You are on page 1of 24

Kliping sejarah

TENTANG PERSEBARAN ADAT/KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA YANG MASIH ADA DI BALI

Disusun oleh: DEDE ADI NUGRAHA ( xDLMx_dhansheiA3 )

PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA

DINAS PENDIDIKAN

SMA NEGERI 1 SUKAHAJI


Tahun Pelajaran 2012-2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya Kliping ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Sebagaimana telah diberikan tugas kepada kami untuk membuat kliping tentang Persebaran adat/kebudayaan Hindu-Budha yang berada di Nusantara. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi/kliping ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orang Tua kami yang selalu memberikan fasilitas dan dorongan untuk bisa membuat kliping/kumpulan artikel-artikel ini. 2. Kepada tim/kelompok yang sangat kompak dalam pengerjaan kliping/kumpulan artikel-artikel ini dengan baik. 3. Narasumber terpecaya dalam pengerjaan ini yang sudah banyak membantu. Terima kasih atas semuanya. Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan ada nya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi generasi muda bahwa budaya Indonesia harus selalu dikenal oleh generasi muda yang akan datang. Semoga dengan kami membuat karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan motivasi bagi para pembacanya, khususnya bagi kami dan bagi para generasi muda yang akan datang, sehingga di Negara ini Kebudayaan nya masih sangat terjaga. Amin.

Penyusun,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN A. Upacara Adat Ngaben B. Upacara Mekotek C. Upacara Kajeng Kliwon D. Upacara Melasti E. Upacara Nyambutin F. Upacara Tutug Kambuhan G. Upacara Melarung Bumi/Mecaru Bumi H. Ogoh-Ogoh I. Penjor J. Ngurek K. Tari Barong & Tari Kecak DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN TRADISI HINDU-BUDHA DI INDONESIA

Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat Indonesia sebagai daerah yang dilalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia guna menunggu musim yang baik. Mereka pun melakukan interaksi dengan penduduk setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya dan agama Hindu-Budha di Indonesia dapat dibedakan atas 3 periode sebagai berikut. 1. Periode Awal (Abad V-XI M) Pada periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol sedang unsur/ ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara dan Mataram Kuno. 2. Periode Tengah (Abad XI-XVI M) Pada periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut disebabkan karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan dua atau lebih aliran). Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur seperti Singasari, Kediri, dan Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliranTantrayana yaitu suatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli dengan agama HinduBudha. Raja bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi bukan hanya rumah dewa tetapi juga makam leluhur. 3. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang) Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India.

AKULTURASI Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi. Akulturasi merupakan perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena: 1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia. 2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local geniusmerupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN
A. Upacara Adat Ngaben

Upacara Adat Ngaben terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu. Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak

lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah. Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli). Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya. Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu : 1. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan). 2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. 3. Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri). Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara

kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya. Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.

B. Upacara Mekotek

Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuanmemohon keselamatan. Upacara yang juga di kenaldengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali. Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk menyambut armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura. Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi. Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai

simbol kemenangan,Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu. Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda 1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut muncul wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa. Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi bencana. Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi. Ini adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata

C. Upacara Kajeng Kliwon

Upacara Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yaitu pada saat pertemuan Triwara Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon termasuk dalam upacara Dewa Yadnya, Dewa Yadnya sendiri mempunyai arti upacara korban suci/persembahan yang tulus ikhlaskepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi- Nya. Umat Hindu di Bali mempercayai Kajeng kliwon merupakan hari suci dan keramat yang harus diupacarai. Setiap 210 hari ada hari kajeng Kliwon khusus yang disebut Pemelastali atau Watugunung runtuh. Kajeng kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa yang diyakini pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Pada hari kajeng kliwon umat Hindu di Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, sedangkan di tanah, sesajen dan persembahan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Durgha Bucari. Sesajen yang dipersembahkan hampir sama dengan upacara kliwon yang dilakukan pada hari Kliwon biasa, hanya saja sesajen pada Kajeng Kliwon ini ditambah dengan nasi kepel lima warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning dan coklat, beberapa bawang putih dan tuak/arak berem. pada bagian atas, di ambang pintu gerbang harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. Dengan sesajen yang dipersembahkan ini diharapkan rumah tangga dan anggota keluarga mendapatkan keselamatan selain itu juga sebagai ungkapan rasa terima kasih atas apa yang telah diberikan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Umat Hindu Bali tetap taat menjalankan adat dan Tradisi agar keseimbanagn alam terus lestari.

