You are on page 1of 7

Laporan Kasus Abses Peritonsiler Bilateral : Sebuah Presentasi Kasus dan Ulasan Berdasarkan Literatur terbaru Mengenai Kontroversi

Diagnosis dan Terapi G. X. Papacharalampous, P. V. Vlastarakos, G. Kotsis, D. Davilis, and L. Manolopoulos

Meskipun abses peritonsilar unilateral merupakan komplikasi yang sering terjadi dari tonsillitis bakterial akut, akan tetapi abses peritonsilar bilateral sangat jarang terjadi. Insidensi dari abses peritonsiler kontralateral yang sebelumnya tidak diduga dan ditemukan dari tonsilektomi kurang lebih sebesar 1,9% dan 24%, sedangkan insiden abses peritonsiler bilateral secara keseluruhan dilaporkan mencapai 4,9%. Diagnosis ditegakkan berdaasarkan kriteria klinis atau pemeriksaan radiologis. Sejauh ini, penanganan dari penyakit ini difokuskan pada

pengobatan yang secara umum diterima sebagai strategi dasar yaitu dengan menggunakan antibiotik sistemik dan drainase dari pus. Kami melaporkan sebuah kasus yaitu seorang anak perempuan berusia 19 tahun yang dirawat di ruang gawat darurat untuk dilakukan aspirasi jarum halus bilateral diikuti dengan incisi bilateral dan drainase dengan klindamisin dan agen antiinfamasi serta hidrasi. Setelah pengobatan, pasien akan dievaluasi mengenai odinofagi yang dialaminya. Pengobatan dengan klindamisin diteruskan hingga 10 hari kemudian. 1. Pendahuluan Abses peritonsilar (PTA) merupakan kumpulan dari material purulen yang biasanya terbentuk dari bagian luar kapsul tonsilar dekat dengan kutub superior. Material tersebut terbentuk paling sering sebagai komplikasi dari tonsilitis akut, ketika infeksi menyebar dari kripta hingga jaringan ikat longgar peritonsilar alveolar. Sebagian besar berada di daerah kutub bagian atas dan melibatkan palatum mole, material ini akan mendorong tonsil ke arah depan dan melewati garis tengah. Kondisi ini biasanya terjadi unilateral dan sebagian besar menyerang laki-laki muda dengan perbandingan 2:1. Selama 10 tahun ( 1999-2009), rasio laki-laki dengan perempuan mencapai 100: 63 (gambar 1), dengan mayoritas kasus yang berhasil didiagnosa berada di usia antara 20 hingga 40 tahun (gambar 2).

Abses peritonsilar diyakini menjadi bagian dari modalitas klinik yang berkembang dari tonsilitis akut ke elulitis peritonsilar hingga akhirnya menjadi abses peritonsilar. Gejala yang seringkali muncul adalah hidung tersumbat, odinofagia (biasanya unilateral), disfagia, otalgia, trismus, air liur yang terus menetes, dan demam tinggi. Diagnosis seawal mungkin dengan drainase abses merupakan pencegahan penting untuk menghindari terjadinya perforasi ke ruang parafaring atau retrofaring dan selanjutnya menyebar sepanjang pembuluh darah leher ke mediastinum dan dasar tengkorak. Jika penanganan tersebut terlambatan, kemungkinan dapat terjadi aspirasi dan obstruksi jalan nafas bagian atas yang buruk karena odema laring atau epiglotis. Metode yang dipilih dalam melakukan drainase sangatlah bervariasi dan terapi definit pilihan dan sesuai untuk abses peritonsilar masih menjadi kontroversi. Pada umumnya, terapi

