You are on page 1of 14

No.

01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku

STUDI KETIDAKPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAPAI KECAMATAN NGAPA KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2010 Arfandi, Muh. Syafar, Mappeaty Nyorong Abstrak Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia menempati urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam masalah Tb Paru di dunia. Tingginya jumlah tersebut berkaitan dengan masalah penanggulangan Tb yang sangat kompleks. Salahsatu masalah yang krusial yaitu rendahnya tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan, dilain pihak kepatuhan merupakan faktor determinan untuk menentukan keberhasilan pengobatan Tb. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah suatu hal yang sangat problematis karena melibatkan begitu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi psikologis, persepsi, motivasi, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor intrinsik dan ekstrinsik ketidakpatuhan berobat terhadap penderita Tb di Wilayah kerja Puskesmas Lapai Kecamatan Ngapa Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara Tahun 2010. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Penentuan informan dengan menggunakan kriteria informan. Sehingga diperoleh jumlah informan sebanyak 8 orang. Pengumpulan data/informasi berupa wawancara, dan untuk keabsahan data dilakukan triangulasi data dan metode. Proses wawancara dilakukan dengan melibatkan petugas kesehatan untuk mengenalkan peneliti dengan informan penderita Tb dan PMO. Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis isi (Content Analysis) dan disajikan dalam bentuk naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor intrinsik yaitu pengetahuan pengalaman (efek samping obat yang dirasakan, OAT yang tidak ada). Serta faktor ekstrinsik yaitu peran Pengawas Minum Obat (PMO) dan aksessibilitas pelayanan kesehatan karena faktor pekerjaan atau kesibukan.

Abstract Tuberculosis is a communicable infectious disease that still remains a public health problem in the world including the Indonesia. Indonesia ranks fifth after India, China, South Africa and Nigeria in pulmonary Tb problem in the world. The high number is related to the problem of handling a very complex Tb. One of the crucial problem is the low level of patient compliance to treatment, compliance on the other hand is the determinant factor to determine the success of TB treatment. Compliance to treatment is a matter that is very problematic because it involves so many factors that influence it, such as psychological conditions, perception, motivation, and so forth. This study aims to determine the intrinsic and extrinsic factors on patient medication compliance Tb in Puskesmas working area Lapai Ngapa Kolaka North District, Southeast Sulawesi in 2010. This type of research is qualitative research design with phenomenology. Determination of informants using the criteria of informers. Thus obtained the number of informants as many as 8 people. The collection of data / information in the

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku

form of interviews, and for the validity of data was triangulation of data and methods. The process involves interviews conducted with health workers to acquaint researchers with the informant Tb patients and PMO. Processing and analysis of data using content analysis and presented in narrative form. Results showed that intrinsic factor is the knowledge of experience (perceived drug side effects, which do not exist Anti-Tuberculosis Drugs). As well as extrinsic factors namely the role of Supervisory Drinking Drugs (PMO) and accessibility of health services because of work or activity. Keywords: non-compliance treatment - patient perception - pulmonary tuberculosis. Reading list: 31 (1992 - 2010) Pendahuluan Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Laporan World Healt Organization (WHO) pada tahun 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang. Indonesia menempati urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam masalah Tb Paru di dunia. Meskipun terjadi penurunan penyakit TB di Indoensia, tetap menjadi perhatian yang serius untuk terus menekan angka kejadian TB. Salah satu satrategi yang dilakukan oleh pemerintah adalah Directly Observed Treatment Short Course Strategy (DOTS). Menurut La Greca dan Stone (Bart, 1994) menyatakan bahwa mentaati rekomendasi pengobatan yang dianjurkan dokter merupakan masalah yang sangat penting. Tingkat ketidaktaatan terbukti cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis. Bentuk ketidakpatuhan pasien diantaranya: (a). Tidak mengambil obatnya, (b). Minum obat dengan dosis yang salah, (c). Minum obat pada waktu yang salah, (d). Lupa minum obat, dan (d). Berhenti minum obat sebelum waktunya. Faktor-fakor yang mendukung kepatuhan pasien adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik (Niven, 2002). Angka penjaringan suspek TB di Sulawesi Tenggara tahun 2009 2010 untuk triwulan I turun dari 291 kasus menjadi 272 kasus dengan trend 19 kasus per 100.000 penduduk (Gerdunas TB, 2009) Database Kesehatan Per Kabupaten (Depkes RI, 2010) menyebutkan bahwa dari total penderita TB paru di Kabupaten Kolaka Utara yang berhasil sembuh adalah sebesar 29,46 persen. Ini menunjukkan bahwa masih lebih dari setengah yang belum sembuh. Berdasarkan laporan bulanan program P2TB paru puskesmas Lapai kecamatan Ngapa kabupaten Kolaka utara menunjukkan pada tahun 2010 (JanuariAgustus) jumlah penderita baru TB BTA positif sebanyak 14 orang dan yang menyelesaikan pengobatan dengan hasil sembuh sebanyak 1 orang. Artinya, masih ada yang belum menyelesaikan pengobatan sebanyak 13 orang. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 November 23 Desember Tahun 2010 di Wilayah Kerja Puskesmas lapai Kecamatan Ngapa Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Informan Penelitian Proses peneltuan informan dengan menggunakan kriteria informan, dengan mengambil data dari P2TB Puskesmas Lapai serta berdasarkan informasi dari programmer TB selaku informan kunci.

