You are on page 1of 7

EFEKTIFITAS ZONA INTEGRITAS DI KEMENTERIAN KEHUTANAN

OLEH : Banjar Yulianto Laban

LATAR BELAKANG Pada akhir Juni 2012, seluruh Pegawai Kementerian Kehutanan telah menandatangani Pakta Integritas, sebagai salah satu syarat menuju Pembangunan Zona Integritas. Syarat lain yang telah dipenuhi Kementerian Kehutanan, yaitu : 1. Opini terhadap Laporan Keuangan tahun 2011 dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), 2. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun 2011 dengan nilai Cukup Baik, 3. Kementerian Kehutanan sebagai Badan Publik terbaik tahun 2011 dalam Pelaksanaan UU No. 14 / 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan 4. Peringkat Nasional Survai Integritas Sektor Pelayanan Publik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2011. Kementerian Kehutanan mendapat nilai indeks 7.16 (kategori baik) Terkait butir 4 dapat dijelaskan bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Survey Integritas Sektor Publik di beberapa kementerian/lembaga pada tahun 2011. Maksud survai yaitu memetakan tingkat integritas sektor publik (antara lain Kementerian Kehutanan) dalam pelayanan publik. Di Kementerian Kehutanan, KPK hanya menilai 2 unit layanan yaitu : Unit Layanan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dengan nilai 7.28 dan Unit Layanan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan nilai 7.03. Pelayanan yang lain, terutama yang telah memperoleh ISO tahun 2009, 2010, dan 2011 untuk proses Izin Usaha di Hutan Produksi Alam, Industri Kayu, Tumbuhan dan Satwa Liar, Jasa Lingkungan, Wisata Alam belum dilakukan penilaian. KPK mengukur integritas sektor publik secara nasional melalui Indeks Integritas Nasional (IIN) berdasarkan dua variabel, yaitu :

1). Pengalaman Integritas, meliputi : pendalaman dan cara pandang terhadap anti korupsi; 2). Potensi Integritas, meliputi : lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan komitmen untuk mencegah korupsi. Standar minimal integritas adalah 6.00 dari skala 0.00 10.00. Semakin besar nilai, semakin baik integritasnya.

CARA PANDANG TERHADAP ANTI KORUPSI


Kementerian Kehutanan untuk efektifnya zona integritas, harus bekerja keras dan sungguh-sungguh dalam mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. Untuk itu, pengalaman membangun integritas menjadi kunci keseriusannya, antara lain dalam menyikapi atau menyampaikan cara pandang terhadap anti korupsi. Potensi integritas, terutama lingkungan kerja dan sistem administrasi dapat menjadi pemicu munculnya pejabat koruptif. Kementerian Kehutanan harus peka terhadap potensi tersebut. Sistem pengendalian terhadap potensi integritas tersebut perlu segera diberdayakan dan diefektifkan. Pembenahan organisasi dan tata kerja yang belum lama ini dilakukan (P.40/2010 diganti P. 33/2012) adalah fondasi baru Kementerian Kehutanan untuk perubahan lingkungan kerja dan sistem administrasi. Pembenahan lingkungan kerja, termasuk di dalamnya harmonisasi jaringan kerja intern dalam melayani publik dan keterbukaan informasi sangat diprioritaskan. Antara lain, pelayanan terkait tenurial yang diharapkan dapat menjadi awal keterbukaan informasi dan pelayanan manajemen terhadap hutan adat dan hutan lainnya, disamping hutan negara sebagaimana diamanahkan UU Kehutanan RI (UU No. 41/1999). Sistem administrasi di bidang sarana prasarana, khususnya pengelolaan Barang Milik Negara dari perencanaan, pengadaan dengan anggaran APBN/APBN-P, maupun hibah sampai pencatatan penggunaan operasionalnya di lapangan, yang beberapa tahun terakhir ini menjadi

