reaksi - Komplikasi akibat imunitas yang menurun - Komplikasi akibat kerusakan saraf - Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat kusta

Istilah reaksi pada kusta digunakan untuk menjelaskan munculnya gejala dan tanda peradangan akut pada penderita kusta. Secara klinis ditandai adanya pembengkakan, kemerahan nyeri pada saraf disertai dengan kehilangan fungsi saraf.

Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat)

Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.

Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi gangguan pada cell mediated immunity dan terjadi peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cel, peran komplemen juga berpengaruh, sebetulnya reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi bisa juga merugikan seperti kusta reaktif (Mellors, C.R, 2002).

Kusta reaktif suatu gangguan yang berupa munculnya secara spontan proses akut dari suatu penyakit pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik. Kusta reaktif ini tidak disebabkan oleh Multi Drug Therapy (MDT), tetapi merupakan kondisi alami dari suatu penyakit kusta (WHO, 2003).

Kusta reaktif adalah merupakan reaksi tubuh yang hebat terhadap suatu invasi bakteri atau antigen, dimana menimbulkan manifestasi klinis yang sangat hebat, yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) tipe yaitu : Tipe 1 :Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi hipersensitivitas tipe IV. Tipe 2 :Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan hipersensivitas humoral yaitu peran Ig M Ig G dan komplomen, suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas tipe III Tipe 3 :Lucios Phenomenon, merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang sebetulnya merupakan reaksi kusta tipe 2 ( Bryceson & Jopling, 2003).

Pada kusta reaktif dapat muncul gejala seperti malaise, cefalgia, arthralgi dll. Lebih rinci dapat dibagi dalam 3 (tiga) tipe yaitu :

Reaksi Reversal Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan terderness pada saraf, adanya neuritis dan inflamasi yang begitu cepat pada kulit. Keadaan yang dulunya hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin menjadi eritematosa, lesi macula menjadi infiltrat, yang infiltrate makin infiltratif dan lesi lama makin bertambah luas (Birke JA, 2000).

Secara histologi ditemukan epitheloid dari sel granuloma, dan sel limfosit yang banyak, ditemukannya basil lepra yang banyak, ephiteloid mensekresi TNF-.

Reaksi ENL Gejala yang muncul seperti nyeri dan tenderness disertai panas tinggi dan malaise. Lesi kulit berupa pustular dan ulseratif diikuti dengan hilangnya fungsi saraf. Perkembangan tipe ini sampai terjadi iridocylitis, oechitis, nefritis dengan albuminuria yang disertai non-pitting oedema. Erythema nodosum leprosum dapat berkembang menjadi perbaikan setelah mendapatkan kontrikosteroid,secara histologi ditemukannya foamy histiocyte, dan limfosit tidak banyak (Koshy S, 2001).

Fenoemena Lucio Terjadinya ulseratif yang tidak layak, vaskulitis yang hebat, terdapat macula dan plakat yang disertai nyeri dan adanya nekrotik jaringan, bulu mata hilang, rambut menjadi rontok dan alopesia, bagian distal tubuh mengalami anaesthesia, destruksi rhinitis dan nodul kulit tidak kelihatan. Timbulnya panas badan, limfadenopati, splenomegali dengan limfopenia, mikrositik anemia, hipoalbuminemia dan hipokalsemia, keadaan ini dalam kondisi akut dapat mengakibatkan kefatalan (Rutledge, B.J, 2004).

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2

Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2

2.9. Diagnosis Banding Pada lesi makula, diagnosis bandingnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor, ptiriasis alba, tinea korporis , dll. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva. Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat

disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing. Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf

yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanya tergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

2.10. Penatalaksanaan Umum Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutik. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat. Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.

Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas. Untuk menambah kelembaban dapat diolesi minyak (baby oil). Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam

Khusus Obat anti kusta yang paing banyak di pakai pada saat ini adalah DDS (diamidodifenil sulfon), kemudian klofazimin, dan rifampisin. Tahun 1998 WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu olfoksasin, minosiklin, dan klaritomisin. 1. Dapson (DDS) Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson diberikan sebagai dosis tunggal 50-100 mg/hari untuk dewasa, 2 mg/kgbb untuk anak-anak. Pemberian obat ini 5-6 bulan, dimana efeksamping yang timbul seperti erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping jarang di jumpai pada dosis lazim.

