You are on page 1of 26

BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara berkembang yang meiliki iklim tropis, Daerah yang panas dan memiliki

kelembaban yang tinggi merupakan tempat yang sangat cocok untuk perkembangan bakteri, jamur, dan virus. Hal ini lah yang menyebabkan tingginya insiden penyakit infeksi di Indonesi.1k Keluhan seperti nyeri tenggorokan, infeksi saluran pernapasan bagian atas yang sering disertai dengan masalah pada telinga, adalah jumlah terbesar dari pasien yang datang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan keluhan ini paling sering dialami oleh anak-anak.2 Saluran pernafasan atas memiliki sistem pertahanan lokal berupa jaringan limfoid yang tersusun menjadi Cincin Waldeyer. Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas), dan sebagai surveilen imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah faring merupakan tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya yang tidak datar, sehingga terjadi turbulensi udara pernapasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun Cincin Waldeyer itu semakin besar.3 Seperti halnya jaringan limfoid lain, jaringan limfoid pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanak-kanak. Pada umur 5 tahun, anak mulai sekolah dan menjadi lebih terbuka kesempatan untuk mendapat infeksi dari anak yang lain. Lokasi tonsil pada saluran pernapasan dan pencernaan menyebabkan ia sering terkena infeksi atau menjadi fokal infeksi, serta bisa juga membesar dan mengganggu proses menelan dan atau pernapasan4, sehingga tonsilitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering dari semua penyakit tenggorokan yang berulang.5 Radang kronis yang terjadi pada tonsil ini dapat menimbulkan komplikasikomplikasi baik komplikasi ke daerah sekitar atau pun komplikasi jauh. Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap infeksi ini adalah terapi medikamentosa untuk menghilangkan simptom dan mengeradikasi etiolog dari infeksi ini. Namun terapi definitif untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil.6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tonsil Tonsil merupakan suatu organ yang terdiri dari kumpulan limfenode yang sangat berperan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi terutama dari makanan dan udara pernafasan. Kata tonsil itu sendiri lebih cendrung merujuk pada tonsila palatina yang jumlahnya sepasang dan terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dsan arcus glossopharingicus. Tonsil palatina ini sendiri merupakan salah satu bagian dari Cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin Waldeyer ini terdiri dari jaringan tonsil yang berdasarkan letaknya debagi menjadi empat, yaitu:7 Tonsila lingualis, terletak pada radiks linguae. Tonsila palatina (tonsil), Gambar 1. Tonsila pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring. Tonsila tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada Cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, yang kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.2,9 Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas), dan sebagai surveilen imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah faring merupakan tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya yang tidak datar, sehingga terjadi turbulensi udara pernapasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun Cincin Waldeyer itu semakin besar.3

Gambar 2.1 Penampang Kavum Oris. Wikipedia 2010.

2.2 Embriologi Tonsila Palatina Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsila palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripte tonsiler pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu.11 2.3 Anatomi Tonsila Palatina Tonsila palatina berjumlah sepasang yang terletak pada dinding lateral orofaring kiri dan kanan. Tonsila palatina berntuk ovoid dan terdiri dari sistem cripta yang sangat berguna dalam memperluas lapisan permukaan epitel tonsil. Epitel permukaan tonsil yang tersusun atas epitel squamous stratified merupakan lini pertama yang berhubungan dengan dunia luar. Terdapat 10-30 cripta pada satu buah tonsila palatine. Keberadaan sistem cripta ini sangat memperluas area kontak antara jaringan limfa dengan lingkungan. Pada orang dewasa kira-kira luas permukaan tersebut mencapai 295cm2.9,11,12 Pada tonsilar cripta terdapat makrofag dan sel-sel darah putih lainnya yang akan merespon mikroorganisme yang melekat pada dinding epitel tonsilar cripta. Berdasarkan fungsinya tonsil sebagai pertahanan tubuh tonsilar palatina berfungsi sebagai pengenal pertama terhadap mikroorganisme yang masuk melalui ingestan maupun inhalasi. Namun pada pasien yang mengalami sinusitis kronis sangatlah sering terjadi pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme pada tonsilar cripte.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopis dari potongan melintang dari satu buah cripta. Duktusnya keluar menuju rongga mulut. Epitel squamus stratifide melapisi permukaan yang berhadapan dengan orofaring berlanjut melapisi permukaan saluran cripte. Wikipeda 2010.

