You are on page 1of 24

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

ISSN 2088-3153

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


Volume 2 Nomor 9 September 2012

Redaksi menerima tulisan/artikel dan saran/kritik yang ditujukan kepada:

Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : tinjauan.ekon@gmail.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

ISSN 2088-3153 ISSN 2088-3153 ISSN 2088-3153

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
VOLUME 2 NOMOR 9 SEPTEMBER 2012

REDAKSI Pembina
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

DAFTAR ISI
Editorial Rubrik Agenda Koordinasi Setahun Implementasi MP3EI Rubrik Ekonomi Makro Inflasi Agustus 2012: Bertemunya Faktor Musiman Ramadhan dan Pendidikan Peningkatan Kinerja Ekspor Juli 2012 Rubrik Ekonomi Internasional Pelajaran dari Krisis Eropa Terhadap Keuangan Regional dan Integrasi Finansial di Asia Timur Rubrik Keuangan Transaksi Multilateral sebagai Pola Perdagangan Berjangka Masa Depan Rubrik APBN RAPBN 2013: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi Regulasi Lindung Nilai Valuta Asing Rubrik Utama Kompatibilitas Utang Luar Negeri dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Pelajaran dari Irlandia Wawancara dengan Arlyana Abubakar: Peran Bank Indonesia dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia Wawancara dengan Bhimantara Widyajala: Peran Pemerintah dalam Mengelola Utang Luar Negeri Utang Luar Negeri Swasta Meningkat Rubrik Ekonomi Daerah Obligasi Pemda Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Rubrik Penyaluran KUR Realisasi Penyaluran KUR Agustus 2012 Rubrik Opini Pakar Wawancara dengan Prof. Hermanto Siregar: Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia 1

Pengarah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan

3 4

Koordinator
Bobby H. Rafinus

Kontributor Tetap
Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Rista Amallia Windy Pradipta Alexcius Winang Masyitha Mutiara Sandra Kurniawati Fauzia Suryani Putri Komite Kebijakan KUR

10

KontributorEdisi Ini
Gede Edy Prasetya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi

11 13 14 15 16

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

17

Redaksi menerima tulisan/artikel dan saran/kritik yang ditujukan ke email: tinjauan.ekon@gmail.com

19

20

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010

EDITORIAL
Kegiatan peringatan hari Kemerdekaan RI 67 dan hari raya Idul Fitri 1433 H yang berdekatan telah mendorong inflasi lebih tinggi dari perkiraan. Kenaikan harga umum mencapai 0,95% (mtm) selama Agustus 2012 sehingga infasi tahunan sedikit meningkat dari 4,56% (yoy) Juli 2012 menjadi 4,58% (yoy). Kenaikan harga pada tingkat konsumen terutama berasal dari kelompok barang bahan pangan, makanan jadi, transportasi udara dan antar-kota. Langkah penyesuaian struktural semakin penting bagi Indonesia karena menjadi salah satu tujuan pergerakan arus modal global, berkat diperolehnya peringkat investmentgrade. Utang swasta meningkat pesat dalam dua triwulan pertama tahun 2012 sehingga jumlahnya telah melebihi utang pemerintah dan bank sentral. Rasio kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga total terhadap pendapatan ekspor (debt service ratio) telah Faktor perubahan harga komoditi melewati 30% pada triwulan II-2012. internasional dan arus modal jangka Meskipun masih dalam rentang yang Sementara itu defisit neraca pendek saat ini masih menjadi aman, ketidakpastian kinerja ekspor perdagangan Juli 2012 mencapai USD penentu kinerja neraca pembayaran dan nilai tukar Rupiah yang tertekan 177 juta, jauh menurun dibanding Indonesia. Arah perubahannya relatif dapat meningkatkan persepsi resiko USD 1,3 milyar pada Juni 2012. sulit diprediksi dalam suasana dari investor global terhadap Perkembangan ini memberikan perekonomian global yang masih perekonomian Indonesia. Langkah kelegaan bahwa ada potensi ekspor dilanda ketidakseimbangan eksternal pendalaman sektor keuangan perlu nonmigas membaik dan impor antar-negara, instabilitas sektor terus digiatkan agar sumber pinjaman terkendali. Faktor perbaikan harga keuangan di beberapa negara, serta dari dalam negara lebih kompetitif. pada beberapa komoditi seperti arus modal yang cenderung Demikian juga perbaikan iklim CPO, bijih besi, dan produk kimia di bergejolak. Untuk menghadapinya investasi dan akselerasi pembangunan pasar internasional mendorong penyesuaian struktural pada infrastruktur agar momentum ekspor non migas tumbuh 5,04% perekonomian negara-negara maju peningkatan kegiatan investasi sektor (mtm). Ekspor migas juga meningkat dan yang sedang tumbuh (emerging manufaktur terus berlanjut. didorong kenaikan harga minyak countries) disarankan oleh IMF dalam dunia. Sementara pada sisi impor, (Bobby H. Rafinus) laporan Pilot External Sector Report terjadi penurunan impor migas yang yang terbit Juli 2012. relatif cepat dan impor non migas melambat. Selain perbaikan harga internasional, faktor pelemahan Rupiah dan inflasi yang terjaga telah meningkatkan daya saing komoditi ekspor non-migas.Pemulihan neraca perdagangan ini memberikan optimisme perbaikan defisit neraca pembayaran Indonesia pada triwulan III-2012, yang antara lain terindikasi dari peningkatan cadangan devisa menjadi USD 109 milyar pada akhir Agustus 2012. Indikator Ekonomi
Indikator
Inflasi (% yoy) Indeks Harga Saham Gabungan Harga Minyak ICP (USD per barel) Indeks Harga Perdagangan Besar Cadangan Devisa* (USD milyar) Nilai Tukar Petani Nilai Tukar (Rp/USD) Pertumbuhan Ekonomi Tw.1-2012 (%) Tingkat Pengangguran (Feb. 2012) (%) *kumulatif, NPI : Neraca Pembayaran Indonesia

