You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia menduduki peringkat ke-3 dalam hal kasus tuberkulosis, setelah India dan China. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis yang mudah ditularkan melalui udara. Akan tetapi, bakteri ini tidak langsung menjadi aktif setelah masuk ke dalam tubuh manusia. Bakteri ini akan diam berada di dalam tubuh manusia dan pada saat imunitas turun, bakteri ini akan menjadi aktif dan menimbulkan penyakit. Pada penderita HIV dengan kondisi imunitas yang menurun, tuberkulosis merupakan indeksi kedua yang sering terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (www.tbindonesia.or.id). Pengobatan tuberkulosis dilaksanakan selama enam bulan dengan regimen antibiotika yang telah ditentukan agar pasien bisa sembuh. Kepatuhan pasien sangat dibutuhkan dalam pengobatan tuberkulosis. Seorang penderita tuberkulosis harus melakukan pengobatan dengan tuntas. Jika pasien tidak melakukan pengobatan dengan tuntas, bakteri yang masih tersisa akan berkembang biak lagi. Kemudian, bakteri ini akan resisten terhadap isoniazid dan rifampicin dan diperlukan obat-obatan yang lain untuk menghancurkan bakteri ini. Keadaan ini disebut sebagai Multi-Drug Resistant. Untuk mencegah hal ini terjadi, WHO telah mengusulkan Strategi DOTS. Akan tetapi, sampai saat ini di Indonesia, Program Penanggulangan TBC dengan Strategi DOTS belum dapat menjangkau seluruh Puskesmas. Demikian juga rumah sakit pemerintah, swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Pengobatan yang tidak

teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Penderita MDR-TB dapat berkembang menjadi XDR-TB jika pasien tetap tidak melaksanakan pengobatan dengan baik. Pemberian obat yang tidak tepat pada penderita tuberkulosis juga akan menyebabkan penderita dengan kondisi MDR-TB akan berkembang menjadi XDR-TB. XDR-TB merupakan singkatan dari Extensively Drug Resistant TB. Istilah ini diperkenalkan oleh WHO untuk pasien tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid, rifampisin, resisten terhadap fluorokuinolon dan agen injeksi lini kedua, seperti kanamisin, amikazin atau kopreomisin. XDR-TB dapat timbul akibat gagalnya pengobatan MDR-TB. Hal ini disebabkan karena banyak pasien berpandangan jika gejala-gejala tuberkulosis sudah tidak muncul lagi, obat-obatan yang diberikan tidak perlu dimakan. Padahal sebenarnya dalam pengobatan tuberkulosis, kepatuhan pasien diuji untuk membasmi bakteri tuberkulosis. Tujuh negara telah melaporkan data mengenai resistensi obat tuberkulosis sejak tahun 2002, diantaranya Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Srilanka, dan Thailand. Kasus XDR-TB di dunia telah dilaporkan oleh beberapa negara. Jumlah negara yang melaporkan meningkat setiap tahunnya. Negara yang melaporkan kasus XDR-TB erat kaitannya dengan infeksi HIV di negara itu. Surveilans kekebalan obat TB belum dilaksanakan di Indonesia dan survei-survei terbatas yang dilaksanakan di Jakarta menemukan adanya kasus kekebalan obat TB pada lebih dari 4% kasus-kasus yang tidak diobati sebelumnya(WHO Report, 2005). . Walaupun XDR-TB sangat jarang terjadi, pasien XDR-TB memiliki angka kematian yang cukup tinggi. Alasannya karena pada pasien tuberkulosis mengalami XDR-TB, diperlukan pengobatan yang lebih mahal, karena membutuhkan pengobatan yang lain. Selain itu, lebih sulit disembuhkan dibandingkan dengan penderita tuberkulosis dengan MDR-TB.