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :9,10,11 1. Anterior 2. Posterior 3. Superior 4. Inferior 5. Medial 6. Lateral : arcus palatoglossus : arcus palatopharyngeus : palatum mole : 1/3 posterior lidah : ruang orofaring : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsila. 2.4 Vaskularisasi Arteri terutama masuk melalui polus caudalis, tetapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar kapsula tonsil membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsil dari palatum mole menuju ke bawah 4

lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk menuangkan isinya ke dalam pleksus pharyngealis. Cairan limfe dituangkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior terutama pada limfonodi yang terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsil). Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.4,9,12 2.5 Innervasi Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n. palatina minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua bagian tonsil (Dandy).4,12 2.6 Imunologi Tonsilar palatina berperan dalam pertahanan tubuh dengan membentuk imunologi lokal. Tonislar B sel dapat membentuk lima kelas utama imunoglobulin, bahkan dalam suatu penelitian dengan menginkubasi antigen spesifik terhadap tonsilar palatina. Tonsilar palatina mampu membentuk antibody spesifik terhadap diphtheria toxoid, poliovirus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan lipopolysaccharide dari E. coli. Adapun imunoglobolin A lah yang terutama dientuk oleh tonislar B sel.9 Terdapat aktifitas T-cell pada tonsilar palatina, hal ini dapat dilihat dari kemampuan sel B untuk membentuk humoral imunitas terhadap antigen spesifik. Suatu penelitian menunjukan pada infeksi yang disebabkan oleh virus varisela zoster mampu menstimulasi sel-sel limfosit T dan B pada tonsilar palatin lebih dari limposit yang berada pada pembuluh darah perifer.9 Kombinasi dari tonsilektomy dan adenoidektomy dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dari bakteri dan virus. Menurut penelitian insiden paralitik poliomielitis meningkat setelah dilakukan oprasi pengangkatan tonsil. Hal ini membuktikan peranan yang sangat penting dari tonsilar palatina dalam membentuk imunologi lokal.9,11,12 2.7 Tonsilitis Kronis 2.7.1 Definisi

Terdapat tiga tipe dari tonsilitis yaitu: akut, subakut, dan kronik. Tonsilitis akut merupakan reaksi peradangan pada tonsil yang terjadi kurang dari 3 minggu. Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (25%) dan virus (75%). Tonsilitis subakut merupakan reaksi peradangan pada tonsil yang lebih dari 3 minggu tetapi kurang dari 3 bulan. Tonsilitis subakut ini sering disebabkan oleh bakteri Actinomyces. Sedangkan tonsilitis kronis merupakan reaksi peradangan pada tonsil yang terjadi lebih dari 3 bulan. Tonsilitis kronis terutama disebabkan oleh bakteri.10 Keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya.13,14 Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan keluar detritus.14 2.7.2 Etiologi Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon General of the Army, dimana dari 169 kasus didapatkan : 1. 2. 3. 4. 5. 25 % disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita. 25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.13 Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :11 Streptokokus hemolitikus Grup A Hemofilus influensa Streptokokus pneumonia Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika) Tuberkulosis (pada immunocompromise) 2.7.3 Faktor Predisposisi 1. Rangsangan kronis (rokok, makanan) 6

2. 3. 4. 5. 6.

