You are on page 1of 3

konsep maslahah ke dalam tata hukum nasional.

Selain itu, secara hipotetik penerapan konsep maslahah memiliki nilai signifikansi dan kontributif bagi sebagian upaya aktualisasi ke b e r a g a m a a n d a l a m ko n t e k s keindonesiaan sekaligus kemodernan, yang secara substantif juga bermakna sebagai upaya penyadaran masyarakat akan tugas dan kawajibannya sebagai warga bangsa. Konseptualisasi dan Kontekstualisasi Maslahah ke dalam Perda Secara konseptual, maslahah menurut al-Ghazali adalah suatu keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian,2 'Izzuddin bin 'Abdis Salam menyatakan bahwa maslahah sebagai jiwa hukum Islam harus mendatangkan manfaat dan menolak mafsadah, berarti terdapat suatu keyakinan bahwa pada setiap ketentuan hukum Islam terdapat maslahah dan sekaligus menghilangkan mafsadah, sekalipun tidak terdapat dalil yang khusus. Sedangkan as-Syatibi berpendapat bahwa maslahah sebagai inti dari maqid al-syar'ah bertujuan untuk menjaga tiga gradasi kebutuhan manusia (dlaruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat) dan Allah sebagai Syari' memiliki tujuan yang inheren dalam setiap penentuan hukum-Nya, yaitu kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.4 Terlepas dari perbedaan tentang konseptualisasinya, para ulama ushul sepakat bahwa maslahah merupakan tujuan akhir yang harus wujud dan

Oleh: Drs. Mudzakkir, M.A*

Berbagai kontroversi ternyata tak menyurutkan semangat umat Islam untuk menerapkan Perda Syariat. Tulisan ini mencoba mempertemukan spirit kaum muslim tersebut dengan kenyataan keadaan peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan memakai konsep maslahah. Namun yang jelas tulisan ini tak bisa mengupas persoalan ini secara tuntas.

Penerapan syariat sebenarnya bisa disebut sebagai perintah agama. Namun di sisi lain, dalam konteks keindonesiaan yang amat bhinneka, penerapan syariat seperti sudah disinggung sebelumnya, mengundang banyak kontroversi. Jadi, sebenarnya tantangan umat Islam dalam upaya mengonstruksi hukum Islam di Indonesia adalah bagaimana menghadirkan hukum Islam sebagai bagian solusi problem kemasyarakatan, antara lain dengan mencari titik temu konsep maslahah dalam pandangan ahli ushul dengan

konsep kemaslahatan dalam pandangan legislator sebuah perundang-undangan di tengah dinamika hubungan agama-negara, dan mengerahkan seberapa banyak konsep maslahah dalam hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketenteraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan mencari legitimasi hukum Islam atas hukum nasional.1 Hal ini menuntut kajian yang mendalam seputar epistemologi hukum Islam, yang salah satunya ialah kajian tentang konstruksi

mengilhami serta membimbing para ahli hukum Islam (termasuk para legislator) dalam merumuskan hukum Islam khususnya bidang muamalah seperti perumusan sebuah perda bernuansa syariah. Konseptualisasi maslahah itu sendiri bersifat dinamis yang memungkinkan mengakomodasi kemaslahatan atau tradisi lokal ('urf), sehingga unsur-unsur esensial maslahah bisa bertemu dengan esensi tujuan Perda. Dengan demikian maslahah yang telah terintegrasi ke dalam Perda akan menjadi pranata sosial yang tanggap dengan kebutuhan masyarakat itu. Legislasi perundang-undangan di Indonesia, adalah upaya pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu.5 Proses legislasi secara komprehensif dan mengintegrasikan norma agama semakin terasa diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama dari pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi normanorma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan modifikasi adanya perubahan pada kehidupan sosioreligius masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi perilaku yang tidak religius. Pada dasar nya UUD 1945 mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya di dalam

