You are on page 1of 50

Laporan Kasus

Seorang Laki-laki Datang dengan Keluhan Utama Sesak Bertambah Hebat sejak 3 hari SMRS

Oleh: Arinanda Kurniawan, S.Ked (54061001046) Wike Nidya, S.Ked (04061001018) Pembimbing: Dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD, K-HOM, FINASIM

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Seorang Laki-laki Datang dengan Keluhan Utama Sesak Bertambah Hebat sejak 3 hari SMRS. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-HOM, FINASIM selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Palembang, Februari 2011

Penulis

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus Judul

Seorang Laki-laki Datang dengan Keluhan Utama Sesak Bertambah Hebat sejak 3 hari SMRS

Oleh: Arinanda Kurniawan, S.Ked (54061001046) Wike Nidya, S.Ked (04061001018)

telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 17 Januari 14 Maret 2011.

Palembang, Februari 2011

Dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-HOM, FINASIM

DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................... i Kata Pengantar........................................................................................................ ii Halaman Pengesahan............................................................................................. iii Daftar Isi................................................................................................................ iv BAB I Pendahuluan............................................................................................... 1 BAB II Laporan Kasus............................................................................................ 3 BAB III Tinjauan Pustaka....................................................................................... 18 BAB IV Analisa Kasus........................................................................................... 40 Daftar Pustaka....................................................................................................... 45

BAB I PENDAHULUAN
Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemoliticus tipe A yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2 Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001). Menurut Brunner dan Suddarth (2002) gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan Oksigen dan nutrisi.2 Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober-1 november 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000 penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan 0,5/100.000 penduduk di

negara maju menderita penyakit jantung rematik.3 Sementara, untuk kasus gagal jantung kongestif akibat penyakit jantung reumatik tercatat bahwa di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Kasus ini meningkat 11,6 pada manula dengan usia 85 tahun ke atas.4 Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus ini dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju dengan cepat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Diperkirakan tahun ini juga akan terjadi peningkatan. Untuk itu, pihak RS telah mengantisipasi lonjakan kasus tersebut dengan membuka klinik khusus gagal jantung dan pelayanan One Day Care dengan system Nurse Base Care. Mengenai kematian akibat penyakit gagal jantung. Direktur RS tersebut, mengemukakan bahwa tahun lalu hanya 4,3% kematian yang terjadi. Jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan insiden pada 1999 sejumlah 12,2%.4 Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh kelainan katup yang disebabkan penyakit reumatik akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi mayarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini penulis angkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

BAB II LAPORAN KASUS


6

II.1. IDENTIFIKASI Nama Umur Jenis kelamin Alamat Status Pekerjaan Agama MRS : Tn. Yu : 44 tahun : Laki-laki : Dalam Kota : Menikah : Wiraswasta : Islam : 31 Januari 2011

II.2. ANAMNESIS (autoanamnesis pada tanggal 1 februari 2011) Keluhan utama Sesak bertambah hebat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit Keluhan tambahan Mata yang berwarna kuning sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit Riwayat perjalanan penyakit 3 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sesak. Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi. Os mengalami sesak saat berjalan 20 meter, os juga mengeluh sesak saat menaiki 4-5 anak tangga, sesak berkurang ketika beristirahat. Os mengeluh sembab pada kedua tungkai, Demam tidak ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Jantung berdebar-debar tidak ada, os juga mengeluh nyeri pada sendi-sendi. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os belum berobat. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak yang dialami os semakin bertambah. Os mengalami sesak saat berjalan 5 meter, os juga mengeluh sesak saat menaiki 4-5 anak tangga dan sering terbangun pada malam hari karena sesak. Os lebih 7

nyaman tidur dengan 2 bantal. Os mengeluh sembab pada kedua tungkai bertambah, perut dan kemaluan os membesar, os juga mengeluhkan mata os berwarna kuning, nyeri pada ulu hati ada dan tidak menjalar, demam tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, jantung berdebar-debar tidak ada, BAK sedikit-sedikit dan BAB biasa. Os belum berobat. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak bertambah hebat, semakin sering terbangun pada malam hari karena sesak. Sesak timbul walaupun os sedang istirahat, os lebih nyaman jika menggunakan 2 bantal. Demam tidak ada. Mual ada, muntah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Jantung berdebar-debar ada. Kaki bertambah sembab, perut dan kemaluan os semakin membesar BAK sedikit-sedikit dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian os berobat ke Rumah Sakit. Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat darah tinggi sebelumnya, disangkal. Riwayat nyeri sendi berpindah disertai demam tinggi ada tahun 2007 Riwayat sakit jantung rematik ada pada tahun 2007, os berobat teratur ke dr.SpPD-KKV dinyatakan sembuh pada 2008 lalu os berhenti makan obat. Os tidak tahu nama obat yang dimakan.