D. Upacara Melasti

Pelaksaan Upacara Melasti dilakukan tiga hari (tilem kesanga) sebelum Hari Raya Nyepi, Upacara Melastibisa juga sebut upacara Melis atau Mekilis, dimana pada hari ini umat Hindu melakukan sembahyangan di tepi pantai dengan tujuan untuk mensucikan diri dari segala perbuatan buruk di masa lalu dan membuangnya kelaut,ini dilaksanakan sebelum merayakan Tapa Brata penyepian. Dalam lontar Sundarigama berbunyi seperti ini:"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata.". Sementara Melasti dalam ajaran Hindu Bali berbunyi nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol sumberTirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti sebagai rangkaian pelaksanaan perayaan Hari Raya Nyepi. Selain melakukan sembahyang, Melasti juga adalah hari pembersihan dan penyucian aneka benda sakral milik Pura (pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya) benda benda tersebut di usung dan diarak mengelilingi desa, ini bertujuan menyucikan desa, selanjutnya menuju samudra, laut, danau, sungai atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan sembahyangan bersama menghadap laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan tersebut diusung ke Balai Agung Pura desa. Sebelum Ngrupuk dilakukan nyejer dan selamatan. Umat Hindu di Bali berharap mendapat kesucian diri lahir batin serta mendapatkan

berkah dari Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Untuk menyambut Hari Raya Nyepi, pelaksaan upacara Melasti ini di bagi berdasarkan wilayah, di Ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Makna dari upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan benda benda yang di anggap sakral untuk dapat suci kembali dengan melakukan sembahyang dan permohon kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), lewat perantara air kehidupan (laut, danau, sungai ), dengan jalan dihayutkan agar segala kotoran tersebut hilang dan suci kembali. Upacara ini juga bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindu diberi kekuatan dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi. Pelaksanaan Ritual dan seluruh perlengkapan (pralingga atau pratima Ida Bhatara benda benda yang suci dan dianggap Sakral)harus sudah kembaliberada di bale agung selambat lambatnya menjelang sore. Pelaksaaan upacara Melasti dilengkapi dengan berbagai sesajen sebagai simbolis Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaituWisnu, Siwa, dan Brahma. serta Jumpana singgasana Dewa Brahma. Dalam Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti: 1. Mengingatkan agar terus meningkatkan baktinya kepada Tuhan (ngiring parwatek dewata). 2. Peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat). 3. Membangun sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu harus melakukan upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa). 4. Bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana). Pelaksanaan Upacara: 1. Upacara Melasti dimulai iring-iringan umat membawa sarana-sarana upacara serta jempana dan barong yang akan diarak menuju tempat sumber air (danau, sungai atau pantai yang letaknya tidak jauh dari Pura di desa terdekat) dengan diiringi tabuh beleganjur. 2. Setelah tiba di tepi sumber air, upacara Melaspas dilanjutkan dengan proses pengambilan air suci gunak membersihkan sarana-sarana

upacara termasuk jempana dan barong. Dalam pelaksanaan upacara ini dilakukan sembahyangan bersama. Setelah sembahyangan bersama seluruh sarana-sarana upacara serta barong dibawa kembali ke pura. 3. Upacara Melaspas kemudian dilanjutkan dengan upacara Tawur Agung yang dilaksanakan di pelataran parkir Pura. Dalam upacara Tawur Agung ini dihaturkan persembahan berupa caru yang ditujukan kepada para bhuta. Setelah penghaturan caru dilanjutkan dengan pengerupukan dengan membunyikan kentongan dan membakar obor. Obor dan suara dari kentongan tersebut dibawa berkeliling di areal Pura. Sesampainya kembali di pelataran parkir semua sarana upacara tersebut dibakar menjadi satu. 4. Upacara pengerupukan dan Tawur Agung ditutup dengan pelaksanaan kirtan Tri Murti di tempat pembakaran sarana upacara. Setelah kirtan, umat berisitirahat sambil menunggu pesiapan persembahyangan tilem. Persembahyangan tilem berjalan dengan khidmat dan lancar hingga usai. Pelaksanaan Upacara Melasti ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang saat menarik untuk disaksikan, bagi anda yang ini melihat keunikannya upacara Melasti, kita tunggu kedatangan anda ke Bali pulau Dewata.

