You are on page 1of 59

TK4081 PENELITIAN TK

Semester 2 2011/2012



Judul
KEEFEKTIFAN TANIN SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA
KARBON DALAM LARUTAN ASAM SULFAT





Kelompok B.1112.3.19

Fahmi Atriadi (13009010)
Biesmojo A.W. (13009068)


Pembimbing

Dr. Ir. Isdiriayani Nurdin







PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Mei 2012

B.1112.3.19 i


LEMBAR PENGESAHAN
TK4081 PENELITIAN TK
Semester 2 2011/2012



KEEFEKTIFAN TANIN SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA
KARBON DALAM LARUTAN ASAM SULFAT


Kelompok B.1112.3.19

Fahmi Atriadi (13009010)
Biesmojo A.W. (13009068)



Catatan

















Bandung, Mei 2012
Disetujui Pembimbing





Dr. Ir. Isdiriayani Nurdin

B.1112.3.19 ii


SURAT PERNYATAAN
TK4081 PENELITIAN TK
Semester 2 2011/2012



Kami yang bertandatangan dibawah ini:

Kelompok : B.1112.3.19
Nama (NIM) : Fahmi Atriadi (13009010)
Nama (NIM) : Biesmojo Ady Widjanarko (13009068)

dengan ini menyatakan bahwa laporan dengan judul:

KEEFEKTIFAN TANIN SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA
KARBON DALAM LARUTAN ASAM SULFAT

adalah hasil pekerjaan kami dimana seluruh pendapat dan materi dari sumber lain telah
dikutip melalui penulisan referensi yang sesuai.

Surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika pernyataan dalam surat
pernyataan ini dikemudian hari diketahui keliru, kami bersedia menerima sangsi sesuai
peraturan yang berlaku.


Bandung, 21 Mei 2012




Tanda tangan



Fahmi Atriadi
Tanda tangan



Biesmojo Ady Widjanarko


B.1112.3.19 iii


TK4081 PENELITIAN TK
Keefektifan Tanin sebagai Inhibitor Korosi Baja Karbon
dalam Larutan Asam Sulfat
Kelompok B.1112.3.19
Fahmi Atriadi (13009010) dan Biesmojo Ady W. (13009068)
Pembimbing
Dr. Ir. Isdiriayani Nurdin
ABSTRAK

Korosi adalah kerusakan material akibat interaksi dengan lingkungannya. Dalam
industri, korosi termasuk hal yang merugikan sehingga tidak diharapkan terjadi.
Namun, korosi bisa dikendalikan (dicegah) dengan beberapa metode. Salah satu
metode pengendalian korosi adalah penambahan inhibitor. Inhibitor adalah suatu bahan
kimia yang bila ditambahkan dalam jumlah sedikit dapat menurunkan laju korosi. Di
alam, inhibitor banyak berbentuk senyawa organik, salah satunya adalah senyawa tanin.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa senyawa ini dapat menginhibisi korosi pada
baja karbon, namun penyataan ini belum ditunjang dengan data kuantitatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan tanin sebagai inhibitor korosi
baja karbon pada lingkungan asam sulfat, serta menentukan dosis tanin yang
dibutuhkan untuk pengendalian korosi pada konsentrasi asam sulfat tertentu.
Pengukuran laju korosi dilakukan dengan metoda Tafel sedangkan mekanisme korosi
diprediksi dengan voltametri siklik. Penelitian akan dilakukan dengan variasi
konsentrasi asam sulfat sebesar 0,1 M, 0,2 M, dan 0,4 M, sedangkan konsentrasi tanin
sebesar 20, 40, dan 80 ppm, serta temperatur pada suhu kamar dan 50
o
C.

Kata kunci : korosi, baja karbon, asam sulfat, inhibitor, tanin


B.1112.3.19 iv


TK4081 RESEARCH PROJECT
Ability of Tannin as Corrosion Inhibitor for Carbon Steel
in Sulphuric Acid Solution
Group B.1112.3.19
Fahmi Atriadi (13009010) and Biesmojo Ady W. (13009068)
Advisor
Dr. Ir. Isdiriayani Nurdin

ABSTRACT

Corrosion is degradation of material due to its interaction with the environment. In the
industry, corrosion is detrimental. However, corrosion can be controlled (prevented) by
one of several methods. One of these methods is the addition of inhibitor. Inhibitors are
chemical substances that will reduce corrosion rate when addedin small amount. In the
nature, inhibitors are usually organic compounds. One of them is tannin. Some literature
states that this compound can inhibit corrosion of carbon steel, but this statement has
not been supported by quantitative data.

This study aims to know the effectiveness of tannin as corrosion inhibitors of carbon
steel in sulfuric acid solutions, and the dosage of tannin required for corrosion control in
certain sulfuric acid concentration. Corrosion rate measurements will be performed by
the Tafel method while the corrosion mechanism will be predicted by cyclic
voltammetry. Variables to be studied in this experiment are the sulfuric acid
concentration each 0.1 M, 0.2 M and 0.4 M, the concentration of tannin each 20, 40, and
80 ppm, as well as the temperature that will be varied at room temperature and 50
o
C.


Key words: corrosion, carbon steel, sulfuric acid, inhibitors, tannins


B.1112.3.19 v


KATA PENGANTAR


Bersyukur atas Rahmat Allah SWT, penyusun telah diberikan kesempatan dalam
menyelesaikan penulisan laporan penelitian yang berjudul Keefektifan Tanin sebagai
Inhibitor Korosi Baja Karbon dalam Larutan Asam Sulfat.

Penulisan laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah TK-4081,
Penelitian Teknologi Kimia I, Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Bandung.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr. Isdiriayani Nurdin sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan karya ini
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan usulan penelitian ini.

Berharap usulan ini bisa bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi
pembaca. Meskipun penyusun menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Saran dan kritik yang membangun, penyusun nantikan sebagai media
penyempurna usulan penelitian ini dan penulisan laporan penelitian yang akan datang.






Bandung, Mei 2012



Penyusun

B.1112.3.19 vi


DAFTAR ISI
Halaman

Lembar Pengesahan I
Surat Pernyataan ii
Abstrak iii
Abstract iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Ruang Lingkup
1
1
2
2
2
II Tinjauan Pustaka
2.1. Korosi
2.1.1. Mekanisme Korosi
2.1.2. Termodinamika Korosi
2.1.2.1. Energi Bebas dan Potensial Elektroda
2.1.3. Kinetika Korosi
2.1.4. Bentuk-bentuk Serangan Korosi
2.1.4.1. Korosi Merata
2.1.4.2. Korosi Galvanik
2.1.4.3. Korosi Celah
2.1.4.4. Korosi Sumuran
2.1.4.5. Retak Akibat Lingkungan
2.1.4.6. Korosi Antar Butir
2.1.4.7. Pelarutan Selektif
2.1.4.8. Korosi Erosi, Kavitasi dan Fretting
4
4
4
5
5
7
8
8
9
9
11
11
12
12
13

B.1112.3.19 vii


2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korosi
2.2.1. Temperatur
2.2.2. Tekanan
2.2.3. Laju Alir
2.2.4. Komposisi Elektrolit
2.3. Pengendalian Korosi
2.3.1. Pemilihan Material
2.3.2. Proteksi Katodik
2.3.3. Coatings
2.3.4. Perancangan Tahan Korosi
2.4. Inhibitor
2.4.1. Tanin Sebagai Inhibitor
2.5. Metoda Pengukuran Elektrokimiawi
2.5.1. Pengukuran Laju Korosi dengan Metoda Tafel
2.5.2. Prediksi Mekanisme Korosi dengan Voltametri Siklik
2.6. Baja Karbon
2.6.1. Baja Karbon Rendah
2.6.2. Baja Karbon Sedang
2.6.3. Baja Karbon Tinggi
2.7. Asam Sulfat
2.7.1. Sifat Fisik dan Kimia
2.7.2. Kegunaan Asam Sulfat
2.7.3. Korosifitas Asam Sulfat Pada Logam
13
13
14
14
15
16
16
17
18
19
20
21
25
25
26
30
30
32
33
34
34
35
35


III Rancangan Penelitian
3.1. Metodologi
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
3.2.2. Bahan
3.3. Prosedur Percobaan
37
37
38
38
39
40

B.1112.3.19 viii


3.3.1. Persiapan Spesimen
3.3.2. Persiapan Medium
3.3.3. Pengukuran Laju Korosi dan Prediksi Mekanisme Korosi
3.3.4. Variasi Percobaan
3.4. Analisis Data
3.4.1. Perhitungan Nilai Laju Korosi
3.4.2. Prediksi Mekanisme Korosi
3.5. Rencana Kerja
40
41
41
41
42
42
42
42
Daftar Pustaka 44
Daftar Simbol 45
Lampiran A 46
Lampiran B 50



B.1112.3.19 ix


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Potensial standar (emf series) 6
Tabel 2.2 Keefektifan beberapa inhibitor pada pH air mendekati netral 20
Tabel 2.3 Komposisi baja karbon rendah 31
Tabel 2.4

Tabel 2.5
Karakteristik mekanik dan aplikasi berbagai jenis baja karbon
sedang
Komposisi baja karbon sedang
31

32
Tabel 2.6 Karakteristik mekanik dan aplikasi berbagai jenis baja karbon
sedang
33
Tabel 2.7 Komposisi baja karbon tinggi 33
Tabel 3.1 Daftar alat percobaan 38
Tabel 3.2 Daftar bahan percobaan 39
Tabel 3.3 Komposisi kimia baja karbon rendah 40
Tabel 3.4 Rencana kerja 43