Sama seperti penularan tuberkulosis, seorang pasien XDR-TB dapat menularkan penyakitnya ini kepada orang lain melalui udara. Bakteri yang ditularkan juga bersifat resisten terhadap isoniazid, rifampicin, golongan fluorokuinolon dan agen injeksi lini kedua, seperti kanamisin, amikasin atau kopreomisin. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan bakteri kepada sepuluh sampai lima belas orang dalam kurun waktu setahun. Begitu pula dengan penularan XDR-TB. Satu dari ketiga orang yang tertular akan menimbulkan gejala klinis. Jadi dapat dibayangkan jika seorang pasien MDR-TB yang berkembang menjadi XDR-TB menularkan kelima belas orang lain dan setiap satu orang dapat menderita penyakit ini. Banyak anggapan pasien tidak perlu lagi minum obat jika gejala-gejala penyakit telah hilang. Anggapan ini pada pasien tuberkulosis dapat menimbulkan resistensi obat. Resistensi obat akan menyebabkan pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh dari tuberkulosis. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga akan lebih banyak karena obat untuk mengatasinya juga lebih mahal. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1. Bagaimana epidemiologi XDR-TB di dunia? 1.2.2. Bagaimana penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia dan masalah yang dihadapi 1.2.3. Apa saja faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian resistensi obat pada penderita tuberkulosis? 1.2.4. Apakah negara Indonesia yang menduduki peringkat ke-3 untuk tuberkulosis mempunyai resiko munculnya XDR-TB? 1.3 Tujuan 1.3.1. Karya tulis ini dibuat untuk memberi informasi mengenai XDR-TB yang mulai berkembang di berbagai belahan dunia. Hal ini juga mungkin lambat laun akan muncul di Indonesia, mengingat kurang lancarnya pelaksanaan pengobatan tuberkulosis.

1.3.2. Karya tulis ini juga dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai perkembangan penyakit tuberkulosis di dunia. XDR-TB ini merupakan salah satu keadaan yang kiranya merupakan suatu kegawatan di dunia. 1.3.3. Menunjukkan faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat membuat Indonesia mempunyai pasien XDR-TB. . 1.4 Manfaat 1.4.1. Mampu mencegah pasien tuberkulosis berkembang menjadi pasien MDRTB bahkan sampai XDR-TB. 1.4.2. Meningkatkan keberhasilan pelaksanaan pengobatan tuberkulosis di seluruh Indonesia dengan peran serta pemerintah dan praktisi kesehatan. 1.4.3. Memberikan gambaran mengenai masalah utama penyakit tuberkulosis adalah masalah resistensi obat. 1.4.4. Meningkatkan kewaspadaan mengenai bahayanya jika terjadi resistensi penderita tuberkulosis 1.4.5. Mampu menggerakkan para peneliti dan pengamat untuk melakukan survei mengenai resistensi obat tuberkulosis di Indonesia.

BELLA, EPIDEMIOLOGI NYA untuk bab 2 ada yg LEBIH BAGUS NA ARTIKELNYA


2.1 Epidemiologi Tuberkulosis di Indonesia Tuberkulosis masih menjadi masalah utama di Indonesia yang saat ini menduduki perringkat ketiga setelah India dan Cina. WHO melaporkan pada tahun 2006 diperkirakan insidens untuk semua kasus sebesar 540.000 (245/100.000) dan insidens untuk BTA (+) sebesar 242.000 (110/100.000). Prevalensi semua kasus TB diperkirakan sebanyak 605.000 (275/100.000).Perhitungan prevalensi dan insiden ini berdasarkan pada hasil survei prevalensi pada tahun 2004 yang bekerja sama dengan