E. Upacara Nyambutin

Upacara Nyambutin adalah upacara pemujaan dan permohonan kehadapan Hyang Widhi agar jiwa di si bayi diberkati dan benar-benar menyatu kembali kepada raganya, juga sebagai penegasan nama si bayi dan memohon izin dan berkah ke hadapan ibu pertiwi agar diizinkan mengijakkan kaki ke bumi.

Kata Nyambutin berasal dari kata sambut, jadi bila diuraikan mempunyai makna memberikan ucapan salam, selamat datang kepada bayi. Dalam istilah Bali ada sekala dan niskala, sekala untuk bayi itu sendiri (terlihat) dan niskala tidak terlihat, saat bayi lahir dipercaya dia tidak sendiri, dia lahir bersama temannya namun tidak terlihat jadi teman nya itu di namakan niskala. Upacara Nyambutin ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari/ 3 bulan sering juga disebut nelubulanin dan tuun tanah = 3 bulanan dan turun ke tanah, karena pada saat seumur itu si bayi mulai belajar duduk, dan di mandi kan sebagai penyucian atas kelahirannya di dunia. Dalam ajaran Hindu di kenal (Panca Yadnya) yang wajib dilaksanakan di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup lahir maupun batin, salah satunya adalah manusa yadnya yaitu suatu upacara pengorbanan suci demi kesempurnaan dan keselamatan hidup manusia baik saat berada di alam dunia maupun alam baka, Ada beberapa upacara yang berhubungan dengan Manusa yadnya dan salah satu nya upacara Nyambutin. Pelaksanaan upacara Nyambutin dipimpin oleh seorang Pemangku, upacara ini dilakukan di halaman rumah (ngatah), antara dapur dan rumah tengah dimana plasenta (ari-ari) si bayi di kubur, untuk sesajen (babaten) diletakan disebuah meja kecil. Sebelum upacara berlangsung, bayi dan orang yang mengikuti kegiatan upacara duduk dibelakang pimpinan upacara, lalu disiapkan daun dadap, benang dan kapas putih. Ritual upacara pemujaan ini di tujukan kepada Bhatara Surya, ini bermakna agar si bayi mendapat berkah, persembahan ini juga diberikan untuk para dewa, adapun dewa tersebut I Ratu Taksu Pengijen, I Ratu Gede di Dasar dan I Ratu Gede, lalu persembahan juga diperuntuk bagi dewa yang berada di bumi yaitu I Ratu Bagus Blangsingan, persembahan yang terakhir di berikan kepada Dewa Rajapati, dewa yang menjaga Plasenta (ari-ari) si bayi, semua persembahan ini mempunyai tujuan agar sang bayi mendapat perlindungan dan keselamatan dari Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) lewat menifestasinya Bhatara Surya. (Christian Riemenschneider,Brigitta Hauser-Schublin). Berbagai upacara, pemujaan dan persembahan yang dilakukan umat Hindu di Bali sebagai ungkapan dari rasa terima kasih ke hadapan Sang Pencipta, dengan melaksanakan upacara Nyambutin ini, dengan ketulus ikhlasan menjalankan nya, di harapan mendapat berkah dan karunia.

