You are on page 1of 17

Bab I PENDAHULUAN

A.Latar belakang Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan peperangan lebih adri 50% dari cedera kapitis terjadi kaena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan.(1) Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada cedera. (2) Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan. (1,2) Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan intraserebral dan laserasi serebri. Dengan isitilah komosio dan kontusio masalah gangguan kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah massa yang pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli bedah saraf. (1,2,3,4,5) Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah somnolen, sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan penilaian yang bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya perbedaan penilaian antara pemeriksa yang satu dengan yang lain. (2) 1

Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan kesadaran yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka penilaian gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera kepala, penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang peran utama. (2) Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan secara singkat dalam makalah ini. (2) B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah supaya dapat memberikan gambaran akibat cedera kepala dan cara penatalaksanaannya, sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri kelak nanti bila sedang bertugas sebagai seorang dokter.

Bab II PEMBAHASAN 2

A.

CEDERA KEPALA DAN AKIBATNYA Pada trauma kapitis bisa terjadi (1) : 1. Fraktur linier 2. Fraktur stelatum 3. Fraktur impresi ataupun tidak terdapat apa-apa. Hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Akibat trauma kapitis dengan berbagai sebab dapat menyebabkan:(4) 1. Pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak menunjukkan kelainan apapun. 2. Pingsan beberapa jam, kemudian menunjukkan gejala-gejala organic brain syndrom untuk sementara waktu atau 3. Pingsan lama, lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik 4. Kematian. Secara umum, cedera kepala mudah dibedakan menjadi cedera terbuka dan tertutup. Untuk jenis yang tertutup, dapat disertai atau tidak disertai impact. Sebagai akibat dari cedera tersebut otak dapat mengalami cedera, yang secara klinis dibedakan menjadi (2) :

A. B.

Cedera otak primer Cedera otak sekunder Cedera Otak Primer (2) Dengan istilah primer diartikan bahwa cedera yang ada benar-benar timbul pada saat terjadinya cedera. Termasuk dalam kelompok ini adalah : 1. Cedera Otak Fokal 2. Cedera Otak Difus. 1. Cedera Otak Fokal

Pada cedera otak fokal ini, secara makroskopis terlihat adanya lesi fokal yaitu : a. Perdarahan Epidural Akut b. Perdarahan Subdural Akut c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral a. Perdarahan Epidural Akut Hematom terdapat di luar durameter, kebanyakan di daerah temporal dan temporo-parietal, sebagai akibat dari pecahnya vasa meningea media, dimana pada 2/3 kasus berasal dari arteri dan 1/3 kasus lainnya berasal dari vena. Kadang-kadang juga berasal dari sinus venous terutama di daerah parieto-oksipital dan daerah fossa posterior. Meskipun perdarahan epidura ini relatif jarang terjadi (0,5 % dari keseluruhan cedera kepala dan 9 % dari cedera kepala yang disertai koma), tetapi bila ada dan segera dilakukan tindakan operasi, prognosisnya sangat baik. Ciri khas pada hematom epidural adalah terdapatnya lucid interval antara saat terjadinya cedera dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. (1) Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (lateralisasi). (1)

Gambar I. Perdarahan Epidural b. Perdarahan Subdural Akut Jenis perdarahan ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan perdarahan epidura. Didapatkan pada 30 % kasus cedera kepala berat oleh karena pecahnya bridging vein. Perdarahan ini dapat disertai atau tanpa disertai adanya fraktur tulang kepala. Oleh karena letak hematom di bawah durameter maka jaringan otak di bawahnya biasanya juga mengalami kerusakan, sehingga prognosisnya lebih jelek bila dibandingkan dengan perdarahan epidura. (2) Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan dari hematom epidural, prognosisnya lebih jelek secara klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia. (1)

Gambar 2. Perdarahan Subdural

c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral Sering terjadi di lobis frontalis dan lobus temporalis meskipun juga dapat terjadi di serebelum dan batang otak. Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat gambaran salt-and-pepper yaitu adanya bercak-bercak hiperdens pada daerah hipodens (daerah udemateus).

Gambar 3. Perdarahan Intracerebral 2. Cedera Otak Difuss Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara mikroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang tak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.