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


tidak pernah dilatih, petugasnya saja selama jadi petugas TB. (Amk, 28 Thn, 2010) Persepsi Tentang Penyakit TB Saya menebak sendiri karena saya orang perokok, perokok berat dengan pekerjaan saya kerja berat. Karena slalu begadang setiap malam. Kadang saya merokok itu 4 bungkus, jadi saya anggap diri saya itu perokok berat jadi saya mengatakan mungkin paru saya sudah kotor ataukah sudah bocor sehingga batuk-batuk saya tidak bisa tersembuhkan. (Rpw, 41 Thn, 2010) itu kayak diabilang orang to biasanya dipakennai orang, e.. dikenna-kenna dengan orang. (Spr, 40 Thn, 2010) Pengalaman Minum Obat biasa wallupai, Akko majjamaki to biasa to kusibukki yallupaini. (Jmr, 21 Thn, 2010) yoloe tellai nasaba cappui jaji uleng lima mappammula paemeng ssika lettu makkukkue wanre, kosongi sebenarna biasa obate. (Nhs, 21 Thn, 2010) De biasa ulanjut wettukku jokka makkempe cengkeh biasa, najukanna mauka anu na jauh itu tempat anu . dega kiringi, Dena nengka wanre monrinna. Nasaba tijjokkaka maccengekeh. (Rsl, 21 Thn, 2010) Dia suruh berobat enam bulan jadi ternyata itu obat hanya beberapa bulan dia makan dia berhenti karena tidak baik perasaanna to kayak mau mati, akhirnya dia berhenti. (Hsr, 46 Thn, 2010)

Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi yaitu pengamatan, imajinasi, berpikir abstrak serta dapat merasakan atau menghayati fenomena dilapangan penelitian yaitu untuk mengetahui ketidakpatuhan berobat penderita TB paru. Teknik yang digunakan adalah indepth interview (wawancara mendalam). Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara penggalian data dari berbagai sumber data untuk menjernihkan informasi di lapangan. Adapun data yang diperoleh adalah data primer. Data primer ini diperoleh dengan cara wawancara mendalam (indepth interview). Sebelum wawancara mendalam, dilakukan proses penentuan informan bersama petugas kesehatan dengan mengunjungi penderita TB dan PMO. Selanjutnya penelitian dan informan yang mencari jadwal wawancara, sehingga wawancara dapat mendalam dapat dilakukan. Analisi Data Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dilakukan secara manual sesuai dengan petunjuk pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini dan selanjutnya dianalisis dengan metode content analysis kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam bentuk narasi. Hasil Pengetahuan De dewissenggi (Jmr, 21 Thn, 22 November 2010) Jadi mungkin dijurusan penyakit itu kan saya tidak tahu. (Rpw, 41 Thn, 2010) Wwah kurang pahanna. (Rd, 34 Thn, 2010) tidak pernah sama sekali dilatih, makanya nda berani saya kasi ini PMO karena memang tidak ada pelatihannya PMO. Tak usa jauh-jauh petugasnya saja

