You are on page 1of 26

1

DISKUSI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R.I. NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TANGGAL 27 FEBRUARI 2012 TENTANG PENGUBAHAN PASAL 43 UUP TENTANG HUBUNGAN PERDATA ANAK DENGAN AYAH BIOLOGISNYA1
Oleh: A. Mukti Arto
2

Perhatian:
1. Sebelum kita mendiskusikan naskah ini, mohon dikosongkan dulu pendapat dan keyakinan (doktrin) hukum yang selama ini telah kita miliki agar ada ruang masuk bagi pemikiran baru. 2. Tanggalkan dulu sikap apologi, apriori serta mempertahankan pendapat lama atau kepentingan tertentu agar kita dapat menemukan kebenaran Ilahiyah melalui kemerdekaan berfikir yang dinamis logis transendental. 3. Kajian ini lebih bersifat akademik (ilmiah), bukan doktrin, dengan memanfaatkan filsafat hukum, teori-teori hukum dan ilmu usul fikih yang berbasis pada logika transendental yang kebenarannya harus dapat diuji dan dikaji ulang. Oleh karena itu, berikan kritikan terhadap penalaran hukum (metode berfikir yuridik) yang digunakan dalam kajian ini dan kemudian silahkan dibandingkan dengan penalaran hukum Anda atau penalaran hukum lainnya, pilihlah yang lebih dekat kepada kebenaran. 4. Dalam memutus perkara, hakim harus mempertanggungjawabkan pendapatnya dengan menjelaskan reasoningnya, yakni proses berfikir yuridik sehingga menghasilkan pendapat hukum yang dijadikan dasar untuk memutus perkara. Hakim boleh saja mengambil pendapat orang lain tetapi harus dinyatakan diambil alih menjadi pendapatnya sendiri. Hal ini berarti hakim harus mempertanggungjawabkan pendapat orang lain tersebut, setelah menyetujui reasoningnya karena sejalan dengan penalaran sang hakim.

Selamat berdiskusi !!! I. Latar Belakang Adalah Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kec yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan
1

tersebut

dilahirkan

seorang

anak

laki-laki

bernama

Bahan diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon. 2 Hakim Tinggi/WKPTA Ambon.

Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono? Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) menyatakan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut menetapkan bahwa: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.3 Keadaan ini bertentangan dengan Konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertentangan dengan Konstitusi karena menutup hak anak yang lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.4 Hubungan darah antara anak dengan ibunya merupakan realitas sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri, ditutup ataupun ditutup-tutupi oleh siapapun, dengan cara apapun, maupun oleh aturan hukum manapun. Hubungan darah inilah yang menjadi dasar adanya hubungan perdata

3 4

Putusan MK Nomor 46/PUU-IIIV/2010 tanggal 27 Februari 2012, hlm. 3. Ibid., hlm. 36.

antara anak dengan ibunya, baik yang dikandungnya sendiri ataupun dititipkan pada perempuan lain. Analog dengan pemikiran tersebut, seharusnya hubungan darah antara anak dengan ayahnya juga menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya. Namun kenyataannya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya ini tidak/belum terlindungi dalam UUP meskipun tidak ada kesengajaan untuk menutupinya, padahal sebenarnya antara mereka juga memiliki hubungan darah. II. Permasalahan Dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012 tersebut memunculkan berbagai persoalan hukum yang perlu didiskusikan. Beberapa

permasalahan tersebut, antara lain, ialah: 1. Substansi hukum apa yang diubah dengan putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tgl 27 Februari 2012 tersebut? 2. Apa tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP? 3. Apa akibat hukum dari perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut? 4. Apakah pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut tidak bertentangan dengan syariah Islam? 5. Apakah perubahan tersebut berlaku otomatis? 6. Bagaimana acara penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama setelah perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP? 7. Apakah Putusan MK tersebut berlaku surut? 8. Bagaimana tatacara penerbitan akta kelahiran? 9. Apa implikasi dari pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut? Agar diskusi ini lebih fokus, maka diskusi ini membatasi diri pada hubungan perdata antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan ayah biologisnya, dalam rangka menemukan kepastian hukum tentang asal-usul anak yang lahir di luar perkawinan.

III. Pembahasan 1. Substansi perubahan hukum PASAL 43 AYAT (1) UUP (LAMA) Anak yg dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (BARU) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

Dalam Pasal 43 ayat (1) UUP lama yang menyatakan bahwa: Anak yg dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, terdapat frase hanya yang berarti pembatasan, yakni hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Kemudian Pasal 43 ayat (1) hasil reviu MK menyatakan bahwa: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya; Frase hanya dihapus diganti dengan frase serta pada akhir ayat yang berarti penambahan hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.5 Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tgl 27 Februari 2012 tersebut, hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya didasarkan atas adanya hubungan darah secara nyata antara anak
5

Putusan MK, hlm. 37.

