You are on page 1of 17

EVALUASI NILAI BIOLOGIS PROTEIN IN VITRO: PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN

Oleh : Golongan P2; Kelompok 1 Nurul Agustina Chandradewi Mila Kharisma Jian Septian Ayu Cahyaning Wulan Didiet Rayadi F24090042 F24090043 F24090046 F24090130 F24061503

Dosen Dr. Puspo Edi Giriwono, S.TP, M.Agr

Asisten Praktikum Dede Saputra, S.Pi, M.Si Umi Kulsum, S.TP

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan porsi yang cukup besar disamping zat gizi lain, seperti karbohidrat. Keberadaan protein terdapat di berbagai bahan pangan baik hewani maupun nabati. Protein cukup banyak terkandung di bahan pangan hewani dengan daya cerna yang lebih baik dibandingkan protein pada bahan pangan nabati. Namun, terdapat juga bahan pangan nabati yang sarat akan kandungan protein yang lengkap, seperti kedelai. Kedelai merupakan alternatif sumber protein yang menjanjikan untuk menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai mengandung asam amino yang relatif lebih tinggi daripada protein biji-bijian lainnya, terutama asam amino lisin (FAO 1971). Selain dikonsumsi secara langsung, terdapat juga berbagai jenis produk olahan kedelai yang beredar di pasaran, seperti tempe, kecap, dan minuman bubuk kedelai. Meskipun berbahan dasar sama, masing-masing bentuk olahan kedelai tersebut memiliki nilai gizi yang berbeda. Secara keseluruhan, tempe memiliki kadar dan daya cerna protein yang lebih tinggi di antara produkproduk olahan kedelai lainnya (Sugiyono 2008). Adanya perlakuan selama pengolahan menyebabkan peningkatan nilai gizi protein dan ketersediaan zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Palupi 2007). Hal tersebut disebabkan karena terlepasnya asam amino bebas, sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh (Astawan 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut tehadap beberapa produk olahan kedelai untuk mengetahui daya cerna protein kedelai secara in vitro, serta membuktikan adanya peningkatan daya cerna terhadap protein kedelai pada produk olahan kedelai tersebut.

1.2 Tujuan Mengukur daya cerna protein pada beberapa macam sampel produk dari kedelai dengan menggunakan metode in-vitro dan mengetahui daya cerna protein melalui analisa penurunan pH sampel setelah mengalami reaksi hidrolisis.

2. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu kasein, tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang, tepung tempe mentah, tepung tempe matang, akuades pH 8.0, NaOH 1N, campuran enzim (tripsin, kimotripsin, pankreatin), TCA 0.1M, Na2CO3 0.4M, dan pereaksi Folin. 2.2 Alat

1.5 g tepung atau kasein

30 ml akuades pH 8.0

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tabung reaksi bertutup, gelas ukur, pH-meter, neraca analitik, tabung sentrifus plastik, vortex, pipet Mohr, sentrifuge, waterbath dan spektrofotometer. 2.3 Prosedur Kerja
Pengadukan dan penepatan pH 8.0 0.1 Vortex Pengambilan 10 ml dan pemasukkan ke

Daya cerna protein pada sampel dilakukan secara in vitro dengan menggunakan campuran enzim (tripsin,tabung reaksi bertutup pankreatin) yang kemudian dalam kimotripsin, dan (lakukan 2 set) akan dibandingkan dengan daya cerna kasein, sehingga diketahui daya cerna protein relatif masing-masing sampel. 1.0 ml amino yang dihasilkan akibat 2 (sebagai blanko): Set 1: Penambahan Asam Set reaksi enzimatis kemudian direaksikan dengan pereaksi Folin, sehingga intensitas warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 578 nm. Diagram alir prosedur analisisInkubasidilihat10 menit (tepat) 1. dapat 37C, pada gambar
Pengambilan 2.0 ml (homogen) Penambahan 4.0 ml TCA Vortex dan sentrifus (3500 rpm, 10 menit) Ukur pH larutan sisa campuran enzim Penambahan 1.0 ml akuades