Riwayat sakit kencing manis, disangkal. Riwayat sakit ginjal disangkal Riwayat sakit kuning sebelumnya, disangkal. Riwayat sakit malaria sebelumnya, disangkal.

Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarga disangkal 8

Riwayat kebiasaan

Riwayat Merokok (-) Riwayat Minum minuman beralkohol (-)

III.3. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Gizi : Cukup : (-) : 130/80 mmHg : 98x/menit, irreguler, isi-tegangan kurang, pulsus defisit (+) : 28x/menit, thoracoabdominal, reguler : 36,8 o C : 88 cm : 160 cm : 56 Kg Dehidrasi Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu Lingkar Perut Tinggi Badan Berat Badan IMT : 56 (1,60)2 : 56 2,56 : 21,875 Keadaan spesifik Kulit Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar (-), keringat umum(-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki(-), pertumbuhan rambut normal. : Tampak sakit sedang : compos mentis

KGB Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak ada nyeri penekanan. Kepala Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, dan deformasi (-). Mata Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung(-). Telinga Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),pendengaran baik. Mulut Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), rhageden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan. Leher Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5+2) cmH 2 0, kaku kuduk (-). Dada Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

10

Paru-paru I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, P : Stemfremitus kanan = kiri P : Sonor kedua lapangan paru A: Vesikuler (+) Normal kanan = kiri, ronkhi basah halus (+) pada kedua basal paru, wheezing (-) Jantung I : Ictus cordis terlihat pada ICS VI P : Ictus codis teraba pada ICS VI linea axilaris anterior sinistra, thrill (+) P : Batas jantung atas ICS II Batas jantung kanan linea sternalis dextra Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra A: HR = 122x/menit ireguler, murmur sistolik (+) grade 4/6 di katup mitral penjalaran ke lateral, gallop(-) Perut I : Cembung, venektasi(-) P : Lemas, nyeri tekan (+) di epigastrium, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba, turgor kulit normal. P : Shiftting Dullness (+) A : BU(+) normal Alat kelamin : Edema Scrotum (+)

11

Extremitas atas : Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat, clubbing finger (-). Extremitas bawah Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (+/+), jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral hangat, clubbing finger (-), turgor kembali cepat. III.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Klinik (31/1/2011) Hb Hematokrit Leukosit LED Trombosit Hitung jenis Basofil : 0% (0-1 %) (1-3 %) (2-6 %) (50-70%) (20-40%) (2-8%) : 12,1 g/dl : 30 vol% : 6400/mm : 74 mm/jam : 101.000/mm (14-16 g/dl) (40-46%) (5000-10000/ul) (< 10 mm/jam) (200000-500000/ul)

Eosinofil : 0% Batang Segmen : 0% : 65%

Limposit : 33% Monosit : 2%

Kimia klinik (31/1/2011) BSS Cholesterol : 95 mg/dl : 77 mg/dl (<200 mg/dl)

12

HDL Cholesterol : 57 mg/dl LDL Cholesterol : 48 mg/dl Trygliserde Urid Acid Ureum Creatinin Protein Total Albumin Globulin Bilirubin Total Bilirubin Direct SGOT SGPT Natrium Kalium : 59 mg/dl : 2,1 mg/dl : 24 mg/dl : 0,7 mg/dl : 6,1 g/dl : 2,0 g/dl : 4,1 g/dl : 10,69 mg/dl : 8,99 mg/dl : 42 U/I : 18 U/I : 135 mmol/l : 3,6 mmol/l

(>55 mg/dl) (<130 mg/dl) (<150 mg/dl) (3,5-7 mg/dl) (15-39 mg/dl) (0,9-1,3 mg/dl) (6,0-7,8 g/dl) (3,5-5,0 g/dl) (2-3,5 g/dl) (0,1-1,0 mg/dl) (<0,25 mg/dl) (<0,75 mg/dl) (<40 U/I) (< 41 U/I) (135-155 mmol/l) (3,5-5,5 mmol/l)