menjalankan ajaran agama Islam, dalam bersangkutan bisa dianggap melanggar konteks Negara Kesatuan Republik hukum positif yang berlaku. Untuk Indonesia (NKRI) dengan tetap menghindari hal yang demikian dan menjaga kebhinnekaan. Oleh karena agar terdapat keserasian antara berbagai itu, diperlukan sumber norma, metodologi menjadi norma orang Islam dijamin konseptualisasi hukum, negara perlu kebebasannya di dalam hukum Islam yang ikut mengarahkan menjalankan ajaran agama m a m p u dan mengatur Islam, dalam konteks Negara mengakomodasi kehidupan beragama Kesatuan Republik Indonesia norma-norma dalam konteks (NKRI) dengan tetap kebhinnekaan keindonesiaan. menjaga kebhinekaan tersebut dari pesan Contoh lainnya universalnya yang adalah Perda-Perda tercantum dalam aly a n g t e l a h Qur'an dan aldiberlakukan di Indramayu, Hadits. Rumusan empiris-praktis dari Pamekasan, dan Gresik. Sekalipun pesan universal tersebut pada wilayah Perda-Perda ini secara eksplisit tidak dan zaman tertentu tidak menuntut menggunakan kalimat syariah, tetapi adanya keseragaman, selama masih Perda itu mengatur persoalan agama dalam koridor tujuan disyariatkannya dan quasi-peradilan. Dan belum hukum Islam (maqasid as-syariah) untuk diarahkan pada upaya penegakan mewujudkan kemaslahatan yang agama secara utuh, baik dimensi materi, bersifat lokal (Indonesia). prosedur, maupun historisnya. Orang Islam percaya bahwa orang Dimensi materi dan prosedur, sebuah yang mencuri itu hendaknya dipotong perda harus mengintegrasikan akidah tangannya, demikian terhadap orang dan akhlak untuk mengatur perilaku yang berbuat zina, mereka harus manusia baik pada tingkat konseptual dirajam, orang yang membunuh harus maupun aktualnya. Menurut Nurcholis di-qishosh, prostitusi, korupsi, dan Madjid, keberagamaan yang utuh terdiri sebagainya. Meski demikian, penting dari fikih, kalam, tasawuf, dan falsafah untuk dicatat bahwa semua jenis Islam, seperti yang secara aktual hukuman tersebut harus berujung pada berkembang pada masa Rasulullah dan terwujudnya kemaslahatan empiris yang masa shahabat yang memberlakukan selaras dengan pesan universal hukum hukum Islam setelah memantapkan Islam. Dalam konteks negara Indonesia dimensi akidah, akhlak, dan ibadah sebagai negara hukum, jika ada orang sosial-religius masyarakat selama lebihIslam yang memotong jari anaknya yang kurang 10 tahun di Makkah. Sejarah mencuri atau menghukum rajam orang mencatat, ayat-ayat hukum lebih yang mengaku berbuat zina, alih-alih banyak turun setelah Rasulullah hijrah mereka telah melaksanakan dan ke Madinah. Sementara itu ayat-ayat menaati hukum Islam, tetapi yang Makkiyah teridentifikasi dalam

kerangka konsolidasi agar umat siap menerima beban hukum (taklif) seberapa berat taklif itu. Lahirnya Perda-Perda bernuansa syariah dengan teknik-teknik pelaksanaannya di Indonesia karenanya dikatakan bersifat euforis karena belum mempersiapkan keberagamaan umat untuk siap menerima ketentuan hukum dalam Perda-Perda itu. Bahkan struktur syariah Islam sebagai ide dasar legislasi Perda-Perda itu, belum diakomodasi secara komprehensif termasuk kaidah-kaidah universal yaitu konsep maslahah sebagai inti maqasid assyariah dengan tujuan legislasi hukum Islam. Secara hipotetik, bila unsur-unsur tersebut bertemu dan diakomodasi dalam sebuah pranata sosial (Perda), maka hasilnya akan lebih produktif untuk masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Bagaimana prosedur integrasi berbagai unsur tersebut, pemilihan teorinya telah mempertimbangkan secara filosofis tentang hakikat keberadaan antara Allah SWT, akal, dan alam semesta, termasuk fenomena sosialnya.6 Titik Temu Maqasid al-Syariah dengan Tujuan Legislasi Hukum Islam Memahami hukum Islam seperti tersebut di atas, dalam perspektif politik hukum, hukum Islam diposisikan sebagai hukum adat (common law), tidak dapat sama sekali diabaikan, sekalipun suatu negara telah memakai sistem hukum perundang-undangan. Pada sebagian masyarakat, hukum Islam telah bergeser menjadi sebuah ideologi,