Pengambilan 1.5 ml supernatan Penambahan 5.0 ml Na2CO3 Penambahan 1.0 ml reagen Folin Pendiaman larutan selama 20 menit pada suhu 37 C Pengukuran absorbansi pada 578 nm

Gambar 1. Diagram alir penentuan daya cerna protein in vitro

3. DATA HASIL PERCOBAAN Tabel 1. Data hasil daya cerna protein in vitro

Sampel

Absorbansi sampel U1 U2 1.467

Absorbansi blanko U1 0.059 U2 0.050

Daya cerna protein relatif (%) U1 100.00 U2 100.00

Rata-rata daya cerna protein relatif (%)

Kasein control Tepung kedelai mentah Tepung kedelai matang Tepung kedelai matang Tepung tempe mentah Tepung tempe matang

1.450

100.00

0.940

1.022

0.831

0.722

7.84

21.17

14.50

0.620

0.761

0.364

0.497

18.40

18.63

18.52

0.682

0.786

0.368

0.395

22.57

27.59

25.08

0.569

0.322

0.564

0.359

0.36

-2.61

-1.13

0.344

0.303

0.218

0.201

9.06

7.20

8.13

Keterangan : *) : Nilai absorbansi dengan perlakuan pengenceran 2x U1 : ulangan 1 U2 : ulangan 2 Contoh perhitungan : Tepung kedelai mentah U1 x 100%

Daya cerna protein tepung kedelai mentah relatif adalah 14.50% terhadap standar (kasein).

Gambar 2. Diagram daya cerna protein pada beberapa sampel produk kedelai

Tabel 2. Data perubahan pH sampel sebelum dan sesudah perlakuan enzim Sampel Kasein (standar) Tepung kedelai mentah Tepung kedelai matang 1 Tepung kedelai matang 2 Tepung tempe mentah Tepung tempe matang pH awal 7.97 8.06 8.02 8.03 8.02 8.02 pH sampel setelah perlakuan enzim 7.23 7.89 7.09 7.6 7.6 7.37 Perubahan pH 0.74 0.17 0.93 0.43 0.42 0.65

Gambar 3. Diagram penurunan pH akibat aktivitas campuran enzim Tabel 3. Data perubahan pH sampel sebelum dan sesudah perlakuan tanpa enzim Sampel Kasein (standar) Tepung kedelai mentah Tepung kedelai matang 1 Tepung kedelai matang 2 Tepung tempe mentah Tepung tempe matang pH awal 7.97 8.06 8.02 8.03 8.02 8.02 pH blanko 7.79 7.96 7.64 7.78 7.54 7.43 Perubahan pH 0.18 0.10 0.38 0.25 0.48 0.59

Gambar 4. Diagram penurunan pH sampel tanpa perlakuan enzim Table 4. Perbandingan perubahan pH sampel dengan perlakuan enzim dengan pH sampel tanpa tanpa perlakuan enzim Sampel Perubahan pH sample setelah perlakuan enzim Blanko

Kasein (standar) Tepung kedelai mentah Tepung kedelai matang 1 Tepung kedelai matang 2 Tepung tempe mentah Tepung tempe matang

0.74 0.17 0.93 0.43 0.42 0.65

0.18 0.10 0.38 0.25 0.48 0.59

Gambar 5. Diagram perbandingan perubahan pH sampel dengan perlakuan enzim dengan pH sampel tanpa perlakuan enzim