Bilirubin Indirect : 1,70 mg/dl

EKG (31-01-2011)

Kesan : Atrial fibrilasi rapid ventrikular respon

13

Rontgen Thorax PA (31-01-2011)

Kesan : Cardiomegali dan edema paru II.5. RESUME Seorang laki-laki berinisial Tn. Yu berumur 44 tahun MRS tanggal 31 Januari 2011 dengan keluhan utama sesak bertambah hebat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan, 3 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sesak. Sesak setelah beraktivitas seperti berjalan 20 meter, dan menaiki 4-5 anak tangga, sesak berkurang ketika beristirahat. Os mengeluh sembab pada kedua tungkai. Os juga mengeluh nyeri pada sendi-sendi. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak yang dialami os semakin bertambah. Os mengalami sesak saat berjalan 5 meter, os juga mengeluh sesak saat menaiki 4-5 anak tangga dan sering terbangun pada malam hari karena sesak. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Os mengeluh sembab pada kedua tungkainya bertambah, perut dan kemaluan os membesar, os juga mengeluhkan mata os berwarna kuning, nyeri pada ulu hati ada, mual, BAK sedikit14

sedikit. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak bertambah hebat, semakin sering terbangun pada malam hari karena sesak. Sesak timbul walaupun os sedang istirahat, os lebih nyaman jika menggunakan 2 bantal. Jantung berdebar-debar ada, kaki bertambah sembab, perut dan kemaluan os semakin membesar. Mual, BAK sedikit-sedikit. Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat demam tinggi yang disertai nyeri sendi berpindah serta riwayat penyakit jantung rematik pada tahun 2007. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, gizi cukup, dehidrasi tidak ada, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 98 kali per menit, irreguler, isi dan tegangan cukup, pernafasan 28 kali per menit, thoracoabdominal, regular. Suhu 36,8o C. Pada mata dijumpai sklera ikterik. Pada leher, ditemukan JVP (5+2) cmH2O dan ronkhi basah halus (+) pada kedua basal paru. Pada pemeriksaan jantung ictus cordis terlihat pada ICS VI dan teraba di linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VI. Thrill teraba. Batas atas ICS II, batas kanan linea Sternalis dextra, batas kiri linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VI, HR 122 x/ menit, ireguler. Murmur (+) sistolik grade 4/6 di mitral yeng menjalar ke lateral. Pada pemeriksaan abdomen, terlihat cembung dan didapatkan hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal dan didapatkan ascites dari pemeriksaan shifting dullnes. Pada pemeriksaan alat kelamin ditemukan edema scrotum. Pada pemeriksaan ekstrimitas edema pretibia dan pergelangan kaki ada (+). II.6. DIAGNOSIS KERJA CHF ec Mitral insufusiensi/Mitral stenosis ec Rheumatic Heart Disease + Ikterik ec Congestive Liver + Hipoalbumin.

II.7. DIAGNOSIS BANDING CHF ec Mitral insufusiensi/Mitral stenosis ec Reumatic Heart Disease + Ikterik ec Cholesistitis/Cholelitiasis + hipoalbumin. 15

CHF ec Mitral insufusiensi/Mitral stenosis ec Reumatic Heart Disease + Ikterik ec Chirosis Hepatis + hipoalbumin. II.8. PENATALAKSANAAN Non Farmakologis : Istirahat, posisi duduk O2 3L/Menit Diet Jantung III Balance cairan

Farmakologis : IVFD D5% gtt X/menit (mikro) Injeksi furosemid 1 x 20 mg (IV) Aspilet 1 x 80 mg tablet Digoxin 1 x 0,125 mg Lansoprazol 1 x 30 mg Laxadine syrup 3 x 1 Curcuma tab 3 x 1

II.9. RENCANA PEMERIKSAAN Echocardiography USG Abdomen Pemeriksaan ASTO, Rheumatoid Faktor dan CRP HBSAg, Anti HCV

II.10. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : Dubia ad bonam : Dubia ad malam