F. Upacara Tutug Kambuhan

Upacara Tutug Kambuhan bermakna membersihkan jiwa raga sang bayi dari pengaruh buruk, sedangkan untuk ibu membersihkan dari segala noda dan kotoran, ungkapan rasa berterima kasih kepada Nyama Bajang bayi atas bantuannya menjaga bayi sewaktu masih dalam kandungan juga mohon agar mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing. Tutug Kambuhan bisa juga disebut Bulan Pitung, Dina atau Macolongan, upacara ini dilaksanakan saat bayi berumur 42 hari, perhitungan ini mengikuti wuku yaitu selama 6 wuku, satu wuku 7 hari, jadi satu bulan Bali sama dengan 35 hari (5 minggu). Upacara ini termasuk dalam upacara manusaYadnya, Karena upacara ini dilakukan pada seorang manusia (bayi), manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia. Adapun yang dimaksud dengan Nyama Bajang adalah merupakan manifestasi kekuatan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) yang membantu tugas-tugas Kanda-Pat dalam hal menjaga dan memelihara bayi, sejak mulai tumbuhnya benih sampai saat kelahiran bayi. Setelah bayi lahir, tugas-tugas Nyama Bajang ini berakhir sedangkan yang dimaksud dengan Kanda-Pat adalah: Ari-ari, Lamas, Getih dan Yeh-Nyom. Berbeda dengan Nyama Bajang, Kanda-Pat selalu senantiasa menemani manusia, sejak bayi masih dalam kandungan sampai manusia menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia. Upacara Tutug Kambuhan ini sangat penting untuk dilaksanakan tepat pada waktunya, ini semua berguna unutk pembersihan raga bagi bayi, karena pada usia 42 hari, tali pusar sudah putus, lapisan kulit yang paling tipis sudah berganti, peredaran darah dan konsumsi makanan sudah lancar sehingga keringat, air mata, ludah, kencing, dan kotoran sudah keluar dan untuk pembersihan raga ibu ditandai oleh terhentinya aliran kotoran dari rahim. Upacara Tutug Kambuhan ini sebaiknya diusahakan terlaksana, walaupun sangat sederhana. Upacara ini merupakan batas waktu bagi kebersihan jiwa si bayi dan ibunya yang biasa disebut lepas sesebelan atau cuntaka. Setelah sesebelan/cuntaka ini bayi dan ibunya boleh diperkenakan masuk ke dalam

Pura, namun saat memasuki pura, ibu dilarang menyusui anak, karena air susu yang menetes membawa keletehan atau membuat kotor tempat suci. Sedangkan untuk sang ayah, batas waktu sesebelan/cuntaka adalah ketika si bayi putus tali pusarnya. Pada saat itu ayah harus melakukan natab bea kala dan ngayab prayascita. Upacara Tutug Kambuhan ini dipimpin oleh pendeta/Sulinggih dan dilaksanakan dirumah, ada 3 tempat lokasi dalam melakukan upacara ini yaitu: 1. Di dapur, pemujaan/persembahan terhadap Dewa Brahma. 2. Di tempat pemandian pemujaan/persembahan terhadap Dewa Wisnu. 3. Di sanggah kamulan pemujaan/persembahan terhadap Dewa Siwa. Pelaksanaan upacara diawali dengan membaca doa dan menghaturkan pujapuja oleh Pendeta/Sulinggih dengan mempersembahkan beberapa sesajen yang berfungsi untuk membersihkan jasmani bayi agar memperoleh kesucian, kesejahteraan, juga sebagai permohonan agar diberikan kesuksesan hidup, lalu diadakan upacara byakala untuk pembersihan lahir dan bathin juga menghilangkan segala bentuk pengaruh-pengaruh negatif, upacara selanjutnya dilukatdan natab, rangkaian upacara Tutug Kambuhan ini diakhiri dengan melakukan persembahyangan.

G. Upacara Melarung Bumi/Mecaru Bumi

Upacara Melarung Bumi disebut juga Mecaru Bumi, upacara ini bermakna membersihkan bumi dari pengaruh buruk dan negatif yang bisa merusak kehidupan manusia juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Dalam melaksanakan upacara Melarung Bumi ini, umat Hindu di Bali percaya ada 9 dewa yang di puja, adapun dewa dewa itu : Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Maheswara, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa, Dewa Sangkara, Dewa Indra/Sambu dan Dewa Siwa.