B.1112.3.19 x


DAFTAR GAMBAR


Halaman
Gambar 2.1 Mekanisme korosi pada logam di dalam larutan asam 5
Gambar 2.2 Serangan korosi merata 9
Gambar 2.3 Korosi galvanik 9
Gambar 2.4.a Korosi celah tahap awal 10
Gambar 2.4.b Korosi celah tahap akhir 10
Gambar 2.5 Korosi sumuran 11
Gambar 2.6 Korosi antar butir 12
Gambar 2.7 Korosi erosi 13
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Efek temperatur terhadap laju korosi
Efek laju alir terhadap laju korosi
14
15
Gambar 2.10 Efek konsentrasi/komposisi larutan korosif terhadap laju korosi 16
Gambar 2.11 Pengorbanan anoda proteksi katodik dengan anoda tumbal
(sacrifice anodic cathode protection)
17
Gambar 2.12 Proteksi katodik dengan arus yang dipaksakan (impressed current
cathodic protection)
18
Gambar 2.13.a Desain bejana yang mengandung cairan panas dengan uap yang
korosif - desain kurang sesuai karena membuat uap korosif
terakumulasi pada ujung siku bejana
19
Gambar 2.13.b


Gambar 2.14
Desain bejana yang mengandung cairan panas dengan uap yang
korosif - desain bagus karena dapat mencegah pengakumulasian
uap korosif pada ujung yang tidak siku
Rumus bangun tanin
19


22
Gambar 2.15 Rumus bangun ferric tannate 22
Gambar 2.16 Rumus bangun asam galat 23
Gambar 2.17 Rumus bangun asam ellagat 23
Gambar 2.18 Proanthoecyanidin (condensed tannin) 24

B.1112.3.19 xi


Gambar 2.19 Pengukuran laju korosi dengan metode tafel 25
Gambar 2.20 Kurva i terhadap E 26
Gambar 2.21.a Grafik perubahan potensial siklik 27
Gambar 2.21.b Hasil voltamogram siklik 27
Gambar 2.22 Grafik Voltamogram untuk pembalikkan pada nilai E yang
berbeda-beda dalam bentuk aluran fungsi arus (i) terhadap waktu
(t)
28
Gambar 2.23 Grafik Voltamogram siklik dalam bentuk aluran fungsi arus (i)
terhadap waktu (t)
28
Gambar 2.24

Gambar 2.25
Gambar 2.26
Voltamogram untuk larutan yang mengandung : 1) O saja; 2) O
saja; 3) campuran antara O dan O dengan n=n, Co=Co, Do=Do
Rumus bangun asam sulfat
Diagram isokorosi untuk material pada lingkungan asam sulfat
(Principle and Prevention of Corrosion, Denny A. Jones, halaman
390)
29

35
35
Gambar 3.1 Diagram alir percobaan 37
Gambar 3.2 Skema rangkaian alat polarisasi anodik (ASTM G5-82,1997) 39




B.1112.3.19 1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korosi adalah kerusakan logam atau paduan akibat reaksi kimia antara logam atau
paduan logam dengan lingkungannnya yang dapat merusak logam atau paduan logam
tersebut. Korosi dapat menyebabkan kebocoran alat-alat proses yang berdampak pada
hilangnya bahan-bahan berharga, penurunan efisiensi proses, dan berkurangnya waktu
operasi pabrik. Oleh karena itu, korosi pada alat-alat proses harus dicegah.

Dewasa ini, baja karbon menjadi bahan yang paling banyak digunakan sebagai bahan
konstruksi. Kelebihan dari baja karbon ialah kuat, mudah dibentuk, dan harganya
murah. Tetapi, salah satu kekurangannya adalah tidak tahan korosi oleh berbagai
lingkungan, termasuk asam sulfat. Untuk mencegah korosi peralatan industri proses
oleh lingkungan asam sulfat, selain penggunaan material yang tahan korosi juga dapat
dilakukan dengan penambahan inhibitor. Inhibitor adalah suatu zat kimia yang dapat
menurunkan laju korosi bila ditambahkan dalam jumlah sedikit ke dalam suatu
lingkungan korosif (NACE International). Suatu inhibitor dikatakan efektif jika mampu
menurunkan laju korosi sebesar 90% dengan konsentrasi inhibitor 40 ppm atau jika
konsentrasi inhibitor 80 ppm, laju korosi dapat berkurang sebesar 95% (Roberge, 2000).
Salah satu inhibitor yang efektif adalah senyawa kromat, K
2
CrO
4
dan K
2
Cr
2
O
7
.
Sayangnya, penggunaan senyawa kromat sebagai inhibitor telah dilarang karena krom
merupakan logam berat dan limbah yang dihasilkan tergolong ke dalam limbah B3
(Bahan Beracun dan Berbahaya).

Salah satu contoh inhibitor alternatif yang dapat digunakan adalah tanin(Jones,1988).
Tanin adalah senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil sehingga
memungkinkan terjadinya adsorpsi di permukaan logam. Tanin yang teradsorpsi di


B.1112.3.19 2

permukaan logam akan mencegah logam kontak dengan lingkungan sehingga logam
terlindung dari korosi. Karena tanin merupakan senyawa organik dan biodegradable
maka tanin tidak akan menyebabkan pencemaran langsung seperti pencemaran logam
berat. Selain itu, tanin relatif murah dan mudah didapatkan karena tanin dapat diperoleh
dari daun teh tua yang tidak digunakan untuk bahan minuman atau dari limbah
pertanian yang lain.
1.2. Rumusan Masalah

Kemampuan tanin sebagai inhibitor korosi telah diketahui secara kualitatif (Jones,
1992) namun kemampuan inhibisi tanin secara kuantitatif belum diketahui. Agar dapat
memberikan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan penelitian
mendalam secara kuantitatif mengenai keefektifan tanin sebagai inhibitor korosi pada
lingkungan industrial, seperti asam sulfat. Selain itu, juga perlu diketahui pengaruh
kondisi operasi seperti temperatur, konsentrasi asam, dan laju alir terhadap
keefektifannya.

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini secara umum akan dimaksudkan
untuk mengetahui keefektifan tanin sebagai inhibitor korosi baja di dalam larutan asam
sulfat pada berbagai konsentrasi dan temperatur. Secara khusus, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan dosis tanin yang dibutuhkan untuk menginhibisi korosi
pada berbagai konsentrasi asam sulfat.

1.4. Ruang Lingkup

Untuk mencapati tujuan tersebut, pelaksanaan penelitian mencakup beberapa tahapan
sebagai berikut :


B.1112.3.19 3

1. Pengukuran laju korosi baja karbon di dalam larutan asam sulfat menggunakan tanin
sebagai inhibitor dengan variasi konsentrasi asam sulfat, dosis tanin, dan temperatur.
Penentuan laju korosi dilakukan dengan menggunakan metoda Tafel
2. Prediksi mekanisme inhibisi korosi baja karbon oleh tanin dilakukan menggunakan
metode Voltametri Siklik


B.1112.3.19 4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Korosi

Korosi adalah kerusakan logam atau paduan akibat reaksi kimia antara logam atau
paduan logam dengan lingkungannya. Logam di alam diperoleh dalam bentuk senyawa
kimianya, biasa disebut sebagai mineral. Jumlah energi yang dihasilkan pada proses
korosi sama dengan jumlah energi yang digunakan untuk mengekstraksi logam dari
mineralnya. Korosi dapat dianggap sebagai proses pengembalian keadaan logam bebas
ke bentuk mineralnya, atau korosi disebut juga kebalikan proses metalurgi ekstraktif.

2.1.1. Mekanisme Korosi

Proses korosi pada logam melibatkan perpindahan elektron pada antar muka logam-
larutan. Perpindahan elektron terjadi akibat beda potensial antara katoda dan anoda.
Katoda adalah tempat terjadinya reaksi reduksi sedangkan anoda adalah tempat
terjadinya reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron yang
menaikkan bilangan oksidasi sedangkan reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan
elektron yang menurunkan bilangan oksidasi. Logam cenderung mengalami reaksi
oksidasi dan komponen dari lingkungan akan mengalami reaksi reduksi.
Korosi pada logam dapat terjadi di berbagai lingkungan contohnya pada lingkungan
asam dengan dan tanpa oksigen, lingkungan basa, atau lingkungan netral dengan
oksigen. Reaksi yang terjadi antara logam dengan lingkungan asam tanpa oksigen
adalah sebagai berikut :

Oksidasi : M M
n+
+ ne
-
(2.1)
Reduksi : 2H
+
+ 2e
-
H
2
(2.2)



B.1112.3.19 5


Gambar 2. 1. Mekanisme korosi pada logam di dalam larutan asam
Reaksi elektrokimia terjadi di antar muka logam-larutan. Reaksi oksidasi pada logam
mengakibatkan logam terurai menjadi kation dan melepas elektron. Elektron kemudian
bergerak menuju permukaan logam dan bereaksi dengan H
+
membentuk H
2
. Larutan
berfungsi untuk mengalirkan ion-ion (M
n+
dan H
+
) sehingga disebut larutan elektrolit.
Reaksi reduksi pada lingkungan asam mengandung oksigen ditunjukkan oleh reaksi
berikut:
O
2
+ 4H
+
+ 4e
-
2H
2
O (2.3)
Reaksi reduksi pada lingkungan basa atau netral mengandung oksigen ditunjukkan oleh
reaksi berikut:
O
2
+ 2H
2
O + 4e
-
4OH
-
(2.4)

2.1.2. Termodinamika Korosi

Korosi melibatkan transfer elektron atau muatan. Maka, reaksi korosi termasuk reaksi
elektrokimia. Perubahan potensial elektrokimia atau aktivitas elektron atau ketersediaan
elektron pada permukaan logam mempunyai efek signifikan terhadap laju reaksi korosi.
Termodinamika memberikan pengertian terhadap perubahan energi yang terjadi dalam
reaksi elektrokimia korosi.