4. PEMBAHASAN Penentuan daya cerna protein secara in vitro dapat dilakukan berdasakan prinsip absorbansi dengan penggunaan indikator berupa pereaksi Folin yang memberikan warna pada asam amino dan peptida hasil hidrolisis oleh enzim. Perbedaan intensitas warna larutan dapat menunjukkan perbedaan kandungan asam
9

amino dan peptida (protein) pada sampel. Dalam prinsip ini absorbansi berbanding lurus dengan jumlah asam amino dan peptida dalam larutan. Nilai absorbansi sampel yang telah dikurangi dengan absorbansi blanko kemudian dibandingkan dengan nilai absorbansi kasein sebagai kontrol untuk menentukan daya cerna protein tersebut secara relatif terhadap kasein. Ada lima sampel yang diuji daya cerna proteinnya pada praktikum ini, antara lain yaitu sampel tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1 dan 2, tepung tempe mentah, dan tepung tempe matang. Kelima sampel tersebut dibandingkan dengan protein standar, yaitu kasein. Penggunaan kasein sebagai standar dilakukan dengan alasan kualitas protein kasein yang baik serta merupakan satu protein tunggal yang lebih mudah dicerna dibandingkan sampel sehingga akan menunjukkan daya cerna yang baik pula dibandingkan sampel. Kasein didefinisikan sebagai beberapa kelompok phosphoprotein yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6 sampai dengan 4.7 (Damodaran 1996). Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim yang mengalami pengendapan kasein dengan penambahan asam atau rennet. Komposisi kasein komersial terdiri dari protein 88.5%, lemak 0.2%, air 7%, dan mempunyai kadar abu 3.8% (Webb et al. 1981). Kelima sampel yang diuji memiliki pH sekitar 5-6.5, sehingga perlu ditambahkan NaOH agar pH tepat menjadi 8 dimana pH 8 merupakan standar awal untuk mengetahui penurunan pH yang terjadi. Pengkondisian pH larutan menjadi 8 bertujuan untuk mendapatkan aktivitas enzim tripsin dan kimotripsin yang maksimum, karena pH tersebut merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim tripsin dan kimotripsin atau dengan kata lain hal ini dilakukan untuk mengkondisikan seperti dalam usus manusia. Saat praktikum dilakukan penambahan NaOH karena dengan penambahan akuades pH 8, larutan sampel masih berada di bawah pH 8. Suspensi sampel kemudian diberi larutan enzim dan sebagian dibuat sebagai blanko dengan mengganti larutan enzim dengan akuades. Pembuatan blanko untuk masing-masing sampel bertujuan untuk mengukur asam amino awal (bukan hasil hidrolisis enzimatis) atau sebagai faktor koreksi karena dikhawatirkan jika dalam sampel sudah terdapat asam amino bebas sebalum diberi enzim. Setelah pengkondisian pH optimum enzim, kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 37 oC selama 10 menit. Tujuan dari inkubasi ini adalah untuk mengkondisikan
10

suhu sampel, dimana suhu ini merupakan suhu yang optimal untuk aktivitas enzim. Enzim (protease) yang digunakan dalam praktikum ini adalah tripsin, kimotripsin, dan pankreatin. Setelah sampel dihidrolisis oleh enzim selama inkubasi 10 menit, sampel diberi TCA (Tri Chloro Acetic acid) untuk mengendapkan sisa protein dan disentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit sehingga didapatkan endapan protein dan supernatan. Perlakuan sentrifusa bertujuan untuk mengendapkan sisa substrat yang bereaksi dengan TCA sehingga supernatant yang didapatkan terdiri dari asam amino dan peptide. Supernatant diambil sebanyak 1.5 ml lalu ditambahkan Na2CO3 dan reagen Folin-Ciocalteau. Reagen Folin-Ciocalteau merupakan campuran asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat. Reagen direduksi oleh asam amino tirosin dan triptofan (Winarno 1997). Asam amino sistin, sistein, dan histidin juga bisa mereduksi reagen, namun tidak sekuat tirosin dan triptofan. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut diikuti dengan terbentuknya kompleks warna biru (kromatogen) dengan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 745-750 nm (Nollet 1996). Penambahan garam basa Na2CO3 bertujuan memberikan suasana basa karena pembentukan warna biru dari reagen FolinCiocalteau sangat bergantung pada pH. pH yang paling sesuai adalah 10-10.5, namun reagen Folin-Ciocalteau tidak stabil pada pH basa sehingga ketepatan waktu dalam setiap tahap sangat diperlukan (Nollet 1996). Setelah penambahan Na2CO3 dan reagen Folin-Ciocalteau, larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu 37 oC agar reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Reaksi yang tidak berjalan sempurna dapat menyebabkan kesalahan negatif karena ion Cu2+ tidak berikatan secara maksimum dengan gugus amina. Setelah didiamkan, absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 578 nm. Semakin tinggi daya cerna protein, semakin tinggi asam amino yang terbentuk sehingga intensitas warna biru semakin tinggi dan nilai absorbansi juga semakin tinggi. Nilai absorbansi kemudian digunakan dalam menghitung daya cerna relatif dari sampel yang diuji. Berdasarkan hasil percobaan, setelah diinkubasi, pH kasein tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan sebesar 0,18, sedangkan perubahan pH kasein dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,74. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan pH cenderung menjadi lebih cepat saat diberikan tambahan enzim. Hasil analisis perubahan pH pada kelima sampel menunjukkan bahwa pH tepung
11

