You are on page 1of 15

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA

HINDIA SELATAN JAWA-BALI


1)

Teja Arief Wibawa1) Peneliti pada Balai Riset dan Observasi Kelautan, Prancak-Bali Email : tejaarief@gmail.com

ABSTRAK Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar selama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali. Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE). Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive model (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk persamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November, menunjukkan adanya kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata sebenarnya. Kata kunci : tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM ABSTRACT Responsible and sustainable fisheries management require essential information of identified important habitat of each fish species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large pelagic fish which have high economic value in Indonesian waters. Oceanographic factors have an important role in determining the distribution of bigeye tuna habitat. The availability of oceanographic satellite data in near real-time and continuosly observe condition of some oceanographic parameters, can be used as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the research was to predict distribution of bigeye tuna potential fishing ground in Indian Ocean southern Java-Bali during southeast monsoon period. Bigeye tuna catchment data encompassed during southeast monsoon period of 2004 -2007 were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali. Oceanographic variables were sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST) , sea surface height anomaly (SSHA) and eddy kinetic energy (EKE). Extraction of each SSC, SST , SSHA and EKE value on each bigeye tuna fishing ground were performed. Data analysis was performed using generalized additive model (GAM). The selected GAM equation were used to predict distribution of bigeye tuna potential fishing ground. GAM analysis revealed that GAM which constructed from the combination of SSC, SST, SSHA and EKE, statistically has

Wibawa, T.A. 2011. Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Jurnal Segara. vol 7(1): 29 -41.

the highest accuracy in explaining hookrate bigeye tuna variation. Monthly prediction of bigeye tunas potential fishing ground on June, July, August, September and November, indicated its suitability with the real bigeye tuna fishing ground. Keywords : bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM PENDAHULUAN Perairan Indonesia memiliki sumber daya perikanan pelagis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi. Hampir sebagian besar jenis ikan pelagis besar yang ditemukan di Perairan Indonesia memiliki nilai ekonomis tinggi dengan tingkat penangkapan pada beberapa wilayah sudah mendekati overfishing. Pengelolaan sumber daya perikanan pelagis yang berkelanjutan memerlukan informasi secara spasial dan temporal kelimpahan suatu jenis ikan pelagis sepanjang siklus hidupnya. Informasi tersebut diperlukan untuk mengurangi tekanan antropogenik terhadap habitat-habitat ikan pelagis (Valavanis et al., 2008, Robinson, 2010). Umumnya jenis ikan pelagis besar seperti tuna, memiliki fish behaviour yang berbeda antara setiap jenis tuna (Brill, 1994; Brock et al., 1997; Merta et al., 2004; Lehodey et al., 2008). Perbedaan tersebut menyebabkan pengelolaan sumber daya perikanan pelagis sebaiknya mendasarkan pada pola kelimpahan setiap jenis ikan pelagis pada suatu skala ruang dan waktu. Ikan tuna mata besar merupakan salah satu sumber daya perikanan pelagis besar yang bernilai ekonomis tinggi di Perairan Indonesia. Hanya beberapa wilayah laut dalam Perairan Indonesia yang merupakan habitat tuna mata besar, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa dan sebelah Barat Sumatra (Ukolseja, 1996; Davis dan Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiarti et al., 2005). Disinyalir telah terjadi overfishing penangkapan tuna pada kedua wilayah tersebut, yang ditandai dengan semakin turunnya laju tangkapan tuna dari tahun ke tahun. Selain mempunyai keanekaragaman sumber daya ikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia juga mempunyai karakteristik oseanografi yang unik dan dinamis (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di Perairan Indonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena Asia-Australian Monsoon (Tomczack dan Godfrey, 2001; Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007), Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels et al., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)( Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnya kondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya ikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalah diperlukannya informasi yang akurat tentang kondisi oseanografi optimum bagi habitat satu jenis sumber daya ikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia. Prediksi sebaran habitat tuna secara spasial dan temporal telah dikembangkan dengan memanfaatkan data-data satelit oseangrafi dan pemodelan statistika non linear, diantaranya untuk ikan tuna albakora (Zainuddin et al., 2008), ikan tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004) dan ikan cakalang (Mugo et al., 2010). Satelit oseanografi yang mampu menyediakan data near real time dan terus menerus dari beberapa parameter oseanografi, dapat digunakan untuk mengetahui dinamika sebaran parameter-parameter oseanografi secara temporal maupun spasial. Salah satu parameter oseanografi tersebut adalah konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC). Data-data SSC yang diperoleh dari sensor-sensor Ocean Color, telah mendapat apresiasi dari para ahli oseanografi, setelah salah satu sensornya yaitu SeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampu menghasilkan data SSC global selama sepuluh tahun berturut-turut (McClain, 2009). Sedangkan parameter oseanografi lainnya yang dapat diperoleh dari satelit oseanografi adalah dan Sea Surface Height Anomaly (SSHA). Tidak seperti sensor-sensor Ocean