Percobaan di laboratorium membuktikan bahwa benturan langsung (impact) bukan merupakan syarat untuk terjadinya cedera difus ini, tetapi justru proses ekselerasi-deselerasilah yang lebih banyak menyebabkan kerusakan difus pada akson. Bukti-bukti yang terakhir menunjukkan bahwa nodus Renvier sebagai bagian yang paling rawan pada struktur akson akan mengalami regangan (stretching) dan puntiran (twisting) pada setiap proses ekselerasideselerasi. Keadaan ini selanjutnya akan diikuti beberapa proses toksik yang pada akhirnya menyebabkan masuknya ion Ca secara berlebihan. Kerusakan ini bersifat reversibel selama akson mampu mengatasi influk ion Ca yang berlebihan ini. Regangan yang berlebihan juga akan merusak sitoskeleton dan mengganggu transport yang bersifat menetap yang pada akhirnya menyebabkan transport pada akson berhenti total. Pada pemeriksaan patologi anatomis lesi ini akan terlihat sebagai axonal retraction ball yang tampak sesudah 12-72 jam. Pada keadaan yang berat proses ekselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. (1) Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat berupa (4,6) : 1. Konkusi ringan Pada keadaan ini didapatkan adanya gangguan fungsi neurologis yang sifatnya sementara misalnya amnesia, sedang penderita tetap sadar. Karena ringannya gambaran klinis yang ada, meskipun banyak terjadi, kerapkali luput dari perhatian. Yang paling ringan berujud bingung (confuse) sedang pada yang lebih berat berujud bingung dengan amnesia retrograd maupun amnesia post-cederatika. 2. Konkusi klasik 7

Pada keadaan ini bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, yang akan membaik kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Sebagian besar kasus tidak memberikan gejala sisa kecuali hanya berupa amnesia yang berkaitan dengan cederanya, meskipun ada juga yang disertai defisit neurologik yang sangat ringan. 3. Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = DAI) Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang iskhemik. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus. Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi : a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan. b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %. c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat. Cedera Otak Sekunder
(2)

Dengan istilah sekunder diartikan bahwa cedera yang ada, terjadi setelah cedera berlangsung, jadi merupakan akibat dari adanya cedera otak primer. Cedera otak sekunder dapat timbul setiap saat, jadi ada yang datangnya awal, tetapi juga dapat timbul beberapa waktu kemudian setelah cedera. Sebagai contoh tekanan intrakranial yang meninggi dapat terjadi segera sesudah ada perdarahan subdura, tetapi dapat pula timbul belakangan yaitu setelah terbentuk edema (swelling).

Dari penelitian Graham dkk 1978 terbukti bahwa otopsi dari 151 kasus cedera kepala yang sebelumnya telah mendapat penanganan secara modern dan intensif, ternyata lebih dari 80 % menunjukkan adanya gambaran iskhemi. Iskhemik ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti terlihat pada tabel berikut ini :
SYSTEMIC Hypoxaemia Arterial hypotension Hypercarbia Pyrexia Hyponatremia Anemia Diffuse intravascular coagulopathy INTRACRANIAL Haematoma (EDH, SDH, ICH) Brain swelling/oedema Intracranial hypertension Cerebral vasospasm intracranial infection Epilepsy

Oleh karena cedera otak primer merupakan keadaan yang sudah terjadi, dalam penatalaksanaannya nantinya tidak ada tindakan lain kecuali hanya mengatasi. Sebaliknya untuk cedera otak sekunder karena ini merupakan komplikasi dari cedera otak primer maka harus diusahakan pencegahannya.

B. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA SECARA KLINIS Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi : 1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I) GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah. 2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II) GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal. Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana. 3. Cedera kepala berat. GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi batang otak.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain. Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (= M) dan respon verbal (= V). Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja. Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Eye opening (E) Spontaneous To call To pain None Motor response (M) Obeys commands Localizes pain Normal flexion (withdrawal) Abnorma flexion (decoraticate) Extension (decerebrate) None (flaccid) 4 3 2 1

6 5 4 3 2 1

Verbal respons (V) Oriented 5 Confused conversation 4 Inappropriate words 3 Incomprehensible sounds 2 None 1 * GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3

10

C. PENATALAKSANAAN Sudah disinggung di depan bahwa penatalaksanaan cedera kepala pada garis besarnya ditujukan pada 2 masalah pokok yaitu : (1,2,3,5,6) 1. Mengatasi cedera otak primer 2. Mencegah terjadinya komplikasi berupa cedera otak sekunder. Berdasarkan gambaran klinisnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka penatalaksanaannya adalah sebagai berikut : A. Penatalaksanaan cedera kepala ringan 1. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cedera sistemik. 2. Pemeriksaan neurologis. 3. Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar alkohol, pemeriksaan urine. 4. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengatahui a. Ada tidaknya fraktur (linear, depresi) b. Ada tidaknya fraktur facialis c. Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami perkapuran) d. Permukaan udara-cairan dalam sinus e. Ada tidaknya pneumosefalus f. Ada tidaknya benda asing Perlu diketahui bahwa fraktur pada kalvaria didapatkan tiga kali lebih banyak daripada fraktur dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sendiri jarang sekali terlihat pada foto polosnya, sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan tanda-tanda yang ada berupa hematom pada mata, rhinorrhea, otorrea, hemotimpanum. 5. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal dan lain-lain bila memang diperlukan. 6. Pemeriksaan CT-scan Idealnya dilakukan pada semua pasien. Bila pada pemeriksaan awal tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan ulang beberapa jam kemudian adakalanya nampak gambaran suatu massa.

11

Tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapat, pasien dengan cedera kepala ringan dapat dipulangkan atau dapat pula dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan antara lain bila (1,2) : 1. 2. 3. 4. 5. Ada amnesia post-cedera yang berlangsung lebih dari 1 jam. Ada riwayat kehilangan kesadaran. Ada fraktur kepala Ada otorrhoea atau rhinorrhoea Ada kelainan pada pemeriksaan CT-scan-nya. Pasien yang dapat dipulangkan, diberikan suatu lembaran peringatan (warning sheet), yang didalamnya tercantum sejumlah gejala dan tanda yang bila sewaktu-waktu nanti timbul hendaknya yang bersangkutan segera kembali ke dokter atau ke rumah sakit. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah : 1. Ada mual dan muntah 2. Timbul sakit kepala yang hebat 3. Bila timbul kejang 4. Bila nadi sangat lambat atau sangat cepat 5. Bila keluar darah atau cairan dari hidung atau telinga. B. Penatalaksanaan cedera kepala sedang Pasien dengan cedera kepala sedang meskipun masih dapat mengikuti/menuruti perintah, dapat dengan cepat masuk ke dalam yang lebih berat yaitu derajat III. Oleh karena itu dalam penanganannya harus dipikirkan kemungkinan tersebut. Urutan pemeriksaannya adalah seperti pada cedera kepala ringan, hanya saja pemeriksaan CT-scan di sini harus dikerjakan sesegera mungkin. Meskipun pada pemeriksaan CT-scan tidak ditemukan adanya kelainan, pasien harus tetap dirawat untuk keperluan observasi. Pengobatan medikamentosa : 1. Decardon (deksametason) 2. Antikonvulsan : bolus 10 mg i.v, disusul 4 mg tiap 6 jam. : bolus 500 mg i.v. dalam 10 menit disusul dengan 100 mg tiap 8 jam selama 1 tahun C. Penatalaksanaan cedera kepala berat 12