kedelai mentah tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan sebesar 0,10, sedangkan perubahan pH tepung kedelai mentah dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,17. Tepung kedelai matang 1 tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,38, sedangkan perubahan pH tepung kedelai matang 1 dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,93. Untuk tepung kedelai matang 2 tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,25, sedangkan perubahan pH tepung kedelai matang 2 dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,43. Sampel tepung tempe mentah tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,48, sedangkan perubahan pH tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,42. Sampel tepung tempe matang tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,59, sedangkan perubahan pH tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,65. Dengan demikian, data besarnya penurunan pH kasein dan kelima sampel tepung setelah dan sebelum perlakuan enzim dari yang terbesar hingga yang terkecil secara berturut-turut, yaitu kasein, tepung kedelai matang1, tepung kedelai matang 2, tepung kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe mentah. Secara kualitatif, suatu protein yang lebih cepat melepaskan ion-ion hidrogen yang ditunjukkan dengan penurunan pH yang lebih cepat dalam kurun waktu tertentu berarti memiliki daya cerna yang lebih baik. Hal ini menunjukkan daya cerna protein secara berurutan dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah adalah kasein, tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe mentah. Daya cerna protein dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksogenus dan endogenus (Guo et al. 2007). Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor (Duodu et al. 2003; Ikeda et al. 1986). Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi (Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991; Vaintraub et al. 1979). Fennema (1996) mengungkapkan bahwa daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan
12

partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali. Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk. Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein (Fennema 1996). Proses pemanasan, seperti perebusan kedelai atau pengeringan dapat meningkatkan daya cerna protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa anti-nutrisi (anti-protease) (Muchtadi 1993). Hasil percobaan menunjukkan daya cerna relatif dari tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung tempe mentah, dan tepung tempe matang terhadap kasein masing-masing adalah 14,50% , 18,52%, 25,08%, -1,13%, dan 8,13%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang memiliki daya cerna protein relatif yang paling tinggi adalah tepung kedelai matang 2, sementara sampel tepung tempe mentah memiliki daya cerna protein yang paling rendah. Pada dasarnya, sampel dalam bentuk tepung-tepungan seperti yang diuji pada praktikum ini akan memiliki daya cerna protein relatif yang tinggi karena perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996). Sampel tepung kedelai matang memiliki daya cerna yang paling tinggi dikarenakan adanya proses pemanasan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi protein yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 C) selama satu jam atau kurang. Rendahnya daya cerna protein relatif pada sampel tepung tempe mentah maupun tepung tempe matang tidak sesuai dengan hasil penelitian Guo et al. (2007) yang menyatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan 2008). Ketidaksesuaian ini kemungkinan dipengaruhi oleh sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam
13

protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi 1993). Selain itu, adanya kesalahan prosedur praktikum, yaitu waktu inkubasi kedua yang lebih dari 20 menit serta ketidakstabilan pereaksi Folin juga dapat mempengaruhi hasil uji. Pereaksi Folin merupakan senyawa yang sangat reaktif dan mudah berikatan dengan senyawa lain seperti amonium sulfat, sesium bikarbonat, glisin (lebih besar dari 0,5%), sukrosa, glukosa, EDTA, NaCl, sorbitol, octyl glucoside, chaps, chapso, lubrol, tris, Triton X-100, dan lain-lain. Amonium sulfat, lubrol, chaps, chapso, dan sesium bikarbonat merupakan contoh senyawa pengganggu yang dapat mengendapkan protein. Glisin dan EDTA adalah contoh senyawa pengganggu yang menyebabkan tidak terbentuknya warna biru pada reaksi (Walker 2002). Selain itu, merkaptan (2mercaptoethanol) dan ditiotreitol (DTT) merupakan senyawa pengganggu yang mereduksi protein untuk bereaksi dengan pewarna. Inkubasi kedua (setelah penambahan pereaksi Folin) pada sampel tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim yang lebih dari 20 menit kemungkinan menyebabkan asam amino glisin pada sampel bereaksi secara berlebihan dengan ion Cu2+ dalam pereaksi Folin, akibatnya intensitas warna biru yang terbentuk pada sampel tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim lebih rendah daripada tepung tempe mentah perlakuan tanpa penambahan enzim, sehingga daya cerna protein relatif yang terukur bernilai negatif.

5. KESIMPULAN Berdasarkan percobaan yang dilakukan terhadap beberapa sampel tepung berbahan dasar kedelai dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki daya cerna protein tertinggi berturut-turut adalah kasein, tepung kedelai matang, tepung kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe matang. Semakin besar penurunan pH sample
14

setelah diinkubasi memperlihatkan bahwa sample tersebut memiliki daya cerna protein yang tinggi, karena penurunan pH yang lebih cepat dalam kurun waktu tertentu menunjukkan bahwa protein lebih cepat melepaskan ion-ion hidrogen sehingga lebih banyak protein yang mudah dicerna oleh tubuh. Tepung kedelai matang memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi daripada tepung tempe yang telah mengalami proses fermentasi. Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh oleh sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.

6. DAFTAR PUSTAKA Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe, Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. Jakarta : PT Dian Rakyat

15

Damodaran S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam: Fennema, OR. (Ed.). Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York. Deshpande SS, Damodaran S. 1989. Heat induced conformational changes in phaseolin and its relation to proteolysis. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) Protein Structure and Molecular Enzymology 998: 179188. Duodu KG, Taylor JRN, Belton PS, Hamaker BR. 2003. Factors affecting sorghum protein digestibility. J of Cereal Sci 38: 117131. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1971. Technology production from soybean. Agriculture Service Bulletin, Roma. Fennema ON. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York. Guo X, Huiyuan Y, Zhengxing C. 2007. Effect of heat, rutin and disulfide bond reduction on in vitro pepsin digestibility of Chinese tartary buckwheat protein fractions. J of Food Chem 102:118122. Ikeda K, Oku M, Kusano T, Yasumoto K. 1986. Inhibitory potency of plant antinutrients towards the in vitro digestibility of buckwheat protein. J of Food Sci 51: 15271530. Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Owusu RK. 2002. Food Protein Analysis: Quantitative Effects on Processing. NewYork: Marcel Dekker. Palupi, Ns, FZ Zakaria, E Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP, Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB . Sugiyono. 2008. K a n d u n g a n Gizi Kedelai (terhubung berkala).

http://id.shvoong.com [22 September 2011] Vaintraub IA, Seliger P, Shutov AD. 1979. Action of pepsin on the reserve proteins of some leguminous seeds. Nahrung 23: 1521. Walker JM. 2002. The Protein Protocols Handbook. Totowa: Humana. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
16

17

You might also like