dengan ayahnya, sebagaimana hubungan darah dengan ibunya, meskipun antara ayah dan ibunya belum tentu ada ikatan perkawinan. Ketiadaan dan/atau ketidaksempurnaan hubungan nikah antara ayah dengan ibunya tidak menghapuskan adanya hubungan darah dan hubungan perdata antara anak dengan ayah kandungnya sebagaimana hubungan perdata antara anak dengan ibu kandungnya. 2. Tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP Dari putusan MK itu selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu: 1. Memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya, yakni bahwa hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi hubungan hukum sehingga memiliki akibat hukum. 2. Memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak, baik terhadap ayahnya dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya. 3. Memberi perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang dilahirkan meskipun perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian. 4. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 5. Menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal custady) memelihara setiap anak yang dilahirkan dari darahnya. 6. Melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak dan tanggung jawab satu sama lain. 7. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.

8. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan biaya penghidupan, perindungan dan lain sebagainya dari ayahnya sebagaimana mestinya. 9. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini menyebabkan lahirnya anak.6 Mereka tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut. Hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat berupa: (1) hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3) hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5) hubungan wali nikah antara ayah dengan anak perempuannya. Hak-hak dasar anak (Psl 4 s/d 18 UU No. 23 th 2002 tentang Perlindungan Anak), antara lain, adalah: (1) Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; (2) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; (3) Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; (4) Hak mendapat perlindungan dari perlakuan: a.diskriminasi; b.eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c.penelantaran; d.kekejaman, kekerasan, dan

penganiayaan; e.ketidakadilan; dan f.perlakuan salah lainnya; (5) Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri. Penggelapan asal-usul anak merupakan tindak pidana (Pasal 277 KUH Pidana). Demikian pula mengakui seseorang anak sebagai anaknya padahal diketahui olehnya bahwa anak dimaksud
6

Putusan MK., hlm. 29-36.

adalah bukan anaknya juga merupakan tindak pidana (Pasal 278 KUH Pidana). Hak-hak dasar anak merupakan hak konstitusional, yakni hak yang diakui dan dilindungi oleh UUD Tahun 1945. Demikian pula mengenai asalusul anak dengan segala hak-hak perdatanya, baik dengan ibu maupun ayahnya, juga dilindungi oleh UUD Tahun 1945. 3. Akibat hukum perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP Putusan MK tersebut, secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak perubahan hukum, antara lain, yaitu: 1. Mengubah hubungan darah anak dengan ayah bilogisnya yang semula hanya bersifat alamiah (sunnatullah) semata menjadi hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum berupa hubungan perdata. 2. Adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya tidak ada. 3. Adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak itu lahir di luar perkawinan. Sebelumnya, ayah biologis tidak dapat digugat untuk bertanggung jawab atas anak biologisnya. Wali nikah. Mengenai wali nikah, ternyata Putusan MK tersebut tidak mengubah ketentuan Pasal 42 UUP yang menyakan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian maka, ayah biologis tidak serta merta dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak perempuannya karena untuk menjadi wali nikah disyaratkan adanya legalitas hukum. Hubungan wali nikah merupakan hubungan resmi yang memerlukan legalitas hukum. Namun demikian apabila adanya hubungan nasab telah dapat dibuktikan

melalui putusan pengadilan dan telah mempunyai akta kelahiran, maka ayahnya dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak perempuannya yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir dari perkawinan yang fasid (batal), maka ia tetap menjadi anak sah karena batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut (Pasal 28 ayat (2) huruf a UUP). Demikian pula, analog dengan ketentuan hukum tersebut di atas, maka anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah juga anak yang sah karena ketidakabsahan perkawinan orang tuanya tidak dapat menghapuskan hubungan hubungan darah dengan ibu dan ayah biologisnya. Hubungan darah inilah yang menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan orang tuanya. 4. Apakah pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tidak bertentangan dengan Syariah Islam? Ahmad Sukarja mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Islam berlaku tiga katagori hukum Islam, yaitu: (1) Syariah, (2) Fikih, dan (3) Siyasah Syariyah.7 Syariah ( ,)sebagaimana diuraikan oleh Syamsul Anwar, berarti jalan yang digariskan Tuhan menuju kepada keselamatan atau lebih tepatnya: jalan menuju Tuhan. Mahmud Syalthout, dalam bukunya Al-Islamu Aqidah wa Syariah mengatakan:8 Artinya: Syariah Islam merupakan suatu sistem atau tatanan yang ditetapkan Allah, atau yang ditetapkan dasar-dasarnya saja guna menjadi pedoman bagi umat manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya,