Aug 2012
4,58% 4.060,33 112,02 191,81 108,99 105,26 9.560 6,40 6,32

Juli 2012
4,56% 4.142,34 102,88 190,76 106,6 104,96 9.485 Ekspor (USD miliar) Impor (USD miliar)

Indikator
Utang Pemerintah* (USD milyar)

Juli 2012
205,60 16,2 16,3 701,2 11,78

Juni 2012
204,47 15,4 16,7 695,5 11,79

Wisatawan Mancanegara (ribu orang) Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) Belanja Negara APBN-P 2012 (Rp. Tr)* Pendapatan Negara APBN-P 2012 (Rp. Tr)* Tingkat Kemiskinan (Maret, 2012) (%) Neraca Keseluruhan NPI Tw I-2012 (USD miliar)

1.548,3 1.358,2 11,96% -1,03

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Agenda Koordinasi

Setahun Implementasi MP3EI


Tahun lalu yaitu tepatnya tanggal 27 Mei 2011, Pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI). Dokumen ini merupakan cetak-biru akselerasi pembangunan selama periode 2011-2025 yang akan menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi. Keberhasilan misi MP3EI tersebut bergantung kepada kemampuan menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Pelaksanaan MP3EI bertumpu pada tiga strategi yang mencakup (i) pembangunan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, (2) penguatan konektivitas nasional dan (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah setahun pelaksanaan MP3EI, perlu diidentifikasi tantangan serta estimasi dampaknya bagi pembangunan Indonesia. Pada tahun 2011, realisasi proyek Ground Breaking (GB) tercatat sekitar 87 persen dari target yaitu 99 proyek dari 114 proyek atau dengan nilai Rp 356 triliun dari Rp 420 triliun. Realisasi proyek GB tersebut terdiri atas 49 proyek sektor riil senilai Rp 194 triliun dan 50 proyek infrastruktur senilai Rp 162 triliun. Sedangkan selama tahun 2012 (hingga Juli 2012), realisasi proyek GB mencapai 65 persen atau 36 proyek dari target 59 proyek atau senilai Rp 140 triliun dari Rp 370 triliun. Realisasi proyek tersebut terdiri atas 9 proyek sektor riil senilai Rp 89 triliun dan 27 proyek infrastruktur senilai Rp 51 triliun. 2 Selama setahun berjalan, Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) yang diketuai oleh Presiden telah mengidentifikasi beberapa tantangan dalam implementasi MP3EI yang sebagian besar terkait dengan hal perizinan dan tumpang tindih peraturan. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya seputar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan (IUP), ketidaktersediaan RTRW serta izin pembangunan pelabuhan khusus. Selain itu juga terdapat masalah prasarana khususnya yang terkait dengan pasokan energi seperti gas industri di Jawa. Masalah lain yang juga dihadapi adalah keberatan pihak swasta atas regulasi pemerintah dalam hal ini pelaksanaan Permen ESDM 07/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Berdasarkan identifikasi tersebut, keberhasilan MP3EI diantaranya sangat dipengaruhi oleh peran serta pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. Peran Pemerintah Daerah dapat diwujudkan melalui pembentukan tim kerja KP3EI tingkat daerah. Pemerintah Daerah berperan menetapkan peraturan yang mendukung iklim investasi seperti percepatan perizinan dan antisipasi tumpang tindih peraturan. Hasil analisa tim kerja KP3EI memperkirakan dampak MP3EI pada tahun 2030 bagi masing-masing koridor diantaranya tampak pada pertumbuhan PDRB-nya. PDRB Koridor Kalimantan pada periode 2010-2030 diperkirakan meningkat 2-3 kali lipat. Kemudian PDRB Koridor Sumatera dan Sulawesi diperkirakan meningkat 3-4 kali lipat. Selanjutnya, Koridor Jawa dan BaliNusa Tenggara diharapkan mampu meningkatkan PDRB hingga 4-5 kali lipat. (bersambung ke halaman 6) 1