Color, pengukuran SSHA dengan menggunakan satelit altimetri merupakan suatu terobosan baru dalam teknologi satelit oseanografi, karena kemampuannya melakukan observasi tanpa terpengaruh oleh kondisi awan (Fu dan Cazenave, 2001; Robinson, 2004). Observasi dengan menggunakan data satelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbukti dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi yang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto dan Marra, 2005; Susanto et al., 2006; Sartimbul et al., 2010). Pemodelan statistika non-linear banyak digunakan dalam analisis-analisis data ekologi, karena kemampuannya mengakomodasi data-data ekologi yang cenderung tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pemodelan statistika secara linear (Zuur et al., 2009). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu pemodelan statistika non-linear yang banyak digunakan dalam analisis data-data bidang perikanan (Valavanis et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia selatan Jawa-Bali pada musim timur dari data-data satelit oseanografi. METODE PENELITIAN Wilayah penelitian adalah Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali dengan batasan koordinat 100 - 120 BT dan 5 - 20 LS. Data harian tuna mata besar periode musim timur selama empat tahun (2004 2007) diperoleh dari logbook perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Data tersebut meliputi data koordinat penangkapan tuna mata besar, jumlah individual tuna yang tertangkap, jumlah mata pancing yang digunakan dan waktu penangkapan tuna. Data-data tersebut diolah menjadi data laju tangkapan tuna pada setiap koordinat daerah penangkapan tuna (hook rate). Data harian konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC) dan suhu permukaan laut (SST) harian dengan periode yang sama dengan periode data tangkapan tuna mata diperoleh dari sensor MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4 km. Data komposit 7 harian sea surface height anomaly (SSHA) diperoleh dari satelit altimetri dengan resolusi spasial 0.33. Sedangkan variabel eddy kinetic energy (EKE) diperoleh dari perhitungan east component of eddy velocity field (u) dan north component of eddy velocity field (v) dari satelit altimetri dengan persamaan :

EKE = 1 / 2 u 2 + v 2

[( ) ( )]

(Fu dan Cazenave, 2001; Robinson, 2004). Untuk menyamakan resolusi spasial dan resolusi temporal dari seluruh dataset, maka data tangkapan ikan tuna mata besar, SSC dan SST diolah menjadi data komposit 7 harian dengan resolusi spasial 0.33. Komposit 7 harian tersebut berdasarkan pada periode komposit 7 harian data satelit altimetri. Untuk lebih detilnya, pembagian komposit 7 harian tersebut ditampilkan pada Tabel 1. Setiap data komposit 7 harian tuna mata besar dioverlay dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE, untuk mendapatkan nilai keempat variabel tersebut pada setiap lokasi penangkapan tuna mata besar. Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yang ada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data dan evaluation data. Training data digunakan untuk pembentukan model, sedangkan evaluation data digunakan untuk memvalidasi hasil prediksi dari pemodelan tersebut (Himmerman and Guissan, 2000). Sebelum dilakukan pemodelan GAM, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi dataset sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Zuur et al., (2009) dan Zuur et al., (2010). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu alternatif model statistika apabila tidak ditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuur et al. , 2007; Zuur et al., 2009). Metode ini bersifat nonlinear dan dapat digunakan untuk mengurangi kelemahan penggunaan asumsi distribusi normal dalam analisis data-data ekologi. Secara umum