melalui proses ideologisasi yaitu sebuah usaha mengorganisasi isi ajaran agama pada agama-agama modern. Peraturan daerah merupakan salah satu proses unifikasi hukum untuk suatu wilayah atau daerah ter tentu menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang spesifik dan praktis (kodifikasi hukum), mesti mengakomodasi sumber hukum tidak tertulis seperti posisi hukum Islam tersebut. Dalam konteks ini, para perumus Perda bernuansa syariah mesti mencer mati terhadap adanya perbedaan pendapat (mazhab) yang telah menjadi bagian dari pola beragama dan ideologi masyarakat Indonesia. Proses legislasi secara sosiologis harus memperhatikan tolok ukurnya, kepastian tujuannya, selaras dengan kondisi sosio-religius masyarakat yang akan diatur, sehingga tidak terjadi multi-tafsir. Dengan ditetapkannya penilaian hukum yang jelas, berarti pembuat undang-undang sudah mengantisipasi akibat legislasi, tidak ambigu bagi suatu golongan, karenanya harus mengeliminasi prinsip-prinsip subyektif dari kepentingankepentingan politik kekuasaan, agar produk konstitusi yang dihasilkan terle pas dari manipulasi atau penyelewengan kelompok kepentingan.7 Bila proses pembuatan undang-undang sudah cukup matang, hal penting lainnya adalah upaya penegakan hukum (law inforcement). Bagian ini terdiri dari upaya menyiapkan komponen birokrasi penegakan hukum, termasuk jenis pengadilan dan proses peradilannya masing-masing.

Kajian filosofis, metodologis yang mendalam sebagai naskah akademik harus dilakukan, dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli dari berbagai disiplin keilmuan, baik oleh anggota DPR/D maupun para pakar dan akademisi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh koherensi dan harmoni antara karakter substansi hukum deng an karakter dan str uktur masyarakat yang akan diatur dengan undang-undang tersebut, serta tujuan p e m b e n t u k a n u n d a n g - u n d a n g. Sehing g a undang-undang yang dihasilkan koheren antara das sollen dengan das sein-nya, dapat mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang tertib, adil, tenteram, aman, dan sejahtera (maslahah). Disadari bahwa suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan hubungan-hubungan yang tetap dan teratur antar anggota masyarakat, tidak hanya terdiri dari satu norma yang tunggal, ia terdiri dari suatu kompleks tatanan (norma). Dalam ilmu hukum dikenal adanya tiga tatanan (norma), yaitu norma kebiasaan yaitu kebiasaan atau kenyataan tingkah laku masyarakat, norma kesusilaan yaitu norma ideal yang harus diwujudkan dalam masyarakat, termasuk norma agama

sebagai ius constitudum,8 dan norma hukum yaitu norma yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu. Legislasi berarti sebuah proses mengintegrasikan norma kebiasaan yang telah menjadi kaidah berperilaku bagi masyarakat dengan norma kesusilaan (termasuk norma agama) yang diyakini oleh umat Islam sebagai norma yang mengevaluasi suatu perilaku, oleh suatu badan atau sekelompok orang yang berkompeten, melalui mekanisme kerja tertentu, menjadi norma hukum yang mengikat seluruh warga masyarakat itu. Dalam proses legislasi inilah, terdapat peluang mencari titik temu antara norma kebiasaan suatu masyarakat dengan norma-norma kesusilaan (dalam hal ini konsep-konsep maslahah) yang telah banyak dirumuskan oleh para fuqaha, menjadi fundamenfundamen tatanan soaial yang bisa m e m e nu h i r a s a ke a d i l a n d a n kemaslahatan. *Mahasiswa program doktoral IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara hukum Islam dan hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 176-177 2 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustaf min 'Ilm al-Uul, Vol. 2, Bairut: Dr al-Fikr, 1994. Hlm. 481 3 'Izz bin 'Abd al-Salam, Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: al-Kulliyat al-Azhariyah, 1986. Hlm. 160 4 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, Beirut: Daar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2004, hlm. 221 5 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum., Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cet.ke.4, 1996, 83 6 Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar Praktikum Keberagamaan dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 111 7 Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008, hlm. 35 8 Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008, hlm. 17

You might also like