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Makro

Inflasi Agustus 2012: Bertemunya Faktor Musiman Ramadhan dan Pendidikan


Inflasi bulan Agustus 2012 sebesar 0,95% mtm atau 4,58% yoy, meningkat dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,70% mtm atau 4,56% yoy. Ada 3 faktor penyebab kenaikan tersebut, yakni faktor musiman domestik (Ramadhan dan Idul Fitri), dimulainya tahun ajaran baru dan gejolak harga global (jagung, gandum, kedelai dan emas). Inflasi volatile food tercatat sebesar 1,46% mtm atau 7,76% yoy. Harga komoditas yang melonjak antara lain tarif angkutan udara, ikan segar, tahu mentah, tempe, tarif angkutan antar kota, biaya pendidikan dan daging sapi. Lonjakan tarif angkutan udara juga terjadi karena harga jasa angkutan meningkat sebelum dan sesudah lebaran. Kenaikan harga rata-rata sebesar 13,78%. Sementara kenaikan harga rata-rata tarif angkutan antar kota sebesar 13,99%. Kenaikan tarif angkutan antar kota lebih dari dua kali lipat rata-ratanya dalam lima tahun terakhir yang sekitar 6,5%. Ikan segar mengalami kenaikan harga karena kurangnya pasokan dan tingginya permintaan. Tahu dan tempe juga mengalami kenaikan harga. Gejolak harga pangan global (kedelai) sudah berdampak signifikan pada komoditas tahu dan tempe. cabai merah dan bawang merah karena melimpahnya pasokan. Inflasi inti tercatat sebesar 0,97%mtm atau 4,16% yoy, secara bulanan meningkat dari bulan sebelumnya. Tekanan eksternal (kenaikan harga global) dan domestik (faktor musiman ramadhan dantahun ajaran baru) mendorong naiknya inflasi inti.

Inflasi administered prices meningkat meski masih relatif rendah yakni Biaya pendidikan di semua level 0,35% mtm atau 2,78% yoy. pendidikan (SD, SLTP, SLTA dan Peningkatan administered prices perguruan tinggi) mengalami karena faktor musiman (kenaikan peningkatan terkait tahun ajaran angkutan mudik terutama kereta baru. Kenaikan tertinggi terjadi pada api) dan kenaikan harga minyak uang kuliah pendidikan tinggi. global. Beberapa komoditas lain yang mengalami kenaikan harga antara lain daging sapi karena pasokan yang belum memadai.Sementara komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain telur ayam ras, daging ayam ras, 2 Secara spasial seluruh 66 kota pada bulan ini mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di kota Palu sebesar 2,81% mtm dan terendah kota Medan sebesar 0,11% mtm. Masih ada beberapa potensi resiko yang memberikan tekanan inflasi di waktu mendatang,antara lain kenaikan harga gas industri sebesar 35% dan rencana pengaturan importasi hortikultura. Sebagai antisipasi, perlu langkah penguatan koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pengendalian inflasi mencakup aspek ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi barang dan komunikasi yang efektif. (Mamay Sukaesih)