GAM menggunakan smoothing curve untuk memodelkan hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelasnya (Zuur et al., 2007). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah : Yi = + f ( X i ) + i .......................................................................................................(1) dimana f ( X i ) merupakan smoothing curve (Zuur et al., 2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan mgcv package (Wood, 2006) yang terdapat dalam program R (R Core Development Project, 2008). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan distribusi gaussian dan fungsi identity link. Sebagai variabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR), sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah SSC, SST, SSHA dan EKE. Pembentukan model GAM dimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabelvariabel penjelas. Pemilihan model GAM yang akan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar didasarkan pada nilai Akaikes Information Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika sebaran daerah penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2004-2007 Data tangkapan tuna termasuk dengan koordinat penangkapannya relatif sulit ditemukan dalam dunia perikanan di Indonesia. Umumnya, data yang tersedia adalah data jumlah ikan tuna yang didaratkan di suatu pelabuhan tanpa diketahui dimana tunatuna tersebut ditangkap. Selain itu, karena adanya kompetisi diantara kapal-kapal penangkap tuna, umumnya data lokasi penangkapan tuna menjadi satu hal yang bersifat rahasia. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data harian logbook penangkapan tuna mata besar dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Meskipun terdapat bias dalam data tersebut, namun setidaknya data tangkapan tuna mata besar yang digunakan dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang lokasi-lokasi penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar di wilayah tersebut cenderung berada pada daerah yang sama setiap bulannya. Secara umum daerah penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali berada pada koordinat 110 - 115 BT dan 12 - 16 LS (Gambar 1). Kondisi tersebut salah satunya disebabkan belum digunakannya alat-alat bantu pemantau dinamika oseanografi oleh kapal-kapal longline dalam menentukan lokasi penangkapan tuna di perairan tersebut. Akibatnya, kapal-kapal longline tersebut hanya mengandalkan datadata penangkapan tuna pada trip-trip sebelumnya. Berdasarkan atas data penangkapan tuna mata besar tahun 1978 -1990, Ukolseja (1995), menyebutkan puncak musim penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali terjadi pada bulan November. Namun berdasarkan pada analisis data tangkapan tuna besar periode 2004 2007, puncak penangkapan tuna mata besar terjadi pada Juli. Pergeseran puncak penangkapan tuna mata besar tersebut diduga terkait erat dengan perubahan iklim. Satu dekade terakhir, intensitas badai siklon tropis yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim di perairan tersebut semakin meningkat. Umumnya badai siklon tropis mulai muncul pada akhir periode musim timur. Badai tersebut berdampak pada tingginya gelombang di perairan tersebut, sehingga menyebabkan berkurangnya trip-trip penangkapan tuna pada periode tersebut. Fenomena upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali yang terjadi pada musim timur (Susanto et al., 2001; Susanto et al., 2005; Hendiarti et al., 2005), diduga

