You are on page 1of 22

ISRA MIRAJ

Ahlus Sunnah mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah di-israkan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mirajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar [1] sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul Muntaha. Kemudian (beliau Shallallahu alaihi wa sallam) memasuki Surga, melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga. [2] Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: (Jibril) telah datang kepadaku bersama Buraq, yaitu hewan putih yang tinggi, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari kuda, yang dapat meletakkan kakinya (melangkah) sejauh pandangannya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Maka aku menaikinya hingga sampailah aku di Baitul Maqdis, lalu aku turun dan mengikatnya dengan tali yang biasa dipakai oleh para Nabi. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Kemudian aku masuk ke masjid al-Aqsha dan aku shalat dua rakaat di sana, lalu aku keluar. Kemudian Jibril Alaihissalam membawakan kepadaku satu wadah khamr dan satu gelas susu, maka aku memilih susu, lalu Jibril berkata kepadaku: Engkau telah memilih fitrah (kesucian). Lanjut beliau Shallallahu alaihi wa sallam: Kemudian Buraq tersebut naik bersamaku ke langit, maka Jibril meminta agar dibukakan pintu langit, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Jibril menjawab: Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapakah yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Jibril ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Ia men-jawab: Dia telah diutus. Kami pun dibukakan pintu lalu aku bertemu (Nabi) Adam Alaihissalam. Beliau menyambutku dan men-doakan kebaikan untukku. Kemudian Buraq tersebut naik ber-sama kami ke langit kedua, maka Jibril Alaihissalam mohon dibukakan pintu, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Ia menjawab: Jibril. Ia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Ia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Kata Nabi: Maka kami dibukakan pintu lalu aku bertemu dengan dua orang sepupuku, yaitu Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria Alaihimussalam, maka keduanya menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit ketiga, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Jibril. Dia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Dia menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Dia menjawab: Dia telah diutus kepada-Nya. Kata Nabi: Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu Nabi Yusuf Alaihissalam yang telah dianugerahi setengah dari ketampanan manusia sejagat. Kata Nabi: Maka Yusuf menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang keempat, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia

ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Jibril. Dia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Dia menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Dia menjawab: Dia telah diutus kepada-Nya. Kata Nabi: Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu Idris Alaihissalam, ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah Azza wa Jalla telah berfirman (untuknya): Dan kami telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang kelima, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Jibril. Dia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Dia menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Dia menjawab: Dia telah diutus kepada-Nya. Kata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan Nabi Harun Alaihissalam, ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang keenam, maka Jibril Alaihissalam mohon dibukakan pintu, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Jibril. Dia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Dia menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Dia menjawab: Dia telah diutus kepada-Nya. Kata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan Musa Alaihissalam, lalu ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang ketujuh, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Jibril. Dia ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Dia menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus kepada-Nya? Dia menjawab: Dia telah diutus kepada-Nya. Kata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan Ibrahim Alaihissalam, yang sedang menyandarkan punggungnya di Baitul Makmur, di mana tempat itu setiap harinya dimasuki oleh 70.000 Malaikat dan mereka tidak kembali lagi sesudahnya. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian Buraq tersebut pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha yang (lebar) dedaunnya seperti telinga gajah dan (besar) buahbuahnya seperti tempayan besar. Kata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: Tatkala perintah Allah memenuhi Sidratul Muntaha, maka Sidratul Muntaha berubah dan tidak ada seorang pun dari makhluk Allah yang bisa menjelaskan sifat-sifat Sidratul Muntaha karena keindahannya. Maka, Allah Azza wa Jalla memberiku wahyu dan mewajibkan kepadaku shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan): Kemudian aku turun dan bertemu Musa Alaihissalam, lalu ia bertanya: Apa yang diwajibkan Rabb-mu terhadap ummatmu? Aku menjawab: Shalat lima puluh kali. Dia berkata: Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu.

Sesungguhnya aku telah menguji bani Israil dan aku telah mengetahui bagaimana kenyataan mereka. Kata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: Aku akan kembali kepada Rabb-ku. Lalu aku memohon: Ya Rabb, berilah keringanan kepada ummat-ku. Maka aku diberi keringanan lima shalat. Lalu aku kembali kepada Musa Alaihissalam kemudian aku berkata padanya: Allah telah memberiku keringanan (dengan hanya) lima kali. Musa mengatakan: Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu, maka kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Aku terus bolak-balik antara Rabb-ku dengan Musa Alaihissalam sehingga Rabb-ku mengatakan: Wahai Muhammad, sesungguhnya kewajiban shalat itu lima kali dalam sehari semalam, setiap shalat mendapat pahala sepuluh kali lipat, maka lima kali shalat sama dengan lima puluh kali shalat. Barangsiapa berniat melakukan satu kebaikan, lalu ia tidak melaksanakannya, maka dicatat untuknya satu kebaikan, dan jika ia melaksanakannya, maka dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa berniat melakukan satu kejelekan namun ia tidak melaksanakannya, maka kejelekan tersebut tidak dicatat sama sekali, dan jika ia melakukannya maka hanya dicatat sebagai satu kejelekan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Kemudian aku turun hingga bertemu Musa Alaihissalam , lalu aku beritahukan kepadanya, maka ia mengatakan: Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan lagi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Lalu aku menjawab: Aku telah berulang kali kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepada-Nya. [3] Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, Hadits-hadits tentang miraj Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke langit adalah mutawatir. [4]