kendala atau ketidakjelasan dalam penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Kehutanan, melalui P. 33/2012 telah diambil alih oleh struktural baru setingkat Eselon II tersendiri yaitu Pusat Sarana dan Peralatan Kehutanan, terpisah dari Biro Umum namun masih di lingkup Sekretariat Jenderal. Diharapkan melalui Pusat Sarana dan Peralatan Kehutanan tersebut dapat segera dimonitor e procurement dan melalui suatu sistem dapat dicegah secara efektif dan dini munculnya pejabat koruptif di Kementerian Kehutanan. Hasil analisis terhadap pejabat koruptif, sebagaimana hasil survey CSIS (Tajuk Rencana Suara Pembaharuan. Kamis, 9 Agustus 2012) diharapkan menjadi pembelajaran dan tolok ukur kontribusi kinerja Kementerian Kehutanan dalam upaya memberantas korupsi dalam lingkup pemerintahan. Dari hasil survey CSIS disebutkan bahwa sekitar 70 persen pejabat menyalahgunakan kekuasaannya untuk merampok uang negara. Dalam kurun waktu 1 dekade terakhir ini, tidak kurang dari 240 kepala daerah tersangkut korupsi. Jumlah itu belum termasuk pejabat di kementerian dan dinas di daerah. Pejabat yang dimaksud mayoritas adalah yang berlatar belakang partai politik (parpol). Banyaknya pejabat, terutama kepala daerah, yang tersandung korupsi dianggap sebagai kegagalan parpol memajukan kandidat yang berkualitas sejak awal proses perekrutan. Diduga ada kebiasaan parpol ( sesuai lingkungan sebagai potensi integritas) selalu membuka pintu bagi mereka yang memiliki modal finansial maupun yang memiliki akseptabilitas besar, untuk diberi kesempatan maju sebagai calon kepala daerah, calon menteri dan calon anggota legislatif (caleg). Potensi integritas tersebut membuat parpol mengabaikan dua syarat, yakni syarat pengalaman integritas dalam hal cara pandang terhadap anti korupsi dan syarat kapabilitas dalam hal memandang sistem administrasi pemerintahan.

Sebagai ilustrasi, tajuk rencana Suara Pembaharuan. Kamis, 9 Agustus 2012 menyampaikan bahwa berdasar Keppres 68/2011, gaji pokok ditambah tunjangan yang diterima seorang bupati sekitar Rp 6 juta per bulan. Jumlah itu ditambah insentif pajak yang jumlah per tahunnya mencapai maksimal 7 kali gaji bulanan. Dengan komposisi itu, seorang bupati yang berprestasi dapat mengakumulasi pendapatan resmi sekitar Rp 120 juta per tahun. Berarti dalam satu periode masa jabatan selama lima tahun, dia mendapatkan Rp 600 juta. Jika dia mampu memperpanjang masa jabatannya untuk lima tahun berikutnya, akumulasi pendapatannya mencapai Rp 1,2 miliar, jauh lebih kecil dibanding modal Rp 3 miliar yang diperlukannya saat pilkada (dugaan dari kasus suap di Kab Buol Sulteng). Pertanyaannya, dari mana dia harus mengembalikan modal pilkada itu? Satu-satunya jawaban adalah menyalahgunakan wewenang dengan mengkorupsi APBD. Partai yang seharusnya bisa membawa suara rakyat kepada pemerintah yang berkuasa dan memperjuangkan kepentingan publik, malah bergeser fungsi menjadi kendaraan politik yang bertujuan untuk memperkaya orang-orang di dalamnya, atau dimanfaatkan sebagian oknum agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Zona Integritas adalah predikat yang diberikan kepada kementerian/ lembaga yang berkomitmen untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. Hal ini sesuai harapan Presiden SBY yaitu agar integritas pegawai negeri sipil menjadi best practice di semua lini pembangunan. Desvartes adalah pelopor dan tokoh rasionalisme. Menurut Desvartes rasio merupakan sumber dan pangkal dari segala pengertian. Pencanangan zona integritas sebagai pengertian, akan dipahami sebagai tindakan yang rasional. Masalahnya sejauh mana kadar pengertiannya. Apakah hanya hangat hangat tahi ayam? Adakah sistem yang menopang zona tersebut sehingga integritasnya bekerja terus menerus dalam best practice kinerja kualitas sumber daya manusianya? Dalam menyusun pengertian, kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif. Dengan metode ini Desvartes yakin bahwa dasar pikiran yang digunakan dalam penalaran pengertiannya diperoleh dari ide yang jelas,

tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Bagaimana dasar pikiran atau ide zona integritas ini? Apakah jelas, tegas dan pasti? Karena masalah utama yang terdapat dalam rasionalisme adalah evaluasi terhadap kebenaran dasar-dasar pemikiran yang hasilnya cenderung bersifat subyektif. SEHARUSNYA LEWAT PENGALAMAN YANG KONKRIT Secara obyektif, dengan mengerahkan segala sumber dayanya, Kementerian Kehutanan berusaha mewujudkan Kontrak Kinerja KIB II, terutama kaitannya dengan zona integritas yaitu : 1. WTP untuk Laporan Keuangan tahun 2012, 2. Perbaikan sistem birokrasi internal sesuai Roadmap Reformasi Birokrasi sampai dengan 2025, dan 3. Percepatan Pemberantasan Korupsi sesuai Inpres No. 5/2004 meliputi Pencegahan dan Penindakan. Adapun untuk Roadmap Reformasi Birokrasi Kementerian Kehutanan, sudah sampai tahap evaluasi capaian Reformasi Birokrasi di Kementerian Kehutanan. Harapan subyektifnya adalah menuju pada perbaikan remunerasi yang sudah ditunggu oleh jajaran PNS Kementerian Kehutanan sebagai satu kebenaran dasar-dasar pemikiran dalam rangka memberantas korupsi. Secara empiris pengetahuan atau pengertian manusia tidak diperoleh lewat penalaran rasional yang abstrak, tetapi lewat pengalaman yang kongkret. Reformasi Birokrasi dan Percepatan Pemberantasan Korupsi di Kementerian Kehutanan telah dilakukan lewat pengalaman yang kongkret dengan sejumlah prestasi dalam 5 (lima) tahun terakhir ini, diantaranya: 1. Perbaikan Pelayanan Perizinan Pemanfaatan Hutan Alam, HTI, Pelepasan Kawasan dan Pinjam Pakai Kawasan secara online. 2. Online dalam rangka peningkatan PNBP Kehutanan dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) 3. Penyajian Peta Indikatif Penundaan Izin Baru Konversi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut secara online, 4. Pengadaan Barang dan Jasa secara Elektronik (LPSE),