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


keluar)? nah itu dia kaget. Terus Saya panggi saya punya tante Hj. Nafia. Saya lagi sakit dirumah malamnya ituka saya dibawa ke dr. Nidar diperiksa itu malam. (Rpw, 41 Thn, 2010) Peran PMO penyakit-penyakit biasami biasa saja. Ada penyakit tahunan kata orang tua. (Rpw, 41 Thn, 2010) Demagaga, yemiro bawang nasuroma mabbura. (Nhs, 21 Thn, 2010) Bansana tetanggae detonajampangiq akku malasaki aga, yapa najampangiki ku maladdei. yeku denamaladde mappaku-mopa biasamopa dessa nanuwegangi. (Spr, 40 Thn, 2010) Tetangga dega makkada minder maga, kitapun sendiri degaga. (Rd, 34 Thn, 2010) Orang disini biar natahu penyakitnya tetap juga sama-sama. (Amk, 28 Thn, 2010 emmakku aga maderri parengerrangika, aja lalo mutella, aja lalo mutella (Jmr, 21 Thn, 2010) Nah itu adik ipar yang lihat saya di WC kok kakak tadi kalo meludah kenapa warna merah(itu darah yang keluar)? nah itu dia kaget. Terus Saya panggi saya punya tante Hj. Nafia. Saya lagi sakit dirumah malamnya ituka saya dibawa ke dr. Nidar diperiksa itu malam. (Rpw, 41 Thn, 2010) Aksessibilitas Alhamdulillah, ya kita tidak merasa susah lagi ke puskesmas (Rpw, 41 Thn, 2010)

Motivasi Berobat Iyya mato, iyya mato biasa mengngerangi minum obat. (Jmr, 21 Thn, 2010) E pertamana nakennaka kurang lebih 2 tahun tapi pertama awal itu keras Nanti setelah itu baru saya rasakan ini betul-betul penyakit ini kenapa batukbatuk saya ini tidak ada berhentinya mungkin sudah parah ya saya punya penyakit. (Rpw, 41 Thn, 2010) Apa puramani mabbene wapparessa (Rsl, 21 Thn, 2010) Sosial Budaya penyakit-penyakit biasami biasa saja. Ada penyakit tahunan kata orang tua. (Rpw, 41 Thn, 2010) Demagaga, yemiro bawang nasuroma mabbura. (Nhs, 21 Thn, 2010) Bansana tetanggae detonajampangiq akku malasaki aga, yapa najampangiki ku maladdei. yeku denamaladde mappaku-mopa biasamopa dessa nanuwegangi. (Spr, 40 Thn 2010) Tetangga dega makkada minder maga, kitapun sendiri degaga. (Rd, 34 Thn, 2010) Orang disini biar natahu penyakitnya tetap juga sama-sama. (Amk, 28 Thn, 2010 Dukungan Keluarga emmakku aga maderri parengerrangika, aja lalo mutella, aja lalo mutella (Jmr, 21 Thn, 2010) Nah itu adik ipar yang lihat saya di WC kok kakak tadi kalo meludah kenapa warna merah(itu darah yang

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


Informan yang menganggap paruparunya sudah bocor, yang disebakan oleh pengaruh rokok dan seringnya keluar malam karena faktor pekerjaan yaitu menjadi teknisi electone. Informan tersebut mengaku dirinya bisa mengkomsusi rokok 4 bungkus perhari sehingga dia menganggap batuk-batuk adalah penyakitnya akibat pengaruh rokok. Pada dasarnya kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulubulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paruparu, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memfagosit bakteri patogen. Penelitian Lin (2010) menyatakan bukti adanya hubungan antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan polusi udara di dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara terhadap risiko infeksi, penyakit dan kematian akibat TB Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian resmi yang mengungkapkan bahwa ada hubungan antara rokok dan TBB, tetapi fakta di lapangan dapat memberikan gambaran bahwa hubungan itu memang ada. Setidaknya prevalensi penderita TB yang berobat di pusat pengobatan TB RS Persahabatan yang punya kebiasaan merokok lebih besar dibandingkan yang tidak. Selain yang menganggap dirinya sakit secara medis ada juga yang menganggap penyakit tersebut karena Guna-guna. Dr Gunawa mengungkapkan, tingginya angka penderita TB disebabkan adanya paradigma lama yang menyebut TB sebagai penyakit keturunan atau penyakit guna-guna, sehingga warga enggan memeriksakan kesehatan. Kalau cerita soal TB ini, masyarakat kita masih berpendapat