PANDUAN SHALAT IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA


Hukum Shalat Ied Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu Athiyah, beliau berkata, . - -

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.[2] Di antara alasan wajibnya shalat ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3] Pertama : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terus menerus melakukannya. Kedua : Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib. Ketiga : Ada perintah dalam Al Quran yang menunjukkan wajibnya shalat ied yaitu firman Allah Taala, Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr). (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ied. Keempat : Shalat jumat menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jumat itu wajib, demikian halnya dengan shalat ied. Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ied. Shalat ied adalah salah satu syiar Islam yang terbesar. Nabi shallallahu alaihi

wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?[4] Waktu Pelaksanaan Shalat Ied Menurut mayoritas ulama ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6] Ibnul Qayyim mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat Idul Adha. Ibnu Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.[7] Tujuan mengapa shalat Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8] Tempat Pelaksanaan Shalat Ied Tempat pelaksanaan shalat ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Said Al Khudri mengatakan, menuju tanah lapang.[9] An Nawawi mengatakan, Hadits Abu Said Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.[10] Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat Ied Pertama : Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ied sebelum berangkat shalat.[11] Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha

Kedua : Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat Idul Fithri dan Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.[12]

Ketiga : Makan sebelum keluar menuju shalat ied khusus untuk shalat Idul Fithri. Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, - Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.[13] Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ied.[14] Keempat : Bertakbir ketika keluar hendak shalat ied. Dalam suatu riwayat disebutkan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.[15] Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin Abbas, Abdullah binAbbas, Ali, Jafar, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).[16] Tata cara takbir ketika berangkat shalat ied ke lapangan: [1] Disyariatkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17] [2] Di antara lafazh takbir adalah, Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu yaitu sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[18] Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, itu juga diperbolehkan.[19] Kelima : Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus

memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman. Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu Abbas yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, Apakah engkau pernah menghadiri shalat ied bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam? Ia menjawab, Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.[20]

Keenam : Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan, berangkat dan pulang.[21] Ketujuh : Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, - . Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.[22] Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah Ied dan Badiyah Ied Dari Ibnu Abbas, ia berkata, - Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ied dua rakaat, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun badiyah ied.[23] Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat Ied Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata, Aku - pernah melaksanakan shalat ied (Idul dan . Idul Adha) bersama Fithri Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika shalat ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.[24] Ibnul Qayyim mengatakan, Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jamaah tidak ada ucapan Ash Sholaatul Jaamiah. Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.[25]

Tata Cara Shalat Ied Jumlah rakaat shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua rakaat. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26] Pertama : Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua : Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, Ibnu Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.[27]

Ketiga : Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Masud, ia mengatakan, Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan, . Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku). Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Taala.

Keempat : Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada rakaat pertama dan surat Al Qomar pada rakaat kedua. Ada riwayat bahwa Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika shalat Idul Adha dan Idul Fithri. Ia pun menjawab, ( )( ) Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca Qaaf, wal quranil majiid (surat Qaaf) dan Iqtarobatis saaatu wan syaqqol qomar (surat Al Qomar).[29] Boleh juga membaca surat Al Alaa pada rakaat pertama dan surat Al Ghosiyah pada rakaat kedua. Dan jika hari ied jatuh pada hari Jumat, dianjurkan pula membaca surat Al Alaa pada rakaat pertama dan surat Al Ghosiyah pada rakaat kedua, pada shalat ied maupun shalat Jumat. Dari An Numan bin Basyir, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, - ) . ( ( )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ied maupun shalat Jumat Sabbihisma robbikal ala (surat Al Alaa) dan Hal ataka haditsul ghosiyah (surat Al

Ghosiyah). An Numan bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ied bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima : Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, itidal, sujud, dst). Keenam : Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.

Ketujuh : Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan : Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan : Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam. Khutbah Setelah Shalat Ied Dari Ibnu Umar, ia mengatakan, ied sebelum khutbah.[31] Setelah melaksanakan shalat ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jumat).[32] Nabi shallallahu alaihi wa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula Umar biasa melaksanakan shalat

sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan hamdalah (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya. Ibnul Qayyim mengatakan, Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membuka khutbah iednya dengan bacaan takbir. Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah iednya dengan bacaan takbir.[34] Jamaah boleh memilih mengikuti khutbah ied ataukah tidak. Dari Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ied bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,

Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.[35]

Ucapan Selamat Hari Raya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ied, Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu alaika dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa Dan yang ingin mengucapkan selamat, maka ia ia pun

memiliki qudwah (contoh). memiliki qudwah (contoh).

barangsiapa

yang

meninggalkannya,

Bila Hari Ied Jatuh pada Hari Jumat Bila hari ied jatuh pada hari Jumat, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jumat atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jumat agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jumat bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari Umar, Utsman, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Az Zubair.