16

II.11. FOLLOW UP Tanggal S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Lingkar Perut Keadaan spesifik Kepala Leher Thorax: Jantung Paru Abdomen HR 112 x/ menit,ireguler. murmur (+) sistolik grade 4/6 di katup mitral penjalaran ke lateral, gallop(-), thrill (+) Vesikuler normal, ronkhi basah halus pada kedua basal paru, wheezing (-) Cembung, lemas, nyeri tekan (+) epigastium, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal, lien tidak teraba, shifting dullness (+), bising usus (+) normal Genitalia Ekstremitas A P Edema scrotum (+) Edema pretibia (+) CHF ec. Mitral Insufisiensi/Mitral stenosis ec RHD + Ikterus ec Congestive Liver + Hipoalbumin dengan perbaikan terapi - Istirahat O2 3 liter/mnt Diet jantung III 17 Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (+) JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-) 1 Februari 2011 Sesak Berkurang, nyeri di ulu hati Tampak sakit sedang Compos mentis 120/70 mmHg 88 x/menit irreguler, isi dan tegangan kurang, pulsus defisit(+) 24 x/ menit 36,8 0C 88 cm

Balance cairan Tanggal S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Lingkar Perut Keadaan spesifik Kepala Leher Thorax: Jantung Paru Abdomen

IVFD D5% gtt X/menit (mikro) Injeksi furosemid 1 x 20 mg (IV) Aspilet 1x 80 mg tablet Lansoprazol 1x 30 mg Digoxin 1 x 0,125 mg Laxadine syrup 3 x 1 Curcuma tab 3 x 1 Selisih : -1500

2 Februari 2011 Sesak napas berkurang, nyeri di ulu hati Tampak sakit sedang Compos mentis 130/80 mmHg 88 x/menit irreguler, isi dan tegangan kurang, pulsus defisit (+) 22 x/ menit 36,6 C 86 cm

Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (+/+) JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-) HR 104 x/ menit ireguler. murmur (+) sistolik grade 4/6 di katup mitral penjalaran ke lateral, gallop(-), thrill (+) Vesikuler normal, ronkhi basah halus pada kedua basal paru, wheezing (-) Cembung, lemas, nyeri tekan (+) epigastium, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi

18

kenyal, lien tidak teraba, shifting dullness (+), bising usus (+) normal. Genitalia Ekstremitas A P Edema scrotum (+) Edema pretibia (+) CHF ec. Mitral Insufisiensi/Mitral stenosis ec RHD + Ikterus ec Congestive Liver + Hipoalbumin dengan perbaikan terapi - Istirahat Balance Cairan Tanggal S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Lingkar Perut Keadaan spesifik Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik(+/+) O2 3 liter/mnt Diet jantung III IVFD D5% gtt X/m (mikro) Injeksi furosemid 1 x 20 mg (IV) Aspilet 1x 80 mg tablet Lansoprazol 1 x 30 mg Digoxin 1 x 0,125 mg Laxadine syrup 3 x 1 Curcuma tab 3 x 1 Selisih - 1000 cc 4 Februari 2011 Sesak berkurang Tampak sakit sedang Compos mentis 120/60 mmHg 90 x/menit irreguler, isi dan tegangan kurang, pulsus defisit (+) 22 x/ menit 36,5 C 85 cm

19

Leher Thorax: Jantung Paru Abdomen

JVP (5+0) cmH2O, Pembesaran KGB (-) HR 108 x/ menit ireguler. murmur (+) sistolik grade 4/6 di katup mitral penjalaran ke lateral, gallop(-), thrill (+) Vesikuler normal, ronkhi basah halus pada kedua basal paru, wheezing (-) Cembung, lemas, nyeri tekan (+) epigastrium hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal, lien tidak teraba, shifting dullness (+), bising usus (+) normal.

Genitalia Ekstremitas A (Ronde Devisi Kardiologi) P

Edema Scrotum (+) Edema pretibia (+) CHF ec. Mitral Stenosis/Mitra Insufiensi ec RHD + Ikterus ec Congestive liver + Hipoalbumin dengan perbaikan terapi Istirahat O2 3 liter/mnt Diet jantung III IVFD D5 gtt X/m (mikro) Injeksi furosemid 1 x 20 mg (IV) Aspilet 1x 80 mg tablet Lansoprazol 1 x 30 mg Digoxin 1 x 0,125 mg Laxadine syrup 3 x 1 Curcuma tab 3 x 1 HCT 1 x 12,5 mg Selisih 350

