You are on page 1of 12

UNIVERSITAS BOROBUDUR PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

PEMBAHASAN 3 (TIGA) KOMPONEN DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKAT YAITU KEADILAN, HUKUM DAN KEKUASAAN DITINJAU DARI SUDUT TEORI BERTINGKAT DARI HANS KELSEN

TUGAS TEORI HUKUM NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

PROF. DR. M. TAHIR AZZAHRI, S.H.

DIBUAT OLEH : NURUL SYAFUAN, SH, SE, MM NIM : 10720030

A. PENDAHULUAN

PENJELASAN ARGUMEN 1. Dalam khasanah konsep keadilan hukum dan kekuasan yang amat luas cakupannya. Konsep ini pada pokoknya menerangkan tentang bagaimana kekuasaan (power) dan sumbersumbernya (resources of power) itu dialokasikan dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan bahkan konflik atas dasar kombinasi pola memperebutkanmempertahankan di antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa konsep kunci lainnya seperti otoritas (authority), legitimasi (legitimacy), dominasi (domination), hegemoni (hegemony) dan kekuasaan paksa (coercive power). 2. Sumber-sumber kekuasaan yang dapat berbentuk posisi, jabatan, pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu bersifat terbatas. Ihwal inilah yang menyebabkan mengapa sejarah manusia selalu ditandai oleh pertikaian yang berdimensi politik. Walaupun wilayah pertikaian politik untuk memperebutkan (atau mempertahankan) sumber-sumber kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan yang paling sengit karena di sanalah sumber-sumber kekuasaan terpenting untuk membuat keputusan publik itu terdapat. 3. Menurut ajarah Trias Politica yang di kemudian hari menjadi landasan pokok negara moderen, terdapat terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang sama-sama telah kita kenal dengan baik itu: kekuasaan judisial, legislatif, dan eksekutif. Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki otoritas dan secara relatif memonopoli otoritas itu untuk menghasilkan (dan menggandakan) kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan, bahkan ketiga institusi itu mengembangkan hubungan kekuasaan yang secara inheren juga menyimpan prinsip saling ketergantungan. 4. Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal yang sedang kita bicarakan di sini, yakni hukum. Pada tempat pertama, hukum adalah produk lembaga legislatif. Sebagai sebuah produk, pembuatan hukum yang berupa undang-undang dan dalam keadaan tertentu berupa konstitusi negara, selalu melibatkan proses-proses politik yang amat kompleks. Melalui perdebatan parlemen, sebuah rancangan produk hukum dibahas dalam sidang-sidang yang melibatkan elemen-elemen yang berbeda dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen. Memang, terdapat beberapa variasi tentang bagaimana sebuah produk hukum itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada pokoknya merupakan monopoli parlemen yang karena kewenangannya dalam menghasilkan produkproduk hukum pokok mendapatkan namanya dengan sebutan lembaga legislatif itu.

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

5. Ketika sebuah proses politik di parlemen itu berakhir dengan sebuah produk hukum berupa undang-undang (yang pengaturan penetapannya menjadi undang-undang di sebagian sistem politik membutuhkan persetujuan kepala lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu hukum baru itu (tampak seperti tiba-tiba) menjadi sebuah aturan dasar yang mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang menghasilkannya. Pengikatan diri secara penuh terhadap hukum yang berlaku tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang supremasi hukum. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai dan praktik persamaan di depan hukum yang mengakibatkan sebuah produk hukum, yang walaupun pada awalnya merupakan produk politik yang menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan alien) dan self-evident (mutlak dengan sendirinya). 6. Dalam prinsip semacam inilah, dasar-dasar terpenting tentang gagasan negara hukum itu diletakkan dalam negara moderen. Penegasan terhadap gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak sebuah kekuasaan dapat memaksakan kehendak dan kepatuhan publik atas kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlakuyang proses pembuatan dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah prinsip Rule of Law ditegaskan untuk mencegah praktik terjadinya Rule by Law yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam khasanah perbincangan para ahli hukum tatanegara sering disebut dengan negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai lawan dari negara hukum (rechtsstaat) 7. Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat kedua inilah, di mana-mana, hukum membutuhkan lembaga law enforcement. Dalam konteks inilah, lembaga eksekutif melalui aparatus khususnya mengemban tanggung jawab utama untuk menegakkan apa yang diperintahkan hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang. Mengikuti ajaran Trias Politica, lembaga eksekutif karena itu kepadanya diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok: yakni penegakan hukum (law enforcement). 8. Tidak sebuah lembaga manapun dalam cabang eksekutif maupun kedua cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada asanya memiliki otoritas yang penuh untuk menegakkan hukum. Pikiran tersederhana dalam prinsip law enforcement adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah social order and public safety. Tegaknya kepatuhan orang pada hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang memungkinkan pencapaian tujuan individual dan kolektif berikut segala perbedaan yang menyertainya dapat dilakukan tanpa dampak yang bersifat destruktif bagi kedidupan bersama yang berkelanjutan itu. Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik, masyarakat akan menghasilkan anarki yang pada ujung-ujungnya akan menciptakan kehidupan bersama yang hancur dan atau menghancurkan. 9. Dalam mana telah terjadi, atau sekurang-kurangnya patut diduga sebagai berkemungkinan telah terjadi, pelanggaran hukum, polisi berkewajiban melakukan serangkaian tindakan: mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga
NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