Yero je wwatangi afa engkasi kendaraan nafakesi anrikku, alenami aga malakka maderri Bidan Janna (Rsl, 21 Thn, 2010) Yenaro, makawe mua, yemiro bawang afa wettunna ifaressa ku rumah sakit lapai de nulle messu dahakna, jaji isuro lo marronseng.. (Spr, 40 Thn, 2010) Pembahasan Pengetahuan Tentang Istilah Penyakit TB Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Ariani (2009) Susah sembuhnya penyakit TB ini disebabkan banyak faktor di antaranya minimnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB. Hal tersebut sesuai penelitian yang dilakukan oleh Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas, 2009) bahwa faktor pengetahuan mengenai konsekuensi bila berobat tidak selesai mempunyai tingkat asosiasi yang paling tinggi, diikuti dengan riwayat tempat tinggal berpindah. Serta penelitian Yuliharti (2002) Bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan ketidakpatuhan penderita TB berobat. Persepsi Tentang Penyakit TB Persepsi adalah pandangan penderita TB paru yang dihasilkan dari panca indra terhadap petugas TB paru, PMO tentang penyakit TB paru dan keteraturan menelan obat yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien menelan obat TB paru. Hasil wawancara terkait persepsi penderita TB tentang penyakit yang diderita antara lain, penderita TB yang meganggap dirinya paru-paru basah. Efusi pleura/Pneumonia yang biasa disebut paru paru basah adalah penumpukan cairan di rongga pleura. Kelainan bias disebabkan penyakit di paru maupun dari luar paru.

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


(2008) bahwa patuh dan tuntas minum obat adalah salah satu kunci membebaskan diri dari penyakit. Berdasarkan informasi oleh salah seorang informan, bahwa keterlambatan minum obat dikarenakan oleh kekosongan obat yang terjadi di puskesmas Lapai. Hal tersebut dibenarkan oleh programmer TB selaku informan kunci bahwa memang pernah kosong OAT di puskesmas Lapai karena distribusi obat dari kabupaten belum ada. Di puskesmas Lapai pernah kehabisan obat TB ini dikarenakan keterlambatan pendistribusian obat dari Dinkes Kabupaten yang didrop sehingga pasien TB di wilayah kerja Puskesmas tersebut berhenti sampai adanya obat. Obat yang digunakan didalam program pengobatan tuberkulosis paru tidak jarang menyebabkan rasa kurang enak bagi penderita hal ini dapat disebabkan oleh karena banyaknya kombinasi obat yang digunakan atau adanya reaksi alergi terhadap obat. Komariah (2000) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan obat dengan keteraturan berobat Tuberkulosis. Menurut salah satu informan PMO menjelaskan bahwa petugas kesehatan puskesmas Lapai pernah mengistruksikan bahwa pengobatan penderita selama enam bulan. Karena efek samping obat yang terlalu kuat dirasakan oleh penderita TB, maka dia berhenti minum obat atau putus. Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih masa pengobatannya selesai. Banyaknya penderita yang tidak menyelesaikan pengobatannya. Berbagai alasan yang dikemukakan antara lain tidak ada perubahan (sembuh) dan sakitnya bertambah parah. Alasan tersebut melengkapi kenyataan yang telah disebutkan di atas, keterlambatan dimulainya program pengobatan dan faktor penyulit ikut berperan sebagai penyebab pengobatan tidak selesai (Herryanto, 2004).

bahwa penyakit TB merupakan penyakit keturunan atau penyakit guna-guna (dikenna-kenna dengan orang). Padahal TB ini merupakan penyakit menular yang dapat diderita setiap orang. Bawaan, bahkan isunya penyakit ini disebabkan santet atau guna-guna dari orang lain, faktor komunikasi antara penderita dengan kerabat atau orang-ornag dekat, dan malasnya minum obat si penderita dikarenakam waktu yang lama untuk sembuh. Pengalaman Minum Obat Informan yang pernah terlambat minum obat dikarenakan oleh kesibukan pekerjaaan. Kesibukan dialami karena pekerjaan jaga warung makan, yang hampir setiap hari melayani tamu yang mau makan. Sehingga kadang lupa minum obat. Informan lain menyebutkan bahwa dia putus berobat karena faktor kehabisan obat di tempat bekerja yaitu kebun, karena petugas hanya memberikan persediaan obat untuk satu sampai dua minggu. Sedangkan informan tersebut tidak memiliki keluarga/orang terdekat yang dapat mengambilkan obatnya. Jarak kebun dengan akses pelayanan pengobatan pada saat putus berobat sangat jauh yaitu sekitar 30 km dan tidak ada kendaraan yang melewati ketempat tersebut. Prinsip pengobatan yaitu OAT yang diberikan dalam bentuk kombinasi, dilakukan pengawasan langusng (Diretcly Observed Treatment) serta pengobatan melalui dua tahap yaitu yang pertama, tahap intensif dimana pasien mendapatkan obat setiap hari, dan yang kedua, tahap lanjutan yaitu pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama (Depkes RI, 2007). Selain itu, ada informan yang megaku teratur minum obat karena dia mau sembuh. Informan tersebut menjelaskan bahwa dia megalami gejala penyakit tersebut sudah hampir dua tahun sehingga dia merasa penyakitnya sudah parah. Tulisan dalam www.flyfreeforhealth.com