Higiene mulut yang buruk Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah) Alergi (iritasi kronis dari alergen) Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik) Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.6,13,15 2.7.4 Patologi Proses keradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh detritus (epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsil. Pada anak, proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.6,13,15 2.7.5 Manifestasi Klinis Adapun keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien yaitu; adanya penghalang di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, rasa sakit terus menerus pada kerongkongan dan sakit waktu menelan, disertai dengan panas badan, sakit kepala, nyeri pada sendi, dan nyeri yang menjalar ke telinga.6,13,15 Pada anak-anak sering diikuti dengan keluhan mual, muntah, dan nyeri pada perut.11 Pada pemeriksaan fisik melalui inspeksi didapatkan, terdapat dua macam gambaran tonsil yang mungkin tampak : 1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju. 2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadangkadang seperti terpendam di dalam tonsillar bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.5,13 Gambar 3.

Gambar 3. Tampak pembesaran tonsil kripte yang melebar tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen tepi yang hiperemis. Webster online dictionary, 2010.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :12 Gambar 4 T0 T1 T2 T3 T4 : Tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat : < 25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

Gambar 4. gradasi pembesaran tonsil. Steven T Wright 2003.

2.7.6 Diagnosis 1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 % diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam, nyeri pada leher, sakit kepala, panas, dan nyeri pada telinga. 6,13,15 2. Pemeriksaan Fisik Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripte mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kriptekripte tersebut. Pada beberapa kasus, kripte membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul yang terlihat pada kripte. Gambaran klinis lain yang sering tampak adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai kuburan dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripte.5,13 3. Pemeriksaan Penunjang Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil (swab). Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.13,15 2.7.7 Diagnosa Banding Diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah : 1.Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi tonsil (tonsilitis membranosa) a.Tonsilitis difteri Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang

melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernapasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

Gambar 5 Tonsilitis difteri. Herawati 1999

b.Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar. c. Mononukleosis infeksiosa Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel). 2.Penyakit kronik faring granulomatus a. Faringitis tuberkulosa

10

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher. b. Faringitis luetika Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil. c. Lepra Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat. d. Aktinomikosis faring Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak. Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsi.6,15 2.7.8 Komplikasi Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen/limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.6,14,15,16 1. a. Komplikasi sekitar tonsil Peritonsilitis Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.

b.

Abses Peritonsilar (Quinsy)

11

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

Gambar 6. Abses Peritonsiler. Herawati 1999.

c. Abses Parafaringeal Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus. d. Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus (nanah) dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. e. Krista Tonsil Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih atau berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel. f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil) Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil membentuk bahan keras seperti kapur. 2. Komplikasi ke organ jauh a.Demam rematik dan penyakit jantung rematik b.Glomerulonefritis 12

c.Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis d.Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura e.Artritis dan fibrositis 2.7.9 Penatalaksanaan Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang.5 Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam De Medicina (10 Masehi), tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan oleh Lague dari Rheims (1757).10 Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu :1 1. Obstruksi : Hiperplasia tonsil dengan obstruksi. Sleep apnea atau gangguan tidur. Kegagalan untuk bernafas. Cor Pulmonale. Gangguan menelan. Gangguan bicara. Kelainan orofacial atau dental yang menyebabkan jalan nafas sempit. 2. Infeksi Tonsilitis kronis (sering berulang). Tonsilitis dengan : Abses peritonsiler. Abses kelenjar limfe leher. Obstruksi jalan nafas akut. Gangguan klep jantung. Tonsilitis yang persisten dengan :

13

terapi.

Sakit tenggorok yang persisten. Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap Otitis Media Kronis yang berulang.

3. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna. Indikasi tonsilektomi secara garis besar terbagi 2, yaitu : 1. a. b. c. d. e. f. 2. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Indikasi absolut Tonsilitis akut/kronis yang berulang-ulang. Abses peritonsiler. Karier Difteri. Hipertrofi tonsil yang menutup jalan nafas dan jalan makanan. Biopsi untuk menentukan kemungkinan keganasan. Cor Pulmonale. Indikasi relatif Rhinitis yang berulang-ulang. Ngorok (snorring) dan bernafas melalui mulut. Cervical adenopathy. Adenitis TBC. Penyakit-penyakit sistemik karena Streptokokus hemolitikus seperti demam rematik. Penyakit jantung rematik, nefritis, dll. Radang saluran nafas atas berulang-ulang. Pertumbuhan badan kurang baik. Tonsil besar. Sakit tenggorokan berulang-ulang. Sakit telinga berulang-ulang. Secara umum dapat disebutkan indikasi tonsilektomi adalah: 1.Infeksi berulang 3 kali dalam setahun selama 3 tahun, 5 kali setahun selama 2 tahun, 7 kali atau lebih dalam setahun atau tidak masuk kerja/sekolah lebih dari 2 minggu dalam 1 tahun karena penyakitnya itu,