tidak berpengaruh pada sebaran daerah penangkapan tuna mata besar. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, daerah penangkapan tuna mata besar berada diluar daerah upwelling. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Hendiarti et al.(2005), ketika melakukan analisis data tangkapan tuna yang didaratkan di Pelabuhan Cilacap dengan data konsentrasi klorofil-a permukaan, sebagai salah satu indikator terjadinya upwelling. Dinamika SSC, SST, SSHA dan EKE Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada periode musim timur 2004-2007 Rata-rata tujuh harian variabel SSC, SST, SSHA, dan EKE ditampilkan pada Gambar 3, 4, 5, dan 6. Rata-rata SSC tertinggi ditemukan pada minggu ke 17 (2004), 19 (2005), 30 (2006) dan 22 (2007). Nilai SSC tertinggi tersebut terjadi pada periode Agustus September setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2006 yang terjadi pada bulan November. Pada periode normal, intesitas upwelling di wilayah ini terjadi pada periode bulan Juni September. Proses upwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom air di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan laut (Hendiarti et al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayah upwelling cenderung meningkat ketika terjadi periode upwelling. Proses upwelling juga mengakibatkan penurunan SST (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005) dan penurunan SSHA (Susanto et al., 2001). Seperti terlihat pada Gambar 3, kenaikan SSC diikuti dengan penurunan SST dan SSHA. Pola upwelling yang berbeda pada periode musim timur 2006, diduga kuat terkait dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Pola dan distribusi SSC pada periode musim timur 2006 hampir sama dengan periode musim timur 1997/1998. Gambar 3 menunjukkan pada periode musim timur 2006, puncak upwelling terjadi pada bulan November dan menyebar ke arah barat. Southern Oscillation Index (SOI) tahun 2006 dari NOAA National Center for Environmental Prediction (NCEP) menunjukkan adanya fenomena El Nino pada periode tersebut. Ketika terjadi El Nino, massa air arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari sebelah barat Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia berintensitas rendah dengan suhu massa air yang relatif dingin. Akibatnya, massa air ARLINDO tersebut mempunyai pengaruh minimum terhadap proses upwelling (Hendiarti et al., 2004). Kondisi tersebut menyebabkan pergerakan angin monson dari Benua Australia menuju Benua Asia akan mempunyai pengaruh maksimal terhadap intensitas upwelling baik pada skala ruang maupun waktu (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Prediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada musim timur Eksplorasi seluruh variabel penjelas (SSC, SST, SSHA dan EKE) dengan variance inflation factors (VIF) menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar setiap variabel penjelas (Tabel 2). Nilai VIF yang ditunjukkan setiap variabel penjelas kurang dari 3. Nilai VIF 3 digunakan sebagai indikasi terjadinya kolinearitas antar setiap variabel (Zuur et al., 2009). Analisis dengan menggunakan pairplot juga mengindikasikan hal yang sama. Nilai koefisien korelasi antar setiap variabel penjelas kurang dari 0.5 (Gambar 7). Transformasi dengan logaritma natural + 1 dilakukan terhadap variabel respon, yaitu laju penangkapan tuna mata besar (HR+1). Sedangkan untuk variabel EKE dilakukan transformasi dengan logaritma natural (ln(EKE)). Pembentukan GAM selengkapnya ditampilkan pada Tabel 3. Pembentukan GAM dimulai dengan satu variabel penjelas yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabel penjelas. Jumlah data yang digunakan dalam pembentukan GAM adalah 1689.Tingkat signifikansi setiap variabel penjelas dikelompokkan menurut Verzani (2005). Hanya variabel SST pada persamaan GAM nomor 5 dan persamaan GAM nomor 11 yang menunjukkan penggunaan smoothing factor terhadap SST dalam kedua persamaan