pemberkasan. Mandat ini bersifat otonom dan penuh. Artinya, walaupun berada di wilayah jursdiksi lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada di bawah kedua cabang kekuasaan legislatif dan judisial, lembaga kepolisian tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun mungkin tampak mengandung paradoks, beginilah memang sesungguhnya ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban menegakkan hukum yang kewenangannya diberikan pada lembaga kepolisian tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri. 10. Fungsi universal lainnya yang melekat pada lembaga kepolisian dalam kerangka penegakkan hukum demi terjadinya social order dan public safetyyang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi ketertiban umum itu (atau dalam terminologi Polri sering juga disebut dengan Kamtibmas)adalah menjalankan fungsi-fungsi patroli (patroling), pengaturan lalu lintas (traffic), dan penyelidikan kejahatan (crime investigation). Hanya setelah paruh kedua abad yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib sosial dan keamanan publik. 11. Dalam tema yang serupa, lembaga eksekutif juga mengemban amanat sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat bagi dilakukannya penuntutan. Lembaga kejaksaan adalah aparatus birokrasi penegak hukum yang berada di bawah jurisdiksi kekuasaan eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat dikurangkan oleh kenyataan bahwa lembaga ini berada di bawah jurisdiksi lembaga eksekutif. Sebagai penegasan tambahan, pengaruh lembaga eksekutif pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan lembaga itu. 12. Cabang kekuasaan judisial yang meliputi otoritas penyelenggara sistem peradilan dan di beberapa negara juga merangkap sebagai lembaga penilai undang-undang dan atau peraturan di bawahnya (judicial reviewer) serta mahkamah penyelesai sengketa konstitusional, adalah satu cabang kekuasan dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara bekerja lembaga ini adalah memutus perkara hukum (atau konstitusi) berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan, atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum, lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun sebagai lembaga ia bersifat otonom, para hakim agungnya (begitulah mereka sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-kurangnya, proses itu melalui pembahasan di cabang kekuasaan lainnya: lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah lembaga yang memiliki otonomi dalam otoritas mereka masing-masing, di pihak lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, dan kapan.

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

13. Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absurdnya. Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuh self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?: siapa yang mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit penjelasannya. 14. Dalam ajaran hukum positif, dalam praktiknya hukum sesungguhnya bergumul dengan tema kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh para sarjana hukum di klas-klas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, bergumul dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsipprinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam undang-undangan dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau idea dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif. 15. Dalam perbincangan yang sedikit berbeda, tema tentang rasa keadilan masyarakat yang diangkat dalam seminar ini adalah sebuah konsep penuh makna subjektif yang definisi dan elemen yang dilekatkan kepadanya sangat bergantung pada wacana yang saling berkompetisi. Sebagai sebuah wacana (teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat bergantung pada kepentingan, teori, atau perspektif mereka yang mendefinisikan ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang masyarakat, atau rakyat itu juga memiliki wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema keadilan, rasa keadilan, rasa keadilan masyarakat adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga menyertakan proses-proses politik dan akumulasi pengetahuan yang sangat berimplikasi pada kekuasaan dan relasi kompleks di antara elemen-elemen yang membentuk struktur kekuasaan. Karena itu, perbincangan tentang rasa keadilan masyarakat dalam hukum adalah sebuah perbincangan politik betapapun itu berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah akademis. 16. Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan kekuasaan. Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum. Ketertiban sosial dan keselamatan publik yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan penegakannya. Penentuan prioritas dalam penegakan hukum oleh lembaga kepolisian karena keterbatasan anggaran dan jumlah personel misalnya, adalah sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan penyelesaian perkara kasasi tentang perceraian di lembaga mahkamah agung, sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum dari pemihakan akan nilai-nilai tertentu. 17. Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang pertama berhubungan dengan substansi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang memperlihatkan kecenderungan itu. Mengapa pada kasus yang pertama berkembang argumentasi semisal perlindungan industri garmen dalam negeri dan argumentasi kesehatan publik yang terkait dengan SARS? Sebaliknya, mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan atau perlindungan keselamatan publik di jalan raya tak muncul? 18. Yang kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan. Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial, kepercayaan politik dan ideologi. 19. Sebagai penutup tulisan ini, saya hendak mengatakan bahwa perbincangan tentang hukum dan politik adalah sebuah tema yang walaupun saling berkait namun memiliki dimensi yang amat kompleks. Ketidaksederhanan hubungan di antara keduanya justru terletak pada berkembangnya kepercayaan bahwa kedua wilayah itu semestinya tidak bercampur meskipun dalam kenyataan sejarahnya sungguh memang selalu dan akan selalu demikian. Saya sendiri tidak sedang mengatakan bahwa hubungan itu selalu tampak jelas. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa hubungan di antara dua ihwal itu sungguh sangat subtle dan melibatkan delicate issues. Gampang dilihat tetapi tidak mudah membicarakannya, apalagi menelanjanginya. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di lembaga kepolisian atau kejaksaan misalnya, selalu mengundang pertanyaan politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