2.1.2.1. Energi Bebas dan Potensial Elektroda

Reaksi korosi besi dalam larutan H
2
SO
4
dapat dituliskan sebagai:

Fe + H
2
SO
4
FeSO
4
+ H
2
(2.5)



B.1112.3.19 6

Semua reaksi kimia melibatkan perubahan energi bebas, G. Ketika produk reaksi
mempunyai energi yang lebih rendah dari reaktan, maka G bernilai negatif dan reaksi
berlangsung spontan. Reaksi (2.1) dapat dibagi menjadi 2 bagian:
Fe Fe
2+
+ 2e
-
(anodik) (2.6)
2H
+
+ 2e
-
H
2
(katodik) (2.2)
Pada kesetimbangan, perubahan energi bebas dapat dihubungkan dengan potensial, E,
dengan hubungan fundamental:

G = -nFE (2.7)

Dengan n adalah jumlah mol elektron yang terlibat dalam reaksi dan F adalah konstanta
Faraday yang bernilai 96.500 coulombs per ekivalen.
Potensial sel, E, adalah selisih antara potensial reaksi katodik dan anodic pada sel korosi
yang bersangkutan:
E = E
katoda
- E
anoda
(2.8)
Beberapa contoh hanya potensial reasi sel pada keadaan standar (T = 25
o
C, P = 1 atm,
Konsentrasi ion = 1 M) ditampilkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Potensial standar (emf series)

Reaksi Sel
Potensial Standar,
e
o
(Volts)
Noble

Au
3+
+ 3e
-
= Au +1,498
Cl
2
+ 2e
-
= 2Cl
-
+1,358
O
2
+ 4H
+
+ 4e
-
= 2H
2
O (pH 0) +1,229
Pt
3+
+ 3e = Pt
-
+1,200
O
2
+ 2H
2
O + 4e
-
= 4OH
-
(pH 7) +0,820
Ag
+
+ e
-
= Ag +0,799
Hg
2
2+
+ 2e
-
= 2Hg +0,788
Fe
3+
+ e
-
= Fe
2+
+0,771
O
2
+ 2H
2
O + 4e
-
= 4OH
-
(pH 14) +0,401
Cu
2+
+ 2e
-
= Cu +0,337


B.1112.3.19 7


Reaksi Sel
Potensial Standar,
e
o
(Volts)














Active
Sn
4+
+ 2e
-
= Sn
2+
+0,150
2H
+
+ 2e
-
= H
2
0,000
Pb
2+
+ 2e
-
= Pb -0,126
Sn
2+
+ 2e
-
= Sn -0,136
Ni
2+
+ 2e
-
= Ni -0,250
Co
2+
+ 2e
-
= Co -0,277
Cd
2+
+ 2e
-
= Cd -0,403
Fe
2+
+ 2e
-
= Fe -0,440
Cr
3+
+ 3e
-
= Cr -0,744
Zn
2+
+ 2e
-
= Zn -0,763
2H
2
O + 2e
-
= H
2
+ 2OH
-
-0,828
Al
3+
+ 3e
-
= Al -1,662
Mg
2+
+ 2e
-
= Mg -2,363
Na
+
+ e
-
= Na -2,714
K
+
+ e
-
= K -2,925
Sumber : Jones, D. A. (1992). Principles and Prevention of Corrosion. United State of
America: Macmillan Publishing Company.

Potensial sel dari reaksi (2.5) adalah
E = 0 ( 0.440) = 0.440 Volt
Ketika disubstitusikan ke dalam persamaan (2.7), akan memberikan nilai G yang
negative, berarti reaksi (2.5) berlangsung spontan dari kiri ke kanan seperti tertulis.

2.1.3. Kinetika Korosi

Laju korosi atau laju penetrasi korosi (CPR) adalah laju kehilangan ketebalan material.
Laju penetrasi korosi (CPR) biasanya dihitung dalam satuan mils per year (mpy) atau
milimeters per year (mm/yr). Menurut NACE, laju penetrasi korosi (CPR) dianggap
tidak signifikan jika kurang dari 2 mpy atau 0,05 mm/yr.
Saat korosi berlangsung, terjadi perpindahan elektron dan arus listrik sehingga laju


B.1112.3.19 8

korosi juga dapat ditentukan dengan menggunakan rapat arus yang mengalir.
Perhitungan laju korosi menggunakan rapat arus yang mengalir dinyatakan dalam
persamaan Faraday berikut :

(2.9)
dengan m : massa logam yang terkorosi (gram)
i : rapat arus (A/cm
2
)
t : waktu percobaan (sekon)
Mr : massa molekul relatif logam (gram / mol)
n : jumlah elektron yang terlibat (ekivalen/mol)
F : bilangan Faraday ( 96500

)
Sedangkan persamaan laju korosi dinyatakan dalam

(2.10)

Dengan, : laju korosi gram (/cm
2
-s)

2.1.4. Bentuk Bentuk Serangan Korosi
2.1.4.1. Korosi Merata (Jones, 1992)

Pada korosi merata pelarutan terjadi degradasi pada seluruh permukaan logam dengan
intensitas yang sama. Hal ini disebabkan lingkungan korosif memiliki akses yang sama
pada setiap bagian permukaan logam. Tipe serangan ini juga didukung oleh komposisi
yang seragam dari logam. Reaksi oksidasi dan reduksi terjadi secara acak dengan
intensitas yang sama di permukaan logam. Korosi baja pada larutan asam tergolong
bentuk serangan korosi tipe ini. Pencegahan korosi tipe ini bisa dilakukan dengan
melakukan pemilihan material yang tepat, pengecatan, atau penggunaan inhibitor
korosi. Gambar 2.2 menunjukkan tipe serangan korosi merata.


B.1112.3.19 9


Gambar 2. 2. Serangan korosi merata

2.1.4.2. Korosi Galvanik (Jones, 1992)

Korosi tipe ini terjadi dalam larutan elektrolit dimana dua logam yang bebeda terhubung
secara listrik. Kedua logam tersebut akan bersifat anodik atau katodik. Logam dengan
potensial lebih rendah akan bersifat anodik dan terkena serangan korosi sedangkan
logam dengan potensial yang lebih tinggi akan bersifat katodik. Jarak antara katoda dan
anoda serta nisbah luas permukaan katoda dengan anoda akan mempengaruhi laju
korosi galvanik. Untuk luas permukaan katoda yang tetap, laju penetrasi akan semakin
cepat bila luas permukaan anoda semakin kecil. Korosi galvanik ditunjukkan oleh
Gambar 2.3.

Gambar 2. 3. Korosi Galvanik

2.1.4.3. Korosi Celah (Fontana, 1987)

Korosi ini menekankan pada mudah tidaknya akses lingkungan korosif terhadap logam.
Korosi celah terjadi bila sebagian permukaan logam terhalang dari lingkungan korosif
dibandingkan bagian lain logam yang memiliki akses lebih mudah pada lingkungan
korosif. Mekanisme korosi celah ditunjukkan oleh Gambar 2.4.


B.1112.3.19 10


(a)

(b)
Gambar 2. 4. Korosi Celah (a) tahap awal (b) tahap akhir

Gambar 2.4 (a) menunjukkan keadaan awal korosi terjadi di seluruh permukaan logam,
baik di dalam celah maupun di luar celah. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Oksidasi : M M
n+
+ ne
-

Reduksi : O
2
+ 2H
2
O + 4e
-
4OH
-


Konsumsi oksigen yang terjadi di dalam celah lebih cepat, sehingga oksigen di dalam
celah lebih cepat habis dibandingkan di luar celah karena jumlah oksigen di luar celah
lebih berlimpah. Hal ini yang menyebabkan reaksi reduksi berhenti dan hanya reaksi
oksidasi yang berlangsung di dalam celah. Ion M
n+
terus bertambah sehingga menarik
anion dari luar celah seperti Cl
-
. Penarikan ini menyebabkan proses hidrolisis terhadap


B.1112.3.19 11

anion tersebut menghasilkan produk korosi dan ion hidrogen.

M
n+
,nCl
-
+ H
2
O M(OH)
n
+ n(H
+
,Cl
-
)

Konsentrasi ion hidrogen yang terus bertambah memacu proses pelarutan logam
sehingga logam di dalam celah terkorosi lebih cepat. Peristiwa ini ditunjukkan oleh
Gambar 2.4 (b). Pencegahan korosi celah dapat dilakukan dengan meminimalkan
pembentukan celah pada saat proses perancangan.

2.1.4.4. Korosi Sumuran (Jones, 1992)

Korosi ini disebabkan oleh kerusakan lapisan pasif yang terdapat pada logam.
Kerusakan lapisan pasif yang rusak akan mengalami kontak dengan oksigen yang
menyebabkan oksigen tereduksi menjadi OH
-
dan logam akan mengalami oksidasi.
Mekanisme korosi sumuran mirip dengan korosi celah. Bagian lubang akan mengalami
oksidasi dan terkorosi sedangkan bagian luar lubang akan menjadi tempat reduksi.
Gambar 2.5 menunjukkan korosi sumuran.

Gambar 2. 5. Korosi Sumuran

2.1.4.5. Retak Akibat Lingkungan (Environmentally Induced Cracking) (Jones,
1992)

Logam bisa menjadi rapuh akibat lingkungan yang korosif. Inilah yang dikenal sebagai
retak akibat lingkungan. Ada 3 tipe retak akibat lingkungan yaitu retak akibat tegangan
(stress corrosion cracking), retak akibat kelelahan (corrosion fatigue cracking), dan
retak akibat hidrogen (hydrogen induced cracking). Retak akibat tegangan terjadi bila
tegangan tarik konstan diterapkan pada logam di lingkungan yang korosif. Sebagai


B.1112.3.19 12

contoh, stainless steel rentan terhadap lingkungan klorida panas dan tembaga rentan
terhadap lingkungan amonia. Pembebanan berulang pada logam di lingkungan korosif
bisa merupakan penyebab retak akibat kelelahan. Retak akibat hidrogen terjadi akibat
difusi atom-atom hidrogen ke dalam kisi paduan. Penetrasi atom-atom hidrogen ke
dalam material menyebabkan penurunan keuletan dan kekuatan material. Polarisasi
katodik bisa mempercepat retak akibat hidrogen.

2.1.4.6. Korosi Antar Butir

Salah satu contoh yang paling umum dari korosi antar butir adalah pada stainless steel.
Stainless steel yang dipanaskan pada 425

K-815

K menyebabkan kromium di sekitar
batas butir bereaksi dengan karbon membentuk kromium karbida (Cr
23
C
6
) sehingga
jumlah kromium berkurang. Konsentrasi kromium yang kurang dari 10%
mengakibatkan hilangnya ketahanan korosi di daerah batas butir. Pencegahan korosi ini
bisa dilakukan dengan mengurangi konsentrasi karbon hingga kurang dari 0,03 wt%
atau memanaskan material pada temperatur tertentu sehingga kromium karbida kembali
larut. Korosi antar butir ditunjukkan oleh Gambar 2.6.