Dalil dari hal ini adalah: Pertama : Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom, - . .

Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertemu dengan dua ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari? Iya, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, Apa yang beliau lakukan ketika itu? Beliau melaksanakan shalat ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan melaksanakannya.[36] Kedua : Dari Atho, ia berkata, Ibnu Az Zubair ketika hari ied yang jatuh pada hari Jumat pernah shalat ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jumat Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu Abbas.

Ibnu Abbas pun mengatakan, Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu yaitu menjadi perkataan Nabi.[38] Diceritakan pula bahwa Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jumat. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan: Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jumat supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jumat atau yang tidak shalat ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Numan bin Basyir, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ied dan shalat Jumat sabbihisma robbikal ala dan hal ataka haditsul ghosiyah. An Numan bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ied bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jumat yang bertepatan dengan hari ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jumat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid. Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat ied baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 rakaat) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jumat.[41]

MUHAMMAD SURI TAULADAN UMAT


Habibi Ya Muhammad Hari ini merupakan hari yang berbahagia bagi kaum muslimin dimanapun mereka berada. Karena di bulan Rabiul awwal ini kita memperingati hari kelahiran manusia suci, manusia pilihan Allah SWT yakni Nabi besar kita Muhammad Saww. Dan sekaligus kita memperingati hari kelahirannya imam suci yakni Imam jafar As-Shadiq as. Kali ini saya akan mencoba untuk membahas dari salah satu sisi kehidupan Rasulullah Saww yakni dari segi akhlak beliau. Karena ini penting sekali bagi kita sebagai generasi dizaman serba modern untuk memiliki jiwa dan berakhlak muhammadi. Mengingat dizaman kita sekarang ini, banyak kita temukan orang-orang dan masyarakat yang ada disekitar kita akhlaknya sudah amburadul, kacau balau dan tidak berpendidikan bahkan sama sekali tidak memiliki rasa hormat dan sopan santun terhadap orangtuanya maupun orang lain. Sebelum saya menjelaskan lebih jauh mengenai kehidupan kita ini, alangkah baiknya kita terlebih dahulu melihat sisi kehidupan Rasulullah Saww agar nantinya kita bisa mengambil contoh dan hikmah dari beliau. Didalam Al-Quran Allah SWT berfirman : Perangai lembutmu adalah suatu rahmat dari Allah. Dan jika kamu bersikap kasar dan keras hati niscaya orang-orang menjauhi dari sekitarmu. (QS. Al-Imran:159) Apabila kita membicarakan tentang akhlak dan perilaku Rasulullah Saww berarti membicarakan seluruh sifat-sifat terpuji dan dicintai Allah SWT. Sering kita mendengar riwayat yang menceritakan tentang keindahan akhlak mulia beliau. Bahkan tidak sedikit orang mengucapkan kalimat syahadat dan menjadi muslim dikarenakan melihat sifat terpuji beliau yang meluluhkan hati mereka yang sebelumnya keras bagai batu. Diceritakan dalam sebuah peperangan orang-orang meminta kepada Rasulullah untuk mengutuk musuh-musuh mereka, tetapi Rasulullah mengatakan: Aku diutus sebagai rahmat dan hidayah, bukan untuk melaknat. Ini adalah jawaban yang keluar melalui mulut beliau yang suci. Beliau malah mendoakan mereka oleh orang-orang yang diminta untuk dikutuk. Akhlak Nabi Muhammad Saww yang terpuji bukan hanya ada setelah beliau menjadi seorang rasul, namun jauh sebelum itu beliau telah dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang selalu menjaga akhlaknya, memiliki perilaku yang terpuji, amanah, jujur dan dan berbagai sifat mulia lainnya. Riwayat dari anas bin Malik menyampaikan kepada kita bahwa gelar al-Amin telah melekat pada diri Rasulullah Saww sebelum beliau diangkat menjadi seorang rasul karena beliau dikenal sebagai orang yang amanah dan adil. Salah satu akhlak terpuji beliau adalah hidup dengan sederhana. Sering kita mendengar cerita mengenai kehidupan beliau dilihat dari sisi ini. Bagaimana sederhananya pakaian beliau, rumah beliau dan makanan beliau. Sering kita mendengar riwayat yang menyebutkan bahwa makanan beliau hanya terdiri dari roti gandum dan kurma. Bahkan tidak jarang beliau melewati harinya tanpa mendapatkan makanan tersebut. Beliau menambal sandalnya sendiri dan membeli pakaian dengan harga yang murah sehingga sisa uangnya untuk membeli pakaian untuk beliau