Perkembangan Inflasi

Referensi: Analisis Inflasi, Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Makro

Peningkatan Kinerja Ekspor Juli 2012


BPS merilisperdagangan bulan Juli 2012 menunjukkan perkembangan neraca perdagangan yang lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun masih mengalami defisit, besaran defisit perdagangan Juli 2012 sebesar USD 0,18 miliar jauh lebih kecil dibandingkan defisit Juni 2012 yang mencapai USD 1,29 miliar.Jika dibandingkan dengan Juli 2011, neraca perdagangan mengalami kontraksi (penurunan pertumbuhan) sebesar minus 115% (yoy). Defisit perdagangan Juli 2012 yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya ini disebabkan oleh penurunan impor dan didukung dengan kinerja ekspor yang lebih baik. Pertumbuhan ekspor Juli memang masih negatif yaitu minus 7,3% (yoy) tetapi lebih baik dari bulan Juni dan Mei yang masingmasing mencapai minus 16% dan minus 8,2% (yoy). Ekspor tersebut terdiri dari ekspor migas sebesar USD 3,0 miliar yang naik 2,7% (mtm)namun turun 1,0% (yoy), serta ekspor nonmigas sebesar USD 13,2 miliar yang naik 5% (mtm)namun turun 2,9% (yoy). Kenaikan ekspor nonmigas Juli dipicu oleh meningkatnya ekspor di sektor pertanian dan industri yang masingmasing meningkat 20,6% dan 6,3% (mtm). Sementara kenaikan ekspor migas bersumber dari naiknya ekspor hasil minyak dan gas. Pemerintah berupaya untuk memperluas pasar produk ekspor dan mulai menunjukkan hasil dengan tumbuh pesatnya ekspor nonmigas ke beberapa negara emerging market selama periode Januari-Juli 2012. Ekspor Indonesia ke Pantai Gading meningkat391,6% (yoy)menjadi USD 71,97 juta. Ekspor Indonesia juga meningkat pesat ke beberapa negara lain seperti Lybia,Mauritania, Pakistan, Yaman, Angola, Djibouti, dan Saudi Arabia masing-masing sebesar 357,8%, 287,5%, 83,5%, 83,5%, 74,9%, 65,6%, dan 52,6%. Impor Indonesia bulan Juli 2012 mencapai USD 16,3 miliar,mengalami penurunan sebesar 2,4% 3 (mtm), namun naik 13% (yoy). Impor tersebut terdiri dari impor nonmigas sebesar USD 13,6 miliar yang naik 1,7% (mtm) namun turun 2,9% (yoy),serta impor migas sebesar USD 2,7 miliar yang turun 18,5% (mtm) namun naik 4,9% (yoy). Selama Januari-Juli 2012, impor Indonesia mencapai USD 112,8 miliar, naik 13% (yoy). Tingginya kenaikan impor tersebut tidak terlepas dari peningkatan impor dari beberapa negara pemasok utama, seperti Jepang, China, Malaysia, Thailand, dan AS yangmasing-masing tumbuh 33,3%, 18,5%, 15,7%, 12,5%, dan 12,3%. Impor tersebutmasih didominasi oleh impor bahan baku/penolong (73%) dan barang modal (20%). Impor barang modal mencapai USD 22,9 miliar atau naik 32,6% (yoy). Impor bahan baku/penolong sebesar USD 81,9 miliar, namun hanya tumbuh 9,3% (yoy) lebih rendah dari tahun sebelumnya yang tumbuh 22% (yoy). Sementara impor barang konsumsi tumbuh 5,4% (yoy) menjadi USD 8 miliar. Menurut Menteri Perdagangan, lonjakan impor tersebut didorong oleh membaiknya realisasi aktivitas investasi dan meningkatnya output industri di tanah air terutama impor kapal terbang & bagiannya yang naik 63,9% (yoy); ekscavator (52,7%), dan damper (34,5%). (Bersambung ke halaman 6)