Gambar 2. 6. Korosi Antar Butir

2.1.4.7. Pelarutan Selektif (Jones, 1992)

Pelarutan selektif terjadi pada paduan logam dan mengakibatkan salah satu unsur logam
paduan larut. Salah satu contoh pelarutan selektif adalah pelarutan seng (Zn) dari
kuningan atau dezincification yang menyisakan tembaga (Cu). Seng (Zn) lebih reaktif
dibandingkan tembaga sehingga seng (Zn) yang mengalami pelarutan. Pelarutan seng
(Zn) dari kuningan mengakibatkan berkurangnya kekuatan mekanik kuningan.


B.1112.3.19 13


2.1.4.8. Korosi Erosi, Kavitasi, dan Fretting (Jones, 1992)

Korosi Erosi disebabkan adanya aliran fluida korosif yang memiliki kecepatan tinggi.
Lapisan pelindung pada logam bisa menghilang akibat kecepatan ini sehingga logam
dapat terkorosi. Efek erosi bisa meningkat dengan keberadaan partikel-partikel padat
seperti pasir. Logam dengan kekuatan mekanik rendah dan bergantung pada lapisan
pelindung di permukaan sangat rentan terhdap korosi erosi. Kavitasi merupakan salah
satu bentuk korosi erosi. Penurunan tekanan hingga dibawah tekanan uap jenuh cairan
akibat kecepatan fluida dengan aliran tinggi, membentuk gelembung-gelembung uap.
Gelembung-gelembung uap ini akan pecah dan merusak dinding pipa. Bentuk korosi
erosi lainnya adalah fretting. Fretting terjadi akibat goresan berulang-ulang akibat
getaran pada permukaan kontak antara dua logam sehingga merusak lapisan pelindung
maupun logam dasarnya.

Gambar 2. 7. Korosi Erosi

2.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Korosi
2.2.1. Temperatur

Persamaan Arhenius menyatakan bahwa konstanta laju reaksi merupakan fungsi dari
temperatur.

(2.11)
Keterangan : k = konstanta laju reaksi, A = konstanta Arhenius, Ea = Energi Aktivasi,
R = konstanta gas ideal, T = Temperatur

Semakin tinggi temperatur maka konstanta laju reaksi akan semakin besar. Bila


B.1112.3.19 14

dikaitkan dengan laju korosi, maka pada temperatur yang lebih tinggi, korosi berjalan
lebih cepat dibandingkan pada temperatur yang lebih rendah.
Namun, pada peristiwa korosi peningkatan temperatur bisa jadi tidak berpengaruh pada
peningkatan laju korosi. Gambar 2.8 merupakan salah satu contohnya.












Kurva A merepresentasikan kelakuan seperti yang dijelaskan oleh Arhenius. Berbeda
dengan kurva B, pada temperatur yang rendah dan moderat, laju korosi bernilai sangat
rendah, sedangkan kenaikan yang ekstrem baru bisa terlihat ketika temperaturnya sudah
sangat tinggi.

2.2.2. Tekanan

Pada dasarnya peristiwa korosi melibatkan fase terkondensasi dari suatu senyawa. Sifat
dari suatu zat cair relatif tidak termampatkan seperti halnya gas. Oleh karena itu secara
umum, peristiwa korosi bisa dianggap tidak terpengaruh oleh variasi tekanan.

2.2.3. Laju Alir

Efek dari kecepatan alir terhadap laju korosi bergantung pada karakteristik logam dan
lingkungannya. Gambar 2.9 menunjukkan hasil observasi pengaruh peningkatan laju
alir terhadap laju korosi. Pada kasus B, laju alir tidak berpengaruh terhadap laju korosi,
Contoh :
Kurva A
18 Cr 8 Ni dalam H
2
SO
4

Ni dalam HCl
Fe dalam HF
Kurva B
18 Cr- 8Ni dalam HNO
3
Monel dalam HF
Ni dalam NaOH
Gambar 2. 8. Efek temperatur terhadap laju korosi


B.1112.3.19 15

karena proses korosi dikontrol oleh polarisasi aktivasi. Berbeda halnya dengan kurva A
yang terdiri dari 2 bagian. Pada bagian pertama, proses korosi dikendalikan oleh difusi
katodik sehingga laju korosi naik dengan peningkatan laju alir. Pada bagian kedua,
logam sudah mulai bersifat pasif. Salah satu contohnya adalah stainless steel dan
titanium malah memiliki hambatan korosi yang lebih baik ketika laju dari medium
korosif semakin tinggi.

Beberapa logam memiliki resistansi yang baik pada medium tertentu dengan
membentuk lapisan proteksi di permukaannya. Namun, lapisan ini dapat menghilang
sedikit demi sedikit seiring meningkatnya laju medium korosif.
Pengurangan/penghilangan ini dikenal dengan korosi erosi. Peristiwa ini digambarkan
oleh kurva C pada Gambar 2.9.









2.2.4. Komposisi Elektrolit

Gambar 2.10 menggambarkan pengaruh peningkatan konsentrasi larutan korosif
terhadap laju korosi. Kurva A memiliki 2 bagian. Pada konsentrasi asam sulfat yang
rendah (bagian 1), Pb membentuk lapisan protektif Pb-Sulfat, sehingga peningkatan
konsentrasi tidak berpengaruh terhadap laju korosi (contoh : Pb dalam larutan H
2
SO
4
).
Tetapi lapisan itu mulai larut pada konsentrasi asam sulfat yang pekat, sehingga pada
bagian kedua atau pada konsentrasi tinggi laju korosi mulai naik seiring peningkatan
konsentrasi.

Sedangkan untuk kurva B bisa terjadi juga pada lingkungan asam. Peningkatan
Contoh :
Kurva A
1 : Fe dalam H2O + O2
Cu dalam H2O + O2
1-2 : 18Cr-8Ni dalam H2SO4 + Fe
+3

Ti dalam HCl+ Cu
+2

Gambar 2. 9. Efek Laju Alir terhadap Laju Korosi
Kurva B
Fe dalam HCl encer
18Cr-8Ni dalam H2SO4
Kurva C
Pb dalam larutan H2SO4
Fe dalam H2SO4 Pekat

1 2


B.1112.3.19 16

konsentrasi ion hidrogen sebagai senyawa aktif mampu meningkatkan laju korosi dari
dari logam, hingga mencapai titik maksimumnya. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi
yang tinggi, ionisasi asam berkurang karena kebanyakan asam seperti asam sulfat, asam
asetat, dan HF menjadi sulit bereaksi (inert) ketika kemurniannya semakin tinggi.











2.3. Pengendalian Korosi

Korosi terjadi secara alami untuk mencapai kestabilannya. Namun karena korosi tidak
diinginkan, diperlukan suatu langkah pengendalian. Metoda pengendalian korosi dari
segi material meliputi pemilihan material, proteksi katodik, dan perancangan tahan
korosi. Dari segi reaksi, pengendalian korosi dapat dilakukan dengan melapiskan logam
dengan film organik ataupun anorganik. Sedangkan untuk segi lingkungan, korosi dapat
dikendalikan dengan perubahan kondisi lingkungan dan penggunaan inhibitor.

2.3.1. Pemilihan Material

Pemilihan material tahan korosi merupakan metode yang paling mudah. Kelakuan suatu
bahan / material berbeda beda untuk suatu perilaku, kondisi, dan lingkungan tertentu,
sudah banyak diketahui dan dipublikasikan contoh : Corrosion Data Survey, yang telah
diterbitkan oleh NACE. Pemilihan bahan juga harus mempertimbangkan unsur
keekonomisan. Optimasi antara kualitas dan harga material perlu dilakukan agar
Contoh :
Kurva A
1 : Ni dalam larutan NaOH
18Cr-8Ni dalam larutan HNO3
Hastelloy B dalam larutan HCl
1-2 : Monel dalam larutan HCl
Pb dalam larutan H2SO4


Kurva B
Al dalam larutan asam asetat dan HNO3
18Cr-8Ni dalam larutan H2SO4
Fe dalam larutan H2SO4

Gambar 2. 10. Efek konsentrasi/komposisi
larutan korosif terhadap laju korosi
1 2


B.1112.3.19 17

mendapat material yang sesuai dan ekonomis.

2.3.2. Proteksi Katodik

Secara prinsip korosi elektrokimia terjadi pada logam yang bertindak sebagai anoda.
Pada proses pengendalian ini, logam tersebut dijadikan sebagai katoda dengan cara
mengalirkan elektron ke logam tersebut. Ada 2 metode pelaksanaan proteksi katodik,
yaitu :

- Sacrificial Anodes Cathodic Protection (SACP)
Logam yang dilindungi dihubungkan secara galvanik dengan logam yang
memiliki potensial yang lebih rendah atau lebih reaktif. Logam yang lebih
reaktif ini akan terkorosi dan menjadi pelindung untuk logam yang potensialnya
lebih tinggi atau bisa juga dikatakan logam yang reaktif ini disebut sebagai
anoda korban. Logam yang sering digunakan sebagai anoda korban untuk
melindungi baja adalah Mg, Al, dan Zn. Gambar 2.11 menunjukkan proses
SACP.

Gambar 2. 11. Pengorbanan anoda proteksi katodik dengan anoda tumbal (sacrifice anodic cathode protection)

- Impressed Current Cathodic Protection (ICCP)

Pada tipe SACP, elektron dipasok oleh anoda korban sedangkan pada tipe ini


B.1112.3.19 18

elektron dipasok dari sumber arus searah (DC). Kutub positif dihubungkan
dengan anoda inert, seperti grafit, sedangkan kutub negatif sumber arus
dihubungkan dengan logam yang dilindungi. Oleh karena itu, korosi pada logam
yang dilindungi tidak akan terjadi. Proses ICCP ditunjukkan pada Gambar 2.12.