berikan pada orang lain. Tetapi yang perlu diingat adalah kesederhanaan beliau ini bukan dilakukan karena dipaksa oleh keadaan. Kesederhanaan ini tidak beliau lakukan karena beliau miskin. Beliau tidak miskin. Beliau mampu mendapatkan apa yang beliau inginkan. Namun Rasulullah Saww hanya ingin mendekatkan diri kepada kaumnya yang mayoritas fakir dan papa. Beliau ingin hidup berdampingan dengan mereka dan menanggung kesulitan mereka. Akhlak Rasulullah Saww adalah Al-Quran. Allah SWT menerangkan dalam Al-Quran mengenai perilaku dan akhlak yang baik dan menganjurkan kepada Nabi dan umatnya untuk memperhatikan masalah tersebut. Nabi mengajak umat untuk melakukan penyucian dan pembinaan jiwa serta spiritual. Nabi mengingatkan kepada umatnya mengenai akhlak yang mulia serta dampaknya bagi kehidupan dunia dan akhirat. Beliau bukan hanya mengingatkan umatnya melalui lisan namun langsung mempraktikan akhlaknya yang mulia tersebut kedalam kehidupan sehari-hari. Setelah seringnya kita mendengar berbagai kisah dan riwayat kehidupan beliau yang sarat dengan berbagai macam pelajaran akhlak, namun adakah imbasnya bagi kita? Apakah kita telah mencoba mempraktikannya walau hanya satu dari sekian banyak sifat terpuji yang beliau contohkan? Bagaimana kita melihat akhlak dan moral yang semakin hari semakin merosot tajam karena telah melupakan nilai-nilai luhur dari akhlak mulia yang telah beliau ajarkan. Bahkan tidak jarang kita mengaku sebagai umat Muhammad dan mencintainya serta menjadikannya teladan bagi kehidupan kita masih saja melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah Saww contohkan. Sekarang kita lihat masih adakah orang yang mau berusaha untuk hidup sederhana bukan karena disebabkan oleh kemiskinan? Masih adakah orang yang mau memperhatikan tetangganya yang kekurangan seperti Rasulullah Saww

memperhatikan kaumnya yang fakir? Atau masih harus terus bertambah lagi jumlah kematian anak-anak yang menderita karena kekurangan gizi? Kapankan seorang pemimpin sadar atas hausnya kekuasaan dan jabatan yang didudukinya sehingga membiarkan orang-orang yang miskin ditelantarkan begitu saja tanpa diberi uang ataupun bantuan makanan? Sampai kapankan para pemimpin-pemimpin negara yang masih saja melakukan korupsi dengan memakan harta dan uang rakyat? Sungguh perbuatan ini sudah diluar batas akhlak manusiawi. Kita lihat Rasulullah Saww, beliau adalah sosok manusia dan pemimpin yang sempurna yang peduli tehadap kaumnya. Beliau adalah orang yang adil dan bijaksana yang lebih mementingkan orang lain ketimbang mementingkan diri sendiri. Maka perlu dan penting sekali kita membutuhkan pemimpin seperti beliau yang peduli terhadap kehidupan masyarakat. Dimana tindakan dan perilakunya menjadi oase tatkala kita tengah dahaga dipadang kesengsaraan umat. Kita rindu pemimpin yang berakhlak seperti akhlak Rasulullah Saww yang pola hidupnya lebih papa daripada rakyatnya yang paling miskin, pemimpin yang tidak pernah tidur nyenyak karena khawatir telah merampas hak rakyat, pemimpin yang selalu mengkhawatirkan keselamatan umatnya hingga tarikan nafas yang terakhir. Itulah Muhammad yang berakhlakul karimah yang telah diciptakan Allah sebagai tuntunan dan suri tauladan bagi umatnya. Allah SWT berfirman :

sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah, suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (QS. 33:21) Masyarakat sekarang agaknya masih harus bersabar dalam menghadapi berbagai krisis. Mulai dari krisis ekonomi dan politik yang berlarut-larut hingga rusaknya akhlak pemimpin negeri ini. Padahal dua masalah ini merupakan kunci dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis, adil dan sejahtera. Karena dengan keadaan ekonomi yang baik dan politik yang tidak gonjang-ganjing masyarakat akan tenang bekerja. Begitu juga jika moralitas pemimpinnya baik maka rakyatnya juga akan memiliki moral yang baik pula. Sebab dalam masyarakat yang masih bersifat berorientasi patron maka keteladanan pemimpin itu muthlak diperlukan. Keteladanan pemimpin inilah yang akan memberikan dorongan perbaikan dalam tatanan masyarakat. Sebagai contoh dalam kehidupan premanisme, khutbah-khuthbah agama tidak berarti apa-apa. Karena bagi mereka yang terlibat dengan kehidupan tersebut penyelesaiannya bukanlah dengan hanya bicara saja, tapi bagaimana masalah mereka dapat terpecahkan dan juga teladan yang baik dari pemimpin dan tokoh agama lainnya jika agama ingin tegak maka para tokoh agama harus memberikan teladan yang benar dan baik disamping aturan-aturan yang tegas dengan disertai sanksi-sanksi, artinya bahwa etika agama juga harus mempunyai sanksi jika ada pelanggaran. Dengan kata lain agama haruslah amat positif dalam perintah-perintah dan larangan-larangan untuk dapat memberikan pengaruh baik yang tetap pada orang yang kurang pengetahuan dan kurang beradab dengan hukum positif. Agar islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saww mampu hidup dan tersebar luas karena mempunyai ketegasan hukum dan keteladanan pembawa risalahnya. Coba kita bayangkan, pada waktu Rasulullah Saww memulai dakwah islam, keadaan masyarakat waktu itu adalah jahiliyyah. Pada waktu itu, dikalangan orang arab terdapat para penyembah berhala. Namun demikian, dengan kesabaran dan keteladanannya, beliau berhasil mengantarkan islam pada kemenangan, sukses agama islam pada abad ketujuh masehi dan penyebarannya yang cepat dan mengagumkan dipermukaan bumi, disebabkan karena Muhammad mengakui kebutuhan asasi sifat manusia yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum ajaran islam. Kehadiran Rasulullah Saww ditengah puing-puing moral dan sosial adalah berusaha untuk mengintegrasikan upacara menyembah Tuhan dan mengingatkan manusia pada kewajibannya yang dapat membawa manusia pada pertumbuhan spiritual. Dan dengan berhasilnya mengangkat bangsa-bangsa yang rendah derajatnya ketingkat moral masyarakat yang lebih tinggi. beliau membuktikan pada dunia betapa pentingnya suatu sistem yang positif. Beliau mengajarkan kita hidup sederhana, menahan nafsu, dermawan, hidup adil dan persamaan sebagai perintah-perintah Allah SWT. Dan yang mana bahwa manusia itu sama dan memiliki sifat sosialis. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa islam mempunyai dasar-dasar landasan pokok diantaranya: 1). Kepercayaan bahwa Tuhan itu Esa, tidak berwujud benda, kuasa, Maha

Penyayang dan Maha Maha Pengasih. 2). Kedermawanan dan rasa bersaudara diantara manusia. 3). Menaklukan hawa nafsu. 4). Mencurahkan rsa syukur kepada pemberi segala kebaikan. 5). Manusia bertanggung jawab atas amal perbuatannya dalam kehidupan sesudah ini. Lima prinsip dasar ini merupakan konsepsi besar dan mulia yang dinyatakan dalam Al-Quran. Semua nilai-nilai itu bisa terwujud dalam masyarakat karena keteladanan Muhammad Saww. Namun jika kita lihat keadaan umat islam sekarang ini, amat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan pembawa risalahnya. Semua terjadi karena adanya pengaruh-pengaruh jelek para pemimpin yang telah merusak sari kembang agama yang benar dan semangat pengabdian yang tulus. Begitu pula ketertinggalan kaum muslimin dalam ilmu pengetahuan, hal ini sebabkan karena adanya kebekuan yang terjadi dalam masyarakat islam sekarang, terutama disebabkan karena pengertian yang telah merusak dalam pikiran orang islam umumnya bahwa hak untuk mempergunakan pertimbangan pribadi telah terhenti dengan ahli-ahli hukum awal, bahwa penggunaan dimasa modern adalah dosa. Dan elemen-elemen dinamis yang dahulu menggerakan orang-orang islam masih tetap hidup dan bertahan, hanya menunggu saat yang baik untuk dimunculkan kembali secara kreatif. Kemunculan itu tidaklah datang dengan sendirinya, maka umat islam harus bekerja keras dan mencontoh akhlak Nabi Muhammad Saww sebagai suri tauladan umat yang pada bulan ini kita memperingati maulidnya.

