You are on page 1of 13

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Sindroma nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis dimana terjadinya proteinuria masif (> 3,5gr/hari atau 40 mg/m2/jam), hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia.

1.2 Epidemiologi Insiden sindroma nefrotik adalah 2-3 per 100.000 anak pertahun. Terbanyak pada anak berumur antara 3-4 tahun dengan perbandingan wanita : pria = 1:2. Sindroma nefrotik yang banyak menyerang anak-anak adalah sindroma nefrotik idiopatik atau sindroma nefrotik primer. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan sindroma nefrotik dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.

1.3 Etiologi Penyebab SN masih belum diketahui dengan pasti. Kelainan ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, dimana timbul sebagai reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi : 1. Sindroma nefrotik bawaan Bentuk bawaan ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi fetomaternal dan resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edem pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal telah dicoba tapi tidak berhasil. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupan. 2. Sindroma nefrotik sekunder Disebut SN sekunder timbul akibat dari suatu penyakit sistemik atau akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah : 1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. 2. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.

3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. 4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis. 5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. 6. Obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS) 3. Sindroma nefrotik idiopatik Berhubungan dengan kelainan parenkim ginjal dan sebabnya tidak diketahui. SN idiopatik ini lebih sering ditemui di klinik. Insidennya 90% dari kasus SN anak.

1.4 Klasifikasi Histopatologis Klasifikasi kelainan histopatologi glomerulus pada SN digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Sebagian besar gambaran sindroma nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) 1,9-3%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%.

Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intra membran
2

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

1.5 Patofisiologi

1. Proteinuria Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40mg/jam/m2 permukaan badan, dianggap proteinuria berat. Jenis protein yang keluar pada SN bervariasi tergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG unit terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) dan responsif terhadap steroid. Sialoprotein glomerulus, yaitu suatu poliamnion yang terdapat pada tonjolan kaki epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang berperan penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai kelainan glomerulus. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respon pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

2. Hipoalbuminemia Jumlah albumin dalam tubuh ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin dan degradasi serta hilangnya dari tubuh adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia.
3

3. Kelainan metabolisme lipid Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau degradasi yang menurun. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang dapat memberikan penjelasan : (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

4. Edema Teori klasik mengenai pembentukan edem ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskuler yang menyebabkan cairan merembes ke ruang intersisial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.

Underfilled Theory

Kelainan Glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia Tekanan onkotik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal & sekresi ADH

Edema

Keterangan : Dengan menyebabkan meningkatnya albuminuria dan permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar

hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia

menyebabkan

menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan merembesnya cairan transudate melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang intersisial yang menyebabkan terbentuknya edema. Ini dapat menyebabkkan volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi dalam timbulnya retensi air dan natrium renal. Ini merupakan peristiwa kompensasi skunder. Retensi cairan yang terus menerus menyebabkan mengencernya protein plasma dan memperberat edema. Sedangkan teori overfilled menjelaskan retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Pembentukan edem terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke ruang intersisial.

Overfilled Theory

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer

Albuminuria Hipoalbuminemia

Volume plasma

Edema

Keterangan : Menurut teori ini, retensi kalium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung kepada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium

mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstravaskuler. Pembentukan edema disini terjadi karena overfilling cairan kedalam ruang interstitial.

1.6 Manifestasi klinis Manifestasi klinis utama SN adalah edema, tanda yang ditemukan pada sekitar 95% anak. Edema pada saat onset sering tersembunyi, sehingga keluarga pasien sering menyangka bahwa anak mereka mengalami pertumbuhan yang cepat, pada banyak anak, edema bersifat intermitten. Pada mulanya edema ditemukan disekitar mata dan pada tungkai bawah dimana udemnya bersifat pitting (membentuk cekungan). Edemanya berkumpul pada tempattempat tergantung dan dari hari ke hari tampak berpindah dari muka dan punggung dan perut, perineum dan kaki. Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri. Pada edema ringan, dapat dirasakan pada saat pemakaian kaos kaki atau baju. Kadang pada edema massif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menyebabkan asites, pembengkakan skrotum atau labia bahkan efusi pleura serta penurunan curah urin. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif, keadaan ini ternyata tidak berkaitan dengan adanya infeksi, tetapi dikarenakan adanya edema di usus. Hepatomegali bisa terjadi, mungkin dikarenakan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Nyeri perut kuadran kanan atas juga bisa dapat dirasakan, bisa karena edema pada peritoneum atau pun karena hepatomegalinya. Nafsu makan kurang, ini berhubungan erat dengan beratnya edema. Anoreksia dan hilangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat sehingga gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang yang kadang ditemukan pada SN non-responsif steroid dan persisten. Pada asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Gangguan pernapasan dapat terjadi karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemide. Gangguan fungsi psikososial juga dapat terjadi pada pasien SN, yang menimbulkan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya .

1.7 Diagnosis Kriteria diagnosis SN Primer adalah : 1. Edema 2. Proteinuria massif (++ atau dengan pemeriksaan protein kuantitatif > 40 mg/m2/jam) atau 1 gr/L dalam 24 jam (Esbach). 3. Hipoalbuminemia ( 2,5 g/dl). 4. Hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl).

Laboratorium : Analisis urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4, mungkin ada hematuria mikroskopis, tetapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens kreatinin rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali membaik jika volume intravaskuler membaik. Eksresi protein melebihi 2g/24 jam, kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2g/dl, dan kadar kalsium serum total menurun karena penurunan fraksi terikat albumin. Anak dengan awitan SN antara usia 1 sampai 8 tahun kemungkinan menderita penyakit lesi minimal yang berespon terhadap steroid dan terapi kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan sedikit eritrosit dan leukosit.

1.8 Komplikasi Infeksi merupakan merupakan komplikasi utama tersering dari SN. Ini diakibatkan karena meningkatnya kerentanan terhadap bakteri selama kambuh. Penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktifitas bakterisid leukosit, terapi immunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemi merupakan beberapa hal yang bisa menyebabkan mudahnya penderita SN terinfeksi. Infeksi yang paling sering terjadi adalah sepsis, pneumonia, selulitis dan infeksi saluran kencing. Bila terjadi peritonitis primer, perlu diberikan penisilin parenteral. Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinotik banyak ditemukan pada pasien SN yang mengakibatkan keadaan hiperkoagulasi dengan meningkatnya masalah tromboemboli. Hal ini dikarenakan kenaikan kadar koagulasi tertentu, seperti peningkatan kadar fibrinogen dan factor VIII. Pencegahannya dapat diberikan aspirin dosis rendah (80mg) dan dipiridamol. Heparin diberikan jika telah terjadi trombosis.
7

Gangguan hormon dapat terjadi karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah pertumbuhan badan yang sangat menurun atau berhenti sama sekali pada SN yang tidak terkontrol. Anemia dan gangguan tubulus renal juga dapat timbul sebagai komplikasi pada penderita SN. Pada SN relaps, terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL, VLDL, trigliserida dan lipoprotein (a), sedangkan HDL menurun atau normal. Zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN tanpa pemberian steroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan, hilangnya protein di urin dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Jika penyebab utamanya karena pemakaian steroid, ini disebabkan karena pemakaian steroid dosis tinggi dan dalam waktu yang lama dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linear.

1.9 Penatalaksanaan

1. Pengobatan Suportif Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan. Terapi dietetik : - masukan garam dibatasi 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif - diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari. - Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia.

2. Farmakologis Pengobatan SN terdiri dari kortikosteroid dan imunosupresif yang ditujukan terhadap sifat-sifat lesi, juga diet tinggi protein dan rendah garam serta pemberian diuretik. Infus albumin hanya ditujukan untuk pasien dengan deplesi volume plasma simptomatik dengan hipotensi.

Untuk menggambarkan respon terapi terhadap steroid pada anak dengan sindroma nefrotik digunakan istilah-istilah sebagai berikut : Remisi : proteinuria negatif atau proteinuria < 4mg/m2/jam selama 3 hari berturutturut. Kambuh : proteinuria 2+ atau proteinuria > 40mg /m2/jam selama 3 hari berturutturut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi. Kambuh tidak sering : kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan. Kambuh sering : kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal, atau 4x kambuh pada setiap periode 12 bulan. Responsif steroid : remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja. Dependen steroid : terjadi 2 kali kekambuhan berturut-turut selama masa tappering terapi steroid atau dalam 14 hari terapi steroid dihentikan. Resisten steroid : gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu. Responder lambat : remisi tercapai setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain. Nonresponder awal : resisten steroid sejak terapi awal. Nonresponder lambat : resisten steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif steroid. Pengelolaan awal pada anak terdiri atas terapi spesifik (glukokortikoid) dan suportif (diet, diuretic, obat anti hipertensi).

Terapi Inisial Dosis prednisone yang lazim adalah 2 mg/kgBB/hari (60 mg/m2/hari) dibagi menjadi 3 atau 4 dosis, diberikan selama 4 minggu. Kemudian dosis dikurangi sampai 1,5 mg/kg/hari (40 mg/m2/hari) sebagai dosis tunggal setiap pagi selang sehari selama sekurang-kurangnya selama 4 minggu. Bila setelah 4 minggu pemberian steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid. Anak yang tidak menunjukkan respon sampai minggu ke 8 harus dirujuk ke ahli nefrologi untuk biopsi ginjal perkutan.

Upaya Nonspesifik Terapi diuretic mungkin bermanfaat, terutama pada anak dengan edema simptomatik. Loop diuretic (furosemide dan asam etakrinat) yang diberikan oral dalam jumlah biasa (~1-2 mg/kgBB) tetap aman dan cukup efektif, tetapi pemberian obat ini harus dilakukan secara hati-hati karena volume plasma telah berkurang dan telah terjadi syok hipovolemik. Sebaiknya diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 4 jam. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, bisa diberikan plasma sebanyak 20 mg/kgBB/hari untuk mencegah komplikasi dekompensasi jantung. Diuretic selain loop diuretic (metolazon) tidak cukup kuat untuk mempengaruhi diuresis jika bekerja sendiri. Metolazon (dengan atau tanpa spironolakton) mungkin akan bermanfaat jika diberikan dalam kombinasi dengan furosemide untuk edema yang resisten.