pilihan yang digunakan meliputi aspirasi jarum halus, incisi, dan drainase, tonsilektomi, antibiotik intravena, dan terapi steroid. Meskipun abses peritonsilar unilateral merupakan komplikasi yang sering terjadi dari tonsilitis bakterial akut, tetapi abses peritonsilar bilateral jarang terjadi. Keseluruhan insiden dari PTA bilatera dilaporkan mencapai 4,9%. Pada kasus PTA bilateral, abses kontralateral yang tidak diduga sebelumnya ditemukan selama tonsilektomi. Insidensi dari abses peritonsiler kontarlateral yang tidak diduga dan dilaporkan ditemukan pada tonsilektomi mencapai antara 1,9% dan 24%. 2. Laporan Kasus Sebuah perempuan berusia 19 tahun yang dirawat di departemen gawat darurat dengan riwayat 6 hari mengalami odinofagia berat, sakit di kedua telinga, kesulitan menelan cairan, merasa demam, dan trismus berat. Meskipun klaritromisin oral telah diresepkan kepadanya, gejalanya semakin menunjukkan perburukan setelah 24 jam kemudian. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan eritem difus yang luas pada palatum mole dan uvula, dengan pembengkakan yang prominen dan benojan pada garis tengah (gambar 3). Tidak tampak adanya tanda dari obstruksi saluran nafas atas pada endoskopi fiberoptik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan yang signifikan dari sel darah putih, elektrolit dalam batas normal, dan tidak ditemukan monosit. Pada pasien juga ditemukan benjolan pada palatum mole yang simetris,pasien tersebut kemudian ditangani di ruang gawat darurat dan dilakukan pemeriksaan diagnostic dengan

aspirasi jalum halus (ukuran yang digunakan 10) kemudian selanjutnya dilakukan incise bilateral dan drainase (gambar 3). CT tidak menunjukkan diagnosa dengan jelas. Meskipun abses peritonsilar bilateral sangat jarang didiagnosa, tetapi hal tersebut masuk diperhitungkan bahwa tonsilitsi banyak terjadi pada sebagian kasus dan bilateral. Oleh karena itu perkembangan ke arah selulitis peritonsilar atau abses cukup mungkin terjadi seperti pada kasus ini. Perkembangan akhir tergantung dari kondisi fisik pasien dan respon sistemik terhadap infeksi , bentuk terapi yang diberikan dokter bedah pada orofaring dan pengobatan medis utama, khsusunya dengan antibiotik. Pada kasus kami, pasien diterapi dengan klaritromisin selama 5 hari sebelum dia dirawat inap dan juga mengalami dehidaris berat dan malnutrisi selama kurang lebih 1 minggu, karena odinofagia yang berat. Fakta ini dapat mempengaruhi riwayat pemeriksaan fisik dari penyakit ini sehingga diagnostik ini ditegakkan meskipun sangat jarang. Pus yang berbau didrainase dari masing-masing abses dan dikirimkan untuk dilakukan kultur baik aerob maupun anaerob dan dilakukan pemeriksaan terhadap snesitivitas antibiotik. Dari kultur aerob tumbuh sedikit Streptococcus alfa hemolyticus, Streptococcus beta hemoliticus (bukan grup A atau B), Staphylococcus aureus yang jarang, dan Candida albicans yang jarang. Pada kultur anaerob tumbuh Pretvotella melaninogenica beta lactamase positive dan beta lactamase positive lainnya, anaerob, dan gram negatif. Tidak ditemukan organisme yang resisten terhadap penisilin. Pasien dirawat di klinik kami dan diterapi dengan klindamisin intravena dan dikombinasikan dengan agen antiinflamasi dan hidrasi inravena. Setelah terapi pasien dilakukan monitoring mengenai odinofagianya. Pasien membaik 46 jam kemudian pada hari ke sepuluh diberikan klindamisin. Sebuah pemeriksaan monitoring intraoral selama 1 minggu kemudian menunjukkan bahwa infeksi yang dapat dihilangkan dan mukosa kembali normal. 3. Diskusi Abses peritonsilar unilateral (PTA) merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari tonsillitis bacterial akut dan telah dijelaskan beberapa saat lalu oleh Hippocrates. Namun demikian, abses peritonsilar bilateral sangat jarang terjadi. Dilaporkan bahwa menurut literature insidensi dari abses bilateral sangat bervariasi. Presentasenya menjadi lebih