Balance cairan

20

BAB III GAGAL JANTUNG KONGESTIF


III.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.5 Ada juga sumber yang mengatakan bahwa gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan jantung menjadi kurang kuat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya, jantung tidak memompa darah sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem

21

peredaran darah dan mulai membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.6 III.2 Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. 7 Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut.8 Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. 6 Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif. Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.5

22

Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.5 III.3 Gagal Jantung Kongestif dan Penyakit Jantung Rematik Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 9 Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000. Prevalensi pada anakanak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah. Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. 9 Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. 23

Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2 III.4 Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit katup degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga merupakan penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang memiliki kondisi komorbid, misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru kronis.10 Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem reninangiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida.11 III.4.1 Mekanisme Kompensasi pada Jantung

24

Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas.11 Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.12 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi sistolik, disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik disebabkan oleh hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark miokard akut yang menyebabkan hilangnya viabilitas otot jantung untuk berkontraksi.11 Hal ini tergantung pada dua faktor, yaitu elastisitas dan distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan fenomena pasif dan suatu proses relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal diastolik. Hilangnya distensibilitas atau relaksasi ventrikel kiri (contohnya iskemia) dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).13 Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravascular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.13 25 karena adanya perubahan struktur (contohnya hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsi

Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung yang menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi fraksi. Sesuai dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama dengan stroke volume yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan ejeksi fraksi sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan adanya miokardium yang nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output.13 Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic menunjukkan berkurangnya kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada saat diastolik.11 Selain itu, adanya intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik yang disebabkan oleh adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.13 Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi sistem rennin-angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan meningkatkan retensi air dan garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan 26

kontraktilitas otot jantung. Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun aktivasi yang memanjang mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive. Miokardium akan mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi paru-paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga dapat menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling otot atrium.13 Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada gagal jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.11 III.4.2 Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.11 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat menyebabkan kongesti vena.14 Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, 27

peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.15 Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin. Untungnya, digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan baroreseptor yang rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat meningkatkan pelepasan neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin, dan peptida natriuretik atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak. Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan aktifitas norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan kematian mendadak. Level norepinephrin plasma dalam sirkulasi dapat berkorelasi negatif terhadap prognosis dan gejala gagal jantung kongestif.15 Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.15 Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit

28

oksida dan endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam patogenesis gagal jantung.11 Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi pembuluh darah pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi sebagai hasil dari penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal. Aktivasi neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme kompensasi gagal jantung kongestif karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.11 III.5 Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Sedangkan berdasarkan gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I, NYHA II, NYHA III, dan NYHA IV.16 Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari gejalanya, gagal jantung kongestif dapat dibagi menjadi gagal jantung kongestif NYHA I sampai dengan NYHA IV. Pasien tanpa gejala digolongkan sebagai NYHA I. Sedangkan NYHA II meliputi pasien dengan gejala pada saat berakfitas berat. Jika dengan beraktifitas ringan pasien sudah menunjukkan gejala, pasien digolongka sebagai NYHA III. NYHA IV merupakan klasifikasi gagal jantung kongestif yang berhubungan dengan gejala yang timbul pada saat istirahat.16 III.6 Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif3 Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain: 1. Paroksismal nokturnal dispnea 29

2. Distensi vena leher 3. Ronki paru 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Gallop S3 7. Peningkatan tekanan vena jugularis 8. Refluks hepatojugular Kriteria minor Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain: 1. Edema ekstremitas 2. Batuk malam hari 3. Dispnea deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal 7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

III. 7 Penatalaksanaan III. 7. 1 Penatalaksanaan Nonfarmakologis Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.4 1. Konsumsi alkohol19 30

Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung kongestif. Angka rawat inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang lebih sedikit pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol mengandung 8 gram atau 10 mililiter etanol. Jumlah alcohol per unitnya dapat dihitung dengan mengalikan volume alcohol yang dikonsumsi dan persentase alcohol. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiomiopati khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alcohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor resiko terjadinya kardiomiopati. Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk menghindari konsumsi alkohol. 2. Merokok19 Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok terhadap gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal jantung kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari rokok. 3. Aktifitas fisik20 Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung kongestif masih kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki kondisi klinis penderita gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita gagal jantung kongestif yang stabil. Pada salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal jantung kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur. 4. Pengaturan diet20 a. Membatasi konsumsi garam dan cairan

31

Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada penderita gagal jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan terhadap berat badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun percobaan klinis lainnya menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal jantung kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak adanya edema dan fatique pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi NYHA. Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari. b. Monitor berat badan per hari Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif.