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


ingatan individu mengenai pengalaman dan rangsangan respon konsekuensi. Individu akan termotivasi bila ia memberikan respon pada rangsangan pada pola tingkah laku konsisten sepanjang waktu (Widyatun, 1999). Pengobatan yang dilakukan, bisa saja pemicu orang sekitar yang kemudian mempengaruhi seseorang untuk melakukan pengobatan. Sesuai yang diungkapkan oleh salah satu informan bahwa pengobatan yang dilakukan karena perasaan malu terhadap istrinya pada saat masih awal pernikahannya. Berdasarkan prinsip pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa motivasi dapat menyebabkan individu dapat menerima berbagai konsekuensi, dapat menggerakkan mencapai tujuan tertentu, mau dan rela memberikan tenaga, pikiran, waktu untuk melakukan hal yang menjadi tanggung jawabnya dan dapat memelihara individu mampu bekerjasama dengan lingkungannya. Persepsi Tentang Sosial Budaya Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau nonverbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosial atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottleb dalam Bart, 1994). Persepsi tentang sosial budaya adalah anggapan masyarakat terhadap penderita TB, baik berupa dukungan, motivasi berobat. Menurut informasi yang didapatkan mengenai persepsi penderita terhadap anggapan masyarakat terkait dengan penyakit penderita. Ada masyarakat yang menganggap bahwa penyakit tersebut adalah penyakit tahunan. Apabila seseorang menderita penyakit tertentu, maka hal yang pertama dilakukan adalah melakukan pencarian pengobatan. Seperti anggapan masyarakat

Lamanya penyakit tampaknya memberikan efek negative terhadap kepatuhan pasien. Makin lama pasien mengidap penyakit diabetes, makin kecil pasien tersebut patuh pada pengobatannya (BPOM, 2006). Di puskesmas Lapai pernah kehabisan obat TB ini dikarenakan keterlambatan pendistribusian obat dari dinkes kabupaten yang di drop sehingga pasien TB di wilayah kerja Puskesmas tersebut berhenti sampai adanya obat. Hasil wawancara dengan informan kunci, bahwa orang yang tidak patuh minum obat disebut mangkir. Di wilayah kerja puskesmas Lapai ada beberapa penderita TB yang kurang patuh. Sehingga yang biasa dilakukan oleh petugas kesehatan apabila ada yang mangkir adalah kunjungan. Kalau terlambat 2 sampai 3 hari dahaknya masih negative masih dilanjutkan pengobatannya. Sedangkan apabila sudah satu minggu, maka pengobatan dilakukan dari awal. Motivasi Berobat Motivasi merupakan suatu hal yang berasal dari internal individu yang menimbulkan dorongan atau semangat untuk proses pengobatan. Penderita diwilayah puskesmas Lapai melakukan ketika penyakit yang dirasakan sudah parah baru melakukan pengobatan. Ini berarti motivasi atau dorongan untuk berobat dari tingkat keparahan penyakit. Beberapa informan menjelaskan bahwa mereka melakukan pengobatan karena ingin sembuh dan menganggap penyakitnya sudah parah. Bahkan salah satu informan menderita penyakit TB kurang lebih 2 tahun. Kemauan untuk berobat bukan datang dari penderita TB, melainkan dari keluarganya yang melihat penderita yang sudah parah dan perlu pengobatan. Informan lain menjelaskan bahwa yang biasa mengingatkan minum obat adalah dirinya sendiri. Sehingga ketika ditanya motivasi berobat, maka jawabannya saya sendiri. Penguatan yang menyangkut

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


negeri dan lain-lain. Sehingga informasi tentang penyakit susah didapatkan. Penyuluhanpun jarang dilakukan kepada masyarakat tentang penyakit, utamanya penyakit TB. Dukungan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Bentuk perhatian keluarga terhadap penderita adalah menemani selama proses pengobatan. Sehingga memunculkan motivasi untuk lebih giat berobat. penelitian Basaria Hutabarat (2007) menemukan pengaruh peran keluarga terhadap kepatuhan minum obat penderita Kusta di Kabupaten Asahan. Informan penderita menjelaskan bahwa mereka biasa diberikan dukungan dari keluarga, baik orang tua maupun saudaranya selama proses pengobatan. Bahkan ketika lupa minum obat dan berada ditempat kerja, kadang orang tuanya yang memabawakan. Sedangkan penderita lain mengungkapkan bahwa sebenarnya dia tidak mau memeriksakan kesehatannya, namun karena didapatkan batuk bercampur darah pada malam hari oleh adiknya maka penderita langsung dibawa ke tempat salah satu tempat praktek dokter di Kecamatan Ngapa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zanani (2009) bahwa dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh penderita TB serta dapat menentukan tingkat kepatuhan. Peran PMO Peran PMO yang diukur meliputi penyuluhan kepada keluarga penderita, memberi dorongan untuk berobat, mengingatkan penderita berobat dan memeriksakan dahaknya pada waktu yang telah ditentukan dan mengawasi penderita menelan obat. Penderita TB dan PMO tidak tahu mengenai Pengawas Minum Obat sehingga ketika dimintai jawaban mengenai peran