AKHLAK TERCELA
AL-AKHLAQ AL-MADZMUMAH 1. Zalim Zalim biasanya dikontraskan dengan adil. Karenanya dengan mempelajari bahasan adil dalam al-Akhlaq al-Karimah kita sudah bisa menangkap makna zalim. Keduanya selalu mempunyai arti yang berlawanan. Dalam bahasa Inggris zalim biasanya diartikan dengan injustice atau ketidakadilan. Walaupun, zalim dalam istilah al-Quran bukan satusatunya yang menunjuk pada makna ketidakadilan. Dalam al-Quran kata zalim dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 315 kali. Ini menunjukkan bahwa kata ini merupakan salah satu konsep sentral dalam al-Quran. Toshihiko Izutsu, sebagaimana dikutip dawam Rahardjo, menyatakan bahwa merupakan varian dari sikap dan perilaku kufur atau ingkar. merupakan segi atau dimensi kekufuran. Sebagaimana konsep adil, yang bersifat multidimensional, zalim juga mempunyai cakupan makna yang cukup luas. Pertama, kezaliman atau ketidakadilan menyangkut masalah hak, yaitu apakah seseorang memperoleh haknya atau tidak. Kezaliman terjadi bila hak-hak seseorang diingkari atau dilanggar. Pengertian ini dapat ditarik dari firman Allah dalam surat Taha, 20: 112; )111(

Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya. Kedua, kezaliman dimaknai sebagai perilaku yang berat sebelah. Hal sebagaimana terekam dalam surat al-Baqarah, 2: 182; )181( (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat di atas dinyatakan orang yang membuat suatu wasiat dengan berat sebelah (janafa)sehingga bertentangan dengan syara. Janafa merupakan kata lain dalam alQuran untuk menyebut ketidakadilan atau kezaliman, selaian hadlama sebagaimana dalam surat Taha di atas. Jadi kezaliman timbul karena seseorang berpikir, bersikap dan bertindak berat sebelah, seperti dalam membuat wasiat atas hartanya. Ketiga, kezaliman juga bermakna pelanggaran terhadap hukum, atau tindakan tanpa dasar. Sebaliknya keadilan sering dimaknai sebagai pelaksanaan yang setia terhadap hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap hak dan tindakan yang berat sebelah sering kali disebabkan karena seseorang berbuat tidak didasarkan pada aturan dan hokum yang berlaku, akan tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan subyektif. Hal inilah yang yang disebut dengan sikap dan perilaku yang sewenang-wenang, sikap dan perilaku yang tidak didasarkan nilai dan aturan. Keempat, kezaliman juga berarti kebohongan. Orang yang berbuat zalim adalah orang yang merekayasa kebohongan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-An`am, 6: 21; )11( Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.

Kedustaan terhadap Allah adalah mengatakan dirinya beriman, padahal ingkar, mengatakan dirinya berbuat baik, tetapi sebenarnya berbuat jahat/salah. Mendustakan ayat-ayat Allah adalah menentang prinsip-prinsip kebajikan yang telah diajarkan agama. Keduanya adalah perbuatan yang pada esensinya berseberangan dengan prinsip keadilan, keduanya adalah kezaliman. Begitu rendah dan hinanya kezaliman, Islam memberikan panduan terhadap mereka yang dizalimi bagaimana merespon tindakan tersebut. Pertama, bahwa al-Quran memberikan dispensasi untuk mengkritik tindakan kezaliman secara terbuka dan secara pedas sekalipun. Ini tergolong istimewa, karena pada dasarnya agama melarang membongkar keburukan orang lain

secara terbuka yang dimungkinkan bisa mempermalukan orang lain. Dalam surat al-Nisa`, 4: 148 dinyatakan: )148( Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. memberi izin kepada yang terzalimi untuk mengangkat

Kedua,

al-Quran

senjata/berperang melawan kezaliman. Izin ini juga merupakan pengecualian, karena pada dasarnya Islam melarang berperang. Izin inilah yang dijadikan dasar politik pertahanan atau politik perang dan damai dalam konteks kenegaraan. Allah berfirman dalam surat al-Hajj, 22: 39; )99( Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.

Sunnah Allah menggariskan bahwa kezaliman atau ketidakadilan dalam skala kecil atau besar cepat atau lambat akan mengalami kehancuran. Karena kezaliman telah melawan prinsip keseimbangan. Agama begitu konsen dengan prinsip ini, karena pada dasarnya segala hal tidak terlepas dari prinsip ini, termasuk penciptaan alam raya. Dalam hal ini ada gambaran kosmologis dari surat al-Rahman, 55: 7 9; )9( (7) (8) Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Takabbur Menurut Imam al-Ghazali, seorang yang takabbur adalah yang memandang selainnya dengan pandangan rendah dan hina sebagaimana pandangan raja terhadap hamba sahaya. Orang seperti ini mempunyai persepsi bahwa keagungan, kebesaran dan kebaikan hanyalah miliknya. Seorang mutakkabir, dalam kadar yang tinggi, merasa menyamai Tuhan bahkan berani melawanNya, sebagaimana sejarah Firaun. Seorang mutakkabir tidak pernah melakukan introspeksi terhadap dirinya secara obyektif. Ia hanya mengenali sisi-sisi kelebihan dirinya dan tidak pernah mampu menyelami dan mengakui potensi dan perasaan orang lain.Mutakabbir mempunyai ego dan subyektivitas yang sangat dominan sehingga dirinya sendiri tidak mampu mengontrolnya.