yang hidup. Hanya dalam lingkungan pemerintahan yang relatif bersih sajalah proses penentuan kedua jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang berorientasi pada kekuasaan. Karena itu, projek (sebutlah begitu) yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel. Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya. Semoga begitu adanya.

RASA KEADILAN DAN GAGASAN PEMBARUAN HUKUM

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

Dalam bahasa masyarakat umum, jika kepentingan dan haknya tentang keadilan hukum terusik oleh kekuasaan, ia dengan sederhana nyuwun keadilan (meminta keadilan)? Atau jika terjadi pencurian, korban dan masyarakat meminta pelaku dihukum secara adil? Hampir setiap hari kita bersentuhan dengan hukum dan keadilan. Dua kata itu hampir disebut bersamaan. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 juga dirumuskan,Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ada apa dengan keadilan? Apa hubungan hukum dan keadilan? Apa itu hukum sendiri? Bagaimana peran ahli hukum, khususnya hakim dalam pembinaan hukum? Bagaimana peraturan dan sistem warisan kolonial ini menghadapi masyarakat yang berubah dan agar sesuai cita hukum kita sendiri? Bagaimana hubungan hukum dengan masyarakat, negara dan politik? Rasa Keadilan Wirjono Prodjodikoro dalam Bunga Rampai Hukum Karangan Tersebar berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan renyah dan kaya pengalaman sebagai hakim. Kumpulan artikel masa 50-an ini ditulis mantan Ketua Mahkamah Agung RI periode 1952 1966 yang tergolong produktif mencatat pemikiran dan pengalamannya dan saat buku ini terbitkan sudah menulis 20-an buku dengan berbagai tema dari bidang hukum nasional maupun internasional. Semua tulisannya berangkat dari dalil Dasar segala segala hukum adalah rasa keadilan, yang dikemukakan sejak 1953. Kenapa rasa keadilan? Ia melihat semua tujuan segala hukum mengejar keselamatan dan tata tertib dalam masyarakat (segala kepentingan segenap anggota masyarakat). Kadangkala berbagai kepentingan berbenturan dan tidak mungkin memuaskan semua kepentingan. Maka segala kepentingan harus ditimbang satu sama lain. Wirjono menegaskan, Neraca kemasyarakatan harus tetap lurus berdirinya, maka diantara pelbagai kepentingan yang harus diperhatikan itu, harus ada suatu perimbangan. Perimbangan inilah yang saya maksudkan dengan yang dirasakan adil.
NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

Wirjono berusaha menggambarkan praktek bagaimana mengetahui perimbangan tersebut, dan suatu peraturan adalah peraturan hukum. Perimbangan berarti apa yang diperoleh suatu pihak sama beratnya dengan pihak lain. Sama berat tidak berrarti berwujud sama, akan tetapi nilai harga sama. Nilai harga ini tidak selalu dapat diukur secara objektif, tetapi tergantung penghargaan orang perseorangan yang berkepentingan. Rasa puas masing-masing faktor penting, meski memuskan semua mustahil, dan agar mendekati kepusan terhadap segala kepentingan. Kemudian perimbangan tersebut berada di wilayah keinsafan keadaan yang dianggap sesuai perimbangan yang dirasakan dalam sanubarinya. Kebanyakan langkah-langkah orang tidak dituntun oleh pikiran, akan tetapi perasaan belaka yang sudah berirama dengan masyarakat umum. Kemudian soal peraturan dalam masyarakat apakah peraturan hukum hanya soal sifat pertingkatan (gradueel), dimana kepatutan meningkat sampai tingkatan Pemerintah dan hakim untuk keperluan masyarakat harus memperhatikan peraturan tersebut, disitulah peraturan disebut peraturan hukum. Pembaruan Hukum