Badan Litbangkes. Di dalam survei ini juga ditunjukkan perbedaan angka prevalensi dan insidensi kasus tuberkulosis pada tiga wilayah yaitu variasi estimasi insidensi kasus TB BTA positif pada 64/100.000 di Jawa dan Bali, 160/100.000 di Sumatera dan 210/100.000 di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Prevalensi secara nasional menurun sebesar 4% per tahun, dengan kecenderungan penurunan yang lebih lambat pada wilayah Sumatera dan KTI. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah pelaporan kasus tuberkulosis meningkat tajam. Angka penemuan kasus tuberkulosis (TB) dengan BTA positif meningkat dari 37% pada tahun 2003 menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil akselerasi ekspansi DoTS yang didukung dengan meningkatnya jumlah lembaga penyandang dana (seperti gFATm, TBCTA, CIDA, dll) serta bantuan teknis dari Stop TB Partners. Penyakit TB memiliki dampak terhadap kelompok masyarakat tertentu terutama pada kelompok-kelompok rentan (seperti masyarakat miskin dan tidak terlindungi

asuransi masyarakat di wilayah terpencil, wanita dan anak-anak, dan masyarakat yang tidak akses terhadap fasilitas pelayanan DoTS). Sayangnya, belum ada perhatian khusus yang ditujukan bagi kelompok masyarakat tersebut untuk menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan dengan strategi DoTS. Masalah TB pada anak kurang

Gambar . Jumlah penderita TB semua tipe dan BTA (+) serta CNR BTA (+) TAHUN 200-2005

mendapat perhatian dibandingkan dengan penderita dewasa. Penderita TB anak sering mengalami diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat. menurut data surveilans nasional menunjukkan bahwa epidemi TB mulai bergeser secara perlahan ke kelompok usia yang lebih tua (mencapai puncak pada usia 55-64 tahun), meskipun sebagian besar usia penderita TB masih berada pada kelompok 15-64 tahun. Secara keseluruhan, rasio laki-laki dan perempuan untuk TB BTA(+) baru tetap konsisten dalam beberapa tahun terakhir (1,21,3) dan kesenjangan gender ini semakin melebar menurut usia (setelah usia 35-44 tahun) dan gambaran ini didapatkan juga pada angka CNR.

Data tentang resistensi kekebalan ganda TB di Indonesia belum diperoleh tetapi dari survei yang dilaksanakan pada fasilitas kesehatan di Jakarta didapatkan angka MDR-TB sebesar >4% kasus baru. Untuk mengetahui situasi secara nasional, dibutuhkan suatu survei yang dapat mewakili semua daerah/propinsi. Menurut perkiraan whosecara nasional angka mDR adalah 0,9% untuk kasus baru. Tabel Indikator Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 (WHO2006 Populasi Ranking Global Insidensi (Semua kasus/100.000 pop/tahun Insidensi (BTA+ baru/100.000 pop/tahun Prevalensi (semua kasus/100.000 pop/tahun Mortalitas TB (Semua kasus/100.000 pop/tahun) Kasus TB/HIV + (dewasa usia 15-49%) Kasus baru TB resisten obat (%) 220.077.000 3 245 100 275 65 0,9 1,5

Dalam kaitannya dengan HIV, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan prevalensi hIV yang rendah tetapi dengan epidemi yang terkonsentrasi.

Prevalensi HIV/AIDS pada dewasa (15-49 tahun) diperkirakan <0.2%3, dengan beban tertinggi di Bali, Jawa Timur, Papua, Riau, Jakarta, dan Jawa Barat. Rute penularan yang sering terjadi adalah melalui jarum suntik yang terkontaminasi pada para pengguna obat suntik, kecuali di daerah Papua yang umumnya melalui transmisi heteroseksual. Di samping itu tantangan lain adalah surveilans HIV pada penderita TB belum dilaksanakan di Indonesia.