besar setelah memaksukan abses kontralateral yang ditemukan selama tonsilektomi ke dalamnya. Insidensi dari abses peritonsiler kontralateral ini dilaporkan antara 1,9% hingga 24%, sedangkan, insidensi keseluruhan dari PTA dilaporkan mencapai 4,9%. Tonsilitis merupakan sebuah infkesi yang seringkali melibatkan kedua tonsil, keadaan ini yang menyebabkan bahwa abses peritonsilar yang terjadi dapat bersifat bilateral, dengan tingkat perkembangan yang berbeda pada masing-masin sisinya. Namun demikian, sebagian besar penulis mengatakan bahwa respon sistemik terhadap infkesi, antibiotic, atau intervensi pembedahan dapat mengagalkan progresivitas dari penyakit ini pada beberapa tingkatan. Di lain pihak, pengobatan dengan atibiotik yang adekuat sama baiknya dengan incise dan drainase abses dan seringkali dapatmenekan perkembangan dan munculnya abses peritonsilar pada sisi yang berlawanan. Oleh karena itu, kami percaya bahwa kasus abses bilateral mungkin tidak banyak dilaporkan. Penyebab terbanyak dari abses peritonsiler adalah multiple organsime. Organisme yang paling sering menyebabkan adalah kuman aerob seperti Streptococcus milleri, Haemophilus inuenza, Streptococcus pyogenes,

dan streptococci group viridans, dan

dapat juga disebabkan olehorganisme anaerob seperti Fusobacterium and Prevotella melaninogenica. Pada kasus kami hasil kultur menunjukkan adanya organisme yang sangat berbeda dengan yang diduga sebelumnya seperti Staphylococcus aureus dan Candida albicans. Fakta ini dapat mendukung penggunaan Klaritromisin sebaik

multiple antibiotik yang digunakan selama 6 bulan terakhir. Tampak adanya abses peritonsilar bilateral intraoral yang tebatas , dan asimetrism serta adanya deviasi uvula akibat adanya desakan dari abses di salah satu sisi. Selain itu, antibiotik, antiinflamasi, atau terapi steroid seringkali mengaburkan tanda dan gejala dari PTA. Oleh karena itu, abses bilateral dapat salah didiagnosa dengan kondisi lain seperti limfoma bilatera pada tonsil, karsinoma infiltrate pada palatum mole atau uvula, beberapa tumor dari kelenjar saliva minor pada rongga mulut, selulitis tonsil, atau mononukleus infeksiosa. Hal ini merupakan alasan mengapa beberapa penulis mendukung penggunaan CT scan dengan kontras untuk membantu diagnosa PTA bilateral dan harus dipertimbangkan dengan adanya trismus tetapi tidak ditemukan inflamasi pada unilateral. Namun demikian, CT scan dengan kontras sangatlah mahal dan biasanya tidak tersedia dengan

segera. Oleh karena itu, kami yakin bahwa diagnosis dari abses peritonsilar bilaterall seharusnya ditegakkan ketika manifestasi klinis mengarah kepada PTA, tetapi pada pemeriksaan fisik menunjukkan adanya pembengkakan tonsil dengan uvula di tengah. Pada beberapa kasus, aspirasi jarum halus merupakan prosedur diagnostik alternatif yang digunakan untuk menegakan diagnosis secara cepat dan akurat. Beberapa penulis juga menyetujui penggunaan ultrasound intraoral untuk diagnostik pada pasien yang kooperatif, dan melaporkan hasil baik yang signifikan. Pada kasus kami, pasien akan menunjukkan pembengkakan yang simetris secara signifikan pada palatum mole dan trismus yang berat. Pasien tersebut diterapi di ruang gawat darurat dengan aspirasi jarum halus bilateral yang positif pada kedua sisi. Prosedur insial ini selanjutnya diikuti dengan incisi bilateral dan drainase. CT tidak mendukung diagnosis secara jelas setelah Sejauh ini pengobatan abses peritonsilar

penggunaan aspirasi jarum halus.