Dari ke 9 dewa ini, semuanya mempunyai peran penting dalam menjaga bumi beserta isinya, sedangkan maksud dan tujuan dari upacara ini adalah sebagai perwujudan rasa kepedulian kita manusia terhadap lingkungan alam yang kita diami dan tempati agar jangan sampai rusak dan binasa. Upacara Melarung Bumi ini dipimpin oleh seorang pendeta, dilakukan 1 hari, sementara upacara bisa dilakukan kapan saja, tergantung kondisi alam, apalagi saat terjadi musibah atau bencana, seperti kekeringan, tanah longsor, banjir, gempa, gunung meletus, maka wajib dilaksanakan upacara Melarung Bumi ini. Lokasi tempat upacara bisa dilakukan dimana saja, seperti di pura Agung, tempat suci, dan di rumah. Sarana upacara Melarung Bumi ini di sebut Banten Pakelem. Yang terdiri dari beberapa sesajen yang didalamnya termasuk hewan, seperti Ayam, Bebek, Kambing, Kerbau, Sapi dan lain sebagainya , hewan yang dipersembahkan tersebut jumlah dan jenisnya disesuaikan dengan tingkat upacara yang akan dilaksanakan. Umat Hindu di Bali mengenal tiga tingkatan dalam menjalankan upacara ke agamaan, adapun tingkatan tersebut : Rendah (Nista), sedang (Madya), dan tinggi (Utama), disesuai dengan tingkat kemampuan yang akan melaksanakannya. Setelah semua sarana persembahan disediakan, kemudian prosepsi upacara di mulai, saat upacara , dipanjatkan doa dan puji pujian diiringi dengan suara gamelan, lalu dilaksanakan sembahyang bersama yang di pimpin oleh pendeta. Akhir dari kegiatan upacara, semua sesajen yang telah disediakan di bawa ke laut, danau, sungai, kawah gunung, kemudian sesajen tersebut dilarungkan atau dihanyutkan. Ini semua bermakna membuang segala macam unsur negatif. Agar bumi beserta isi nya kembali suci dan lestari(jagaditalohjinawi). Dari rangakain kegitan upacara Melarung Bumi adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kehadapan yang Pencipta beserta manifestasinya yang telah menciptakan alam jagad raya lengkap dengan isi nya. Bali mempunyai berbagai kegiatan upacara keagamaan, dan salah satu nya adalah upacaraMelarung Bumi, dan bila anda ingin menyaksikan upacara ini datanglah ke Bali pulau para Dewata.

H. Ogoh-Ogoh

Ogoh-Ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian "Bhuta Kala" dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan "ogoh-ogoh" yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini. Pada saat "Pangrupukan" atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap Banjar (pemangku adat setingkat Kelurahan) di Bali akan berlomba dalam hal membuat "ogoh-ogoh" semenarik mungkin. Bila pembuatannya lebih bernilai seni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat Banjar yang membuatnya. Fungsi utama "ogoh-ogoh" adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana "ogoh-ogoh" tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan "Bhuana Agung" (alam raya) dan "Bhuana Alit" (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya, khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta (bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, "Bhuta Kala" digambarkan sebagai sosok yang besar menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam "Yakshagana", sebuah seni populer dari "Karnataka". Menurut mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata "rakshasa" mempunyai arti

"kekejaman", yang merupakan lawan dari kata "raksha" yang artinya "kesentosaan". Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita. Dengan keberadaan arak-arakan "Ogoh-Ogoh" yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi "Ogoh-Ogoh" pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

I. Ngurek

Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (diluar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan disejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying, Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek berasal dari kata urek yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,

tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan. Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying. Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka. Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanyaBarong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi. Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari: 1. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan. 2. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan. 3. Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata. Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata,

ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama. Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.

J. Tari Barong & Tari Kecak

Tari Barong dan Tari Kecak adalah dua jenis tarian tradisional Bali yang sangat terkenal di dunia kepariwisataan baik di tanah air maupun dunia. Kedua