III. 7. 2 Penatalaksanaan Farmakologis Diuretik Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak berubah.4 Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida dalam tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide bekerja di 32

dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara tiazid, metalosone, dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua diuretik ini memiliki aksi farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat mengeluarkan lebih banyak natrium, sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan pengeluaran air, dan mampu mempertahankan efektifitasnya walaupun terdapat gangguan ginjal. Sementara itu, tiazid lebih sedikit mengeluarkan natrium dan air, juga dapat kehilangan efektifitasnya pada kondisi gagal ginjal. Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat menurunkan tekanan vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer. Pengukuran berat badan diperlukan untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap pemberian diuretik. Pemberian diuretik ini mampu mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi jantung maupun toleransi aktifitas terhadap penderita gagal jantung. Namun demikian, peran diuretik dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif belum diketahui. Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahanlahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi natrium. Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang membaik dan pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan obat-obatan ini cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun beberapa obat seperti diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton dapat meningkatkan level potassium, sehingga level potassium harus diawasi dengan ketat.4 Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana secepat mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan diuretik selesai, kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap dilakukan

33

pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang, selama penderita yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat asimptomatik. Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.4 1. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal jantung kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara abnormal tinggi pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dengan meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara langsung dapat menjadi toksik terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang berlebihan.4 ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin, tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner. ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya dapat mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup penderita gagal jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas kerusakan jantung dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot jantung.4 Namun demikian, ACE inhibitor juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin supresif dapat berupa hipotensi, perburukan fungsi ginjal, dan retensi

34

kalium. Sementara efek samping ACE inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan angioedema. Inotropik Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE inhibitor dan beta bloker.4 Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan beberapa pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah penggunaan vasodilator dan diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus menerus. Digoksin merupakan obat lama yang digunakan pada lebih dari 200 tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari tumbuhan foxglove. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi aritmia. Resiko aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara optimal, atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian diuretik).4 Angiotensin II reseptor blocker (ARB) Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat

35

digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.4 ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium, Namun hal ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau pada orang-orang yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti triamterene atau spironolakton. Calcium channel blocker merupakan vasodilator yang jarang digunakan pada pengobatan gagal jantung karena berdasarkan percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat pemberian calcium channel blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal jantung kongestif adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon terhadap ACE inhibitor atau ARBs.4 2. Beta blocker Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker terbukti secara klinis dapat mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di bawah 35% hingga 45%) yang telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau tanpa pemberian digitalis. Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85 mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan. Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.4 Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam otot jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat norepinefrin yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena 36

norepinefrin bersifat simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin kuat. Namun, percobaan klinis telah membuktikan bahwa beta bloker dapat memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri secara bertahap sehingga dapat mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.4 Hidralazin Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis. Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita gagal jantung kongestif.21 Kombinasi obat ini dapat menurunkan angka mortalitas sebesar 43%, menurunkan angka rawat inap penderita gagal jantung kongestif sebesar 39%, dan menurunkan gejala gagal jantung.4 Namun demikian, pemberian kombinasi kedua obat ini dapat memberikan efek samping berupa sakit kepala dan keluhan gastrointestinal. III.8 Penyakit Jantung Rematik Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran napas bagian atas. PJR lebih sering terjadi pada penderita yang menderita keterlibatan jantung yang berat pada serangan DR akut. PJR kronik dapat ditemukan tanpa adanya riwayat DR akut. Hal ini terutama didapatkan pada penderita dewasa dengan ditemukannya kelainan katup. Kemungkinan sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan karditis rematik subklinis, sehingga tidak berobat dan tidak didiagnosis pada stadium 37

akut. Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah pada katup mitral, kira-kira tiga kali lebih banyak daripada katup aorta. 18 Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral) Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan, karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung. Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringanm tanda-tanda gagal jantung tidak ada. Pada insufisiensi berat terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat. 18

Stenosis Mitral Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat. 18 Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)

38

PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta, yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung. 18 Stenosis Aorta Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat. 18

III.8.1 Diagnosis Penyakit Jantung Rematik Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya 39

demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus. Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 6 Kriteria Mayor 1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. 2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang 40

lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurangkurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi. 3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul. 4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat. 5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di

41

atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis. 6 Kriteria Minor 1) Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis 2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor. 3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna. 4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan

42

5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik. 6 III.8.2 Bukti yang Mendukung Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.