kepada salah satu penderita TB bahwa penyakit tersebut tidak menjadi masalah dan memberikan dukungan untuk berobat. Dukungan yang diterima oleh pnederita adalah bentuk interaksi dengan masyarakat yang cukup baik. Dukungan sosial dan pengaruh kebiasaan dalam masyarakat terhadap penyakit juga menjadi suatu faktor yang penting yang mempengaruhi ketaatan. Menurut salah satu informan PMO mengenai dukungan masyarakat yang terhadap penderita, menganggap bahwa masyarakat sekitar atau tetangga tidak terlalu peduli terhadap penderita. Masyarakat atau tetangga sekitar baru memberikan perhatian apabila sakit yang diderita sudah parah. Beberapa faktor yang menjadi masyarakat sekitar tidak peduli terhadap penderita TB yaitu kurangnya sosialisasi serta komunikasi dengan masyarakat sekitar. Jarangnya tinggal bermasyarakat menjadi salah satu faktor masyarakat kurang menerima kehidupan sosial penderita. Sehingga dukungan untuk penderitapun tidak ada. Informan lain menjelaskan bahwa penderita mendapatkan dukungan dari masyarakat atau tetangga untuk melakukan pengobatan. Bahkan merekan tidak pernah mendapatkan stigma tentang penyakit yang diderita oleh penderita TB. Ini bukti bahwa kehidupan bermasyarakat penderita TB cukup baik dimata masyarakat sekitar atau tetangganya. Hal yang diugkapkan oleh informan kunci bahwa masyarakat tidak terlalu peduli tentang penyakit yang diderita. Karena sebagian masyarakat kurang tahu mengenai penyakit tersebut. Sehingga mereka tetap bergaul meskipun penyakit tersebut menular. Masyarakat Kecamatan Ngapa pada umumnya bekerja sebagai petani, sehingga pada pagi hari sampai sore hari kebanyakan berada dikebun. Hanya sebagaian kecil yang berprofesi selain petani yaitu guru, pegawai

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita tuberkulosis paru adalah pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendapatan, jarak pelayanan dan dukungan Pengawas Mimum Obat (PMO). Kesimpulan 1. Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor intrinsik ketidakpatuhan berobat penderita TB adalah: a. Pengetahuan yang dimiliki oleh informan tentang penyakit TB yaitu semua informan penderita TB dan PMO tidak ada yang tahu yang dimaksud dengan TB. b. Pengalaman ketidakteraturan minum obat karena efek samping obat yang biasa menjadi pemicu putusnya berobat, faktor kesibukan dalam bekerja. c. Motivasi berobat yang dimiliki oleh penderita berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yang menjadi alasan untuk melakukan pengobatan. 2. Sedangkan yang menjadi faktor ekstrinsik ketidakpatuhan berobat penderita TB adalah: a. Peran PMO di wilayah kerja Puskesmas Lapai, sesuai yang diungkapkan oleh informan kunci sehingga kadang lupa mengambil obat dan jarang mengingatkan penderita TB minum obat. b. Aksessibilitas dalam pengobatan kesehatan sangat dipengaruhi oleh jarak tempat pekerjaan, tidak adanya obat dan akses pelayanan kesehatan menjadi pemicu terlambat minum obat. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu,. 1997. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Ariani, Andi. 2010. Dinkes Temukan 45 Penyakit TB. http://www.metrobalikpapa.co.id . (diakses, 4 Januari 2011)