menggunakan strategi dasar yang terdiri dari antibiotik sistemik yang dapat menghambar Sterptococcus beta hemolyticus grup A yang dilaporkan paling banyak menyebabkan abses dan merupakan organisme terakhir yang masih tertinggal setelah dilakukan drainase. Drainase pus abses pada suatu rongga dapat dicapai dengan aspirasi jarum halus (kadangkala memerlukan gudiing dengan USG), incisi-drainase, atau tonsilektomi segera. Pengobatan denganpembedahan pada abses peritonsilar yang tidak menimbulkan

komplikasi berupa obstruksi jalan anfas atas masih menjadi kontroversi. Tonsilektomi segera merupakan prosedur pembedahan mudah untuk mengurangi nyeri serta trismus dan evakuasi total dari pus. Pada prosedur ini dapat juga muncul sebuah abses peritonsilar kontralateral yang tidak diduga. Hal yang berlawanan, menurut beberapa penulis incisi dan drainase merupakan prosedur yang lemah, tidak menyenangkan pasien dan seringkai meninggalkan evakuasi yang tidak lengkap pada rongga abses. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pada prosedur ini seringkali muncul kekambuhan setelah beberapa waktu. persiapan tonsilektomi Di samping itu, selama

dapat muncul fibrosis pada tonsil sehingga operasi yang

dilakukan lebih sulit. Tonsilektomi segera dapat mencegah abses yang rekuren. Namun

demikian belum jelas apakah incisi dan drainase mempunyai kekambuhan. Pada faktanya, frekuensi kekambuhan yang muncul dilaporkan 5,9 hingga 22, 7%. Sebagian besar penulis menerima bahwa aspirasi jarum halus dan incisi drainase merupakan manajemen yang paling banyak digunakan pada abses peritonsilar dan dilaporkan sama efektifnya dengan pengobatan lainnya, sedangkan tonsilektomi sesegera mungkin saat ini masih dipertimbangkan mengenai manfaat dan keamannya, terutama pada kasus bilateral, pasien imunokompromise, atau pada kasus yang tidak berespon dengan antibiotic sistemik, incisi, maupun drainase. Di lain pihak, pengobatan konservatif insial (di lain pembedahan) masih dipelajari lebih lanjut oleh beberapa penulis di berbagai kasus, sebelum mengambil resiko drainase dengan pembedahan. Strategi ini seringkali digunakan pada kasus dengan abses peritonsilar pada kutub inferior, yang menyebabkan imunokompote dan tidak mempunyai penyakit sistemik yang signifikan. Pasien diterapi dengan antibiotik parenteral dan dilakukan pengawasan ketat selama 48 jam pertama. Kami menyarankan untuk dilakukan tindakan pembedahan jika terjadi respon buruk terhadap antibiotik dan terjadinya komplikasi lain. Selain itu penulsi yakin bahwa strategi konservatif dapat diterapkan pada penanganan selulitis peritonsilar yang ditandai dengan aspirasi jarum halus yang negative pada kedua sisi dan tidak adanya imunodefisiensi maupun tanda klinis atau pemeriksaan radiologis yang membuat pemeriksa mengarahkan diagnosa terjadinya komplikasi. 4. Komplikasi Meskipun abses peritonsilar unilateral merupakan komplikasi yang paling sering dari tonsilitis bakterial akut, tetapi abses peritonsilar bilateral juga dapat didagnosa meskipun sangat jarang. Pada pemeriksaan intraoral, abses peritonsilar bilateral akan terisolor, asimetris dan menunjukkan deviasi uvula. Itulah alasan mengapa dokter bedah harus menegakkan daignosa berdasarkan pemikiran bahkan jika pada manifestasi klinis tidak menunjukkan diagnosa yang meyakinkan terutama pada kasus yang telah mendapatkan terapi antibiotik atau steroid. Diagnosis dapat ditegakkan dengan batuan pemeriksaan radiologis seperti CT scan dan USG intraoral serta aspirasi jarum halus. Terapi pilihan yang digunakan adalah antibiotic sistemik dan drainase pus melalui incisi bilateral dan drainase atau tonsilektomi sesegera mungkin. Terapi konservatif awal yang digunakan

(pengobatan non pembedahan) disarankan oleh beberapa penulis pada beberapa kasus yang beresiko dilakukan pembedahan.

You might also like