Gambar 2. 12. Proteksi katodik dengan arus yang dipaksakan ( impressed current cathodic protection)

2.3.3. Coatings

Sesuai dengan namanya, teknik ini memberikan lapisan pelindung antara logam dengan
lingkungan korosif sehingga lapisan ini bertindak sebagai dinding penghalang bagi
lingkungan tersebut. Logam yang terlindungi menjadi sulit teroksidasi oleh
lingkungannya. Pelapisan ini bisa menggunakan bahan organik atau anorganik.
Penggunaan bahan organik akan membentuk batas fisik antara lingkungan korosif
dengan logam yang dilindungi. Cat merupakan salah satu bahan organik yang sering
dilakukan dalam pelapisan. Resin pada cat merupakan komponen utama yang berfungsi
merekatkan komponen-komponen dalam cat ketika pelarut telah menguap. Resin
berperan juga dalam proses inhibisi korosi pada logam yang dilapisi. Epoxy, vinyl, dan
acrylics merupakan contoh resin yang sering digunakan dalam pelapisan.

Pigmen pada resin berfungsi untuk menurunkan permeabilitas, memberikan warna, dan
memberikan perlindungan dari radiasi ultraviolet. Kekentalan cat disesuai dengan


B.1112.3.19 19

adanya pelarut. Zat aditif biasa ditambahkan agar meningkatkan emulsifikasi dan
homogenitas cat. Pelapisan bahan logam juga dapat berfungsi sebagai anoda korban
sistem proteksi katodik selain sebagai pembatas secara fisik. Kunci dari keberhasilan
pelapisan logam adalah kemampuan lapisan tersebut untuk melekat pada permukaan
yang berkontak dengan lingkungan yang korosif.

2.3.4. Perancangan Tahan Korosi

Selain pemilihan bahan yang tepat untuk suatu kondisi dan lingkungan suatu alat proses,
perancangan alat perlu dilakukan secara cermat. Biasanya untuk kasus kasus tertentu
dalam perancangan alat proses ditambahkan ketebalan dinding untuk mengantisipasi
serangan korosi. Tambahan ketebalan ini disebut corrosion allowance. Hal lain yang
perlu cermat diamati dalam perancangan alat adalah menentukan ketahanan dari suatu
unit proses. Unit harus dirancang sedemikian rupa untuk meminimalkan efek korosif
dari lingkungan. Gambar 2.13 menunjukkan perbandingan perancangan bejana yang
berisi cairan dan uap panas.

Gambar 2. 13. Desain Bejana yang mengandung cairan panas dengan uap yang korosif : (a) desain kurang
sesuai karena membuat uap korosif terakumulasi pada ujung siku bejana ; (b) desain bagus karena dapat
mencegah pengakumulasian uap korosif pada ujung yang tidak siku


B.1112.3.19 20


2.4. Inhibitor

Inhibitor adalah suatu zat yang dengan konsentrasi relatif kecil di dalam larutan /
elektrolit dapat menurunkan korosivitas larutan. Oleh karena itu, laju korosi logam akan
menurun dibandingkan dengan laju korosi tanpa inhibitor.
Suatu inhibitor dikatakan efektif jika mampu menurunkan laju korosi sebesar 90% pada
konsentrasi inhibitor sebesar 40 ppm atau sebesar 95% pada konsentrasi inhibitor
sebesar 80 ppm. Efisiensi inhibitor dirumuskan sebagai berikut (Roberge, 2000) :




(2.12)

Efisiensi inhibitor dapat berkurang seiring dengan peningkatan korosivitas larutan,
konsentrasi larutan, dan temperatur. Pemakaian inhibitor yang tepat bergantung pada
keadaan lingkungan, yaitu pH, temperatur, dan kondisi lainnya. Tabel 2.2 menunjukkan
keefektifan dari inhibitor pada beberapa logam.

Tabel 2. 2 Keefektifan beberapa inhibitor pada pH air mendekati netral
Logam
Inhibitor*
Kromat Nitrit Benzoat Borat Fosfat Silikat Tanin
Baja ringan E E E E E RE RE
Baja tuang E E IE V E RE RE
Seng E IE IE E RE RE
Tembaga E PE PE E E RE RE
Aluminium E PE PE V V RE RE
Paduan Pb-Sn E A E RE RE
From: A. D. Mercer, Corrosion, Vol. 2, 2
nd
ed., L. L. Schreir, ed., Newnes-Butterworths, p. 18:13, 1976.
Reprinted by permission, Butterworths Publishers, Inc.
*E: Effective, IE: Ineffective, RE: Reasonably Effective, PE: Partially Effective, V: Variable, A:
Aggressive



B.1112.3.19 21


Berdasarkan bahan bakunya, inhibitor dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu inhibitor
anorganik dan organik. Contoh dari inhibitor anorganik adalah kromat, nitrit, dan
silikat. Inhibitor kromat efektif untuk logam dan lingkungan tertentu, tetapi
penggunaannya dibatasi karena dapat mencemari lingkungan dan merupakan limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun). Untuk inhibitor organik, seperti methylamine,
pyridine, dan tanin, pencemaran terhadap lingkungan tidaklah menjadi suatu masalah.
Dalam penggunaannya, inhibitor organik mengalami proses chemisorption, yaitu
adsorpsi yang dipacu dengan adanya reaksi kimia antara permukaan logam dengan
inhibitor. Keefektifan dari molekul inhibitor organik ini dipengaruhi oleh besarnya
ukuran molekul, ketidaksimetrian molekul, berat molekul, dan kerapatan elektron
molekul inhibitor.

Inhibitor juga dapat diklasifikasikan berdasarkan cara kerjanya, yaitu inhibitor anodik,
katodik, campuran dan teradsorpsi. Inhibitor anodik menghambat transfer ion-ion pada
logam ke lingkungannya dengan cara membangun lapisan pelindung tipis sepanjang
anoda dan meningkatkan potensial pada anoda sehingga dapat memperlambat laju
korosi. Berbeda dengan inhibitor anodik, inhibitor katodik mengendalikan laju korosi
dengan menghambat proses reaksi katodik, seperti reduksi oksigen terlarut. Inhibitor
campuran merupakan gabungan dari inhibitor anodik dan katodik sehingga
pengendalian korosi dilakukan secara bersamaan pada anoda dan katoda. Sedangkan,
inhibitor teradsorpsi adalah jenis inhibitor yang dapat mengisolasi logam dari
lingkungan korosif dengan cara membentuk film tipis yang teradsorpsi pada permukaan
logam.

2.4.1. Tanin sebagai Inhibitor

Sifat Fisik dan Kimia
Tanin adalah senyawa polifenolik yang bersifat asam lemah. pKa tanin bernilai 6. Tanin
banyak diekstrak dari berbagai bagian tanaman yang berasal dari beberapa spesies.


B.1112.3.19 22

Tanin, memiliki rumus kimia C
76
H
52
O
46
, berbentuk serbuk padatan kekuning
kuningan atau kecoklat coklatan pada suhu kamar. Massa molekulnya 1701,28 g/mol
dan bertitik leleh pada 200
o
C (392
o
F). Tanin mudah larut dalam air dan aseton. Rumus
bangun tanin disajikan pada Gambar 2.14 :


Gambar 2. 14. Rumus bangun tanin

Tanin termasuk senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil dan karboksil. Gugus
hidroksil pada tanin memiliki peran dalam proses inhibisi korosi melalui pembentukan
senyawa kompleks dengan kation pada logam. Pada besi, tanin akan membentuk
senyawa ferric tannate (Gambar 2.15) yang bersifat tidak mudah larut. Proses inhibisi
juga dapat dibantu dengan adanya gugus karboksil yang memiliki pasangan elektron
bebas pada oksigen.




Rumus molekul

Gambar 2. 15. Rumus bangun ferric tannate


B.1112.3.19 23

Klasifikasi Tanin
Secara umum, tanin diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu hydrolyzable tannins
dan condensed tannins.

- Hydrolyzable tannins

Tanin bisa dihidrolisis oleh asam kuat (contoh : asam sulfat atau asam klorida) karena
tannin biasa berikatan dengan karbohidrat membentuk jembatan oksigen. Ini merupakan
salah satu ciri dari hydrolysable tannins. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah
gallotanin. Senyawa ini merupakan gabungan dari karbohidrat dengan asam galat.
Selain membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tannin terhidrolisis yang
bisa disebut ellagitanin. Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam ellagic jika
dilarutkan dalam air. Rumus bangun dari asam galat dan asam ellagic ditunjukkan pada
Gambar 2.16 dan Gambar 2.17 :


Gambar 2. 16. Rumus bangun Asam Galat

Gambar 2. 17. Rumus bangun Asam Ellagat


B.1112.3.19 24


- Condensed tannins atau Proanthocyanidin

Tanin ini terdiri dari polimer flavonoid. Berbeda dari jenis pertama, tannin ini biasanya
tidak dapat dihidrolisis. Polimer ini dihubungkan melalui C8 dengan C4. Salah satu
contohnya dari jenis tannin ini adalah Sorghum procyanidin. Senyawa ini tersusun atas
epiccatechin dan catechin. Jika senyawa ini dikondensasi, maka akan menghasilkan
flavonoid jenis flavan dengan bantuan nukleofil berupa floroglusinol. Gambar berikut
ini menunjukkan rumus bangun dari Proanthocyanidin.
.
Gambar 2. 18. Proanthocyanidin (condensed tannin)

Kegunaan Tanin
Berikut ini merupakan beberapa aplikasi dari penggunaan tanin:

a. Efek terapinya sebagai adstrigensia pada jaringan hidup misalnya pada
gastrointestinal dan pada kulit.
b. Efek terapi yang lain sebagai anti septic pada jaringan luka, misalnya luka bakar,
dengan cara mengendapkan protein.
c. Sebagai pengawet dan penyamak kulit.
d. Reagensia di laboratorium untuk mendeteksi gelatin, protein dan alkaloid.
e. Sebagai inhibitor pada proses korosi dengan membentuk lapisan film pelindung
pada logam.