Terus tu bel, yg tantangan (bab telaah pustaka) tu ganti be dgn yang ini
MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI INDONESIA DALAM MENANGGULANGI TUBERKULOSIS Sejak 1999/2000, 98% Puskesmas dikembangkan untuk melaksanakan DOTS, namun secara kualitas ditingkatkan bertahap melalui intensifikasi seperti pelatihan, magang (on the job training) dan bimbingan teknis. Sampai tahun 2006, sekitar 36% dari total rumah sakit telah terlibat dalam DOTS. Lokasi-lokasi khusus lainnya sedang dilibatkan dalam pelayanan DOTS: tempat kerja, wilayah kumuh, penjara, posyandu, dan lain-lain. GERDUNAS TB, Gerakan Terpadu Nasional untuk Penanggulangan TB, sebuah gerakan lintas sektor dan lintas program yang dibentuk pada tahun 1999, merupakan suatu bentuk kemitraan dalam penanggulangan TB, dan Kepala Sub Direktorat P2TB berperan sebagai Sekretaris Eksekutif. Forum Kemitraan TB Indonesia dibentuk pada tahun 2001, dan sekarang beranggotakan lebih dari 50 organisasi profesional, institusi akademis dan LSM yang bergabung didalamnya. Masalah utama dalam pelaksanaan DOTS di rumah sakit adalah rendahnya mutu pelayanan DoTS. Hal inilah yang mengakibatkan tingginya tingkat putus berobat dan rendahnya keberhasilan pengobatan. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan resistensi obat. Oleh karena itu, perhatian penuh pada kinerja pelayanan DOTS di rumah untuk menekan dan menurunkan kejadian resistensi

terhadap obat TB sangat penting. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar dokter, perawat dan staf laboratorium yang bekerja di rumah sakit belum terlatih untuk melaksanakan DOTS. Untuk infrastruktur kesehatan, kelemahan utama yang sering dihadapi adalah keterbatasan jumlah staf dengan beban kerja tinggi, keterampilan perencanaan, supervisi dan advokasi yang lemah, tidak adanya rencana yang komprehensif serta kurangnya keterampilan manajemen obat.

4.2.2 Epidemiologi XDR-TB di dunia Kasus XDR-TB telah dilaporkan lebih dari satu decade belakangan. Data survey kasus XDR-TB ini pun telah ditebitkan pertama kali pada Maret 2006. XDR-TB telah ditemukan pada 17 negara antara tahun 2000 dan 2004. Data terbaru dari WHO mengungkapkan telah ditemukan 45 negara dengan XDR-TB. (lihat gambar 1)

Gambar 1. Persebaran Extensively drug-resistant (XDR-TB) di dunia. Negaranegara yang telah melaporkan kasus XDR-TB pada Juni 2008 ditunjukkan dengan lingkaran merah dan nama negara-negaranya di sebelah kiri gambar.

Extensively Drug-Resistant (XDR-TB) didefinisikan tuberculosis yang resisten tehadap pengobatan isoniazid, rifampisin, fluoroquinolon, dan satu dari ketiga obat injeksi lini kedua (amikasin, kanamisin, ataupun kapreomisin). Pasien dengan XDR-TB memiliki prognosis yang buruk, periode infeksius yang panjang, dan keterbatasan dalam pilihan pengobatan. Survei terbaru yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa XDR-TB telah ditemukan di 45 negara di dunia (lihat gambar 1.). Hampir 4000 isolat MDR-TB dikumpulkan dari berbagai dunia dan diuji kepekaannya terhadap obat tuberkulosis lini kedus. Hasilnya, 7% di antaranya termasuk XDR-TB. Negara terbanyak yang melaporkan kasus XDR-TB adalah negara-negara Uni Soviet dan Afrika Selatan. Di Amerika Serikat antara 1993-2006, 49 pasien telah dilaporkan menderita XDR-TB, kebanyakan di daerah dengan morbiditas tuberkulosis yang tinggi dan populasi imigran yang banyak, seperti New York dan Kalifornia. Kalifornia sendiri dilaporkan terdapat 18 kasus XDR-TB. Laporan mengenai prevalensi XDR-TB masih rendah disebabkan karena kurang lengkapnya drug susceptibility test (DST) dan kurangnya data surveilans di banyak negara di dunia. Di negara yang miskin, negara yang memiliki beban berat untuk tuberkulosis, kapasitas laboratorium yang tidak memadai menghambat kultur dan DST Mycobacterium tuberculosis. Bahkan di negara yang berpendapatan tinggi, kebanyakan kasus MDR-TB tidak disertai test obat tuberkulosis lini kedua sehingga XDR-TB tidak dapat dinilai.

You might also like