tersebut tidak signifikan. Sedangkan deviance dan AIC menunjukkan tingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan variasi variabel respon dalam setiap persamaan GAM. Semakin besar nilai deviance dan semakin kecil nilai AIC berarti semakin tinggi tingkat keakuratan model GAM dalam menjelaskan variasi variabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Persamaan GAM nomor 15 mempunyai nilai deviance terendah, AIC tertinggi dan tingkat signifikansi setiap variabel penjelas berada dalam kelompok statistically significant dan could be significant. Persamaan tersebut dipilih dan digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar dengan input data-data SSC, SST, SSHA dan EKE bulan Mei-November 2007. Persamaan GAM nomor 15 tersebut juga menunjukkan bahwa variabel EKE mempunyai pengaruh terbesar terhadap variasi data hookrate tuna mata besar, dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Sedangkan estimasi smoothing curve pada setiap variabel penjelas dari persamaan GAM nomor 15 ditampilkan pada gambar 8. Pengaruh positif SSC terhadap variasi hookrate tuna mata besar berada pada kisaran 0,05 0,15 mg/m3. Sedangkan untuk SST dan SSHA berada pada kisaran 26 27 C dan -5 5 cm. Log natural EKE menunjukkan pengaruh positif pada kisaran 5 6, berarti nilai EKE yang mempunyai pengaruh positif terhadap variasi tangkapan tuna mata besar berada pada kisaran 150 400 cm2/sec2. Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada periode musim timur 2007 ditampilkan pada Gambar 9. Hasil prediksi bulanan antara bulan Mei November 2007 tersebut dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan periode Mei November 2007. Pada prediksi bulan Juni, Juli, Agustus, September dan November 2007, terlihat adanya kesesuaian daerah potensial penangkapan tuna mata besar yang diprediksikan menggunakan persamaan GAM dengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya. Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar hanya dapat menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar sebesar 5,14% saja. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan persamaan GAM yang dibentuk oleh Mugo et al.(2010) untuk memprediksi habitat ikan cakalang, yaitu sebesar 13,3 %. Diduga rendahnya nilai deviance persamaan tersebut karena sedikitnya jumlah dataset yang digunakan untuk memodelkan GAM dan lapisan renang tuna mata besar yang berada di bawah lapisan termoklin (Holland, 1990; Liu et al., 2003), Variabel-variabel oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini semuanya berasal dari satelit oseanografi. Sehingga variabel-variabel oseanografi tersebut hanya dapat menjelaskan kondisi oseanografi pada lapisan permukaan saja. Dengan demikian diperlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan variabel-variabel oseanografi pada lapisan renang tuna mata besar, sehingga sebaran habitat tuna mata besar dapat diidentifikasi dengan lebih akurat. Secara umum disadari bahwa dinamika dalam suatu ekosistem adalah sangat komplek dan heterogen untuk dapat dimodelkan secara akurat baik dalam skala ruang dan waktu (Himmerman dan Guissan, 2000). Namun pendekatan yang kami lakukan dengan menggunakan data satelit oseanografi tersebut merupakan suatu langkah awal dalam memahami sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.

KESIMPULAN Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan JawaBali, merupakan kombinasi dari variabel SSC, SST, SSHA dan EKE. Variabel EKE mempunyai tingkat signifikansi tertinggi dalam persamaan GAM tersebut, dilanjutkan

dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Prediksi daerah potensial penangkapan tuna pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dan November 2007 menunjukkan kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata besar sebenarnya. PERSANTUNAN Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Goddard Space Flight Center National Aeronautics and Space Administration (GSFC-NASA) dan Archive Validation and Interpretation of Satellite Oceanography (AVISO) untuk akses data-data SSC, SST, SSHA dan UV Component of Geostrophic Velocity. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Sei-ichi Saitoh, Robinson Mugo, Ph.D, I Nyoman Radiarta, Ph.D (Laboratory of Marine Bioresources and Environment Sensing, Faculty of Fisheries Sciences Hokkaido University), Prof. Jason Roberts (Marine Geospatial Ecology Laboratory, Nicholas School of the Environment, Duke University , USA), Takahiro Osawa, Ph.D (Center for Remote Sensing and Ocean Sciences, Universitas Udayana) dan I Made Tirta Ph.D (Jurusan Matematika FMIPA Universitas Jember) atas masukan dan saran tentang teknis pengolahan dan penganalisaan data. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada mitra bestari Jurnal Segara yang telah menelaah dan memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Brill, R.W. 1994. A Review of Temperature and Oxygen Tolerance Studies of Tunas Pertinent to Fisheries Oceanography, Movement Models and Stock Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204 216 Davis, T.L.O, dan J.H. Farley. 2001. Size Distribution of Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depth on Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381 386. Fu,L.L dan A. Cazenave. 2001. Satellite Altimetry and Earth Sciences: A Handbook of Techniques and Applications. International Geophysics Series . Vol 69. Academic Press. Hendiarti, N., H. Siegel, dan and T. Ohde. 2004. Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97. Hendiarti, N., Suwarso., E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S.E. Sachoemar, dan I.B. Wahyono. 2005. Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123. Holland K.N., R.W. Brill, dan R.K.C. Chang. 1990. Horizontal and vertical movement of yellowfin tuna and bigeye tuna associated with fish aggregating devices. Fish Bull 88:493-507 Lehodey, P., I. Senina, dan R. Murtugudde. 2008. A Spatial Ecosystem and Population Dynamics Model (SEAPODYM)- Modelling of Tuna and Like Tuna Populations. Progress in Oceanography 78 : 304 318. Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-Jung Kuo, Ming-Kuang Hsu,dan RuoShan Tseng. 2003. Application of satellite remote sensing on the tuna fishery of Eastern Tropical Pacific. International Association of Geodesy Symposia, 126:175182 Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea. Second Edition. Elsevier McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean Color Observations. Annual Review of Marine Science. 1 : 19 -24.

Merta, G.S., B Iskandar, and S. Bahar. 2004. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar dalam Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. BRPL BRKP Moore II, T.S., J. Marra, dan Alkatiri, A. 2006. Response of the Banda Sea to the Southeast Monsoon. Marine Ecology Progress Series 261:41-49. Mugo, R., S. Saitoh, A. Nihira, dan T. Kuroyama. 2010. Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in The Western North Pacific : A Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5) : 382 396. Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers dan J. Slingo. 2005. Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography 18 : 50 61. R Development Core Team. 2008. R : A Language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. available from: URL:http://www.R-project.org. Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Robinson, I. 2010. Discovering The Ocean from Space. The Unique Applications of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Sartimbul, A. H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf, dan H.P. Kadarisman. 2010. Variations in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87 : 168 -174. Sprintal, J., T.J. Potemra, S.L. Hautala, N.A. Bray, dan W.W. Pandoe. 2003. Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Research II ,50:2183-2204. Susanto, R.D., A.L. Gordon, dan Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coast of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599 1602. Susanto, R.D., dan J. Marra. 2005. Effect of the 1997/98 El Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern Coast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph, 18:124-127. Susanto, R.D, T.S. Moore II, dan J. Marra 2006. Ocean Color Variabilty in The Indonesia Seas during SeaWiFS Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7 (5). doi: 10.029/2005GC001009. Susanto, R.D., A. Gordon, dan J. Sprintall. 2007. Observations and Proxies of the Surface Layer Troughflow in Lombok Strait. Journal of Geophysical Research, 112:111 Tomczak, M., dan M.J. Godfrey. 2001. Regional Oceanography : An Introduction. Available on http://www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html Ukolseja, Y. 1996. Monthly Average Distribution of Fishing Effort and Catch per Unit Effort for Yellowfin Tuna and Bigeye Tuna in Indonesian Waters of The Indian Ocean, 1978 1990. Expert Consultation on Indian Ocean Tunas 6. Available on http://iotc.org. Valavanis, D.V., G.J. Pierce, A.F. Zuur, A. Palialexis, A. Saveliev, I. Katara, dan J. Wang. 2008. Modelling of Essential Fish Habitat Base on Remote Sensing , Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 -20. Wijffels, S.E., G. Meyers, dan J.S. Godfrey. 2008. A 20-Yr Avarage of the Indonesia Troughflow: Regional Currents and Interbasin Exchange. Journal of Physical Oceanography, 38:1965-1978. Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.

