You are on page 1of 6

PENGERTIAN DAN FISIOLOGI OVULASI Pada pertumbuhan manusia kita kenal masa neonatus, batita, balita, anak-anak, remaja,

dewasa, dan menopouse. Pada wanita faktor ovarium sangat penting dalam reproduksi. Begitu sel-sel benih primordial tiba di di ovarium, sel-sel tersebut berdiferensiasi menjadi oogonia. Sel ini mengalami pembelahan mitosis menjadi oosit primer dan sebagian besar diantaranya dikelilingi oleh selapis sel epitel gepeng yang mengelilinginya yang dikenal sebagai folikel primordial. Saat lahir, oosit primer dalam tahap profase I dan tidak menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya sebelum mencapai masa pubertas, hal ini disebabkan oleh adanya Penghambat Pematangan Oosit (PPO). Karena perkembangan terus berlanjut, folikel tumbuh dan menjadi folikel primer (dilapisi sel granulosa dan sel teca, zona pelusida mulai ada dan berbatas jelas), tetapi hanya satu yang matang dan yang lain atretik. Setelah pembelahan pertama selesai dan sebelum oosit sekunder kembali dalam stadium istirahatnya, sel memasuki pembelahan pematangan kedua tanpa replikasi DNA. Pada saat oosit sekunder mengalami metafase II terjadilah ovulasi, yaitu oosit yang dikeluarkan dari folikel karena folikel mengalami lisis yang disebabkan adanya prostaglandin dan plasmin yang menjadi aktif karena terjadi LH Surge. Secara endokrinologi dapat dijelaskan sebagai berikut: Hipotalamus dan hipofise merupakan organ yang saling terkait. Secara bersama-sama keduanya mengatur struktur dan fungsi ovarium melalui siklus menstruasi. Hipotalamus menghasilkan GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) yang selanjutnya akan merangsang produksi FSH (Follicle stimulating hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) Perubahan dalam ovarium terutama dikendalikan oleh hipofise anterior yang menghasilkan produksi 3 hormon utama :

FSH (follicle stimulating hormone) = yang merangsang pertumbuhan folikel ovarium LH (Luteinizing Hormone) = yang menyebabkan ovulasi dan menyebabkan luteinisasi sel granulosa setelah ovulasi Prolactine

Pada akhir siklus menstruasi kadar estrogen rendah. Rendahnya kadar estrogen ini merangsang produksi FSH oleh hipofise. Selanjutnya FSH menstimulasi pertumbuhan sejumlah folikel ovarium. Folikel yang terstimulasi akan meningkatkan kadar kadar estrogen dan kenaikan kadar estrogen dapat mempengaruhi hipofisis sehingga menyebabkan penurunan kadar FSH ( proses umpan balik negatif ). Pada sebagian besar kasus, dari 10 20 folikel tumbuh dibawah pengaruh FSH namun hanya satu diantaranya (folikel dominan) yang dapat tumbuh cukup besar dan memiliki densitas reseptor FSH yang cukup memadai sehingga dapat memberikan respon dengan rendahnya kadar FSH sehingga dapat terus berkembang sampai tahapan ovulasi. Kadar estrogen terus meningkat. Pada pertengahan siklus menstruasi situasi ovarium mengendalikan adanya perubahan fungsi hipofise. Peningkatan kadar estrogen yang terjadi

akan menyebabkan terjadinya surge kadar FSH dan LH ( proses umpan balik positif ). Peristiwa ini akan memicu terjadinya ovulasi. Peranan LH dalam hal ini adalah untuk :

Menyebabkan adanya produksi prostaglandin dan ensim proteolitik lokal sehingga dapat terjadi ekstrusi sel telur dari folikel yang telah matang Pertumbuhan corpus luteum sehingga menghasilkan progesteron

Gangguan Ovulasi: Salah satu etiologi tersering dari penyebab infertilitas pada wanita adalah adanya disfungsi ovulasi. Disfungsi ovulasi ini bisa diawali dengan adanya anovulasi (tidak terjadi ovulasi sama sekali) ataupun olioovulasi (ovulasi yang sedikit/jarang). Dysfungsi ovulasi ini lebih sering terjadi karena adanya gangguan dari factor hormonal wanita yakni tidak berimbangnya kadar estrogen dan progesterone dalam tubuh. Biasanya pada kasus anovulasi kadar estrogen dalam tubuh wanita tidak dapat mencapai puncak (mengalani kenaikan yang drastis) sehingga tidak memicu terjadinya LH surge dengan demikian tidak akan terjadi ovulasi. Adapun diagnosis banding untuk kelainan ovulasi yakni, abnormalitas hipotalamus dan hipofisis. penyakit tyroid. penyakit adrenal. oligoovulasi hiperandrogenik. Untuk memeriksa ada tidaknya disfungsi ovulasi dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain: Suhu badan basal Pengukuran suhu tubuh yang dilakukan secara per oral pada pagi hari setelah bangun tidur ataupun sebelum makan dan minum. Post ovulasi, biasanya akan terjadi sekresi dari estrogen dan progesteron.Progesteron sendiri merupakan hormon thermogenik dimana sekresinya dapat

