You are on page 1of 6

Proses Perubahan Perilaku

Tujuan promosi kesehatan adalah mempengaruhi perilaku, sehingga pemahaman tentang proses perubahan perilaku menjadi sangat penting agar strategi promosi kesehatan berhasil. Pada intinya promosi kesehatan adalah proses mengomunikasikan kesehatan yang didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku, yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit atau melindungi individu-individu terhadap bahaya. Kegiatan promosi kesehatan sangat dipengaruhi oleh komunikasi, psikologi, dan berbagai ilmu yang berhubungan dengan perilaku. Tugas utama praktisi promosi kesehatan adalah memotivasi orang agar memilki perilaku yang mendukung status kesehatan. Ada empat faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sehat yaitu motivasi, kemampuan , persepsi dan kepribadian. Motivasi adalah suatu kekuatan yang mendorong orang berperilaku tertentu. Kemampuan menunjukkan kapasitas seseorang. Persepsi adalah bagaimana seseorang menafsirkan informasi secara seksama, sehingga perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, sedangkan kepribadian adalah karakteristik seseorang yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan dan kemauan. A. Motivasi dalam Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan seperti halnya perilaku manusia yang lain, dimotivasi oleh suatu stimulus / rangsangan yang berasal dari lingkungan seseorang. Respons yang timbul dari suatu stimulus dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan kesehatan. misalnya, karena tidak mampu menaiki tangga gedung bertingkat, membuat seseorang berusaha untuk melatih kebugaran lebih giat lagi (berhubungan dengan kesehatan) atau berusaha mencari lift (tidak berhubungan dengan kesehatan). Motivasi yang menimbulkan perilaku kesehatan sering hanya berkaitan dengan kesehatan tetapi dengan keindahan, misalnya 60 % orang yangi ikut senam kebugaran adalah karena alasan keindahan seperti menurunkan berat badan, mendapatkan tubuh yang bugar, langsing. Bila orang tertarik meneruskan senam kebugaran hingga sedikitnya 3 bulan biasanya memiliki alasan lain selain alasan fisik, misalnya karena secara mental merasa lebih baik. Dimensi motivasi terhadap perilaku, dari penjelasan di atas, berarti bersifat dinamik tidak statik, dan dapat mencerminkan tingkat pencapaian seseorang terhadap perilaku tertentu. Mengubah perilaku terbukti efektif untuk mengubah banyak faktor masalah kesehatan seperti penyalah gunaan obat dan pengendalian berat badan. Proscha dan DiClimente mendiskripsikan bahwa ada beberapa fase perubahan perilaku. Pemahaman terhadap fase-fase ini dapat membantu petugas kesehatan untuk menuntun perubahan pada klien dari satu fase ke fase berikutnya. a. Fase pre kontemplasi. Pada fase ini klien tidak memiliki kesadaran untuk berubah. Promosi kesehatan pada fase ini harus difokuskan pada meningkatkan kesadaran terhadap perilaku tidak sehat. Pertanyaan yang tidak menghakimi seperti bagaimana pendapat anda tentang merokok memungkinkan orang untuk berfikir terhadap perubahan perilaku.
1 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

b. Fase kontemplasi. Fase mulai terjadi perubahan perilaku. Klien sudah memiliki motivasi untuk berubah. Mendorong klien ke arah perubahan merupakan tindakan yang sesuai untuk fase ini. c. Fase komitmen. Klien sudah memiliki niat serius untuk berubah. Pada fase ini petugas kesehatan membantu menterjemahkan niat menjadi rencana tindakan, strategi mengatasi masalah dan mengidentifikasi sumber-sumber yang mendukung. Buatlah jadwal untuk mengubah perilaku dan mereview kemajuan secara periodik. d. Fase tindakan. Klien mengubah perilakunya. Dukungan selama fase ini dapat berupa konsultasi teratur, kelompok pendukung melalui teman, keluarga, telefon atau kombinasi. e. Fase maintenens. Klien berusaha menjaga perilaku barunya. Strategi koping yang telah diidentifikasi sebelumnya sangat diperlukan. Selain itu dukungan yang berkelanjutan juga vital karena sebagian besar klien gagal pada awal maintenens ini. f. Fase relaps. Pada fase ini mereka kembali ke perilaku lamanya. Petugas kesehatan harus mengidentifikasi alasan terjadinya relaps dan mengarahkan lagi ke fase kontemplasi. Rata-rata perokok memerlukan tiga kali siklus sebelum berhasil berubah perilakunya. g. Fase keluar. Fase dimana perubahan perilaku kesehatan telah terjadi dan dapat dijaga keberlanjutannya.