Zagaglia, C.R., J.A. Lorenzzetti,dan J.S. Stech. 2004. Remote sensing data and longline catches of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic. Remote Sensing of Environment, 93:267-281. Zainuddin, M., K. Saitoh dan S. Saitoh. 2008. Albacore (Thunnus alalunga) fishing ground in relation to oceanographic conditions in the western North Pacific Ocean using remotely sensed satellite data. Fisheries Oceanography, 17:61-73. Zuur, A.F., E.N. Ieno, dan G.M. Smith. 2007. Analysing Ecological Data. Springer. Zuur, A.F., E.N. Ieno, N.J. Walker, A.A. Saveliev, dan G.M. Smith. 2009. Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer. Zuur, A.F., E.N. Ieno, dan C.S. Elphick. 2010. A Protocol for Data Exploration to Avoid Common Statistical Problems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1): 3 14.

Tabel 1. Periode komposit 7 harian seluruh dataset Tahun Minggu Periode 2004 1 29 April 5 Mei 2004 31 24 November 1 Desember 2005 1 28 April 4 Mei 2005 31 23 November 30 November 2006 1 27 April 3 Mei 2006 31 22 November 29 November 2007 1 3 Mei 9 Mei 2007 30 21 November 28 November Tabel 2. Nilai VIF setiap variabel penjelas Variabel Penjelas VIF SSC 1,589 1,494 SST SSHA 1,085 1,066 ln(EKE) Tabel 3. Pembentukan GAM Pvalues < 0,01 < 0,01 0,02 0,02 0,02 0,14 < 0,01 0,01 < 0,01 0,03 < 0,01 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01 AIC Deviance(%) 1,72 1,22 1,12 0,91 2,42 2,85 2,62 2,53 2,46 2,32 -1516,408 -1511,048 -1509,046 -1507,839 -1519,062 -1525,671 -1522,492 -1521,193 -1522,504 -1518,895

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Model SSC SST SSHA ln(EKE) SSC + SST SSC + SSHA SSC + ln(EKE) SST + SSHA SST + ln(EKE) SSHA + ln(EKE)

Variable SSC SST SSHA ln(EKE) SSC SST SSC SSHA SSC ln(EKE) SST SSHA SST ln(EKE) SSHA

10

11

SSC + SST + SSHA

12

SSC + SST + ln(EKE)

13

SSC + SSHA + ln(EKE)

14

SST + SSHA + ln(EKE)

ln(EKE) SSC SST SSHA SSC SST ln(EKE) SSC SSHA ln(EKE) SST SSHA ln(EKE) SSC SST SSHA ln(EKE)

< 0,01 0,01 0,11 < 0,01 0,02 0,02 < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,02 < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,04 0,02 < 0,01 < 0,01

3,71

-1529,136

3,66

-1529,718

3,98

-1534,189

4,06

-1536,557

15

SSC + SST + SSHA + ln(EKE)

5,14

-1542,482

Gambar 1. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar setiap bulan dalam periode musim timur

11

SSC

SST

SSHA

EKE

Gambar 2. Komposit SSC, SST, SSHA dan EKE untuk periode musim timur 2004 2007 yang dioverlay dengan lokasi penangkapan tuna mata besar.

12

Gambar 3. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSC periode 2004 2007

Gambar 4. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SST periode 2004 2007

13

Gambar 5. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSHA periode 2004 2007

Gambar 6. Rata-rata komposit tujuh harian variabel EKE periode 2004 2007

14

Gambar 7. Analisis pairplot antar setiap variabel penjelas

Gambar 8. Estimasi smoothing curve setiap variabel penjelas

15

Gambar 9. Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2007. Lingkaran-lingkaran yang ada pada gambar tersebut merupakan plot koordinat penangkapan tuna mata besar pada periode yang sama

You might also like