You are on page 1of 9

Metode Imam Malik Dalam Menetapkan Hukum Islam.

Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam melakukan penetapan terhadap hukum islam, Imam Malik selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut : 1. Al-Quran. Dalam memahami al-Quran sebagai dasar dalam penetapan hukum, Imam Malik mendasarkannya atas dhahiri nash al-Quran secara umum, dan ini meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum aulawiyah dengan memperhatikan pada illatnya. 2. As-Sunnah. Dalam hal ini Imam Malik mengikuti pola yang dilakukannya yang berpegang teguh pada al-Quran yang artinya jika dalil syara itu menghendaki adanya pentawilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti tawil, jika pertentangan antara mana dhahir al-Quran dengan makna yang terkandung dalam hadis, maka yang didahulukan adalah makna dhahir al-Quran, akan tetapi jika makna yang terkandung dalam hadis tersebut dikuatkan dengan ijma ahlu madinah maka yang diutamakan untuk diambil adalah makna yang terkandung dalam hadis daripada makna dhahir al-Quran baik mutawattir maupun mashyur dan hadis ahad. 3. Ijma al Madinah. Yang dimaksud dengan ijma ahlu madinah adalah. Ijma ahl madinah yang asalnya dari naql, yang artinya kesepakatan bersama yang berasal dari hasil mereka mencontoh Rasul. Bukan dari ijtihad mereka, seperti mud dan sha, penentuan suatu tempat seperti tempat mimbar nabi dan penentuan tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan dan iqamah, oleh sebab itu maka dikalangan Madzhab Maliki menyatakan bahwa ijma ahlu madinah itu lebih diutamakan daripada khabar ahad. 4. Fatwa Sahabat. Maksudnya adalah ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada naql, sebab mereka tidak akan memberikan fatwa kecuali atas dasar apa yang sudah difahami mereka dari Rasulullah. Sekalipun demikian, tetap harus tidak bertentangan dengan hadis marfu, oleh sebab itu fatwa sahabat menurut Madzhab Maliki lebih didahulukan daripada Qiyas dan bisa dijadikan hujjah. 5. Khabar Ahad dan Qiyas.

Masalah Khabar Ahad Imam Malik tidak mengakui keberadaannya sebagai suatu yang datang dari Rasul, kecuali keberadaannya benar-benar sudah dipopulerkan dikalangan masyarakat Madinah, jika tidak maka hanya dianggap sebagai petunjuk bahwa Khabar Ahad ini tidak benar berasal dari Rasul sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum, karena itu Imam Malik mendahulukan Qiyas dan Maslahah pada Khabar Ahad. 6. Istihsan. Yang dimaksud istihsan menurut Imam Malik adalah menentukan hukum dengan mengambil maslahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidhlalul Mursah daripada Qiyas, sebab menggunakan Istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqasid alSyariyyah secara keseluruhan. 7. Al Mashlahah al Mursalah. Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma. 8. Saad ad Zarai. Yang dimaksud dengan Saad ad-Zirai adalah menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu jalan pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram. 9. Istihsab. Yang dimaksud dengan Istihsab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada pada masa lampau, maka apabila sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang diyakini adanya tersebut, maka hukumnya sama seperti hukum yang pertama, yaitu tetap ada begitu juga sebaliknya. 10. Syaru man Qablana.

Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.

Perkembangan Madzhab Maliki Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya Negara yang secara resmi menganut MazhabMaliki.[11] Simpulan

Imam Malik dalam penetapan hukum islam apabila kita melihat dari latar belakang Imam Malik itu sendiri beliau identik dengan menggunakan hadits dan terkenal dengan kehatihatiannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadits selama tujuh puluh orang ulama belum membenarkannya dan mau mengakui kebenaran fatwanya. Dan yang menarik dari penetapan hukum menurut Imam Malik ini dibandingkan dengan imam madzhab lainnya, terlihat dari Ijma al-Madinah dan Fatwa Shahabat, menurut Imam Malik Ijma al-Madinah bisa dijadikan hujjah daripada khabar ahad dan Fatwa Shahabat lebih didahulukan daripada qiyas.

Pola Pemikiran, Metode Istidlal Imam hanafi Dalam menggali Hukum Islam

1. Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam Imam Abu Hanifah Termasuk ulama yang tangguh dalam memerangi perinsip pemikiranya, hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintah, baik dalam kekholifahan bani Umayyah yang di jalani saelama 52 tahun maupun kekhalifahan bani Abassiyah di Bahgdhad selama 18 tahun. Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam suatu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama besar dengan julukan al-Imam al-Adlam akan tetapi disisilain beliau merasakan kota kuffah sebagai kota yang penuh terror yang di dalamnya di warnai dengan pergolakan politik. Sekalipun demikian, kota kuffah dan kota bashroh di irak tetap menjadi kota kelahiran beberapa ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu, padahal Negara sedang mengalami proses transformasi social cultural, politik dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi, sehingga factor inilah yang mempengaruhi pola pikir imam abu hanifah dalam menetapkan hukum, yang sudah barang tentu sangat di pengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan pendidikan yang tidak lepas dari sumber hukum yang ada. Oleh sebab itu maka Imam abu Hanifah dikenal sebagai ulama ahl al-Rayi dimana dalam menetapkan hukum baik yang diistinbatkan dari Al-Quran atau al-Hadist, beliau selalu memperbanyak penggunaan nalar dan lebih mendahulukan al-Rayu dari pada Khobar Ahad. Jika sedang menemukan hadist yang secara lahiriah bertentangan, maka beliau menetapkan hukum dengan menggunakan jalan Qias dan Isthsan. Sedangkan untuk mengetahui metode istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang di buatnya sendiri yaitu: a). Sesungguhnya saya mengambil kitab Al-Quran dalam menetapkan hukum, jika tidak ditemukan, maka aku mengambilnya dari al-Hadits yang sahih yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya, jika tidak ditemukan dari keduanya, maka aku mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu aku tidak keluar dari pandangan mereka, jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Syaby, Hasan bin Sirin dan Saad ibn musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad b). Abu Hanifah bekata: Pertama-tama aku mencari dasar hukum dalam al-Quran kalau tidak ada aku mencarinya dalam sunah nabi, kalau tidak ada aku pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan aku memilih mana yang paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka akupun melakukan ijtihad

c). Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan : Inilah pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapat itulah yang lebih benar d). Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?. Lalu ia menjawab: Demi Allah, boleh jadi itu adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya. Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syari (beristidlal) tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qathi dari al-quran dan assunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-rayu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan muamalah manusia dan adatistiadat serta urf mereka. Dengan demikian dalam beristinbatnya Imam Abu Hanifah tetap menggunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa menggunakan al-Qiyas, mak berpegang pada istishah selama dapat dilakukan, jika tidak bisa, baru beliau berpegang pada adat dan urf.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam. Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat perbendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabiin sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau alRayu. Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz. Oleh sebab itulah ulama Madinah banyak sekali yang menggunakan hadits dalam menyelesaikan berbagai bentuk persoalan yang muncul dalam masyarakat, sedangkan di kufah pemakaian hadits sebagai dasar penetapan hukum syariat hanyalah sedikit sebab dalam kenyataan al-hadist di kota kufah saat itu sedikit sekali dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu (pada saat beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi setelah wafat murid-muridnya dan pengikutnya membukukan. Sehingga menjadikan madzhab ahl al-Rayi ini hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah madrasah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Madrasah Hanafi atau Madrasah ahl al-Rayi selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah

hukum islam sebagai Madrasah kufah. Secara garis besar bahwa dasar-dasar Madzhab Imam Hanafy adalah bersandar kepada : 1. Al-quran 2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli 3. Fatwa-fatwa dari para sahabat 4. Qiyas 5. Istihsan 6.Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam

C. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran

Imam Hanafy dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis dan dewasa dalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang beliau sampaikan serta membahas hukum-hukun agama dengan sebaik-baiknya, seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran Allah dan sunah-sunah rasul-Nya. Lebih jelasnya bahwa Imam Hanafy terhadap para muridnya hanya selaku pengajar ( guru ) saja dan tidak terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir, dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan, bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap pengajaran-pengajaran dan atau pendapat-pendapat beliau tentang segala masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berlawanan dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang bersih, murni dari segala macam pengaruh. Yang menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah : 1. Sangat rasiona, mementingkan maslahat, dan manfaat. 2. Lebih mudah dipahami dari pada mazhab yang lain. 3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang muslim). Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanifah selalu ; memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau nerikan qiyas, ihtihsan, dan urf. Kitab yang langsung dinisbahkan kepada Abu Hanifah adalah fiqh al-akbar, al-Alim wal Mutaalim, dan musnad. Sedangkan buku-buku lainnya banyak ditulis oleh muridnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad

bin Hasan Asyaibani. Abu Yusuf kemudian menjadi ketua Mahkamah Agung zaman Khalifah Harun alrasyid. Muhammad bin Hasan A-Syaibani menyusun Kitab-kitab al-Mabsuth, al-jami al-Shaghir, al-jami al-Kabir, al-siyar al-kabir, al-Siyar al-Asyghar, dan al ziyyadat. D. Pandangan para ulama terhadap Abu Hanifah Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya: 1. Yahya bin Main berkata, Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits. Dan dia juga berkata, Abu hanifah laa basa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta. 2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, Kalaulah Allah subhanahu wa taala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa. Dan beliau juga berkata, Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih. Dan beliau juga pernah berkata, Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya kemudian beliau menimpali Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah. Beliau juga berkata, Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah. Beliau juga berkata, Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya. 3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya. Beliau juga berkata, Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah. 4. Imam Syafii berkata, Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah 5. Fudhail bin Iyadh berkata, Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa. Qois bin Rabi juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh. 6. Yahya bin Said al-Qothan berkata, Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya.

7. Hafsh bin Ghiyats berkata, Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya. 8. Al-Khuroibi berkata, Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil. 9. Sufyan bin Uyainah berkata, Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat).

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Nama lengkap Imam Hanafi adalah al-Numan bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy, Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah dan wafat di Baghdhad tahun 150 H./767M Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syary (beristidlal) tida selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qathI dari al-quran dan as-sunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-rayu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan muamalah manusia dan adat-istiadat serta urf mereka. Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat pembendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabiin sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau alRayu. Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz.

B. Saran Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalanm makalah kami. Sehingga kami mengharapkan keritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk penbuatan

makalah kami berikutnya. Harapan kami semoga makalah kami dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.

You might also like