B. Konsep Risiko sebagai Penentu Perubahan Perilaku Bila teori perilaku individu diterapkan pada situasi kesehatan, maka yang dianggap sebagai faktor penentu respons individu adalah tingkat beratnya risiko atau penyakit. Harper, Holmann dan Dawes (1994) menggambarkan risiko kesehatan sebagai berikut:
Konsep risiko didasarkan pada adanya hubungan antara penyakit dan beberapa atribut atau faktor risiko. Pada kelompok dengan faktor risiko tertentu memiliki insidensi penyakit lebih tinggi dibanding bila tidak ada faktor risiko. Meskipun sebagian proporsi kelompok yang berisiko menderita penyakit, tetapi ada sebagian lain yang tidak terkena penyakit. Contoh populer adalah terjadinya kanker leher rahim pada kelompok yang berhubungan seks dini. Di antara kelompok ini ada yang menderita kanker leher rahim, tetapi ada juga yang tidak terkena kanker leher rahim. Sebaliknya ada juga orang yang tidak berhubungan seks dini tetapi terkena kanker leher rahim, meskipun memang lebih sedikit. Risiko berarti ada asosiasi dan bukan penyebab. Hal ini berarti bahwa risiko seperti hubungan seks dini, multi partner, penyakit menular seksual mungkin saja sebagai agen penyebab. Konsep faktor risiko tidak menjelaskan sebab timbulnya penyakit atau mengapa beberapa individu yang terpapar faktor risiko tidak menjadi sakit.

Secara umum, bila seseorang mengetahui ada risiko terhadap kesehatan maka secara sadar orang tersebut akan menghindari risiko tersebut. Sayangnya tidak sesederhana itu. Risiko adalah konsep sehari-hari, yang ada dalam semua aspek perilaku. Misalnya ada risiko kecelakaan bila menyeberang jalan yang ramai, ada risiko kehilangan sahabat karena memiliki teman dekat lain, risiko kehilangan uang bila melakukan investasi.
2 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

Bukan hanya karena adanya beberapa risiko yang memang tidak dapat dihindari, tetapi biasanya perilaku yang menyerempet risiko kadangkala memberikan kepuasan intrinsik pada orang tersebut yang mungkin diterjemahkan sebagai tantangan. Bahka beberapa orang berpendapat bahwa hidup tanpa risiko adalah seperti makan tanpa cabe yang pedas. Beberapa risiko dianggap masih dapat diterima, misalnya seperti pengamatan Covello :
Orang sering tidak peduli bahwa risiko kematian oleh karena mengemudi adalah satu per seratus. Tetapi orang akan sangat terkejut sewaktu mengetahui bahwa tumbuhan yang tercemar zat kimi akan meningkatkan risiko kematian karena kanker satu per sejuta.

Akhir-akhir ini dalam pemberitaan media sering dimunculkan tentang faktor risiko penyakit tertentu yang kadang-kadang bersifat sensasional sehingga justru menimbulkan keresahan dan kecemasan bila termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Individu menjadi diberi label oleh risiko tertentu pada semua aspek kehidupannya mulai dari status perkawinannya sampai dengan pilihan makanannya. Hidup memang penuh dengan risiko dan adanya risiko tidak berarti sama dengan adanya penyakit tertentu.

C. Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan Meskipun tidak ada formula tertentu, kecenderungan seseorang untuk memiliki motivasi berperilaku kesehatan yang baik dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Hal ini didukung juga oleh insentif yang diperoleh dari masyarakat / lingkungan (socioenvironment) agar perilaku tersebut berlanjut atau hilang. Banyak teori yang mendasari terjadinya perilaku kesehatan. Pendapat umum menyatakan bahwa adanya pengetahuan yang cukup akan memotivasi individu untuk berperilaku sehat. Pendapat ini mengacu pada model perilaku knowledgeaction. Kenyataannya pengetahuan tidak cukup untuk mengubah perilaku. Contoh yang jelas adalah informasi mengenai bahaya HIV /AIDS terhadap perilaku berisiko unsafe sex, tetapi masih banyak orang di dunia ini yang tetap melakukan aktivitas seks tanpa pelindung. Mengapa demikian? Pertama, orang dipenuhi dengan informasi yang banyak sekali (pengetahuan). Orang akan mempersepsi informasi tersebut sesuai dengan predisposisi psikologisnya, yaitu akan memilih atau membuang informasi yang tidak dikehendaki karena menimbulkan kecemasan atau mekanisme pertahanan. Misalnya ibu hamil yang perokok berat akan bangkit menuju lemasi es mengambil makanan, sewaktu ada tayangan iklan anti merokok di televisi, karena tidak mau berhadapan dengan kecemasan yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Ke dua, setelah menerima stimulus, tahap selanjutnya adalah interpretasi oleh individu sesuai dengan pengalaman pribadinya. Pada proses ini timbul respons tergantung latar
3 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

belakang atau pengalaman yang mempengaruhi nilai dan sikap individu. Misalnya makanan dipersepsi sebagai penyelamat hidup bagi orang yang kelaparan, tetapi dipersepsi sebagai pantangan bagi orang yang cemas dengan kenaikan berat badannya. Terakhir, input yang diterima dan dianalisis tersebut harus memiliki arti personal (kepentingan) bagi individu sehingga akan timbul tindakan. Persepsi bahwa makanan tertentu baik untuk mengendalikan berat badan tidak bermakna bagi orang yang tidak ingin menurunkan berat badan. Pengetahuan berubah secara bertahap sebelum menjadi perilaku tampak seperti pada gambar 1 di bawah ini.