Perkembangan Ekspor dan Impor

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Internasional

Pelajaran dari Krisis Eropa Terhadap Keuangan Regional dan Integrasi Finansial di Asia Timur
Krisis keuangan Eropa dimulai ketika pemerintahan George Papandreou di Yunani pada tanggal 5 November 2012 mengumumkan bahwa revisi rasio defisit anggaran terhadap GDP mencapai 12,7%, dua kali lebih besar dibandingkan publikasi sebelumnya. Pengumuman ini diikuti penurunan peringkat utang Yunani yang mengakibatkan melonjaknya tingkat bunga utang sehingga semakin menyulitkannya untuk pembayaranutang negara.Kondisi berikutnya, bail-out yang diberikan oleh EU dan IMF ternyata tidak berhasil mengembalikan kepercayaan pasar terhadap ekonomi Yunani, namun justru mengakibatkan meluasnya krisis ke beberapa negara Eropa dengan struktur keuangan yang rawan seperti Italia, Spanyol, Irlandia, dan Portugal (YISIP). Secara umum, penyebab krisis yang terjadi di Eropa adalah pertama, kelemahan sistem perbankan. Krisis utang Eropa berdampak pada krisis keuangan global tahun 2008-2009 dan meluas ke beberapa negara Eropa pada tahun 2012. Hal itu disebabkan sebagian besar pemerintah anggota Eurozone meresponnya dengan melakukan bail-out kepada bank-bank komersialnya melalui pengambilalihan utang swastamenjadi utang publik. Antara tahun 20072010, rasio utang terhadap GDP di Eurozone meningkat dari66,3% menjadi 85,4%. Hal tersebut juga diikuti kegagalan Eurozoneuntuk melakukan refinancing bank komersialnya yang menimbulkanketidakpercayaan pasar sehinggabunga utang sovereign debt negaraEurozone semakin meningkat. Dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara kenaikan sovereign debt dan sistem perbankan yang tak kunjung pulih merupakan penyebab berlarutnya krisis ekonomi Eropa. Kedua, ketidakseimbangan perekonomian diantara anggota zona Eropa. Kebijakan ECB yang memperlakukan utang pemerintah pusat setiap negara Eurozone sebagai utang tanpa resiko dan menyetarakan tingkat bunga obligasi antara negara-negara inti dengan YISIP yang memiliki perbedaan kondisi ekonomi, memicu kebijakan utang di negara YISIP menjadi unsustainable. Hal ini terjadi karena rendahnya daya saing negara-negara YISIP. Adanya kebijakan utang tanpa resiko justru mengurangi tekanan dalam mengembangkan kompetisi di negara-negara tersebut, berbeda dengan negara inti Eurozone. Hal ini membuat terjadinya defisit neraca transaksi berjalan di negaraYISIP dan sebaliknya surplus neraca transaksi berjalan di negara inti Eurozone. Ketiga, tidak adanya mekanisme penanganan krisis keuangan di zona Eropa. Keyakinan anggota Eurozone bahwa krisis neraca pembayaran tidak akan terjadi di kawasan Eurozone membuat tidak adanya mekanisme penanggulangan krisis yang tepat sehingga membuatlambatnya respon terhadap krisis. Disisi lain, kecemasan negara surplus seperti Jerman bahwa kebijakan bail-out terhadap Yunani akan menjadi contoh negatif danmenimbulkan moral hazardterhadap ekonominegara lain yang mengalami defisit terutama anggota Eurozone besar seperti Spanyol dan Italia. Zona Eropa yang terbentuk sejak tahun 1999 menarik perhatian dunia, termasuk Asia Timur dalam hal integrasi ekonomi di sektor moneter dan finansial. Namun dengan krisis yang tejadi di Eropa saat ini membawa kekhawatiran akan keberlangsungan dan keseimbangan ekonomi Eropa ke depan. Krisis bukanlah hal baru bagi Asia Timur. Asia Timur pernah mengalami krisis pada tahun 19971998. Perbedaannya adalah krisis di Eropa yang terjadi saat ini melibatkan zona ekonomi yang telah terintegrasi. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh Asia Timur dengan melihat kejadian krisis di Eropa. Pertama, proses integrasi moneter harus dilakukan secara bertahap dan perlahan. Krisis Eropa menggambarkan bahwa pengaturan nilai tukar, termasuk integrasi moneter, akan cenderung menyebabkan krisis. Hal ini terjadi apabila negara anggota tidak mampu menyesuaikan perekonomian internalnya sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi antar anggota. Untuk itu dalam proses integrasi moneter, Asia Timur harus melakukannya secara bertahap, terdapat fleksibilitas dan ruang penyesuaian kebijakan agar terbentuk integrasi ekonomi dengan pondasi yang kuat. Kedua, biaya dan manfaat integrasi finansial harus dipertimbangkan kembali. Teori Neoklasik memang menyatakan bahwa integrasi finansial akan membuat alokasi modal menjadi lebih efisien. Akan tetapi, integrasi finansial yang diterapkan