Ahmad Sukarja, Piagam Madinah Dan UU Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 26. Mahmud Syalthout, Al Islamu Akidah wa Syariah, Daarul Qalam, Cetakan ke 3, 1966, hlm.12.
8

dengan saudaranya sesama muslim, dengan sesama umat manusia, dengan alam lingkungannya, dan dengan kehidupannya sendiri. Syamsul Anwar mengatakan bahwa syariah digunakan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaan maupun tingkah laku praktisnya. Dalam hal ini, syariah identik dengan syarak (asy syari) dan ad-din (agama Islam). Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari syariah dalam arti luas, yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkrit manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam.9 Namun demikian, kata Syamsul Anwar, syariah dalam arti sempit ini masih lebih luas dari sekedar hukum pada umumnya, karena syariah ini tidak saja meliputi norma hukum itu sendiri, tetapi juga norma etika (kesusilaan), norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diajarkan Islam.10 Hukum syariah (hukum syara) tersebut, menurut Muhammad Abu Zahrah, merupakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan: (1) perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau (2) menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang.11 Fikih ( ,)menurut Muhammad Abu Zahrah, adalah ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syara yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.12 Menurut Syamsul Anwar, fikih mempunyai dua arti, yaitu ilmu hukum (jurisprudence) dan hukum itu sendiri (law). Dalam arti pertama, fikih adalah ilmu hukum Islam, yaitu
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teoeri Akad dalam Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 4-5. 10 Ibid. Baca juga Mahmud Syalthout, Al Islamu Aqidah wa Syariah, Daarul Qalam, Cetakan ke 3, 1966, hlm.12. 11 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, Dar al Fikr al Arabi, 1958, hlm. 26. 12 Ibid, hlm. 6.
9

10

suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam kaitannya dengan tingkah laku konkrit manusia dalam berbagai dimesi hubungan. Dalam arti kedua, fikih adalah hukum Islam itu sendiri, yaitu kumpulan norma-norma atau hukum-hukum syarak yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungan, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Alquran dan Sunnah Nabi Saw, maupun yang merupakan hasil ijtihad, yakni interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam (fukahak) terhadap dua sumber hukum tadi.13 Siyasah syariyah ( ) didefinisikan oleh Abdu al Wahhab Khallaf sebagai kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dapat mendatangkan/mewujudkan kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.14 Terhadap definisi-definisi tersebut, Ahmad Sukarja

memberikan penegasan bahwa hukum syara adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya yang secara jelas terdapat dalam Alquran dan Hadis. Fikih adalah hukum-hukum hasil pemahaman ulama mujtahid dari dalil-dalilnya yang rinci (terutama ayat Alquran dan Hadis). Sedang siyasah syariyah adalah al qawanin, yakni peraturan perundangundanmgan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syariat (agama).15 Menurutnya, syariah mempunyai sifat tetap, tidak berubah, dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat. Shalat, zakat, puasa ramadhan dan haji adalah syariah. Demikian pula prinsip musyawarah dan bersikap adil adalah syariah karena secara jelas diperintahkan Allah dalam firman-Nya.16 Penerapan siyasah syariyah ini di Indonesia, antara lain, dilakukan dalam bentuk UU Dasar sebagai hukum dasar dan peraturan perUUan
13

Syamsul Anwar, op., cit., hlm. 5-6. Abdu al Wahhab Khallaf, Al Siyasah al Syariyah, al Qahirah, Dar al Anshar, 1977, hlm. 4. 15 Ahmad Sukarja, op., cit., hlm. 10. 16 Ibid,.
14

11

sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat berbentuk: a. UU Dasar; b. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah; dan f. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung.17 Ahli-ahli hukum Islam klasik membuat penjenjangan norma-norma hukum Islam menjadi dua tingkat, yaitu (1) al-ushul (asas-asas umum), dan (2) al-furu (peraturan-peraturan hukum konkrit). Menurut Syamsul Anwar, al-ushul (asas-asas umum) itu meliputi katagori yang luas sehingga mencakup pula norma-norma filosofis dasar yang menjadi tempat tegaknya dua norma di atas. Menurut Syamsul Anwar, norma-norma hukum Islam ini dapat dijenjangkan menjadi tiga lapis, yaitu: Pertama, nilai-nilai dasar atau norma-norma filosofis (al-qiyam al-asasiyyah); Kedua, asas-asas umum (alushul al-kulliyyah); dan Ketiga, peraturan-peraturan hukum konkrit.18 Syamsul Anwar menguraikan penjenjangan syariah tersebut sebagai berikut: I. Norma-norma filosofis merupakan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi ajaran Islam (termasuk hukum-hukumnya) seperti

kemaslahatan, keadilan, persamaan, kebebasan, akidah, akhlak, persaudaraan dan seterusnya. II. Nilai-nilai dasar ini kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk asasasas umum yang merupakan norma-norma tengah agar menjadi jembatan menuju peraturan hukum konkrit. Asas-asas umum ini ada dua jenis, yaitu: pertama, asas-asas umum yang dirumuskan secara ringkas dan padat ke dalam rumusan yuristik yang disebut dengan kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid al-fikihiyyah) seperti kaidah
Pasal 7 dan 8 UU No.11 Tahun 2012. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teoeri Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 12.
18 17