Tindakan kesehatan Kepentingan

Interpretasi

Persepsi

Pengetahuan

Gambar 1. Tahap-tahap perubahan pengetahuan menjadi perilaku Beberapa hal yang dapat dipelajari dari gambar 1 ini adalah : Pada beberapa kasus pengetahuan cukup untuk mengubah perilaku, tetapi pada kasus yang lain tidak cukup atau bahkan tidak diperlukan. Belum tentu orang selalu mengetahu perilaku kesehatan yang seharusnya, dan belum tentu bila orang sudah berpengatahuan dijamin akan berubah perilakunya. Bila pengetahuan dianggap diperlukan, berikan sesuai bahasa audiens. Perubahan pengetahuan menjadi tindakan dan perilaku tergantung pada faktor internal dan eksternal yang meliputi nilai, sikap dan kepercayaan. Bagi sebagian besar individu mengubah pengetahuan menjadi perilaku memerlukan keterampilan tertentu.

Selanjutnya pada gambar 2 berikut, menggambarkan terjadinya perubahan perilaku. Kita harus merumuskan perubahan perilaku yang ingin dicapai dan ruang lingkup materi komunikasi yang bisa digunakan untuk mencapai perubahan perilaku tersebut. Setiap orang
4 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

berbeda-beda dalam menapaki tahapan-tahapan di atas, ada yang cepat ada yang lambat, ada yang meloncati satu tahapan ke tahapan berikutnya tetapi ada juga yang turun kembali ke tahapan sebelumnya. Semua itu merupakan prosese seseorang atau sekelompok orang dalam perubahan perilakunya.

Advokasi

Praktik

Niat

Persetujuan

Pengetahuan

Gambar 2. Tahap-tahap perubahan pengetahuan menjadi advokasi

D. Hubungan Sikap, Nilai dan Perilaku Agar dapat menjadi perilaku maka pengetahuan harus masuk dalam diri seseorang sehingga mempengaruhi sikap dan nilainya terhadap kesehatan. Nilai seseorang terhadap sesuatu akan membentuk sikap orang tersebut. Misalnya adanya nilai bahwa badan yang ideal adalah langsing, maka akan mendorong orang bersikap positif terhadap program pengendalian berat badan. Pemahaman adanya keterkaitan antara nilai dan sikap mendorong pemahaman bila terjadi ketidakselarasan antara pengetahuan dan perilaku (terjadi disonasi). Orang merasa nyaman bila antara pengetahuan dan perilaku mereka selaras, namun bila tidak selaras orang akan menunjukkan gejala menghilangkan atau menghindari ketidakselarasan tersebut. Sehingga jelas di sini bahwa tidak ada garis linier antara sikap menjadi perilaku. Seringkali sikap berubah dahulu baru perilaku atau sebalinya perilaku berubah dahulu baru sikapnya. Misalnya sering orang beranggapan bahwa mengubah sikap pada perokok yang tetap merokok meskipun memiliki sikap negatif terhadap merokok. Di sisi lain berhenti merokok sering menstimulus terjadinya sikap negatif terhadap merokok. Ketidakselarasan yang ditunjukkan di atas oleh Shet dan Frazier diformulasikan dalam model bauran strategi perubahan perilaku (1982) pada gambar 3 berikut.
5 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

Perilaku Melakukan 1.

Tidak melakukan

3.

Sikap Positif Proses penguatan 2. a. Perubahan sikap perilaku, b. Psikologis Proses induksi : perubahan 4. perilaku

Negatif Proses rasionalisasi

Proses konfrontasi a. Perilaku b. Psikologis

Gambar 3. Tipologi bauran strategi perubahan sosial terencana

Bila sikap dan perilaku konsisten ke arah melakukan (sel 1) diperlukan proses penguatan untuk mempertahankan perilaku tersebut. Hal ini dapat dikerjakan dengan memperkuat sikap atau perilaku. Contohnya orang yang memiliki sikap positif terhadap perawatan antenatal (ANC) dan juga melakukan ANC secara teratur didukung untuk tetap bersikap positif bahwa perilaku tersebut bermanfaat dan membantu orang untuk melakukan ANC. Bila sikap positif dan perilaku tidak dilakukan (sel 3) perlu dikerjakan proses induksi yang ditujukan untuk meminimalkan atau menghilangkan halangan sosioekonomik, waktu dan tempat misalnya meringankan biaya ANC. Bila perilaku dilakukan namun sikap negatif (sel 2), tindakan yang tepat adalah dilakukan rasionalisasi misalnya menghubungkan ANC dengan kesehatan ibu dan bayi. Pada sel 4 yaitu tidak adanya sikap dan perilaku maka dilakukan proses konfrontasi misalnya mengingatkan orang tentang risiko tidak melakukan olahraga terhadap kesehatan.

6 |P r o s e s P e r u b a h a n P e r i l a k u

You might also like