Buku ini juga merekam gagasan Wirjono mengenai kedudukan perempuan dalam kaitannya dengan hak-haknya dalam wilayah privat maupun publik berdasarkan prinsip persamaan dalam hukum (hlm. 57-64). Selain itu banyak usulan-usulan brilian terkait usaha memperbaiki hukum perkawinan (hlm. 65-78), hukum warisan (hlm. 65-98), dan hasil penelitiannya terkait hukum warisan adat di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, bahwa pembagian warisan antara orang yang beragama Islam kebanyakan berdasarkan temuannya tidak berdasarkan hukum Islam, akan tetapi hukum adat (hlm. 99-103). Di dalam tulisanSekitar Kodifikasi Hukum-Perjanjian di Indonesia yang ditulis pada 17 Mei 1958 disertai Rancangan Undang-Undang Hukum Perjanjian pada 27 Desember 1960, Wirjono membandingkan unsur-unsur hukum adat dan BW, terkait hukum perjanjian dan pilihannya jatuh kepada hukum adat. Pemikirannya sangat berharga untuk perbaikan hukum nasional saat terjadi dualisme hukum, yaitu hukum Adat dan Hukum Bergerlijk Wetboek (BW). Sampai saat ini karya ini sangat penting berkenaan dengan hukum perjanjian dan hakhak atas benda, dimana Wirjono mengawali menawarkan rumusan pasal-pasal terperinci (Pasal 1-Pasal 93) untuk melengkapi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (hlm. 104-163). Wirjono juga mengusulkan gagasan terkait perubahan peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang diminta oleh Menteri Kehakiman saat itu. Dalam buku ini ia juga mengajukan konsep hukum agraria di Indonesia (1959) dimana saat itu DPR sedang menyusun dan membicarakan Rancangan UU Pokok agraria. Beberapa hal bisa dikemukakan pentingnya negara turut campur menganai soal tanah, terutama hidupperekonomian masyarakat Indonesia bercorak agraris dan tanah merupakan alat penting untuk kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat seluruhnya. Kedudukan kekuasaan kehakiman dalam pembagian kekuasaan Negara juga dikemukakan dan kekuasaan hakim mengganggu-gugat undang-undang olehnya harus dilakukan agar konstitusi yang akan dibentuk Konstituante tidak akan dilanggar. Di bawah judul Peradilan dalam Tata-Usaha Pemerintahan (1952) ia meguraikan soal perbedaan dan pemisahan kekuasaan Negara, pengertian tata-usaha pemerintahan, pengaruh tata usaha pemerintahan dalam masyarakat, pelbagai sudut dari soal yang bersangkutan, dan menjelaskan keadaan tata usaha pemerintahan berdasarkan hukum dan praktek yang berlaku. Intinya Wirjono saat tersebut meski menyetujui, namun agar legislator menunda membentuk peraturan sengketa tata usaha pemerintahan diselesaikan pengadilan perdata, dengan kurangnya ahli dan sudah terakomodasinya sengketa tersebut dalam Pasal 1365 BW. Pada tahun tersebut juga diusulkan rancangan diawah judul Rancangan Undang-Undang No.Tahun 1949 tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata-Usaha Pemerintahan berjumlah 80 pasal dalam sembilan bab. Akhirnya Wirjono berusaha mengajak para ahli hukum, khususnya hakim menemukan rasa keadilan dalam masyarakat dengan berpandangan luas dan tidak hanya dari sudut hukum, dengan menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk memecahkan persoalan dengan mengingat rasa keadilan. Jika para pihak berselisih mengenai keadaan atau isi hukum yang inconcreto harus diberlakukan, hakim harus menegaskan hukum yang benar, yang kadangkala di luar pihak yang bersengketa. Mengetahui isi hukum tidak hanya dari kata-kata peraturan hukum, tetapi juga maksud, makna dan jiwanya. Dengan kondisi bagian terbesar hukum Indonesia belum tertulis, seorang hakim mendekati sifat menciptakan peraturan hukum. Hubungan erat hakim dengan masyarakat terlihat terbukanya proses pengadilan dan tugas pokok hakim melaksanakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya seorang hakim memiliki hubungan erat dengan hukum dan masyarakat.