12

Adat kebiasaan adalah sumber hukum dan sebagainya; dan kedua, asas-asas hukum yang bersifat praktis yang disebut asas-asas hukum Islam (an-nazhariyyah al-fikihiyyah) seperti asas-asas yang berlaku dalam perjanjian, pidana, siyasah, dan seterusnya. III. Peraturan hukum konkrit adalah konkritisasi dari asas umum yang terwujud dalam dua bentuk, yaitu: (1) dalam bentuk ketentuanketentuan hukum taklifi seperti halal, haram, wajib, makruh dan mubah, dan sebagainya; dan (2) dalam bentuk ketentuan-ketentuan hukum wadhi yang meliputi sebab, syarat, halangan, rukun, tatacara, sah, batal dan sebagainya. Tiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkis di mana norma yang lebih abstrak dijabarkan lebih lanjut (dikonkritisasi) ke dalam norma yang lebih konkrit.19 Demikian Syamsul Anwar. Syariah Islam ini diturunkan dengan memiliki tujuan tertentu yang dapat disebut dengan almaqasid al-syariah, yaitu bahwa syariah Islam diturunkan untuk: memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan nasal (keturunan) manusia ( ) yang dikatagorikan dengan al maqashid al khamsah.20 Untuk itulah kemudian disusun hukum terapan syariah Islam dalam bentuknya yang konkrit, baik dalam bentuk fikih maupun peraturan perundang-undangan. Peraturan hukum konkrit ini bersifat dinamis sehingga sangat dimungkinkan untuk dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemaslahatan sesuai illatnya demi terwujudnya almaqasid alkhamsah. Menurut hemat penulis, syariah Islam dalam bentuknya yang berupa nilai-nilai dasar bersifat absolut, abstrak, abadi, dan universal. Ia bersifat transendental karena bersumber pada wahyu Ilahi. Syariah dalam bentuknya yang berupa asas-asas umum dan asas-asas hukum praktis
Syamsul Anwar, loc., cit., hlm. 12-13. Al Syatibi, al Muwafaqat fiy Ushul al-Syariah, Beirut, Darul Kutubi al Arabiyah, tth., Juz. II, hlm. 7.
20 19

13

berfungsi menjembatani syariah, dari nilai-nilai dasar ke norma hukum praktis, baik dalam bentuk fikih maupun peraturan perundang-undangan. Termasuk ke dalam asas-asas umum (prinsip-prinsip dasar) ini, antara lain, adalah: hak-hak adami merupakan hak asasi manusia yang diberikan Allah; hubungan darah merupakan sunnatullah; setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah; setiap mukallaf bertanggung jawab atas perbuatannya; dan lain sebagainya. Syariah dalam bentuknya yang berupa peraturan hukum konkrit bersifat relatif, konkrit, temporer, dan lokal. Ia bersifat dinamis logis transedental. Dinamis berarti mengikuti kebutuhan kemaslahatan yang terus berkembang. Terhadap peraturan hukum konkrit ini berlaku kaidah-kaidah hukum bahwa: hukum itu berkembang bersama illatnya,21 perubahan hukum dapat terjadi karena perkembangan era dan area,22 serta kaidah bahwa hukum itu mengikuti kemaslahatan yang paling unggul.23 Logis berarti berdasarkan pada hukum berfifkir benar agar menghasilkan kebenaran. Transendental berarti berpijak pada nilai-nilai dasar syariah Islam yang ditetapkan dalam wahyu Ilahi agar menghasilkan kebenaran Ilahiyah. Hal inilah yang membuat syariah Islam selalu selaras dengan perkembangan era, area, dan suasana, yakni cocok untuk segala zaman dan tempat ( ,) menuju maslahat yang paling unggul yang bermuara pada terwujudnya al-maqasid alkhamsah. Penjabaran hirarkis hukum Islam dan perumusan maqasid alsyariah ini sangat bermanfaat dalam rangka pengembangan hukum Islam demi pelayanan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Dalam menyikapi pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut, maka kita harus kembali kepada nilai-nilai dasar syariah Islam dan asas-asas

Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, hlm. 71. Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, Januari 1997, hal. 145. A. Djazuli, KaidahKaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Juni 2006, hlm.109. 23 Ibid.
22