Ia tidak menyadari bahwa pada awalnya tercipta dari setitik air (nutfah) dan pada akhirnya nanti menjadi bangkai yang menjijikkan. Sementara dalam hidupnya, ia senantiasa membawa urine dan kotoran yang menusuk hidung. Demikian Quraish Shihab mengilustrasikan. Seorang yang takabbur mengabungkan dalam dirinya kebodohan dan kebohongan. Kebodohan karena pada dasarnya ia tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah dan sekaligus tidak mengetahui kemampuan riel dirinya. Kebohongan karena ia telah membohongi Tuhan, sesamanya dan terutama dirinya sendiri. Seorang yang takabbur juga telah menciptakan keburukan di atas keburukan. Keburukan dalam dirinya ia taburkan terhadap sesama yang pada akhirnya menimbulkan dendam, antipati, kebencian dan yang lainnya. Karena itulah Allah secara tegas menyatakan bahwa dirinya tidak menyukai orang yang mempunyai karakter seperti ini: (81) )19( an janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Nabi S.a.w. juga bersabda: Tidak akan masuk surga seseorang yang terdapat dalam hatinya sebesar zarrah keangkuhan Sebagaimana diketahui bahwa Allah mempunyai sifat al-Mutakabbir. Persoalannya bagaimana meneladani sifat ini, karena ada perintah Takhallaqu bi Akhlaqillah. Meneladani sifat ini diizinkan dalam dua keadaan, yakni ketika seseorang menghadapi orang yang sombong terhadap dirinya dan ketika berkecamuknya perang menghadapi musuh. Rasul pernah melihat orang yang berjalan dengan angkuh dan congkak dalam situasi seperti ini, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya ia adalah cara jalan yang dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi seperti ini. Menurut Imam al-Ghazali seseorang yang meneladani sifat Allah al-Mutakkabir adalah dia yang zahid dan arif.Yaitu dia yang meninggalkan kesenangan materi dan dunia kemudian menyibukkan diri berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang mutakabbir (bagi yang meneladani sifat Allah) adalah yang memandang dirinya lebih agung dan besar dari segala sesuatu kecuali Allah. Karena itu ia tidak disibukkan dengan apapun dalam memandang Allah. Larangan Mengolok-olok, Banyak Prasangka, meneliti kelemahan sesama, Panggilan dengan Gelar yang Jelek. Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan komunikasi manusia dengan Tuhannya (hubungan vertical) akan tetapi juga komunikasi manusia dengan sesamanya (hubungan horizontal). Dalam surat Ali Imran ayat 112, misalnya, dinyatakan bahwa kehinaan akan menerpa siapapun dimanapun ia berada bila tidak menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Hal ini semakin nyata, dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dengan adanya larangan tegas al-Quran terhadap perilaku mengolok-olok,

banyak prasangka dan yang semisalnya yang bisa memperkeruh hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam surat al-Hujurat (49): 11 12 dinyatakan: (11) )11( Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Dalam teks al-Quran di atas ada beberapa akhlak tercela yang harus dijauhi, yaitu; mengolok-olok, mencela, panggilan dengan gelar-gelar yang buruk, buruk sangka, mencari-cari kesalahan dan menggunjing orang lain. Al-Quran juga menampilkan alasan mengapa perilakuperilaku tersebut terlarang. Mengolok-olok sesama yang dilakukan oleh siapapun itu terlarang karena, antara lain, kemungkinan yang diolol-olok itu lebih baik dari pada yang mengolok-olok. Alasan ini juga bisa berlaku terhadap akhlak-akhlak yang lain dalam ayat di atas. Alasan ini cukup mengena, karena biasanya olok-olok yang dilontarkan hanya didasarkan pada pertimbangan subjektif karena factor dislike. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dinyatakan: Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupamu dan hartamu, akan tetapi melihat hati dan perbuatanmu.

Dalam Tafsir al-Qurthubi dinyatakan, berdasar hadis di atas, bahwa seseorang hendaknya tidak cepat menilai sesama dengan penilaian yang negatif/jelek hanya didasarkan pada tampilan luar perbuatan/perilaku manusia. Seseorang yang tampaknya melakukan perbuatan baik