PMO mereka tidak tahu. Pengetahuan tentang PMO sama dengan pengetahuan tentang TB yaitu ketidak tahuan terhadap hal tersebut. Sehingga ketika berikan pertanyaa mengenai yang biasa mengambil obat di Puskesmas, mengingatkan minum obat, jawabannya ada yang berbeda. Penderita yang mengatakan bahwa yang biasa mengingatkan atau mengambil obat adalah kakak. Satu informan mengatakan bahwa istrinya atau petugas kesehatan yang biasa langsung membawakan kerumahnya. Dari hasil wawancara dengan informan menyebutkan bahwa yang biasa mengambil obat serta memberikan dukungan berobat adalah keluarga. Karena ketidakpahaman informan mengenai PMO sehingga mereka hanya menjelaskan dukungan keluarga dalam proses pengobatan. Menurut informan kunci bahwa memang di kartu kontrol ada tertulis PMO namun mereka tidak berperan sebagaimana tugas dari PMO atau kurang patuh karena kasibukan PMO sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ubaidillah (2001), bahwa penderita yang mempunyai PMO anggota keluarga mempunyai resiko lebih kecil untuk tidak teratur berobat serta peran PMO memiliki hubungan terhadap kepatuhan berobat penderita TB. Aksessibilitas Pendapat tentang akses pelayanan kesehatan beragam. Satu informan yang menganggap bahwa tidak terlalu susah lagi kalau mau berobat dipuskesmas. Dan penderita yang satu menganggap bahwa faktor jarak kebun sehingga susah untuk mendapatkan obat, padahal obat sudah tersedia. Pada dasarnya semakin jauh jarak menuju unit pelayanan kesehatan maka semakin rendah keomversi dahaknya. Menurut Rizkiyani (2008) jarak merupakan salah satu penyebab penderita tidak menyelesaikan pengobatannya. Sedangkan hasil penelitian Heriyono (2004), faktor-

No. 01
Badan

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


Gerdunas TB,. 2010. Situasi Epidemiologi Di Indonesia. http://www.TBindonesia.or.id (diakses 19 Oktober 2010) Handayani, Budi, Vynna,. 2009. Gambaran Asupan Zat Gizi Makro Dan Status Gizi Pada Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Inap Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Program Studi Diploma III Gizi FKM Universitas Muhammadyah Surakarta.http://etd.eprints.ums.ac.id (diakses: 19 Oktober 2010) Hendrawati, Ari, Pratiwi,. 2008. Hubungan Antara Partisipasi Menelan Obata (PMO) Keluarga Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuanyar Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id (diakses 19 Oktober 2010) Heriyono,. 2004. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Melakukan Pemeriksaan Ulang Dahak Pada Akhir Pengobatan Tahap Intensif Di Puskesmas Wonosobo I Kabupaten Wonosobo. http:// (diakses 12 November 2010). Irawan, Panji, H. 2010. Tuberkulosis. https://panji1102.wordpress.com/ (diakses, 7 Februari 2010) Kementerian Kesehatan Nasional. 2009. Pengendalian Tuberkulosis Salah Satu Indikator Keberhasilan Pencapaian Mdgs. http://www.depkes.go.id (diakses: 2 Oktober 2010) Laxminaraya, Ramanan, dkk,. 2007. Economic Benefit Of Tuberculosis Control. The World Bank Human Development Network Health, Nutrition & Population Team. http://www.who.int (diakses:26 Oktober 2010)

Perencanaan Pembangunan Nasional,. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian MDGs Indonesia. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. http://undp.or.id (diakses: 19 Otober 2010)

Basaria H. 2007. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap kepatuhan minum obat penderita Kusta di Kabupaten Asahan. http.//library.usu.ac.id.disitasi 22/7/2008 BPOM RI,. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting Dalam Keberhasilan Terapi. http://perpustakaan.pom.go.id (diakses: 19 Oktober 2010) Bungin, Burhan,. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Rajawali Pers: Jakarta Depkes RI,. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Depkes RI, 2009. Pengendalian Tuberkulosis Salah Satu Indikator Keberhasilan Pencapaian MDGs. http://www.depkes.go.id (diakses 19 Oktober 2010) Depkes RI,. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara. http://www.depkes.go.id (diakses 19 Oktober 2010) Djitowiyono, Sugeng Dan Jamil, Akhmad,. 2008. Hubungan Pendekatan Strategi Dots (Direcly Observed Treatment Short Corse Strategy) Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kalasan Sleman 2008. http://www.skripsistikes.wordpress.c om (diakses: 19 Oktober 2010)

No. 01
Lin. 2010. Rokok Penyebab http://www.perempuan.com. (diakses, 4 Januari 2011)

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku


TB. Sudoyo, W, Aru, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta Ubaidillah,. 2001. Faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita TB Paru di Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan. FKM UI. http://www.diglib.ui.ac (diakses: 12 November 2010) WHO,. 2004. Analisis Lanjut Survay Prevalency Tuberculosis 2004 Infestigasi Faktor Lingkungan dan Faktor Resiko Tuberkulosi Indonesia. http://whoindonesia.healthrepository .org (diakses: 19 Oktober 2010).