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Internasional

Zona Eropa justru menimbulkan ketidakseimbangan dan bubble economy. Dari kejadian ini, Asia Timur harus menimbang ulang kembali cost and benefitpemberlakukan integrasi finansial serta harus berhati-hati dalam menghadapi liberalisasi pasar yang terlalu cepat. Sebagai contoh, dalam menuju ASEAN Economic Community, ASEAN harus berhatihati dengan aliran modal masuk bebas sebagai bagian pembangunan pasar dan basis produksi tunggal di ASEAN tahun 2015. Ketiga, perlu adanya percegahan krisis dan mekanisme resolusi yang dipersiapkan sebelum krisis terjadi. Pengalaman Asia Timur yang pernah dilanda krisis telah melahirkan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) dan ASEAN+3 Macroeconomic Research Office(AMRO) sebagai lembaga multilateral yang membantu menyelesaikan masalah keuangan di regional ASEAN+3. Kedua lembaga ini belum sepenuhnya berfungsi. Untuk itu disarankan negara-negara Asia Timur lebih mengaktifkannya. Krisis global 2008-2009 yang terjadi menunjukan seberapa rentan perekonomian ketika terjadi guncangan eksternal sehingga beresiko memperburuk kondisi perbankan Eropa ataupun negara lain termasuk Asia timur. Untuk itu, Asia Timur harus siap merespon krisis secara tepat dan benar. Keempat, pengawasan dan pemantauan pasar keuangan harus diperkuat. Krisis Eropa telah menunjukkan bahwa krisis dapat menyebar dengan cepat di antaranegara yang terintegrasi secara finansial, baik melalui jalur 6

perdagangan maupun keuangan, atau keduanya. Negara-negara di Asia Timur perlu berupaya memperkuat arsitektur regulasi keuangan yang dapat mengimbangi proses integrasi keuangan kawasan. Pelajaran penting dari krisis keuangan global dan krisis Eurozone adalah otoritas berwenang harus fokus tidak hanya pada peraturan microprudential dan pengawasan individu perusahaan keuangan, tetapi juga perlu mengidentifikasi dan mengelola resiko sistemik, yang disebabkan oleh keterkaitan dan saling ketergantungan di pasar. Sebagai contoh adalah kegagalan perusahaan keuangan besar dapat memiliki dampak serius terhadap pasar keuangan dan dapat merugikan ekonomi dalam skala besar. Kelima, otoritas keuangan harus bertindak dengan cepat dan tegas dengan merekapitalisasi bank setelah krisis. Eropa telah memberikan contoh yang negatif dalam menangani krisis perbankan. Ketika krisis perbankan berikutnya melanda negara-negara di Asia Timur, otoritas berwenang harus bertindak cepat dan tegas. Otoritas pengawas jasa keuangan perlu menerapkan kerangka hukum dan institusional untuk memfasilitasi prosedur penyelesaian yang komprehensif. (Fauzia S. Putri, Masyitha Mutiara, Sandra Kurniawati)
*Disadur bebas dari ADBI Working Paper: Lessons of the European Crisis for Regional Monetary and Financial Integration in East Asia oleh Ulrich Volz, Februari 2012.

Sambungan Halaman 2: Setahun Implementasi MP3EI Puncaknya estimasi PDRB Koridor Papua pada periode yang sama meningkat 5-6 kali lipat. Pencapaian tersebut tentu hanya dapat terealisasi apabila berbagai masalah bottlenecking dapat diatasi. Dalam upaya ini peningkatan peran serta Pemerintah Daerah diperlukan untuk menciptakan pembangunan yang lebih dari sekedar business as usual. (Rista Amallia)