2. Klofazimin Obat ini merupakan turunan zat warna iminoferazine dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Kerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini mempunyai reaksi anti inflamasi untuk reaksi kusta khususnya ENL. Dosis klofazimin diberikan 50

mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu, sedankan untuk anak-anak 1mg/kgbb setiap hari. Untuk mengurangi tipe 1 dan tipe 2 adalah 300 mg setiap bulan. Efek samping nya hanya pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdmen, diare, anoreksia, dan vomitus).

3. Rifampisin Merupakan obat yang ampuh pada saat ini untuk kusta yang bersifat bakterisid. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Rifampisin diberikan dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgbb). Pemberian dosis tingai seminggu sekali (900-1200 mg) dapat menimbulkan flu like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali di toleransi dengan baik. Efek samping yang timbul seperti hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, erupsi kulit.

Obat kusta alternatif lainya : 1. Ofloksasin Merupakan obat turunan fluroquinolon yang paling efektif terhadap M. leprae dibandingkan dengan siprofloksasin dan perfloksasin. Kerjanya menghambat enzim girase DNA mikobakterium. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Efeksamping yang timbul seperti mual, diare, ganguan saluran cerna lainnya, bebagai gangguan susunan saraf pusat, insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, dan halusinasi. Namun efek samping ini jarang sekali di temukan. Pengunaan harus hati-hati pada karena dapat meyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari.

2. Minosiklin Merupakan kelompok tetrasiklin dimana efek bakterisidnya lebih tinggi daripada klaritromisin dan lebih rendah dari rifampisin. Dosis harian 100 mg. Efek samping adalah pewarnaan gigi pada anak-anak, hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Tidak dianjurkan pada anak-anak dan masa kehamilan.

3. Klaritomisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid yang bakterisid terhadap M. leprae. Dosis harian 500 mg. Efek samping yang timbul seperti nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 1.Tujuan Pengobatan adalah: a.Memutus mata rantai penularan . b.Menyembuhkan penyakit Penderita . c).Mencegah Terjadinya cacat.

2.Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapy). WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT yaitu : a.Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 Dewasa. Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas ). 1). Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg ). 2). Satu tab Dapson /DDS 100 mg . Pengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone /DDS 100 mg 1 blister untuk satu bulan) lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan . b.Penderita Multi-Basiler ( MB ) Dewasa Pengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ). 1). Tiga kapsul Rifampicin @300 mg ( 600 ). 2).Tiga tablet Lampren @100 mg ( 300 ). 3). Satu tablet Dapsone @100 mg. Pengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet Dapsone /DDS 100 mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan.

3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut : Tipe PB

Tipe MB

4.Bagi anak di bawah usia 10 tahun dengan BB kurang ,dosis MDT diberikan berdasarkan BB: a.Rifampicin : 10-15 mg / kg BB. b.DDS : 1-2 mg / kg BB. c.Clofazimin : 1mg /kg BB.

Terapi Reaksi Kusta Aspirin : mengatasi nyeri dan anti radang, 600-1200 mg diberikan setiap 4 jam

Klorokuin

: kombinasi aspirin dan klorokuin lebih baik khasiatnya dibandingkan pemberian tunggal, 3 kali 150 mg / hari. Efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa ruam pada kulit, fotosintesis serta gangguan gastrointestinal, penglihatan dan pendengaran.

Antimon

: digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Dosis 2-3 ml diberikan selangseling. Efek samping ruam pada kulit, bradikardi, hipotensi.

Talidomid

: obat ini digunakan pada reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan ketergantungan terhadap kortikosteroid. Dosis mula-mula 400 mg/hari sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan pada wanita subur.

Terapi reaksi kusta berat Jika terjadi reaksi kusta dapat diberikan prednison 30 60 mg/hari serta pemberian obat simtomatis, lalu diturunkan. Pedoman terapi adalah: 1. Terapi standar untuk pasien PB dengan reaksi kusta

2. Terapi standar pasien MB dengan reaksi kusta. Pada reaksi tipe 2 dapat ditambah dengan Klofazimin 300 mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan selanjutnya 100 mg/hari sampai gejala menghilang.

2.11.

Monitoring dan Evaluasi Pengobatan

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat 2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan 3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita. 4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif a. Tipe PB selama 2 tahun b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium 5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium. 6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium. 7. Defaulter. Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter PB. Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter MB. Tindakan bagi penderita defaulter : a. Dikeluarkan dari monitoring dan register b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat 8. Relaps/Kambuh

Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih dibanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujukan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu. Catatan : Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps. 9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default. 10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan.

You might also like