21

14

umum serta asas-asas hukumnya agar dapat memahami perubahan hukum konkritnya mengenai anak, hubungan darah, dan tanggung jawab ayah. Dalam kehidupan sehari-hari selalu kita temukan berbagai fakta atau kejadian. Fakta kejadian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu peritiwa dan perbuatan. Setiap peristiwa terjadi berdasarkan sunnatullah (hukum alam); sedang perbuatan itu terjadi karena dilakukan oleh manusia sebagai subyek hukum (mukallaf). Oleh sebab semua peristiwa itu terjadi berdasarkan sunnatullah, maka ia terbebas dari tatanan hukum taklifi, seperti: syarat, rukun dan tatacara tertentu menurut hukum sehingga ia juga tidak terikat dengan nilai-nilai hukum seperti: wajib, sunah, halal, haram, sah, batal atau tidak sah. Peristiwa yang menimbulkan akibat hukum disebut peristiwa hukum. Perbuatan manusia yang bersentuhan dengan hukum disebut perbuatan hukum. Perbuatan hukum senantiasa terikat dengan tatanan hukum taklifi, seperti syarat, rukun dan tatacara tertentu menurut hukum sehingga terikat pula dengan nilai-nilai hukum seperti: wajib, sunat, halal, haram, sah, batal atau tidak sah. Dalam memahami masalah ini, terdapat dua fakta hukum, yaitu perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Akad nikah merupakan perbuatan hukum yang terikat dengan tatanan hukum, seperti syarat, rukun dan tatacara tertentu menurut hukum sehingga terikat oleh nilai-nilai hukum seperti: wajib, sunah, halal, haram, sah, batal atau tidak sah. Pembuahan, kehamilan dan kelahiran anak merupakan peristiwa alamiah yang tidak terikat dengan tatanan hukum, seperti syarat, rukun dan tatacara tertentu karena semuanya terjadi berdasarkan sunnatullah sehingga terbebas dari nilai hukum, seperti: wajib, sunah, halal, haram, sah, batal atau tidak sah. Karena kelahiran anak memiliki akibat hukum, maka ia menjadi peristiwa hukum. Hubungan badan dalam akad nikah yang sah merupakan ibadah, sedang hubungan badan di luar akan nikah merupakan perbuatan dosa. Kelahiran merupakan peristiwa hukum yang bebas dari nilai hukum karena

15

terjadi berdasarkan sunnatullah sehingga anak yang dilahirkan tidak terikat dengan penilaian hukum tentang sah dan tidak sah ataupun dosa dan pahala. Menurut madzhab Hanafi, hubungan badan semata telah menimbulkan hubungan mahram. Hal ini nampak ketika memahami makna ayat 22 Surat Al-Nisa yang menyatakan: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dinikahi oleh (telah melakukan hubungan badan dengan) ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Abu Hanifah menafsirkan kata nikah dalam ayat tersebut dengan hubungan badan. Oleh karena itu, seorang anak laki-laki dilarang mengawini perempuan yang pernah melakukan hubungan badan dengan ayahnya. Perempuan itu sudah menjadi ibu tiri. Sejalan dengan ayat tersebut, dalam ayat lain (Surat Al-Nisa (4) ayat: 23) dikatakan bahwa: Diharamkan atas kamu (mengawini) .... anakanak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur (melakukan hubungan badan) dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat ini, Allah menetapkan adanya hubungan badan antara si ayah dengan istrinya merupakan penentu adanya hubungan mahram antara ayah dengan anak perempuan bawaan istri (anak tirinya). Sehingga meskipun sudah ada hubungan akad nikah tetapi karena belum ada hubungan badan, maka belum mengakibatkan adanya hubungan mahram antara ayah dengan anak tirinya. Di sini tampak bahwa hubungan badan menjadi penyebab adanya hubungan mahram. Dalam ayat yang sama juga dinyatakan bahwa ...(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu). Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud anak dalam ayat ini adalah anak yang dilahirkan dari sperma ayah dan ini menjadi dasar adanya hubungan nasab antara anak dengan ayah biologisnya sehingga ayah diharamkan menikah dengan istri dari anaknya itu (anak menantu).

16

Analog dengan pendapat Abu Hanifah tersebut, maka hubungan darah menjadi dasar adanya hubungan perdata, yaitu: (1) hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3) hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5) hubungan wali nikah bagi anak perempuan. Anak merupakan suatu anugerah dan sekaligus amanah yang harus dijaga masa depannya agar menjadi anak yang sholih, sehat, kuat, cerdas dan terampil. Allah sangat wanti-wanti jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah ataupun terlantar. Allah berfirman dalam Alquran:

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.24 Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk

menghindarkan diri dari tanggung jawab ini apalagi menelantarkan dan memperlakukannya secara tidak adil dan tidak manusiawi, ataupun perlakuan lain dalam bentuk apapun yang merugikan anak. Tanggung jawab ini menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat dan negara secara proporsional. Ayat ini menjadi landasan moral bagi ditegakannya perlindungan anak secara konprehensip. Kelahiran anak merupakan peristiwa yang terjadi berdasarkan sunnatullah. Hubungan darah antara anak dengan ayah dan ibunya merupakan sunnatullah yang tidak dapat dibatalkan, ditutup, ditutuptutupi ataupun diingkari oleh siapapun dengan kekuatan apapun, termasuk kekuatan norma hukum, bahkan ini harus dilindungi oleh hukum.