B.1112.3.19 25

2.5. Metoda Pengukuran Elektrokimiawi
2.5.1. Pengukuran Laju Korosi dengan Metoda Tafel

Metoda Tafel merupakan metoda pengukuran laju korosi secara elektrokimia dengan
memanfaatkan hubungan overpotensial terhadap logaritma rapat arus. Pengukuran laju
korosi dilakukan dengan mengekstrapolasi daerah tafel menuju potensial korosi. Arus
korosi adalah absis titik potong kurva anodik dan katodik. Jika dibandingkan dengan
metoda kehilangan berat, metoda Tafel memiliki beberapa keunggulan diantaranya
dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan memiliki tingkat akurasi yang lebih
tinggi. Selain itu, pengukuran laju korosi dapat dilakukan berulang kali pada elektroda
yang sama. Kelemahan Metoda Tafel adalah hanya dapat digunakan pada sistem dengan
proses oksidasi satu tahap karena daerah Tafel akan mengalami penyimpangan jika
terdapat lebih dari satu tahap proses oksidasi atau reduksi. Gambar 2.x menunjukkan
pengukuran laju korosi dengan Metoda Tafel.

Gambar 2. 19. Pengukuran laju korosi dengan metode tafel




B.1112.3.19 26

2.5.2. Prediksi Mekanisme Korosi dengan Voltametri Siklik

Sistem elektrokimia lengkap dapat dipelajari dengan memvariasikan potensial dan
mencatat perubahan arus terhadap waktu sehingga menghasilkan kurva 3 dimensi.
Namun, kurva tersebut sulit digunakan. Oleh karena itu, dibuatlah suatu metode yang
memvariasikan potensial secara linier terhadap waktu sehingga didapatlah kurva arus
terhadap potensial yang dikenal dengan metode Linier Potential Sweep
Chronoamperometry atau Linear Sweep Voltametry (LSV).

Pada Gambar 2.20, arus yang mulai mengalir ketika potensial elektroda mendekati nilai
E
0
(semakin negatif) yang menandakan terjadinya reduksi zat aktif A menjadi radikal
A

. Konsentrasi A akan semakin berkurang ditandai dengan semakin meningkatnya


arus. Konsentrasi A di permukaan terus turun mendekati 0 ketika potensial melewati
nilai E
0
. Laju perpindahan massa akan mencapai maksimum, kemudian akan berkurang
karena pengaruh konsentrasi zat aktif. Keadaan ini tampak sebagai puncak pada kurva
aruspotensial.

Gambar 2. 20. Kurva i terhadap E

Gambar 2.21 (a) menunjukkan kondisi kurva potensial terhadap waktu ketika potensial
semakin positif dan potensial semakin negative. Gambar 2.21(b) selain menunjukkan
pembahasan yang sama seperti Gambar 2.20, Gambar 2.21 (b) menunjukkan pula reaksi
oksidasi radikal A

berkonsentrasi besar di permukaan elektroda. Reaksi tersebut
menyebabkan arus anodik mengalir. Reaksi ini terjadi bila potensial mendekati dan
kemudian melewati E
0
dengan potensial dibalik ke arah positif. Puncak seperti pada
reaksi reduksi akan tebentuk pula dengan adanya reaksi oksidasi ini. Pembalikan arah


B.1112.3.19 27

potensial ini dikenal dengan percobaan Voltametri Siklik. Metode sangat bermanfaat
dalam mendapatkan informasi mengenai reaksi kompleks pada elektroda.

Gambar 2. 21. (a) Grafik perubahan potensial siklik (b) Hasil voltamogram siklik

Percobaan voltametri dengan pembalikan arah pemindaian linear pada waktu tertentu,
= t
atau saat potensial pembalikan, E

akan memberikan hubungan potensial terhadap


waktu sebagai berikut:

) 0 ( s < t

vt E E
i
=


> t

vt t v E E
i
+ = 2


Bentuk dari kuva pembalikan ini ditentukan oleh potensial pembalikan (E

)
.
Ada 2
parameter terukur yang penting untuk diamati yakni perbandingan besar arus puncak, i
pa
/i
pc
dan jarak antara potensial puncak, E
pa
E
pc
. Untuk sistem Nernstian dengan produk
yang stabil, perbandingan arus puncak sama dengan satu dan tidak dipengaruhi laju
pemindaian serta koefisien difusi. Penyimpangan nilai perbandingan i
pa
/i
pc
dari satu,
mengindikasikan kinetika homogen atau komplikasi lain dalam proses elektrodik.

Jarak antara E
pa
dengan E
pc
selalu mendekati harga 2,3RT/nF atau 59/n mV pada 25
o
C
bila sistem reversible meskipun merupakan fungsi dari E

. Jarak ini biasanya


disimbolkan dengan E
p
dan merupakan kriteria reversibilitas sistem.


B.1112.3.19 28


Gambar 2. 22. Grafik Voltamogram untuk pembalikan pada nilai E yang berbeda-beda dalam bentuk aluran
fungsi arus (i) terhadap waktu (t)

Voltametri siklik bermanfaat untuk menginterpretasikan perilaku sistem secara
kualitatif dan semi kuantitatif. Namun, metoda ini tidak tepat digunakan sebagai metode
evaluasi kuantitatif sifat-sifat sistem yang harus diturunkan dari tinggi puncak, seperti
konsentrasi spesi elektroaktif atau konstanta laju reaksi dari beberapa reaksi homogen.

Untuk sistem reaksi konsekutif, O + ne R dan O + ne R difusi O dan O tidak
saling mempengaruhi, fluksi total merupakan penjumlahan dari masing-masing fluksi,
dan kurva i-E total adalah jumlah dari kurva i-E untuk masing-masing O dan O.



Gambar 2. 23. Grafik Voltamogram siklik dalam bentuk aluran fungsi arus (i) terhadap waktu (t)

Reduksi bertahap pada satu senyawa O, berlangsung melalui mekanisme reaksi O +


B.1112.3.19 29

n
1
e R
1
dengan potensial E
1
0
, tahap kedua adalah reaksi R
1
+ n
2
e R
2
dengan
potensial E
2
0
. Reaksi tersebut mirip dengan sistem reaksi konsekutif tetapi mekanisme
sebenarnya berlangsung lebih kompleks. Apabila E
1
0
dan E
2
0
berbeda jauh, dengan E
1
0
> E
2
0
, maka akan terlihat dua puncak yang terpisah. Puncak pertama menunjukkan
reduksi O menjadi R
1
, kemudian R
1
berdifusi ke dalam larutan setelah melewati puncak.
Puncak kedua menunjukkan O yang mengalami reduksi lanjut, baik di permukaan
elektroda maupun oleh R
2
yang berdifusi meninggalkan elektroda ( O + R
2
2R
1
). R
1

kemudian berdifusi menuju elektroda untuk tereduksi menjadi R
2
sesuai dengan Gambar
2.24.


Gambar 2. 24.Voltamogram untuk larutan yang mengandung : 1) O saja; 2) O saja; 3) campuran antara O
dan O dengan n = n, Co = Co, Do = Do
Secara umum, bentuk kurva i-E bergantung pada
0
E A
, reversibilitas setiap tahap n
1
dan
n
2
. Voltamogram siklik untuk nilai
0
E A
yang berbeda dalam sistem dengan dua tahap
yang melibatkan satu elektron, ditunjukkan pada Gambar 2.24. Jika
0
E A
berada dalam
rentang 0-100mV, puncak-puncak tunggal akan bergabung menjadi satu puncak yang
lebar dengan E
p
yang tidak tergantung pada laju pemindaian. Jika
0
E A
= 0, akan
terbentuk satu puncak dengan besar arus puncak berada diantara nilai kedua arus
puncak. Untuk
0
E A
>180 mV, akan terbentuk puncak tunggal yang menggambarkan
reaksi reduksi reversibel 2e (O + 2e R
2
).





B.1112.3.19 30

2.6. Baja Karbon (Callister, 2007)

Baja adalah paduan besi dan karbon serta mengandung unsur pemadu yang lain. Sifat
mekanik dari baja bergantung pada kandungan karbon di dalamnya. Umunmya kurang
dari 1%-berat. Baja diklasifikasikan sesuai dengan konsentrasi karbonnya, yaitu baja
karbon rendah, sedang, dan tinggi. Tiap jenis baja karbon tersebut dikategorikan lebih
lanjut berdasarkan kadar unsur paduan lainnya, yaitu baja karbon polos (subkelas yang
mengandung sedikit unsur-unsur paduan non-karbon) dan baja paduan (subkelas yang
mengandung unsur-unsur paduan lebih banyak dalam konsentrasi yang spesifik).

2.6.1. Baja Karbon Rendah

Baja karbon rendah umumnya memiliki kandungan C 0,25% berat. Baja ini tidak
dapat dikuatkan dengan perlakuan panas (heat treatment) tetapi bisa dilakukan dengan
pengerjaan pada temperatur kamar (cold work). Struktur mikro baja karbon terdiri dari
ferrite dan pearlite sehingga baja jenis ini relatif lunak dan lemah tetapi memiliki
keuletan serta ketangguhan yang tinggi. Selain itu, baja karbon ini mudah dibubut,
mudah dilas, dan relatif murah untuk diproduksi. Baja ini memiliki kuat luluh sebesar
275 MPa (40000 psi), kuat tarik 415-550 MPa (60000-80000 psi), serta keuletan sebesar
25% EL.

Baja karbon rendah ini dikategorikan menjadi 2 subkelas, yaitu baja karbon rendah
polos dan baja high-strength low-alloy (HSLA). Baja HSLA mengandung bahan paduan
yang lain seperti tembaga, vanadium, nikel, dan molybdenum dengan konsentrasi
maksimum 10%-berat. Ketahanan terhadap korosi dan kekuatan dari baja HSLA lebih
tinggi dibandingkan baja karbon rendah polos. Aplikasi dari baja karbon-rendah ini
antara lain pada automobile body component, bangunan, jembatan, dan perpipaan. Tabel
2.3 dan 2.4 menunjukkan komposisi dan karakteristik mekanik dari beberapa baja
karbon-rendah.