Pengobatan Relaps Pemberian prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan prednisone alternating selama 4 minggu. Jika proteinuria 2+ kembali tanpa edema, jangan diberi steroid dulu, bisa saja pemicunya infeksi saluran pernafasan. Jika terbukti infeksi, maka diberi antibiotic 5-7 hari, jika proteinuria 2+ dengan edema, baru diberi pengobatan steroid. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan : 1. Tidak ada relaps sama sekali (30%) 2. Relaps jarang 3. Relaps sering : jumlah relaps < 2 kali (10-20%) : jumlah relaps 2 kali (40-50%)

4. Dependen steroid, bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak dan prognosisnya lebih buruk tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.

Pengobatan SN relaps sering atau Dependen Steroid 1. Pemberian steroid jangka panjang Sebelum pemberian siklofosfamid (CPA), dapat dicoba dahulu pemberian steroid jangka panjang. Jadi setelah mencapai remisi dengan pemberian dosis penuh, diberi steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps antara 0,1-0,5 mg/kgBB, dosis ini disebut threshold, dapat diteruskan selam 12 bulan. Bila masih relaps pada dosis > 0,5
10

mg/kgBB, < 1 mg/kgBB tanpa efek samping yang berat, bisa dikombinasi dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB selang sehari selama 4-12 bulan atau langsung beri CPA. 2. Pemberian levamisol Pemakaian masih terbatas karena efek yang masih diragukan. Efek sampingnya antara lain mual dan muntah. Dosisnya 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari selama 412 bulan. 3. Pengobatan dengan sitostatik Paling sering dipakai adalah siklofosfamid dengan dosis 2-3 mg/kgBB dalam dosis tunggal baik peroral maupun intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB dilarutkan dengan NaCl 0,9% 250 ml diberikan selama 2 jam, pemberian sebanyak 7 dosis dengan interval 1 bulan (durasi pemberian 6 bulan). Efek toksisitas pada gonad bila dosis total kumulatif 200-300 mg/kgBB. Pemberian oral selama 3 bulan dengan dosis total 180 mg/kgBB masih aman untuk anak. CPA puls Sitostatik dapat mengurangi relaps sampai lebih dari 50% yaitu 67-93% pada tahun pertama dan 36-66% selam 5 tahun. Efek samping antara lain mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu dilakukan pemantauan pemeriiksaan darah tepi yaitu hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 2-3 kali seminggu. Bila jumlah leukosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul, obat dihentikan sampai leukosit mencapai >5000/ul. 4. Pengobatan dengan siklosporin SN yang tidak responsive terhadap steroid atau sitostatik dianjurkan pemakaian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari.

Pengobatan SN Resisten Steroid Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal yang mempengaruhi prognosis. CPA memberikan hasil yang baik bila biopsi ginjal menunjukkan MCNS, dengan remisi pada 20% pasien. Tetapi jika relaps lagi dapat diberi siklosporin jika pasien mampu. Pada SNRS, Siklosporin dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemi dan bersifat nefrotoksik, oleh sebab itu perlu pemantauan kada CyA dalam serum, kreatinin
11

darah berkala dan biopsi ginjal setiap 2 tahun. Pada pasien yang resisten terhadap kortikosteroid, sitostatik dan siklosporin, dapat diberikan diuretic dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat yang biasa dipakai adalah captopril 0,3 mg/kgBB 3 x sehari. Tujuan pemberian ACE inhibitor ini adalah untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal.

2.10. Prognosis Pronosis pasien SN bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal. Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 2530% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun. Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tanpa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Vogt BA, Anver ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman, Kliegman, Jenson, penyunting, Nelson textbook of pediatrics. Edisi tujuh belas. Philadelphia USA : Saunders; 2004, halaman 1753-57. 2. Wila Wirya IGN. Sindroma Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihartono PP, dkk, penyunting. Buku ajar nefrologi klinik. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002, halaman 381-426. 3. Noer MS. Sindrom Nefrotik resisten steroid dan permasalahannya. Dalam: IDAI. Simposium nasional nefrologi anak IX. Hemato-onkologi anak. Batu IDAI; 2003, halaman 16-37. 4. Travis Luther. 2011. Nephrotic syndrome. Diakses dari: www.emedicine.com tanggal 31 agustus 2012. 5. Husein A, Tatalan T, Partini PT, Sudung P. Konsensus tatalaksana sindroma nefrotik idiopatik pada anak. Jakarta: IDAI; 2005. 6. Noer MS, Soemyarso N. Sindroma nefrotik. Diakses dari: www.pediatric.com tanggal 31 agustus 2012.

13

You might also like