Sambungan Halaman 4: Peningkatan Kinerja Ekspor Juli 2012 Dalam mendukung peningkatan kinerja ekspor, Kementerian Perdagangan mengupayakan beberapa kegiatan, antara lain kegiatan promosi untuk meningkatkan Nation Branding, promosi ekspor ke negara-negara emerging market. Kegiatan promosi untuk tahun 2012 terdiri dari 3 Pameran Besar, yaitu satu instore promotion, 13 Pameran Luar Negeri Aktif, dua Pameran Menengah Besar, 10 Pameran Luar Negeri Mandiri, Partisipasi di 12 Pameran Dalam Negeri, dan lima Misi Dagang. (Tri Kurnia Ayu)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Keuangan

Transaksi Multilateral Sebagai Pola Perdagangan Berjangka Masa Depan


Tahun 2011 menandakan berlanjutnya tren kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai emerging market baru Asia. Pendorongnya adalah peluang investasi yang menguntungkan dan berkesinambungan, didukung oleh perekonomian global yang telah beranjak bangkit dari dampak krisis ekonomi 2008-2009. Hal ini terindikasi dari PDB tahun 2011 yang meningkat secara signifikan yakni sebesar 6,5%, diikuti dengan pertumbuhan pendapatan per kapita sebesar 16,67%. Perkembangan ini tentunya memberikan multiplier effect pada daya beli masyarakat, konsumsi dan investasi. Hasil positif tersebut juga tercermin dalam pasar komoditi berjangka, yakni melalui peningkatan jumlah transaksi multilateral mencapai hampir lima kali lipat atau 392,23% dari 15.949 lot pada tahun 2010 menjadi 78.506 lot pada tahun berikutnya. Sejalan dengan transaksi multilateral, transaksi bilateral juga melonjak 39,20% menjadi 7.508.084 lot pada tahun 2011 dari 5.393.768 lot pada tahun sebelumnya. Secara tota,l volume transaksi perdagangan pada tahun 2011 naik sebesar 40% dari 5.417.022 lot di tahun 2010 menjadi 7.587.129 lot di tahun 2011. Dari sisi kebijakan, Pengesahan Undang-undang Nomor 10 tahun 2011 mengenai perubahan atas Undang-undang Nomor 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pada tanggal 11 Juli 2011, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan menstimulasi perkembangan Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012 perdagangan berjangka komoditas di Indonesia, yang pada muaranya akan memberikan kontribusi dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. Undang-undang nomor 10 tahun 2011 tersebut memberikan dukungan terhadap pengembangan bursa berjangka komoditi melalui perluasan cakupan komoditi yang dapat ditransaksikan meliputi Kontrak Berjangka Derivatif dan Kontrak Derivatif Syariah; pengaturan Sistem Perdagangan Alternatif (SPA), demutualisasi bursa berjangka, dan transaksi perdagangan berjangka secara elektronik; serta pengelolaan asosiasi industri perdagangan berjangka secara profesional. Perdagangan di Jakarta Future Exchange terdiri dari perdagangan kontrak multilateral (banyak pembeli, banyak penjual), perdagangan kontrak bilateral (satu pembeli, satu penjual) atau yang dikenal dengan Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) dan Pasar Fisik. Produk-produk yang ditransaksikan mencakup kontrak multilateral (emas, olein, kakao, indeks emas/KIE), kontrak bilateral (mata uang asing, indeks pasar saham, emas Loco London), lelang pasar fisik (CPO), Penyaluran Amanat Luar Negeri dan Komoditi Syariah. Transaksi Multilateral atau sering disebut sebagai transaksi order driven merupakan metode transaksi yang ideal di Indonesia karena dapat membentuk referensi harga atas produk-produk primer, sehubungan dengan transparansi dalam harga dan jumlah penawaran dan permintaan. Disamping itu kapabilitasnya juga sebagai alat lindung nilai dimana kontrakkontrak multilateral memperdagangkan produk primer. Dalam transaksi multilateral seluruh pelaku pasar dipertemukan di pasar, dan seluruh penawaran beli maupun penawaran jual ditampilkan secara transparan, baik penawaran dari trader, market maker, maupun nasabah. Dengan demikian semua pelaku pasar dapat melihat harga penawaran jual terendah dan harga penawaran beli tertinggi yang berlaku di pasar pada suatu waktu, sehingga tentunya dapat memaksimalkan keuntungan transaksi. Karena harga yang terbentuk sepenuhnya berasal dari transaksi yang terjadi di pasar, harga tersebut dapat menjadi referensi bagi perdagangan riil produk-produk primer. Dengan demikian, para pelaku pasar tidak perlu lagi 4