14

2.Hipertrofi sehingga menyebabkan obstruksi saluran nafas atas (obstruksi,sleep apnea), 3.Abses peritonsiler, 4.Kemungkinan keganasan, baik pembesaran unilateral atau mencari sumber primer yang tidak diketahui, 5.Hipertrofi yang menyebabkan masalah pencernaan, 6.Tonsilitis rekuren yang menyebabkan kejang demam, 7.Karier difteri. Sedangkan kontraindikasi dari tonsilektomi adalah : 1. Kontraindikasi relatif a. Palatoschizis, b. Radang akut, termasuk tonsilitis, c. Poliomielitis epidemika, d. Umur kurang dari 3 tahun. 2. Kontraindikasi absolut a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia, b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol seperti diabetes melitus, penyakit jantung, dan sebagainya.2,5,6,11,17

Gambar 7. Keadaan penderita sebelum dan setelah dilakukan Tonsilektomi. Adam 2005.

15

16

BAB 3 LAPORAN KASUS I. Identitas Penderita Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Alamat Pekerjaan : IPD : 19 tahun : Perempuan : Hindu : Mahasiswa : RenonDenpasar. :-

Tanggal Pemeriksaan : 1 September 2010 II. Anamnesis Keluhan utama : Panas disertai rasa mengganjal di tenggorokan. Penderita datang dalam keadaan sadar dan diantar oleh keluarganya. Pasien mengeluhkan panas sejak empat hari yang lalu. Panas dirasakan naik turun, turun setelah pasein meminum parasetamol. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa mengganjal pada tenggorokannya sejak empat hari yang lalu. Rasa mengganjal tersebut dirasakan terus menerus. Selain itu pasien juga mengeluh rasa nyeri pada tenggorokannya dan bertambah berat saat pasien menelan. Saat menelan sejak 2 hari yang lalu. Selama sakit pasien merasa tenggorokkannya terasa kering. Selain itu penderita juga mengeluh batuk tanpa disertai dahak sejak tiga hari yang lalu. Keluhan pilek tidak ada. Gangguan suara, sesak nafas, serta nyeri persendian tidak ada. Sebelumnya penderita sering mengalami keluhan yang serupa, dan sempat berobat ke dokter spesialis THT 1 tahun yang lalu saat masih SMA di Lombok dan dikatakan mengalami tonsilitis. Pasien diberikan antibiotik dan disarankan dilakukan pengangkatan tonsil. Namun tidak dilakukan oleh pasien. Pasien dikatakan tidak pernah terganggu tidurnya, pasien tidak mengorok, dan tidak mengalami gangguan saat berbicara. Batuk yang lebih dari 3 minggu disangkal oleh pasien.

17

Riwayat penyakit dahulu : Sebelumnya pasien sering mengalami keluhan yang sama sebelumnya 4 kali selama 1 tahun terakhir. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga : tidak ada dalam keluarga penderita mengalami keluhan serupa seperti pasien. Riwayat sosial pribadi dan lingkungan: pasien merupakan mahasiswa kedokteran gigi Maha Saraswati, pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan meminum alkohol. Keluhan Tambahan : Telinga Sekret Tuli Tumor Tinitus Sakit Vertigo Kanan : : : : : :Tidak ada Kiri Hidung Sekret Tersumbat Tumor Pilek Sakit Bersin : Kanan : : : : : : Kiri Tenggorok Riak Tumor Sakit Sesak Batuk Corpus Alienum + -