24

QS`Al-Nisa (4) ayat: 9

17

Artinya: .....dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasangpasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani, apabila dipancarkan. Dan bahwasanya Dia-lah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan sesudah mati), dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.25 Hubungan darah sebagaimana dilukiskan dalam ayat tersebut, menimbulkan adanya hubungan hukum serta hubungan hak dan kewajiban menurut sunnatullah.26 Aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan sunnatullah, apalagi menafikannya. Dalam syariah Islam, dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Jika anak yang akan diadopsi tidak diketahui asal muasal dan ayah kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau maula (anak angkat); dan bukan dianggap sebagai anak kandung. Hubungan darah menjadi dasar adanya hubungan nasab dan mahram, hubungan susuan menjadi dasar adanya hubungan mahram.27 Menasabkan anak kepada ibu biologisnya, baik yang dikandungnya sendiri ataupun dititipkan pada perempuan lain, berarti memelihara pertalian darah (nasal) antara anak dengan ibunya yang merupakan asalusul anak sesuai sunnatullah. Demikian juga menasabkan anak kepada ayah biologisnya berarti pula memelihara pertalian darah (nasal) antara anak dengan ayahnya yang merupakan asal-usulnya sesuai sunnatullah. Meniadakan (memutuskan) hubungan darah anak dengan ibu biologis dan ayah biologis berarti melawan sunnatullah.

QS Al-Najm (53) ayat: 45-48. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang berpendapat bahwa hubungan badan menimbulkan hubungan mahram. 27 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 120. QS. AlNisa (4) ayat: 23.
26

25

18

Hubungan darah merupakan dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ibu dan ayahnya. Hubungan perdata ini merupakan salah satu bentuk perlindungan jiwa si anak. Hubungan perdata menjadi dasar adanya kewajiban ibu dan ayah memelihara anaknya. Kewajiban ayah memelihara anaknya akan berdampak pada praktik pemeliharaan agama, jiwa, akal, dan harta anaknya. Kelalaian orang tua karena perkawinannya batal, tidak tercatat, atau tidak ada akad nikah tidak menghapuskan kewajiban ayah untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (asal-usul anak yang jelas) yang menjadi hak anaknya. Nabi Muhammad SAW bersabda:


Artinya: anak tersebut adalah untuk orang yang memiliki tempat tidur. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini memberi pengertian bahwa anak yang dilahirkan ibunya adalah anak ayah yang menghamili ibunya. Setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah, baik ia lahir dalam perkawinan yang sah, syubhat, batal, tidak tercatat maupun yang lahir di luar perkawinan. Nabi Muhammad SAW bersabda:


Artinya: setiap anak yang lahir adalah dilahirkan atas dasar fitrah. Fitrah anak bukan hanya berarti bebas dari segala dosa dan beban tetapi juga berarti mempunyai hak-hak dasar (ahliyatul wujub) sebagai anak yang harus dilindungi menurut syariah Islam. Salah satu maqasid syariah adalah melindungi hubungan darah ( .) Ayah dan ibu sebagai orang tua yang secara sunnatullah menjadi penyebab lahirnya anak sehingga mempunyai hubungan darah dengan anak, wajib bertanggung jawab atas anaknya. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah,

19

perkawinan yang batal/syubhat, tidak tercatat, atau di luar perkawinan adalah tetap anak menurut fitrahnya. Jika sekiranya ayah dan ibunya berbuat dosa dan berakibat lahirnya anak, maka dosa orang tua itu tidak boleh merugikan anak atau dibebankan kepada anak. Anak tidak memikul dosa orang tuanya. Allah SWT berfirman: Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan".28 Hak anak terhadap orang tua tidak akan hapus karena dosa dan/atau kesalahan orang tuanya. Dosa dan/atau kesalahan orang tua tidak menghapuskan kewajiban orang tua terhadap anaknya. Dosa dan/atau kesalahan orang tua menjadi tanggung jawabnya sendiri. Batalnya perkawinan orang tua tidak berlaku surut terhadap anak, harta bersama suami istri, dan pihak ketiga yang memperoleh hak dengan iktikad baik.29 Ketiadaan hubungan perkawinan orang tua atau perkawinan yang tidak tercatat tidak menghapus hubungan darah antara anak dengan ayahnya dan kelurga ayahnya sebagai sebuah sunnatullah. Hubungan darah sebagai sunnatullah menjadi dasar adanya hubungan hukum yang meliputi hubungan nasab, mahram, hak dan kewajiban, pewarisan, dan wali nikah. Akad nikah sebagai perbuatan hukum menjadi dasar adanya hubungan ikatan perkawinan, hak dan kewajiban dalam rumah tangga, harta bersama, dan pewarisan antara suami istri. Perkawinan yang batal tidak menghapuskan adanya hubungan
28 29

QS Al-Nisa (6) ayat: 164. Pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974.