LPMAK. 2009. Kasus TB Terus Meningkat. http://www.lpmak.org (diakses: 8 Oktober 2010) Ngatimin, Rusli. 2005. Sari Dan Aplikasi Ilmu Perilaku. Kesehatan. Makassar: Yayasan PK-3 Niven Neil, 2002. Perlaku Kesehatan, Dalam : Psilokogi Kesehatan. Edisi ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo,. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Okezone. 2008. Patuh Obat, TB Sembuh. http://www.flyfreeforhealth.com (diakses, 4 Januari 2011) Purnami, Mediana, Grace,. 2002. Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Terjadinya DO Pada Penderita TB Paru di Kabupaten Bandung Tahun 2001. FKM UI. http://www.diglib.ui.ac (diakses: 12 November 2010). Puskesmas Lapai, 2010. Laporan Bulanan Program P2TB Paru tahun 2010. Sarjan,. 2010. Pengembangan Sistem Informasi Program Tuberkulosis (TB) untuk mendukung evaluasi program penanggulangan Penyakit TB Di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. http://eprints.undip (diakses 19 Oktober 2010) Smet, Bart,. 1994. Psikologi Kesehatan. P.T. Grasindo: Jakarta Snider, E, Dixie. and Roper, L, William. 1992. The New Tuberculosis. http://www.nejm.org The New England Journal Of Medicine (diakses: 26 Oktober 2010)

WHO,. 2010. Global tuberculosis control: a short update to the 2010 report. http://www.who.int (diakses: 25 Januari 2011) Widyatun, R. 1999. Ilmu Perilaku: Jilid I. Jakarta: Sagung Seto. Farmasiku. 2010. Tips Meningkatkan Kepatuhan Penderita TB. http://www.farmasiku .com. (diakses, 5 November 2010) Yuanasari, Ratih,. 2009. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dan Kepatuhan Pada Pasien Dewasa Dengan Diagnosa Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Mantingan Ngawi Periode Februari - April 2009. (Skripsi) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac (diakses 19 Oktober 2010). Yuliharti, Atik. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidakpatuhan Memeriksakan Dahak Pada Akhir Fase Intensif Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Kota Sukabumi Tahun 2002.

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku

Zanani, Mayasari, 2009. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru Di Puskesmas Torjun Kabupaten Sampang. Airlangga University. http://adln.lib.unair.ac.id . (diakses 25 Januari 2010)

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku

STUDI KETIDAKPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAPAI KECAMATAN NGAPA KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2010 Arfandi1, Muh. Syafar2, Mappeaty Nyorong3
Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, 2Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, 3Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.
1

Abstrak Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia menempati urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam masalah Tb Paru di dunia. Tingginya jumlah tersebut berkaitan dengan masalah penanggulangan Tb yang sangat kompleks. Salahsatu masalah yang krusial yaitu rendahnya tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan, dilain pihak kepatuhan merupakan faktor determinan untuk menentukan keberhasilan pengobatan Tb. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan sosial ketidakpatuhan berobat terhadap penderita Tb di Wilayah kerja Puskesmas Lapai Kecamatan Ngapa Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara Tahun 2010. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Penentuan informan dengan menggunakan kriteria informan. Sehingga diperoleh jumlah informan sebanyak 8 orang. Pengumpulan data/informasi berupa wawancara, dan untuk keabsahan data dilakukan triangulasi data dan metode. Proses wawancara dilakukan dengan melibatkan petugas kesehatan untuk mengenalkan peneliti dengan informan penderita Tb dan PMO. Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis isi (Content Analysis) dan disajikan dalam bentuk naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat kepercayaan masyarakat mengenai penyakit yang disebabkan oleh Guna-guna (Ipakennai), sehingga pencarian pengobatan yang pertama dilakukan adalah berobat dengan pengobatan alternative (sanro/to macca). Cenderung penderita Tb tidak disebut dengan penyakit TB/TBC melainkan penyakit lain seperti penyakit tahunan, batuk biasa, dan paru-paru basa. Ini berarti masih ada stigma terhadap penyakit ini dalam masyarakat. Studi ini diharapkan sebagai acuan untuk membuat program intervensi dalam meningkatkan kepatuhan berobat penderita Tb. Dengan mempertimbangkan nilai sosial budaya masyarakat.

No. 01

Jurnal Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku

You might also like