Ggn.Suara -

Corp.alienum -

Corp.alienum : -

III. Pemeriksaan Fisik Vital Sign Keadaan umum : Baik Kesadaran Nadi Respirasi Temperatur Status General Kepala Muka Mata THT : Normocephali : Simetris : An -/-, Ict -/-, Rp +/+ isokor : ~ status lokalis : Compos Mentis : 88 kali permenit : 20 kali permenit : 37,8C Tekanan Darah : 110/70 mmHg

18

Leher Thorax : Abdomen Ekstremitas Status Lokalis THT Telinga Daun telinga Liang telinga Discharge Membran Timpani Tumor Mastoid Tes pendengaran Suara bisik Weber Rinne Schwabach Po

: pembesaran kelenjar -/Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/: distensi -, BU + N, H/L ttb :Edema -/-, akral hangat +/+

kanan/kiri : : : : N/N -/-/N/N : lapang/lapang : intak/intak

Hidung Hidung luar Kavum nasi Septum Discharge Mukosa Tumor Konka Sinus Koana : : : : : : : :

kanan/kiri N/N lapang/lapang deviasi -/-/dekongesti/dekongesti nyeri tekan -/N/N

: merahmuda/merahmuda

: tidak dikerjakan : Lateralisasi : : +/+ N/N

Tes alat keseimbangan: tidak dilakukan Tenggorok Dispneu Sianosis Mukosa Dinding belakang : : : merah muda : normal Stridor Suara Tonsil : : : tidak ada kelainan T2/T2 Permukaan tidak rata/tidak rata Kripte melebar +/+ Detritus -/Fiksasi -/IV. Resume

Hiperemis +/+

19

Penderita perempuan, 19 tahun, Hindu, Bali, datang dengan keluhan panas disertai perasaan mengganjal pada tenggorokan sejak empat hari yang lulu . pasien juga mengelhkan rasa sakit pada tenggorokan yang dirasakan terutama saat pasien menelan makanan. Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk namun tanpa dahak. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (+) dan sering kumat-kumatan 4 kali selama 1 tahun terakhir. Sebelumnya penderita sempat berobat ke dokter spesialis THT 1 tahun yang lalu dan dikatakan mengalami tonsilitis. Status lokalis THT : Tonsil Pembesaran Hiperemis Permukaan mukosa Kripte Detritus Kanan T2 + tidak rata melebar Kiri T2 + tidak rata melebar -

V. Diagnosis Diferensial 1. Tonsilitis Kronis 2. Tonsilitis Difteri 3. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulceromembranosa) 4. Mononukleosis Infeksiosa 5. Tonsilitis Akut VI. Diagnosis Kerja Tonsilitis Kronis VII. Usulan Pemeriksaan Biakan swab tenggorok dan tes kepekaan kuman (sensitivity test) VIII. Rencana Terapi Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien yaitu: Parasetamol 3 x 500 mg Amoxsisilin 3 x 500 mg ( selama 1 minggu) Kontrol poli 1 minggu kemudian.

20

Pro Tonsilektomi (Cek Laboratorium DL, BT/CT, PTT/APTT) saat tonsil suadah tenang. IX. Prognosis Dubious ad Bonam