20

hak & kewajiban suami istri dan harta bersama. Ketiadaan hubungan perkawinan (baik karena dibatalkan, tidak tercatat atau tidak ada akad nikah) menjadi dasar ketiadaan hubungan pewarisan antara suami istri. Putusan MK tersebut ternyata tidak bertentangan dengan sunnatullah dan prinsip-prinsip dasar syariah Islam. Pemahaman fikih yang bersifat transendental, logis dan dinamis yang selama ini telah ada perlu ditinjau ulang dan dikembangkan serta dikembalikan kepada prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar syariah Islam untuk mewujudkan kemaslahatan yang paling unggul, 30 antara lain, bahwa: a) Pembuahan, kehamilan dan kelahiran merupakan peristiwa yang terjadi berdasarkan sunnatullah yang bebas dari nilai hukum. b) Hubungan darah (nasal) anak dengan ayah dan ibunya merupakan sunnatullah yang tidak bisa diingkari, ditutup, ataupun dipalsukan; c) Hubungan darah anak dengan orang tuanya harus dilindungi, baik secara moral, yuridis, maupun sosiologis; d) Setiap anak yang dilahirkan adalah atas dasar fitrah; e) Fitrah anak meliputi segala hak-hak dasar yang harus dilindungi; f) Tanggung jawab ayah terhadap anaknya tidak gugur karena kesalahan ataupun dosa ayahnya; g) Setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah, oleh sebab itu ia harus diperlakukan secara adil, meskipun ia lahir akibat perbuatan orang tuanya yang mungkin melanggar hukum ataupun larangan agama; h) Kesalahan orang tua tidak boleh dibebankan pada anak, baik secara yuridis, relegius maupun sosiologis; i) Kesalahan orang tua tidak boleh merugikan hak dan masa depan anak; j) Setiap laki-laki (ayah) harus bertanggung jawab terhadap anaknya.

30

Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, hlm. 71

21

Dalam upaya mencegah terjadinya pelanggaran hukum, seperti perzinaan, pelanggaran perkawinan dan lain sebagainya, maka harus diterapkan hukuman (uqubah) itu kepada pelakunya, serta dibuat aturan hukum yang dapat mempersempit dan mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran tersebut. 5. Saat berlakunya perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP Putusan MK tersebut berkenaan dengan uji materi undang-undang. Oleh karena itu, putusan MK ini berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56 ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya. Dengan adanya putusan MK ini, maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata baik dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, baik ia lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang batal, perkawinan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di luar perkawinan. Putusan MK tersebut berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 27 Februari 2012 (Pasal 47 UUMK). Dengan adanya putusan MK tersebut maka ketentuan Pasal 43 (1) UUP tidak berkekuatan hukum lagi sehingga tidak mengikat, dan digantikan dengan putusan MK tersebut. Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang isinya sama dengan Pasal 43 ayat (1) UUP juga tidak berlaku lagi. Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP ini merupakan pelusuran kembali mengenai asal-usul anak, yakni agar diketahui dan ditetapkan secara hukum siapakah sesungguhnya ayah dari anak yang bersangkutan.

22

6. Acara penetapan asal-usul anak Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran (Pasal 55 UUP, Pasal 103 KHI). Apabila tidak ada akta kelahiran, maka dapat dimintakan ketetapan hukum (itsbat) kepada Pengadilan Agama (PA). Pengadilan memeriksa asal-usul anak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, seperti saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan/atau alat bukti lainnya. Apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari anak tersebut, maka PA memberi keputusan dengan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ayahnya dimaksud. Berdasarkan penetapan pengadilan, kantor catatan sipil (KCS) mencatat dalam buku akta kelahiran dan kepada yang bersangkutan diberikan kutipannya. Apabila tidak terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan siapa ayah dari anak tersebut, maka pengadilan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak ibunya saja. 7. Apakah putusan MK tersebut berlaku surut? Berdasarkan asas retroaktif, keputusan MK tidak dapat berlaku surut. Namun demikian, berdasarkan asas maslahat untuk melindungi hak asasi warga negara yang telah mencapai tingkat dlaruriyat ini, maka putusan MK tersebut dapat berlaku surut sejak diundangkannya UU Perkawinan. Oleh karena itu, bagi pihak yang berkepentingan dapat mengajukan itsbat asal-usul anak sesuai putusan MK ke Pengadilan Agama. 8. Tatacara penerbitan akta kelahiran Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (3) UUP jis UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 103 ayat (3) KHI serta Peraturan lainnya mengenai pencatatan sipil, maka atas dasar penetapan PA mengenai asal-usul anak, Kantor Catatan Sipil (KCS) mencatatnya dalam Buku Akta Kelahiran dan kepada pihak yang

23

bersangkutan diberikan kutipannya. Apabila untuk anak tersebut sebelumnya telah dikeluarkan akta kelahiran, maka KCS membuat catatan pada Akta Kelahiran yang tersimpan pada kantor tersebut, dan juga membuat catatan pada kutipan akta kelahiran, mengenai asal-usul anak yang sebenarnya berdasarkan penetapan Pengadilan Agama. 9. Implikasi perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP Dengan adanya putusan MK tersebut akan membawa implikasi di masyarakat, antara lain, adalah: 1. Anak mendapat perlindungan secara hukum dari ayahnya, meskipun perkawinan ayah dengan ibunya dipersoalkan/tidak jelas. 2. Setiap ayah dapat dituntut tanggung jawab atas anaknya meskipun anaknya lahir di luar perkawinan. 3. Sekiranya kelahiran anak merupakan akibat perbuatan dosa orang tuanya, maka yang berdosa (bersalah) adalah orang tuanya dan sanksi hukuman hanya dapat diberikan kepada orang yang bersalah. IV. Penutup/Kesimpulan Dari diskusi tersebut di atas kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan secara sederhana sebagai berikut: 1. Substansi hukum yang berubah dengan adanya putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 27 Februari 2012 tersebut adalah adanya penyempurnaan hubungan perdata anak dengan orang tuanya, yakni jika semula ia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka sekarang juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan kelurga ayahnya, tanpa mempersoalkan perkawinan orang tuanya, sesuai realitas yang ada. 2. Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertujuan untuk: (1) memberi perlindungan hukum bagi setiap anak yang dilahirkan agar ia