5. Penetapan Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai, 6. Sistem Pengaduan Masyarakat, 7. Perilaku Hidup Sederhana. Dengan sederet upaya konkrit yang telah dilakukan tersebut, Kementerian Kehutanan punya kesempatan terbuka kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Ombudsman Republik Indonesia untuk evaluasi rutin agar selalu mendapat predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Kementerian Kehutanan sebagai institusi berbasis ilmiah wajib melaporkan hasil upaya konkritnya secara objektif, karena dalam analisis ilmiah ada suatu faktor yang memaksa Kementerian Kehutanan, yaitu faktor kontrol untuk penilaian, sehingga dalam penyusunan dan implementasi kebijakan, Kementerian Kehutanan dapat melakukan penyesuaian sebagai feedback. Seyogyanya Sumber Daya Manusia Kementerian Kehutanan harus mempunyai daya kreatifitas seperti yang diharapkan Torrance. Kreativitas didefinisikan Torrance sebagai proses pertumbuhan pemahaman atau pengertian manusia, sehingga peka akan masalah, kekurangsempurnaan, kekurangtahuan, ketidaklengkapan, ketidakharmonisan dsb. Dengan tumbuhnya laman atau web yang banyak mengungkap permasalahan kehutanan terkait bentang alam, Daerah Aliran Sungai, rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengendalian hama dan patologi hutan, potensi flora fauna, kemajuan litbang, industri, peredaran dan perdagangan hasil hutan; Demikian halnya laman keterbukaan informasi tentang kontribusi kehutanan kepada pembangunan nasional (review Penataan Ruang Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, tukar menukar dan pelepasan kawasan hutan cq. Hutan Produksi Konversi) dan membantu berkembangnya usaha sektor lainnya (misal pinjam pakai kawasan untuk tambang dan non tambang di Hutan Produksi dan Hutan Lindung); Kementerian Kehutanan sebenarnya telah memposisikan diri sebagai badan publik yang kreatif - komunikatif dan berproses tumbuh dalam kepekaan. Kementerian Kehutanan sedang membangun basic instinct untuk

secepatnya kembali ke kehidupan harmonis dalam pelayanan, juga seimbang dan aman dalam pelestarian alam bagi seluruh umat manusia. Untuk itu kegiatan-kegiatan Kementerian Kehutanan dalam rangka memenuhi 11 (sebelas) indikator utama program pencegahan korupsi yang telah ditetapkan yaitu: Penandatanganan Dokumen Pakta Integritas, Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), Akuntabilitas Kinerja, Laporan Keuangan, Kode Etik, Sistem Perlindungan Pelapor (Whistle Blower System), Program Pengendalian Gratifikasi, Kebijakan Penanganan Benturan Kepentingan (Conflict of Interest), 9. Program Inisiatif Anti Korupsi, 10. Kebijakan Pembinaan Purna Tugas (Post Employment Policy) dan 11. Pelaporan Transaksi Keuangan yang tidak wajar oleh PPATK. harus terus menerus diimplementasikan, dimonitor, dilaporkan dan diverivikasi (MRV). Disamping itu, Kementerian Kehutanan juga harus memenuhi 6 (enam) unsur indikator penunjang, yaitu: 1. promosi jabatan secara terbuka, 2. rekruitmen secara terbuka, 3. mekanisme pengakuan masyarakat, 4. e-procurement, 5. pengukuran kinerja individu, dan 6. keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, PNS Kementerian Kehutanan sekali lagi harus berperan proaktif sebagai pencari kebenaran, harus berani melawan semua ketidakbenaran, penipuan, kepura-puraan, kemunafikan dan kebatilan yang akan menghambat kemajuan. Ingat, Socrates memilih mati meminum racun daripada menerima hal yang salah. Bogor, 20 September 2012 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

You might also like