meningkatkan temperature sekitar 0,5 F diatas suhu basal yakni 97-98F. adanya selisih antara 2 fase dalam siklus menstruasi akan membentuk pola bifasik yangs elanjutnya dapat menjadi indikasi dari adanya ovulasi. Pada fase luteal akan terjdi peningkatan suhu yang berlangsung sekitar 10 hari. Kadar progesterone midluteal Kadar prosteron >3 mg/ml dapat mengindikasikan terjadinya ovulasi. Pengukran kadar progesterone sebaiknya dilakukan pada fase midluteal dimana kadar progesterone itu paling tinggi (hari 21-21 pada siklus 28 hari). Monitoring LH Dengan melihat ada tidaknya LH surge yang dapat mengidentifikasikan adanya ovulasi. Karena ovulasi terjadi terjadi 34-36 jam post LH surge terjadi dan kira-kira 10-12 jam setelah LH peak. Biopsi endometrium Untuk melihar adanya ovulasi, pada biopsy endometrium biasanya akan ditemui gambaran endometrium fase sekresi. Monitoring Ultrasonografi Dengan melihat perkembangan folikuler, dimana pada ovulasi ditandai denagn adanya berkurangnya ukuran folikel (21-23mm) dan adanya cairan bebas di cavum Douglas. Faktor Tuba Factor tuba yang dapat menyebabkan terjadinya infertilitas antara lain adanya kerusakan dan obstruksi pada tubafallopi yang biasanya disebabkan oleh PID, riwayat operasi tuba ataupun pelvis. Selain factor tuba, factor peritonel seperti adhesi peritubal dan periovarium juga dapat menyebabkan infertilitas. Pemeriksaan untuk melihat adanya kelainan pada tuba dapat dilakukan denagn HSG (histerosalpingografi) yang dilakukan pada siklus hari ke 6-11 post menstruasi untuk mengurangi terjadinya infeksi. HSG juga dapat dilakukan sebelum terjadinya ovulasi. Hal ini untuk mencegah kemungkinan adanya radiasi janin. Gold standart untuk penegakan diagnosisnya adalah laparoskopi. Patensi tuba dapat dikonfirmasi dengan laparoskopi dengan mengamati keluarnya zat kontras (methylen blue/indigo carmine). Faktor Servikal Faktor servikal lebih ditekankan pada mucus servikal. Dimana secara fisiologis, pada fase ovulasi mucus servikal akan lebih tipis daripada saat fase menstruasi. Penipisan ukus ini dimaksudkan agar sperma dapat dengan mudah membuahi ovum. Untuk menilai kualitas mucus ini dapat dilakukan dengan TPS (Tes Pasca Senggama). Selain untuk menilai mucus,

TPS dapat juga digunakan untuk menilai jumlah sperma motil dalam saluran repro wanita. TPS dilakukan sesaat sebelum terjadinya ovulasi. Mucus dievaluasi secara tepat untuk spinnbarkeit, ferning dan juga kejernihanya. Mucus normal memiliki starching 8-10 cm ketika ditarik dari serviks. Pada pemeriksaan dengan mikroskop tampak gambaran highly ferning pattern. Faktor uterus Adanya abnormalitas pada uterus paling sering menyebabkan abortus pada kehamilan. Hal ini dapat disebabkan zygote tidak cukup kuat melekat pada uterus oleh karena pada uterus mengalami kelainan seperti misalnya adanya mioma uteri. Miomektomi juga dapat meyebabakan infertilitas, bahkan presentasenya lebih besar daripada mioma itu sendiri, karena biasanya post operasi akan terjadi perlekatan . Adanya malformasi kaongenital seperti uterus unikornis, septum yteri dan uterus diselpis dapat meyebabakan infertilitas oleh karena sering menyebabkan abortus spontan pada kehamilan. Sindroma Ashermans (adhesi intrauteri) juga dapat menyebabkan terjadinya infertilitas karena dapat mengganggu implantasi dari zygote.

You might also like