You are on page 1of 6

Musium Fatahillah

Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi. Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah

Musium Keramik

Bangunan yang semula dikenal sebagai gedung bicara atau Raad Van Justice di zaman kolonial belanda ini terletak Jl. Pos Kota No.2 yang berdiri sejak tahun 1870 dan akhirnya pada tanggal 20 Agustus 1976 resmi difungsikan sebagai Museum Senirupa Dan Keramik. Selain merupakan ruang pameran dari para seniman lukisan terkemuka dan para pematung yang ada di Indonesia, museum ini juga menyimpan aneka koleksi keramik baik yang berasal dari berbagai darah yang ada di Indonesia maupun dari manca negara. Keramik Plered Kosongan, Lombok, serta keramik dari Asia dan Eropa turut melengkapi koleksi museum.

Musium Bahari

Museum Bahari adalah museum yang menampilkan koleksi benda-benda yang berhubungan dengan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Museum bersejarah ini berdiri di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa, Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap ke Teluk Jakarta. Dahulu museum ini merupakan gudang tempat menyimpan rempah-rempah Belanda yang dahulu merupakan komoditi utama yang sangat laris di dataran Eropa yang dibangun tahun 1652. Museum Bahari menyimpan 126 koleksi bendabenda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur. Juga peralatan yang digunakan oleh pelaut di masa lalu seperti alat navigasi, jangkar, teropong, model mercusuar dan meriam. Bangunan berlantai tiga diresmikan menjadi Museum Bahari pada 7 Juli 1977 ini juga memiliki koleksi biota laut, data-data jenis sebaran ikan di perairan Indonesia dan aneka perlengkapan serta cerita dan lagu tradisional masyarakat nelayan Nusantara. Museum ini juga menampilkan matra TNI AL, koleksi kartografi, maket Pulau Onrust, tokoh-tokoh maritim Nusantara serta perjalanan kapal KPM Batavia - Amsterdam.

Musium Bahar

RUMAH panggung itu awalnya dibangun tiga kamar, tetapi kemudian dua di antaranya dibongkar sehingga tinggal satu kamar, tanpa perabot. Panjangnya 15 meter dan lebar lima meter. Di bagian tengahnya ada tambahan sayap di kiri-kanan, masing-masing 1,5 meter. Semuanya terbuat dari papan kayu jati, dan beberapa bagian ada besi, seperti jeruji jendela dan penyangga atap. Tiang penopang bangunan ada 40 buah, tingginya dua meter, tinggi bangunan juga dua meter. Karena bentuknya seperti itu, ruangannya pun tampak pendek, apalagi kalau melewati pintu, pengunjung harus merunduk. Lantai dari papan kayu jati, sebgaian masih baru. Ada sepuluh jendela yang berdaun pintu dan berjeruji, sedang dua lainnya tanpa jeruji dan daun. Siang hari jendela itu selalu dibuka. Di rumah itulah si jawara Betawi tinggal selama beberapa tahun setelah dikejar-kejar Belanda hingga akhirnya ditangkap, mati dan konon dikuburkan di Pejagalan. Kalau air laut pasang, pekarangan dan bagian kolong rumah tergenang air laut hingga 50 cm. Cat bangunan rumah yang merah darah sudah memudar.H Atit Fauzi, tokoh Marunda Pulo, pernah mengatakan bahwa rumah Pitung itu bukan bangunan aslinya, kecuali lokasi tempat rumah itu dibangun. Rumah aslinya dahulu milik komandan nelayan sero, yakni Haji Syafiuddin. Sementara mengenai perubahan nama pemilik rumah tersebut, bermula dari usaha Pemprov DKI Jakarta untuk mengabadikan nama Pitung, dan selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 1992.

Gedung Bank Indonesia

Gedung Arsip Nasional gajah mada

Bangunan ini dibangun pada tahun 1760 oleh Reiner de Klerk (1710-1750), selain sebagai arsitek gedung ini Reiner de Klerk juga tercatat sebagai gubernur jendral VOC pada tahun 1777. Tanahnya sangat luas, dengan lebar 57 M dan panjang 164 M, tetapi dulu tanah yang dimilikinya lebih luas lagi yaitu sampai ke sungai Krukut.

Toko Merah

Dibangun pada tahun 1730 (abad ke 18), pernah menjadi tempat tinggal Gustaf Baron Von Imhoff (1705-1743). Selain itu pernah digunakan sebagai : Akademi Angkatan Laut (1743-1755), Guest House para pejabat (1787-1808). Sebelum Perang Dunia II diperbaiki oleh Bank Voor Indie yang kemudian berkantor disini. Bangunan ini semula bernama Hoofd Kantoor Jacobson (P.N. Setia Negara). Nama Toko Merah didasarkan pada warna interior dari bangunan tersebut yang berwarna merah. Bangunan ini terdiri dari 2 (dua) gedung. Sempat beberapa kali berpindah kepemilikan antara lain : - Anak Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang bernana Phillippene Theodore Mossel. - Janda Gubernur Jenderal P.A. Van der Parra. - Reynier de klerk. Sekarang bangunan ini menjadi P.T. Dharma Niaga Ltd.

You might also like