Pada pasien ini penatalaksanaannya dibagi dalam 7 tahapan yaitu : A. Stabilisasi Kardiopulmoner Yang perlu diketahui disini adalah : a. Pada pasien dikerjakan intubasi (Pemasangan endotracheal tube) dan jika perlu dikerjakan trakheotomi, kemudian dilakukan hiperventialsi sampai pCO2 = 25-30 mmHg, untuk menurunkan tekanan intra kranial. b. Dijaga agar jangan sampai terjadi hipotensi. Hipoksia dan hipotensi merupakan keadaan yang sangat membahayakan otak. Hipotensi sendiri sebenarnya bukan bersumber pada otak (kecuali pada stadium terminale dimana batang otak terganggu), melainkan berasal dari sebab lain yaitu dari adanya perdarahan, baik perdarahan yang nampak maupun yang tidak nampak (lihat tabel 3). Pemberian transfusi harus segera dilakukan bila Hb kurang dari 10 (Ht = 30). Penyebab lain adalah mungkin karena adanya gangguan medula spinalis (dengan tetraplegi atau paraplegi), kontusi jantung, tamponade dan pneummothorax. c. Pemasangan catheter. Pada pasien dipasang Foley catheter dan nasogastric-tube (double lumen plastic catheter). d. Pemeriksaan radiologik : servikal, thoraks, kepala, abdomen, pelvis, ekstremitas. B. Pemeriksaan umum Pemeriksaan ini meliputi : a. Kepala/leher b. Thorax c. Abdomen d. Pelvis e. Vertebra : cedera limpa, hepar, ginjal : perdarahan : cedera servikal biasanya menyertai cedera kepala.

C. Pemeriksaan neurologik 13

Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan : a. GCS b. Refleks pupil Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis bilateral. c. Gerak bola mata : Oculocephalic (dolls eyes) Oculovestibular (Calorics)

d. Pemeriksaan motorik e. Pemeriksaan sensorik D. Penatalaksanaan cedera-cedera yang lain E. Penentuan terapi Tujuan : 1. Mencegah naiknya tekanan intrakranial. Dapat memberikan : a. b. Deksametasone (masih kontroversial) Mannitol

2. Mencegah terjadinya bangkitan kejang Dapat diberikan : Phenytoin. F. Prosedur diagnostik Termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan : a. Ventrikulografi b. Arteriografi c. CT-Scan G. Penentuan perlu tidaknya tindakan bedah saraf Bila terdapat midline shift sebesar 5 mm atau lebih, perlu tindakan bedah saraf.(2)

14

Dengan tanpa melupakan sifat otak yang kurang menguntungkan dan mengacu kepada tindakan operasi, maka kita dapat menentukan indikasi pertolongan bedah pada kasus cedera kapitis. (6) Cedera tertutup 1. 2. 3. 4. 5. Fraktur impresi Perdarahan epidural Perdarahan subdural Perdarahan intraserebral Operasi dekompresi misal kontusio berat atau edema.

Cedera terbuka 1. 2. 3. 4. 5. Perlukaan kranioserebral Liquorhoea Pneumoencephalik Corpus alienum Luka tembak

Bab III RINGKASAN

Telah dibicarakan akibat cedera kepala terhadap otak, yang dibedakan menjadi cedera otak primer dan sekunder. Penanganan penderita dengan cedera kepala pada garis besarnya adalah sebagai berikut : 1. Tentukan ada tidaknya cedera otak primer yang memerlukan tindakan bedah saraf. Untuk keperluan ini pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan pilihan. 2. Penderita cedera kepala yang tidak memerlukan tindakan bedah saraf dan juga yang telah menjalani pembedahan harus dijaga agar tidak timbul komplikasi

15

berupa cedera otak sekunder yang berdasarkan penelitian Graham dkk. disebabkan oleh faktor iskhemik. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan iskhemi otak tersebut telah dilampirkan dalam masalah ini. 3. Pengobatan medikamentosa yang dianjurkan adalah Mannitol, sedangkan kortikosteroid masih kontroversial.

DAFTAR PUSTAKA

1. M. Nurjanto, Manajemen Cedera Kepala, dalam Kedaruratan Neurologi, Kumpulan Makalah Utama Temu Regional Neurologi XI Jateng dan DIY, Yogyakarta, 1994, hal. 1-11. 2. R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, Cedera Kepala, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997. 3. R. Cambell Connoly, Cedera Kapitis 4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Cedera Kapitis dalam Buku Ajar Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1978.

16

5. Sabiston, Penatalaksanaan Orang Cedera Akut Cedera Kapitis dan Medula Spinalis, Buku Ajar Bedah, Bagian pertama, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1995. 6. R.M. Padmo Santojo, Daryo Sumitro, Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala, Bagian Bedah Saraf FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, 1999.

17

You might also like