tarian ini seringkali dijadikan media promosi paket-paket wisata Bali oleh setiap agen atau biro perjalanan wisata sehingga kedua tarian tradisional itu menjadi ikon yang melambangkan budaya Bali. Hampir semua agen atau biro perjalanan wisata yang menyelenggarakan paket wisatanya di Bali, selalu mebawa tamu mereka atau wisatawan untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak. Ada beberapa tempat yang menyelenggarakan kedua tarian tersebut, di antaranya salah satu tempat terkenal yang setiap harinya mengadakan pertunjukkannya adalah di desa Batubulan, kabupaten Gianyar. Selain itu, ada juga beberapa tempat lain, seperti di kawasan obyek wisata Pura Uluwatu, dan tempat lainnya yang digelar di daerah Kesiman serta Suwung, yang masih termasuk dalam wilayah ibukota Denpasar. Pada umumnya tari Kecak ataupun tari Barong itu diadakan oleh suatu kelompok (sekeha) seni tari tradisional yang ada di setiap desa-desa atau banjarbanjar di Bali. Seperti di desa Batubulan kecamatan Gianyar, terdapat beberapa sekeha yang memiliki jenis tarian yang sama dengansekeha lainnya. Perbedaan masing-masing kelompok itu hanya pada bentuk pelayanan dan tempat pertunjukkannya. Pada umumnya pertunjukkan di Batubulan, tarian pertama yang digelar untuk pengunjung atau wisatawan adalah tarian Barong yang digabung dengan tari lain yaitu tari Keris, sehingga tarian itu dikenal juga dengan nama "Tari Barong dan Keris". Untuk menyaksikan tarian ini setiap akan diberikan semacam panduan cerita tarian dalam bentuk tulisan. Panduan cerita ini ditulis dalam berbagai bahasa di dunia sehingga memudahkan bagi setiap pengunjung yang umumnya datang dari berbagai bangsa. Tari Barong menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. Barong melambangkan kebaikan sedangkan pihak musuhnya adalah Rangda yang mewakilkan kejahatan. Tari Barong ini diperankan oleh dua orang penari yang memakai topeng binatang mirip harimau, sama seperti pertunjukkan barongsai pada kebudayaan Cina. Sedangkan Rangda berupa topeng yang berwajah menyeramkan dengan dua gigi taring runcing di mulutnya. Tarian ini dibuka dengan gending pembuka (gamelan) yang dibawakan oleh sekeha gamelan. Para penabuh gamelan ini berada di sebelah kanan panggung yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pertunjukkan tarian tersebut secara keseluruhan. Sebab tari Barong sangat tergantung pada irama-irama tabuh dari alat musik gamelan tersebut. Seperti halnya pertunjukkan-pertunjukkan drama, pertunjukkan tari Barong ini dari awal hingga akhir terdiri dari lima babak, yang pada babak pertama diawali dengan fragmen atau semacam pengantar cerita. Alur dari pertunjukkan tari ini mengartikan nilai filosofi yang menyatakan bahwa peperangan antara kebaikan dan kejahatan di dunia ini selalu ada serta berlangsung terus menerus. Pertunjukkan tari Barong ini biasanya hanya berlangsung selama satu jam. Sedangkan "Tari Kecak" merupakan pertunjukan kesenian tari khas Bali yang diciptakan sekitar tahun 1930 dan dimainkan oleh laki-laki. Tari ini diperankan

oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang posisinya duduk berbaris membentuk suatu lingkaran dengan diiringi irama tertentu yang menyerukan "cak" secara berulang kali, sambil mengangkat kedua lengan. Tari Kecak ini menggambarkan kisah Ramayana di mana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Pada mulanya tari Kecak ini berasal dari ritual tarian "Sang Hyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada dalam kondisi yang tidak sadar (trance). Dalam hal ini penari tersebut sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan atau kepada para roh leluhur yang kemudian menyampaikan keinginan dan harapan kepada masyarakatnya. Para penari yang duduk melingkar itu mengenakan kain bermotif kotak-kotak seperti papan catur yang mengikat pada pinggang mereka. Selain penari tersebut, ada pula beberapa penari lainnya yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana, seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa. Iring-iringan lagu atau musik yang mengiringi tari Kecak selama berlangsung diambil dari ritual tarian Sanghyang, yang tidak menggunakan alat musik. Akan tetapi hanya menggunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana. Sekitar tahun 1930-an seniman Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis asal Jerman yaitu Walter Spies menciptakan kreasi tari Kecak berdasarkan tradisi tari Sanghyang yang digabungkan dengan mengambil bagian-bagian dari kisah Ramayana. Wayan Limbak memperkenalkan dan mempopulerkan tari Kecak ini saat ia berkeliling dunia bersama rombongan penari Balinya.

DAFTAR PUSTAKA
R. Soekmono, Dr., 1995, Pengantar Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,

Sartono Kartodirdjo, dkk., 1977, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka Chalif Latif dan Irwin Lay, Atlas Sejarah, Jakarta: Pembina Praga, 1993. Edhie Wurjantoro, Sejarah Nasional dan Umum I, Jakarta: Depdikbud, 1996. Soekmona R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II , Yogyakarta: Kanisius,1973.Sartono Kartodirjo, Marwati Djoned Poeponegoro, Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia II, Jakarta: Depdikbud, 1973. Supartono Widyosiswoyo, Sejarah I, Klaten: Intan, 1979. Truyana, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum SMU I, Jakarta: Sumber bahagia,1995.

Dhan_di@rocketmail.com

You might also like