B.1112.3.19 31

Tabel 2. 3. Komposisi baja karbon rendah
Kode
a
Komposisi (%-berat)
b

AISI/SAE/ASTM
Number
UNS Number C (%w) Mn (%w) Lainnya
Baja Karbon Rendah Polos
1010 G10100 0,10 0,45 -
1020 G10200 0,20 0,45 -
A36 K02600 0,29 1,00 0,20 Cu (min)
A516 Grade 70 K02700 0,31 1,00 0,25 Si
Baja High-Strength, Low-Alloy
A440 K12810 0,28 1,35 O,30 Si (max);
0,20 Cu (min)
A633 Grade E K12002 0,22 1,35 0,30 Si; 0,08 V;
0,02 N; 0,03 Nb
A656 Grade 1 K11804 0,18 1,60 0,60 Si; 0,1 V;
0,20 Al; 0,015 N
Keterangan :
a
AISI ( American Iron and Steel Institute); SAE ( the Society of Automotive Engineers) ; ASTM (the American
Society for Testing and Materials) ; UNS (Uniform Numbering System)
b
Komposisi juga terdiri maksimum 0,04 %-b P; 0,05%-b S; dan 0,03 %-b Si (jika tidak ditunjukkan dalam tabel

Tabel 2. 4. Karakteristik mekanik dan aplikasi berbagai jenis baja karbon rendah
AISI/SAE/
ASTM
Number
Kuat
Tarik
(MPa)
Kuat
luluh
(MPa)
Duktilitas
(%EL
dalam 50
mm)
Aplikasi
Baja Karbon Rendah Polos
1010 325 185 28 Panel mobil, paku, kawat
1020 380 205 25 Pipa, baja lembaran dan baja
kerangka
A36 400 220 23 Baja kerangka (jembatan dan
bangunan)
A516 Grade 70 485 260 21 Bejana tekan bertemperatur
rendah
Baja High-Strength, Low-Alloy
A440 435 290 21 Baja kerangka (berbaut dan
berkeling)
A633 Grade E 520 380 23 Baja kerangka (digunakan
untuk temperature rendah)
A656 Grade 1 655 552 15 Kerangka truk




B.1112.3.19 32

2.6.2. Baja Karbon Sedang

Baja karbon sedang memiliki kandungan karbon antara 0,25% sampai 0,60% berat.
Baja karbon ini memiliki struktur mikro tempered martensite. Baja karbon menengah
ini dapat ditingkatkan sifat mekaniknya melalui perlakuan panas (heat treatment).
Mampu keras (hardenability)nya rendah dan bisa diberi perlakuan panas hanya pada
daerah yang tipis dan dengan laju pendinginan yang sangat cepat. Penambahan krom,
nikel, dan molybdenum dapat meningkatkan kapasitas perlakuan panas, keuletan, dan
kekuatan (strength) dari baja jenis ini. Baja karbon ini memiliki keuletan dan
ketangguhan (toughness) yang cukup rendah tetapi lebih kuat dibandingkan baja karbon
rendah. Tabel 2.5 dan 2.6 menunjukkan komposisi dan mechanical properties dari
beberapa baja karbon-sedang.
Tabel 2. 5. Komposisi baja karbon sedang
Kode
a
Komposisi (%-berat)
b

AISI/SAE/ASTM
Number
UNS
Number
Ni (%w) Cr (%w) Mo (%w) Lainnya
Baja Karbon Sedang Polos
10xx, plain carbon G10xx0 - - - -
11xx, free machining G11xx0 - - - 0,08-0,33S
12xx, free machining G12xx0 - - - 0,10-0,35S
0,04-0,12P
Baja Paduan
40xx G40xx0 - - 0,20-0,30 -
43xx G43xx0 1,65-2,00 0,40-0,90 0,20-0,30 -
61xx G61xx0 - 0,50-1,10 - 0,10-0,15V
Keterangan :
a
Konsentrasi karbon, dalam persen dikalikan 100, dimasukkan pada xx untuk masing- masing baja yang
spesifik
b
Kecuali 12xx, konsentrasi fosfor < 1,00%-berat
Kecuali 11xx dan 12xx, konsentrasi sulfur < 0,04%-berat



B.1112.3.19 33

Tabel 2. 6. Karakteristik mekanik dan aplikasi berbagai jenis baja karbon sedang
AISI/SAE/ASTM
Number
Kuat
Tarik
(MPa)
Kuat
luluh
(MPa)
Duktilitas
(%EL dalam
50 mm)
Aplikasi
Baja Karbon Sedang Polos
1040 605-780 430-585 33-19 Poros/engkol
mesin, baut
1080
a
800-1310 480-980 24-13 Pahat, palu
1095
a
760-1280 510-830 26-10 Pisau, gergaji
Baja Paduan
4063 786-2380 710-1770 24-4 Hand tools
4340 980-1960 895-1570 21-11 Aircraft tubing
6150 815-2170 745-1860 22-7 Piston, gigi (gear)


2.6.3. Baja Karbon Tinggi

Baja karbon tinggi adalah baja dengan kandungan karbon antara 0,6-1,4% berat dan
merupakan jenis baja yang terkeras, terkuat, tetapi paling tidak ulet dibandingkan baja
karbon yang lain. Peralatan dan cetakan baja yang mengandung campuran karbon yang
tinggi, biasanya juga mengandung krom, vanadium, tungsten, dan molybdenum. Paduan
tersebut dapat berikatan dengan karbon untuk membentuk senyawa karbida yang keras,
seperti Cr
23
C
6
, V
4
C
3
, dan WC. Baja ini dapat dikeraskan sehingga baja ini tahan aus dan
tetap tajam. Penggunaannya adalah untuk baja perkakas, cetakan, cutting tools, dan lain-
lain. Tabel 2.7 menunjukkan komposisi dan aplikasi dari beberapa baja karbon tinggi.
Tabel 2. 7. Komposisi baja karbon tinggi
AISI
Number
UNS
Number
Komposisi (%-berat)
a

Aplikasi
C Cr Ni Mo W V
M1 T11301 0,85 3,75 0,30
max
8,70 1,75 1,20 Bor,
gergaji




B.1112.3.19 34

AISI
Number
UNS
Number
Komposisi (%-berat)
a

Aplikasi
C Cr Ni Mo W V
A2 T30102 1,00 5,15 0,30
max
1,15 - 0,35 Alat
pembuat
lubang
(punches)
D2 T30402 1,50 12 0,30
max
0,95 - 1,10
max
Alat
pemotong
O1 T31501 0,95 0,50 0,30
max
- 0,50 0,30
max
Bilah, alat
pemotong
S1 T41901 0,50 1,40 0,30
max
0,50
max
2,25 0,25 Pemotong
pipa
W1 T72301 1,10 0,15
max
0,20
max
0,10
max
0,15
max
0,10
max
Alat-alat
pandai
besi dan
perkayuan
Keterangan :
a
Komposisi setimbangnya adalah besi. Konsentrasi mangan bervariasi antara 0,10 sampai 1,4 %-berat,
tergantung pada paduannya; konsentrasi silikon antara 0,20 sampai 1,2 %-berat tergantung pada
paduannya.

2.7. Asam Sulfat
2.7.1. Sifat Fisik dan Kimia

Asam sulfat adalah asam kuat yang mempunyai rumus kimia H
2
SO
4
dan massa molekul
sebesar 98,08 g/mol. Senyawa higroskopis ini memiliki titik leleh pada -35
o
C serta titik
didih pada 270
o
C. Asam sulfat reaktif terhadap air, alkohol, zat pengoksidasi, senyawa
yang mudah terbakar, dan senyawa organik. Asam sulfat bersifat korosif terhadap
beberapa logam seperti baja, tembaga, dan aluminium. Rumus bangun dari asam sulfat
ditunjukkan pada gambar berikut ini.


B.1112.3.19 35


Gambar 2. 25. Rumus bangun Asam Sulfat

2.7.2. Kegunaan Asam Sulfat

Asam sulfat banyak digunakan dalam industri, antara lain untuk pembuatan pupuk
fosfat, deterjen, tawas (Al
2
(SO
4
)
3
). Asam sulfat bertindak sebagai koagulan pada water
treatment plants, serta berperan sebagai katalis pada produksi nilon dan isooktan.

2.7.3. Korosifitas Asam Sulfat Pada Logam

Korosifitas dari asam sulfat pada tiap jenis logam bergantung pada konsentrasi dan
temperatur yang ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 2. 26. Diagram isokorosi untuk material pada lingkungan asam sulfat (Principle and Prevention of
Corrosion, Denny A. Jones, halaman 390)

Sifat korosif ini terjadi juga terhadap baja karbon. Namun baja karbon dapat digunakan
pada lingkungan asam sulfat yang berkonsentrasi 65-101%, karena pada kondisi itu baja
karbon masih dapat membentuk film sulfat, dengan prasyarat tidak ada aliran (statis)


B.1112.3.19 36

atau berlaju alir rendah, karena film sulfat mudah terkikis oleh laju alir yang terlalu
tinggi. [Jones, 1992]

Reaksi korosi baja karbon pada lingkungan asam sulfat adalah sebagai berikut:
Fe Fe
2+
+ 2e
-
(oksidasi)
2H
+
+ 2e
-
H
2
(reduksi)
Fe + 2H
+
Fe
2+
+ H
2

SO
4
2-
SO
4
2-

Fe + H
2
SO
4
FeSO
4
+ H
2
Gas hidrogen hasil dari reaksi reduksi tersebut akan menghambat proses inhibisi korosi
karena gas hidrogen akan mempercepat proses pengikisan film sulfat. Ketika aliran
asam sulfat berjalan normal, pembentukan gelembung gas hidrogen akan tersebar secara
merata dan terbawa dengan aliran tersebut menuju pipa keluaran sehingga kemungkinan
terjadinya korosi pada dinding pipa kecil. Tetapi pada saat aliran berhenti, gelembung
gas hidrogen akan terakumulasi di sepanjang bagian atas dinding pipa dan ketika aliran
dijalankan kembali, akumulasi gelembung gas hidrogen tersebut akan mengikis film
sulfat sehingga logam menjadi tidak terlindungi dan akan terkorosi.



B.1112.3.19 37

BAB III
RANCANGAN PERCOBAAN
3.1. Metodologi

Penelitian Kemampuan Tanin sebagai Inhibitor Korosi Baja Karbon dalam Larutan
Asam Sulfat dilakukan dengan beberapa tahap percobaan yang meliputi :

1. Penyiapan spesimen, medium dan alat
2. Pengukuran laju korosi
3. Prediksi mekanisme korosi
4. Analisis dan pengolahan data
5. Pembuatan laporan
Diagram alir tahap percobaan ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3. 1. Diagram Alir Percobaan
Laju korosi diukur secara elektrokimia dengan metode Tafel sedangkan prediksi
mekanisme korosi dilakukan dengan voltametri siklik.