24

memperoleh hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (ayah dan ibunya); (2) menetapkan adanya kewajiban hukum atas setiap lakilaki (ayah) bertanggung jawab atas anak yang terbukti mempunyai hubungan darah dengannya. 3. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut memunculkan adanya hukum baru, yaitu adanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya yang berupa hubungan nasab, mahram, hak dan kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan. 4. Pengubahan tersebut tidak bertentangan dengan syariah Islam, karena sesungguhnya prinsip-prinsip dasar syariah Islam telah mengajarkan demikian, yaitu bahwa: (1) kelahiran anak merupakan suatu peristiwa hukum yang terjadi atas dasar sunnatullah sehingga terbebas dari tatanan hukum yang bertalian dengan syarat, rukun, dan tatacara kelahiran yang benar dan oleh karenanya pula tidak dapat diberi penilaian sah atau tidak, berdosa atau berpahala dan sebagainya; (2) setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah, yakni bahwa ia adalah suci dari dosa, ia mempunyai hak-hak penuh sebagai anak, ia mempunyai hubungan nasab dengan orang tuanya sesuai sunnatullah; (3) setiap anak harus dilindungi segala hak-haknya dan masa depannya secara adil dan manusiawi; (4) setiap ayah harus bertanggung jawab atas anaknya; (5) syariah Islam menghendaki dipeliharanya hubungan nasal (keturunan) antara anak dengan orang tuanya yang sesungguhnya; (6) syariah Islam memberi perlindungan yang seutuhnya terhadap setiap anak yang dilahirkan secara adil, tanpa melihat status perkawinan orang tuanya; (7) jika sekiranya anak itu lahir akibat perbuatan dosa orang tuanya, maka anak tidak boleh dibebani dosa orang tuanya dan dosa orangtuanya tidak mengurangi fitrahnya anak. 5. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut secara mutatis mutandis berlaku otomatis sebagaimana perubahan undang-undang.

25

6. Acara penetapan asal-usul anak di PA setelah perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP ini dilakukan sesuai ketentuan Pasal 55 UUP dan Pasal 103 KHI. 7. Putusan MK tersebut berlaku surut sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan demi melindungi fitrah anak dengan segala hak-haknya sesuai sunnatullah sebagai sebuah kebenaran adanya hubungan darah antara anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. 8. Penerbitan akta kelahiran berdasarkan penetapan PA dilakukan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan lainnya mengenai pencatatan sipil. 9. Perubahan ini membawa implikasi adanya perlindungan hukum secara penuh terhadap setiap anak yang dilahirkan dan tuntutan tanggung jawab ayah secara penuh menurut hukum terhadap anaknya. Dengan demikian, maka laki-laki tidak lagi sembarangan saja melakukan hubungan badan dengan perempuan karena ia juga harus memikul beban akibat yang ditimbulkannya, termasuk lahirnya anak. Demikianlah bahan diskusi singkat ini. Segala apa yang disajikan di atas, jika benar, maka sesungguhnya itu dari Allah SWT semata; dan jika salah, maka sesungguhnya itu dari penulis pribadi yang masih sangat minim ilmu dan pengalamannya. Kepada Allah SWT jualah kami memohon petunjuk-Nya untuk menemukan kebenaran Ilahiyah dan kepada para pembaca kami harapkan kritik dan sarannya demi kebenaran dan perbaikan. Demikianlah bahan diskusi singkat ini disajikan semoga bermanfaat. Amin !!! Wallahu alam bil shawab. Ambon, 12 Maret 2012

26

DAFTAR PUSTAKA 1. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Juni 2006. 2. Abdu al Wahhab Khallaf, Al Siyasah al Syariyah, al Qahirah, Dar al Anshar, 1977. 3. Ahmad Sukarja, Piagam Madinah Dan UU Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. 4. Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahatbdan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007. 5. Al Syatibi, al Muwafaqat fiy Ushul al-Syariah, Beirut, Daaru al-Kutubi al-Arabiyah, tth., Juz. II. 6. Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1976. 7. Mahmud Syalthout, Al Islamu Aqidah wa Syariah, Daarul Qalam, Cetakan ke 3, 1966. 8. Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, Januari 1997. 9. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, Daar al Fikr al Arabi, 1958. 10. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. 11. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 13. Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 14. UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. 15. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. 16. Putusan MK Nomor 46/PUU-IIIV/2010 tanggal 27 Februari 2012.

You might also like