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

Yang menarik, beberapa pandangan penulis atas cara pandang hakim yang melulu berpikir tentang sengketa yang ditangani dengan mencari rumusan hukum terlebih dahulu, baru memecahkan persoalan kata Wirjono menjalankan peradilan demikian kaku dan beku, karena hakim yang bersikap demikian akan menemukan jalan buntu. Dalam zaman peralihan dengan peraturan-peraturan bersifat kolonial, dibutuhkan korps hakim berpikir dan menempatkan perasaan diatas peraturan zaman lampau, agar putusannya memuaskan masyarakat. Ia membenarkan seorang hakim ketika menghadapi perkara , sudah merasakan segera atau tidak lama sebaiknya masalah dipecahkan. Kemudian hakim berpikir dan mencari alasan yang berakar dari ilmu pengetahuan hukum atau peraturan hukum tertentu, atau yang paling baik yang berakar dari undang-undang. (hlm. 32) Meski banyak dikritik, karena kekuasaan yudikatif berada dalam bayang-bayang eksekutif, namun beberapa pemikirannya tergolong progresif pada masanya. Kondisi saat ini dengan banyaknya peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang justru mengabaikan hukum juga keadilan masyarakat, pemikiran-pemikirannya masih relevan sampai saat sekarang. Jangan sampai terjadi ahli hukum menjauh dari hukum yang hidup di masyarakat dan kekuasaan peradilan menjadi kekusaan tanpa tersentuh perubahan, angin reformasi sekalipun. Sehingga tidak terjadi sebagaimana William Shakespeare mengatakan Let's kill all the lawyers. Sebuah ungkapan kritik terhadap ahli hukum sebagai bentuk ketidakercayaan atas kebenaran yang dikatakan menurut hukum tetapi bertentangan dengan nurani masyarakat. Bahkan tafsir lain mengatakan ungkapan ini sebagai kebencian publik atas kepura-puraan ahli hukum membela kebenaran, yang sebetulnya hanya membela penjahat demi kepentingan uang. Konon ungkapan yel yel para pemberontak penentang Raja Inggris Henry IV sebagai puncak dari kebuntuan dan kemarahan rakyat ini tidak terjadi di Indonesia.

1 0

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

GAGASAN HANS KELSEN TENTANG KEADILAN HUKUM DAN KEKUASAAN

Saat ini kita tidak bisa menafikkan sebuah fakta bahwa Positivisme Hukum versi Hans Kelsen menempati tahta tertinggi dalam pandangan umum tentang hukum, khususnya di Indonesia. Berangkat dari masterpiecenya yang berjudul The General theory of Law and State Hans Kelsen kemudian menyusun argumentasinya tentang hukum dan Negara dalam sebuah penyajian yang sangat filosofis. Apa yang dipaparkan oleh Kelsen adalah sebuah perangkat argumentasi yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dengan persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berhubungan dengan karakteristik hukum. Persoalan-persoalan yang dimaksdukan Kelsen dalam hal ini adalah persoalan-persoalan seperti moral, keadilan, agama, politik dan aspek-aspek lainnya yang menurut Kelsen secara hakiki memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan karakteristik hukum. Apa yang diapaprkan oleh Hans Kelsen dalam bukunya ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak baru. Kalau kita pandang dalam kacamata empirisme, pendapat Hans Kelsen adalah sesuatu yang logis. Hans Kelsen mencoba membangun sebuah gagasan komperhensif tentang hukum yang berangkat dari paradigma empirisme. Menurutnya, hanya dengan paradigma ini dan pemisahan hukum dari berbagai persoalan-persoalan seperti moralitas dan keadilan barulah kemudian kita akan menemukan sebuah gagasan hukum yang murni. Gagasan Kelsen Tentang Keadilan Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia berpendapat bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu yang bermakna hadirnya sebuah kondisi social dimana setiap orang mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki makna yang sangat identik dengan kebahagiaan umum.
NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

Menurut kelsen, hukum adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan. Kesalahan besar yang dilakukan oleh pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan keadilan termasuk dalam cita-cita hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi dimana setiap orang dapat merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan menjadikan keadilan tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter hukum yang hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum, melanggar atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan mustahil diwujudkan melalui hukum. Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi kehidupan bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut kelsen bukan pada persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan atau tidak. Masalah hukum adalah murni maslaah tentang sebuah teknik sosial. Validitas dan efektifitas hukum dalam pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika kita berbicara tentnag hukum sebagai sebuah norma. Validitas yang dimaksudkan adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah norma hukum atau tidak. Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang mengatur tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai dengan norma hukum yang diterapkan.

1 1

1 2

NURUL SYAFUAN, SH.,SE.,MM - MAGISTER HUKUM

You might also like