BAB 4

21

PEMBAHASAN Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien seorang perempuan, berumur 19 tahun, suku Bali datang dengan keluhan panas badan sejak empat hari yang lalu. Panas menurun setelah diberikan parasetamol namun naik kembali. Pasien juga mengeluhakan perasaan mengganjal di bagian tenggorokan yang muncul bebearapa jam setelah keluhan panas muncul. Pasien juga mengeluhkan rasa sakit pada tenggorokan terutama dirasakan saat pasien menelan. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk namun tidak berdahak. Pilek (-), nyeri sendi (-), sakit kepala (-) BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya dan dinyatakan mengalami tonsilitis oleh spesialis THT di Lombok. Pasien disarankan untuk melakukan tonsilektomi, tetapi tidak dilakukan oleh pasien. Dari anamnesis tersebut menunjukan bahwa pasien mengalami infeksi, dan dari riwayat sebelumnya bahwa pasien telah terdiagnosis mengalami tonsilitis. Kemungkinan besar pasien mengalami tonsilitis kronis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran tonsil T2/T2 yang hiperemis, permukaan tidak rata, pelebaran kripte pada kedua tonsil (+/+), dan tidak ditemukan adanya detritus. Dari pemeriksaan fisik tersebut pasien dapat dikatakan mengalami tonsilitis, dan hal ini sudah terjadi lebih dari tiga bulan dan telah terjadi keluhan yang serupa beberapa kali dalam dua tahun ini. Pasien telah benar dinyatakan mengalami tonsilitis kronis. Untuk membedakan dengan Angina Plaut Vincent dilakukan pemeriksaan higiene mulut. Dimana biasanya pada Angina Plaut Vincent, higiene mulut penderita buruk yang dapat berupa gigi dan gusi yang mudah berdarah, hiperemis pada mukosa mulut dan faring, mulut berbau dan pembesaran kelenjar submandibula. Pada penderita ini hal tersebut tidak ditemukan sehingga diagnosa Angina Plaut Vincent dapat disingkirkan. Pada Mononukleosis infeksiosa keluhan biasanya disertai pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguional. Sehingga diagnosis banding Mononukleosis infeksiosa dapat disingkirkan. Terapi utama yang direncanakan untuk penderita ini adalah tonsilectomy. Hal ini sesuai dengan indikasinya, yaitu tonsilitis berulang 4 kali dalam setahun. Namun saat ini tonsil pasien dalam keadaan radang akut yang merupakan kontra indikasi dilakukan tonsilektomi. Pemberian Parasetamiol untuk menghilangkan keluhan panas dan anti nyeri

22

sudah tepat. Pemberian antibiotika kepada pasien juga sudah tepat untuk mengobati radang akut pasien. Untuk tindakan operatif ini perlu diberikan KIE yang jelas ke keluarga penderita, dan bila setuju untuk dilakukan tindakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan lab dan dikonsulkan ke anestesi. Hal ini dilakukan ketika radang akut pada pasien sudah ditangani.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Brodsky, L & Poje, C (2007). Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. Dalam : Bailey, BJ. Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1, third ed. Lippincott Milliams & Wilkins. 2. Pracy, R. et al (1974) Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 3. Sudana, W., Indikasi Tonsiloadenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar. 4. Karmaya, N.M.; Sana, I.G.N.P. & Sukardi, E. (1979), Tonsilla Palatina, Anatomi, Pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar 5. Adams, G.L. (1997), Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto, E. dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 6. Rusmarjono & Soepardi, E.A. (2001), Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta. 7. Wirawan, S. & Puthra, I.G.A.G. (1979), Arti Fungsionil dari Elemenelemen Histologis Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.. 8. Rusmarjono & Kartosoediro, S. (2001), Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta 9. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 10. Rukmini S. & Herawati S.(1999), Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok, edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 11. Anonim (2003) The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA. 12. Masna, P.W., Tonsilitis, Tonsilektomi dan Adenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar 13. Oka, I.B. (1979), Tonsillitis, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar. 14. Masna, P.W. (1992) Tonsilitis Kronis, dalam Pedoman Diagnosa dan terapi Ilmu Penyakit THT RSUP Denpasar, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar. 15. Mansjoer, A. dkk (2001) Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke3, Jilid pertama, penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta. 16. Suardana, W. (1979), Komplikasi Peradangan Menahun Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar. 24

17. Masna, P.W. (1979), Tonsillectomy & Adenoidectomy, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar. 18. Maryland Medical Center Programs (2004), Aftercare-Tonsillectomy, Akses 12 Mei 2006, Available at www.umm.edu/surgeries/graphics/tonsillectomy_4.jpg</TITL

25

You might also like