BAB IV ANALISIS KASUS


Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Gagal jantung ditandai oleh sesak (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas). Keluhan sesak disertai edema dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan

43

khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun hati. Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis di kenal gambaran klinis berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. serta tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration), ronkhi basah halus di basal paru, bunyi jantung III, dan pembesaran jantung. Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, acites, bendungan vena jugularis dan Gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, ronkhi basah halus di kedua basal paru, hepatomegali, takhikardia, gejala edema tungkai bawah, bendungan vena jugularis sehingga memenuhi gejala gagal jantung kongesti. Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas (NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas 1 tidak ada keluhan, Kelas 2 symptom muncul pada pekerjaan biasa, Kelas 3 symptom muncul pada pekerjaan ringan serta kelas 4 symptom muncul pada saat istirahat Pada pasien ini tampak terjadi perburukan dari 3 minggu terakhir sampai 3 hari SMRS terdapat perubahan kelas 1 mulai dari sanggup beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas dalam bekerja, tidak bekerja sampai dypsnea saat istirahat (kelas 4). Berdasarkan kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu: Kriteria mayor berupa paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3, peninggian tekanan vena jugularis, Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea deffort, hepatomegali, Efusi pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi ( >120 x/menit)

44

Pada pasien ini didapatkan empat kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris anterior sinistra ICS VI, dan batas atas pada ICS II. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen yang menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+2) cmH2O, keempat didapatkan ronki basah halus pada kedua basal paru. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan dispnea deffort yang didapatkan dari hasil anamnesis pasien mengeluh sesak sehabis beraktifitas. Ketiga didapatkan hepatomegali dari pemeriksaan fisik yaitu 3 jari di bawah arcus costae. Oleh karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Diagnosis anatomi ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik terdapat pembesaran dari jantung dan dikonfirmasi dengan ro thorax dengan kesan kardiomegali. Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale serta kehamilan. Penyakit gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun, terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kelainan tiroid, melainkan yang didapat adalah riwayat sakit jantung reumatik yang pernah diderita pasien pada tahun 2007. Pada gambaran rontgen thorax didapatkan bentuk pinggang jantung yang sudah tidak tampak lagi, gambaran ini khas jika terjadi mitral stenosis yang merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan pada penyakit jantung reumatik. Namun untuk mendiagnosis pasti pada pasien ini diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu, echocardiography.

45

Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah digunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung. Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat sakit jantung rematik sejak tahun 2007 yang didahului demam tinggi dan nyeri pada sendi. Adanya malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif. Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung etiologi, hemodinamik, gejala klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen berupa penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah kerusakan lebih lanjut pada jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum Gagal jantung kelas 3 dan 4 perlu untuk membatasi aktivitas dengan istirahat di tempat tidur tetapi perlu untuk menghindari tidur lama, menghentikan kebiasan hidup yang meningkatkan munculnya penyakit jantung seperti merokok pada pasien, pembatasan kadar garam (Na) tetapi ini belum diperlukan oleh karena pemberian obat yang dipilih meningkatkan pengeluaran Na. Diet makanan pada penyakit jantung pada rumah sakit ini berupa diet jantung. Diet jantung terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur saring, diet jantung III 46

merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi. Diet yang diberikan pada pasien ini berupa diet jantung III karena pasien masih sadar dan tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas. Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena cairan yang banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada tubuh sehingga memperberat kerja jantung. pemberian diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan furosemide sebagai diuretik serta pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada pembuluh darah koroner. Lansoprazole diberikan untuk mengurangi efek samping dari aspilet yang merangsang asam lambung, dan juga untuk mengatasi rasa nyeri di ulu hati pasien yang kemungkinan berasal dari lambung. Pada pasien ini telah terjadi atrial fibrilasi, pemberian digoxin sebagai golongan inotropik positif dapat dipertimbangkan pada tahap awal terapi untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah serta mengontrol laju respon ventrikel, namun pemberian digoxin juga harus disertai dengan pengawasan dikarenakan efek samping obat ini dapat menyebabkan pasien menjadi aritmia, untuk mencegahnya dapat diberikan antidotum digoxin yaitu gelatin. Pemberian laxadine sirup diberikan untuk memudahkan buang air besar, dimana bila sulit akan meningkatkan beban kerja jantung saat otot-otot berkontraksi secara kuat pada saat mengedan otot perut akan berkontraksi dan meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga terjadi gangguan venous return ke jantung. Sklera pada mata yang berwarna kuning dan hipoalbumin yang terjadi pada pasien ini kemungkinan disebabkan telah terjadi kongestif hati sebagai akibat bendungan sirkulasi pada vena cava inferior. Terjadinya kongestif pada hati akan mengakibatkan fungsi hati juga ikut terganggu, fungsi hati sebagai ekskresi yang terganggu akan menyebabkan kadar bilirubin yang meningkat sehingga akan memberikan warna kuning pada jaringan (sklera mata). Salah satu fungsi hati lainnya dalam metabolisme protein yang menghasilkan protein plasma berupa albumin juga akan ikut terganggu sehingga terjadi hipoalbumin pada pasien ini. Selain itu, dapat juga 47

dipikirkan bahwa hipoalbumin yang terjadi bukan hanya disebabkan kongestif hati yang terjadi tapi dikarenakan malnutrisi yang terjadi pada pasien ini, mengingat penyakit gagal jantung merupakan penyakit yang kronis. Untuk penatalaksanaan dengan pemberian albumin, pada pasien ini tidak diberikan karena indikasi pada pemberian albumin adalah < 2 g/dl. Pemberian diet dengan tinggi protein akan membantu untuk menaikkan albumin pada pasien ini. Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Untuk menentukan kemampuan pompa jantung diperlukan untuk melihat ejaksi fraksi dari jantung yang ditegakkan dengan echochardiography serta gejala klinis, sedangkan untuk memperkuat diagnosa RHD maka direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan ASTO, Rheumatoid Faktor dan C-reactive protein (CRP) . Secara klinis, pada pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah terjadi kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Branch, William T., R. Wayna Alexande, Robert C. Schlant, and J. Wilis Hurst.

2000. Cardiology in Primary Care. Singapore : McGraw Hill.


2. Anonim. Congestive Heart Failure. Available from : http://masdanang.co.cc/? p=12 3. Anonim. 7,6/100.000

Penduduk ASEAN Menderita Jantung Rematik. Kongestif. Available From


http:

Available from : (http://web.pab-indonesia.com/content/view/11249/9/)


4. Doni.

Gagal

Jantung

//www.Perawatonline.com/index. gagal-jantung-kongestif)

php/artikel-keperawatan/8-kep-medikal-bedah/2-

48

5. Nurdjanah, Siti. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006. p;443-448. 6. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of South Carolina: 2006. Available from URL: http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 7. Mariyono, H. 2007. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3. Hal 85. 8. Mahmud. Congestive Heart Failure. 2008. Available from URL: http://www.scribd.com/doc/3670294/Congestive-Heart-Failure. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 9. Kisworo, B. 1997. Demam Rematik. Cermin Dunia Kedokteran No. 116. Hal: 25-28. 10. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, herapy, and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of Texas Health Science: 2006. p; 403412. 11. Klabunde, Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2007. Available from URL: http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm. Diakses tanggal 4 Februari 2011. 12. Heart Failure Pathophysiology. The Medical News: 2010. Available from URL: http://www.news-medical.net/health/Heart-FailurePathophysiology.aspx. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 13. Congestive Heart Failure. MVS Pathophysiology. Available from URL: http://sprojects.mmi.mcgill.ca/mvs/PATHOS/CHF.HTM. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 14. Delgado, RM. Pathophysiology of heart failure: a look at the future. Houston: Texas Heart Institute Journal: 1999. p; 28-33.

49

15. Chan, Paul D. Cardiovascular Disorders. In: Chan, Paul D. Treatment Guidelines for Medicine and Primary Care. California: Current Clinical Strategies Publishing: 2004. p; 2-27. 16. Heart Failure. California: UCSF Medical Center: 2008. Available from URL: http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/heart_care/heart_failure/cond itions/failure/signs.html. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 17. Congestive Heart Failure. Available from URL: http://www.medicinenet.com/congestive_heart_failure/page3.htm. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 18. Melani, T. 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2004-2008. 19. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network: 2007. p; 10-13.

50

You might also like