sekalipun, Tuhan kemungkinan menilai sebaliknya, karena melihat adanya motivasi jelek dalam hatinya yang membuat perbuatan tersebut menjadi tidak sah. Begitupun sebaliknya, orang yang melakukan perbuatan yang jelek, akan tetapi justru diampuni oleh Tuhan karena dalam hatinya terkandung sifat yang mulia. Perbuatan hanyalah tanda-tanda lahiriah yang bersifat zanni,tidak bersifat pasti. Karena itulah kita tidak boleh mudah tertipu dengan perbuatan yang mungkin tampak baik, dan tidak boleh cepat menarik kesimpulan orang lain sebagai jelek/jahat karena perbuatannya kita lihat jelek. Yang dapat kita katakan adalah bahwa perbuatan tersebut salah, buruk atau menurut hemat kita tidak sesuai dengan tuntunan agama kemudian menegur pelakunya. Akan tetapi kita tidak boleh langsung menarik kesimpulan bahwa pelakunya itu sendiri buruk. Barang kali ia tidak tahu, salah tafsir/perhitungan atau yang lainnya. Larangan berikutnya memakai redaksi wa la talmizu anfusakum, (Janganlah kamu mencela diri sendiri). Makna dari redaksi di atas adalah, Janganlah sebagian kamu mencela sebagian yang lain. Bentuk ini sama dengan firman Allah yang lain, wa taqtulu anfusakum yang bermakna janganlah sebagian kamu membunuh sebagaian yang lain. Hikmah yang dapat diambil adalah bahwa seorang yang berakal tidak akan mencela dirinya sendiri, karenanya tidak seharusnya ia mencela sesamanya. Sebab mencela sesamanya laksana mencela dirinya sendiri. Bukankah Nabi s.a.w. telah bersabda bahwa orang-orang mumin laksana tubuh yang satu, jikalau salah satu anggotanya mengaduh kesakitan yang lain akan turut merasakan sakit. Dikatakan juga bahwa sangat beruntung orang yang disibukkan dengan introspeksi aibnya sendiri dari pada mencari ain orang lain. Akhlak yang tercela yang ketiga adalah panggilan dengan gelar yang buruk. Menurut Ibn Abbas panggilan yang buruk (al-tanabuz bi al-alqab) adalah berlaku terhadap orang yang dahulunya berbuat kesalahan/kejahatan kemudian bertobat. Maka, Allah melarang untuk mengungkit kembali kesalahan yang telah dilakukan dengan panggilan yang buruk. Hal ini sebagaimana terjadi ketika ayat di atas diturun. Orang menyapa dengan panggilan, Wahai seorang yang fasik, Wahai seorang yang munafik, Wahai orang yang kafir, dan lainnya. Padahal sebenarnya predikat tersebut sudah tidak pantas karena yang dipanggil telah bertobat. Sebaliknya, panggilan dengan gelar-gelar yang baik yang disukai oleh yang dipanggil, agama membolehkannya. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi sendiri. Beliau memberi gelar terhadap sahabat-sahabat beliau dengan, misalnya, al-Shiddiq untuk Abu Bakr, alFaruq untuk Umar, Asadillah untuk Hamzah, Saifullah untuk Khalid. Dan pada kenyataannya, sedikit sekali orang-orang elit pada masa jahiliyyah dan Islamiyyah yang tidak mempunyai panggilan atau gelar tertentu. Akhlak yang keempat adalah buruk sangka. Buruk sangka dalam konteks ayat di atas adalah mirip dengan tuduhan, yakni tuduhan yang tidak didasarkan alasan dan bukti-bukti konkrit. Ulama telah bersepakat bahwa persangkaan yang buruk terhadap orang yang pada

lahirnya baik tidak dibolehkan, sebaliknya dibolehkan terhadap orang yang nyatanya melakukan perbuatan jelek. Nabi s.a.w. bersabda: Yang kelima adalah meneliti dan mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). Agama sangat meperhatikan privasi dan kehormatan seseorang, karenanya meneliti kesalahan hanya layak dilakukan terhadap diri sendiri sebagai upaya perbaikan dan pengembangan diri. Meneliti kesalahan orang lain biasanya hanya untuk menjegal dan menebar nama buruk bagi yang bersangkutan. Nabi bersabda bahwa orang yang mencari-cari kesalahan orang lain berarti menghancurkan atau nyaris menghancurkan oaring lain. Yang terakhir adalah ghibah. Ghibah adalah menyebut seseorang dengan apa yang tidak disukainya, walaupun hal yang tidak disukainya benar-benar ada dalam dirinya. Allah mengumpamakan ghibah layaknya memakan bangkai. Karena bangkai mayat tidak akan mengetahui kalau dagingnya dimakan sebagaimana seseorang yang hidup tidak mengetahui kalau ada orang lain yang meng-ghibah dirinya. Kalau memakan bangkai itu sebagai hal yang haram dan menjijikkan, maka begitu juga ghibah, haram menurut agama dan menunjuk pada kejelekan jiwa. Sebagaimana ghibah itu haram, maka mendengarkannya juga diharamkan. (Abid Rohmanu: dari berbagai sumber)

ARTIKEL AGAMA

Disusun Oleh: Nama : Moch Bintang Syawal Kelas : 4 Yusuf

SD ATIKAN MUSADDAD

You might also like