Penyiapan
medium
Penyiapan
spesimen
Penyiapan
alat
Pengukuran
laju korosi
Prediksi
mekanisme
korosi
Analisis dan
pengolahan
data
Pembuatan
Laporan


B.1112.3.19 38

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan oleh Tabel 3.1.
Tabel 3. 1. Daftar alat percobaan
No. Nama Alat Jumlah
1 Potensiostat+software+PC 1 unit
2 Sel elektrokimia 1 unit
3 Jembatan garam 2 buah
4 Elektroda kawat platina 1 buah
5 Elektroda kalomel 1 unit
6 Desikator dengan silica gel 1 unit
7 Solder 1 buah
8 Cetakan resin 4 unit
9 Pengering listrik 1 unit
10 Neraca analitik 1 unit
11 Magnetic stirrer 1 set
12 Kaca arloji 1 unit
13 Spatula 1 unit
14 Botol semprot 2 unit
15 Corong gelas,7 cm 1 unit
16 Gelas Kimia 1 L dan 50 mL @ 2 buah
17 Labu takar 1 L 1 buah
18 Jerigen plastik 20 L 2 unit
19 pH meter 1 unit
20 Pipet Ukur, 10 mL 1 buah

Skema rangkaian alat pada penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 3.2.


B.1112.3.19 39


Gambar 3. 2. Skema rangkaian alat polarisasi potensiostatik (ASTM G5-82,1997)

3.2.2. Bahan
Tabel 3.2 menunjukkan bahan yang dibutuhkan untuk penelitian ini.
Tabel 3. 2. Daftar bahan percobaan
No. Nama Bahan Jumlah
1. Pelat baja karbon rendah, 10x15 cm
2
1 keping
2. Resin dan hardener 1 L
3. Kabel tunggal 2 m
4. Timah solder 1 gulung
5. Kertas abrasif grid 60, 150, 320, 600, 1000, 1200 @ 10 lembar
6. H
2
SO
4
, 18 M 1 L
7. Tanin 500 g


B.1112.3.19 40

No. Nama Bahan Jumlah
8. Aqua dm 20 L
9. Larutan buffer pH 4 dan pH 7 @ 1 botol
10. KCl, p.a. 500 g
11. Agar-agar pac 1 bungkus
12. Etanol 95% 1 L
13. CD 2 keping
14. Permanent Marker 1 buah
15. Jepit Buaya 1 lusin

3.3. Prosedur Percobaan
3.3.1. Persiapan Spesimen

Tahap ini meliputi penyediaan pelat baja karbon rendah berukuran 1x1 cm
2
dengan
tebal 2 mm. Komposisi baja karbon rendah ditampilkan pada Tabel 3.3. Pelat baja
tersebut lalu disolder dengan kabel dan dicetak dengan resin untuk menutup permukaan
yang tidak digunakan. Penggosokan dengan kertas abrasif dilakukan pada permukaan
baja yang tidak tertutup oleh resin. Penggosokan dilakukan dengan bantuan air yang
mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel di permukaan baja. Spesimen
kemudian dibilas dengan aqua dm dan etanol. Setelah itu spesimen dikeringkan
menggunakan pengering listrik.
Tabel 3. 3. Komposisi kimia baja karbon rendah
No. Unsur %-berat
1 C 0,13
2 Si 0,078
3 P 0,018
4 S 0,006
5 Mn 0,321


B.1112.3.19 41

No. Unsur %-berat
6 Cu 0,414
7 Fe balance


3.3.2. Persiapan Medium

Medium yang digunakan adalah larutan asam sulfat dengan konsentrasi bervariasi.
Variasi konsentrasi asam sulfat yang digunakan dibuat dengan pengenceran larutan
asam sulfat 18 M pada labu takar 1 L.

Inhibitor yang digunakan adalah tanin dengan konsentrasi 20,40, dan 80 ppm. Inhibitor
dilarutkan di dalam medium yang diuji.

3.3.3. Pengukuran Laju Korosi dan Prediksi Mekanisme Korosi

Percobaan dilakukan pada tekanan ruangan dan temperatur bervariasi, tanpa
pengadukan. Pengukuran laju korosi dilakukan berdasarkan metoda Tafel dan
menggunakan perangkat alat uji potensiostatik yang terdiri dari potensiostat, sel korosi,
dan elektroda acuan. Gambar 3.2 menunjukkan skema rangkaian alat uji potensiostatik.

Asumsi yang digunakan pada pengukuran laju korosi pelat baja adalah serangan korosi
merata. Prediksi mekanisme korosi dilakukan berdasarkan metoda voltaperometrik
siklik, menggunakan perangkat alat yang sama dengan pengukuran laju korosi.

3.3.4. Variasi Percobaan

Untuk menguji keefektifan tanin sebagai inhibitor korosi baja karbon pada larutan asam
sulfat, dilakukan variasi konsentrasi asam sulfat (0,1 M; 0,2 M ; dan 0.4 M),
konsentrasi tannin (20, 40 dan 80 ppm), dan temperatur (kamar dan 50C).


B.1112.3.19 42

3.4. Analisis Data
3.4.1. Perhitungan Nilai Laju Korosi

Pengukuran nilai rapat arus korosi (i
corr
) dilakukan dengan metoda Tafel, yaitu dengan
menentukan titik potong kurva anodik dan katodik pada aluran potensial (E) terhadap
logaritma rapat arus (log i). Berdasarkan rumus Faraday, perhitungan nilai laju korosi
dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

(3.1)

dengan i
corr
: rapat arus korosi (A/cm
2
)
a : berat atom (gram/mol)
n : jumlah elektron yang terlibat (ekivalen/mol)
F : bilangan Faraday (96500
Coulomb
/
ekivalen
)
K : konstanta untuk menyetarakan satuan

3.4.2. Prediksi Mekanisme Inhibisi Korosi

Mekanisme inhibisi korosi yang terjadi diprediksi dengan voltametri siklik
menggunakan alat potensiostat. Setelah nilai arus I dialurkan terhadap potensial E,
diperoleh nilai potensial puncak anodik E
p,a
, potensial puncak katodik E
p,c
, arus puncak
anodik I
p,a
dan arus puncak katodik I
p,c
. Besaran-besaran tersebut digunakan untuk
menentukan reversibilitas reaksi, kestabilan produk reaksi, cara kerja inhibitor dan
jumlah tahap reaksi anodik maupun katodik.
3.5. Rencana Kerja






B.1112.3.19 43

Tabel 3. 4. Rencana Kerja
Kegiatan
Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Persiapan spesimen,
alat, dan medium

Pengukuran laju korosi

Voltametri siklik

Pengolahan data

Pembuatan laporan




B.1112.3.19 44

DAFTAR PUSTAKA

Callister, W. (2007). Material Science and Engineering, 7th Ed. New York: John Wiley and
Sons.
Etzold, U., Mohr, K., & Hulser, P. (n.d.). The Use of Corrosion Inhibitors in Steel Strip
Production and Coating. 14.
Fontana, M. G., & Greene, N. D. (1967). Corrosion Engineering 1st Ed. New York: McGraw-
Hill.
Jones, D. A. (1992). Principles and Prevention of Corrosion. United State of America:
Macmillan Publishing Company.
Peres, R., Cassel, E., & Azambuja, D. (2012). BlackWattle Tannin As Steel Corrosion Inhibitor.
ISRN Corrosion, 9.
Rahim, A., Rocca, E., Steinmetz, J., Adnan, R., & Kassim, M. (n.d.). Mangrove tannins as
corrosion inhibitors in acidic medium - Study of flavanoid monomer. 9.
Rehim, S., Hazzazi, O., Amin, M., & Khaled, K. (2008). On the corrosion inhibition of low
carbon steel in concentrated sulphuric acid. Elsevier, 14.
Roberge, R. P. (2000). Handbook of Corrosion Engineering. New York: McGraw-Hill.
Shah, A. M., Rahim, A. A., Yahya, S., & Raja, P. (2011). Acid Corrosion Inhitibon of Copper
by Mangrove Tannin. Emerald, 118-122.
Tan, K., & Kassim, M. (2010). A correlation study on the phenolic profiles and corrosion
inhibition properties. Elsevier, 6.




B.1112.3.19 45

DAFTAR SIMBOL

a Berat atom [ gr/mol]
E Potensial permukaan [mV]
E
corr
Potensial korosi [mV]
E
p
Potensial puncak [mV]
E
p,a
Nilai potensial puncak anodik [mV]
E
p,c
Nilai potensial puncak katodik [mV]
E
p
Jarak antara E
p,a
dan E
p,c

E
0
Potensial elektroda pada saat reduksi mulai berlangsung [mV]
E

Potensial pembalikan [mV]
EL Perpanjangan
F Konstanta Faraday [coulomb/ekivalen]
I Arus [mA]
i Rapat arus [mA/m
2
]
a
i Rapat arus anodik [mA/m
2
]
i
app
Rapat arus listrik [mA/m
2
]

c
i Rapat arus katodik [mA/m
2
]
I
corr
Rapat arus korosi [mA/m
2
]
i
lim
Rapat arus pada saat terjadi polarisasi konsentrasi [mA/m
2
]
o
i Rapat arus pertukaran [mA/m
2
]
i
p
Arus puncak [mA/m
2
]
pc pa
i i / Perbandingan besar arus puncak anodik dengan katodik [-]
K Konstanta untuk menyetarakan satuan konstanta Tafel [-]
n Jumlah elektron yang terlibat [-]
pH Derajat keasaman [-]
R Tetapan gas ideal [J/mol.K]
r Laju korosi [mm/tahun]
T Temperatur [K]
t Waktu [s]
Kecepatan scan [mV/s]
W Berat [gr/gr]


Greek
Waktu pada saat terjadi potensial pembalikan [s]

A
Polarisasi anodik potensial korosi [mV]
Efisiensi korosi [%]




B.1112.3.19 46


LAMPIRAN A


B.1112.3.19 50








LAMPIRAN B

You might also like