Rubrik Keuangan

mengacu pada harga-harga di pasar luar negeri. Volume transaksi multilateral sepanjang tahun 2011 membuktikan bahwa transaksi ini semakin diminati karena transparansinya, sehingga sesuai dengan grafik, tren volume transaksi mulai Januari 2011 terus tumbuh. Pada bulan Desember 2011 volume transaksi perdagangan komoditi primer (multilateral) menembus angka psikologis 10.000 tepatnya di posisi 10.920. Lonjakan transaksi multilateral ini dipicu oleh kenaikan perdagangan kontrak emas sebesar 437,58% menjadi 29.126 lot dari 5.418 lot di tahun 2010. Pada saat yang sama Kontrak Gulir Emas dalam US dollar membukukan pertumbuhan yang signifikan yakni sebesar 238,71% dari 4.033 lot di tahun 2010 menjadi 13.660 lot pada 2011. Sementara itu kontrak kakao yang hanya dalam 2 minggu sejak diluncurkan pada tanggal 15 Desember 2011 sudah mampu membukukan transaksi sejumlah 1.762 lot atau sama dengan 8.810 ton. Pencapaian ini dapat terlihat sejak hari pertama diluncurkan yakni mencapai 142 lot atau 710 ton. Selain transaksi multilateral yang signifikan, transaksi bilateral yang merupakan sistem transaksi yang dilakukan di luar Bursa yang didaftarkan di Jakarta Future Exchange. Transaksi ini dilakukan antara dua pihak yaitu pedagang penyelenggara (anggota bursa) dengan nasabah dari pialang pesertanya (anggota bursa). Kuotasi harga atau penawaran harga siap jual dan harga siap beli hanya dilakukan oleh satu pihak yaitu pihak pedagang

penyelenggara. Kontrak yang termasuk dalam transaksi Bilateral adalah Kontrak Valuta Asing, Kontrak Indeks Saham Asing, dan Kontrak Emas Loco London. Peningkatan transaksi bilateral pada tahun 2011 sebesar 39% ditunjang oleh kenaikan transaksi emas Loco London sebesar 759,87%. Selain kedua produk tersebut, Jakarta Future Exchange juga menyelenggarakan Pasar Fisik Lelang CPO yang menggunakan mekanisme perdagangan lelang, akses perdagangan dapat dilakukan secara elektronik dan dapat diakses secara online. Meskipun volume transaksi tumbuh secara signifikan pada tahun 2011,

namun volume transaksi komoditi primer (multilateral) masih di bawah target yang ditetapkan regulator, yakni minimal 5% dari seluruh volume transaksi. Dengan mulai pulihnya perekonomian global dan kegatan bisnis yang mulai bergairah, transaksi komoditi berjangka kini mulai dikenal tidak hanya sebagai sarana pelindung nilai namun juga sebagai sarana alternatif investasi. Diharapkan pada akhir tahun 2012 ini, volume transaksi akan melebihi target, yang pada akhirnya pasar komoditi berjangka dapat menjadi jembatan penghubung sektor finansial dan sektor riil. (Alexcius Winang) 5

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik APBN

RAPBN 2013: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan


Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2013 menekankan pada peningkatan efektivitas penyerapan anggaran dan kualitas belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. RAPBN 2013 memiliki nuansa khusus bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Desain babak akhir dari RPJMN 2014 mulai tergambar. Secara umum, kebijakan fiskal tahun 2013 masih akan bersifat ekspansif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengendalikan defisit dalam batas aman. Pendapatan negara pada RAPBN 2013 ditargetkan sebesar Rp. 1.507, 7 triliun, naik 11% dari target APBNP 2012. Optimalisasi pendapatan negara terus dilakukan dengan tetap menjaga iklim dunia usaha yang kondusif. Sumber penerimaan utama berasal dari penerimaan pajak. Dalam lima tahun terakhir, kontribusi penerimaan pajak dalam pendapatan negara meningkat dari 60% menjadi hampir 70%. Penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp. 1.031,7 triliun, naik 5,2% dari target APBN-P 2012. Belanja negara ditargetkan sebesar Rp. 1.657,9 triliun, naik 7,1% dari APBN-P 2012. Upaya peningkatan kualitas belanja negara dilakukan melalui kebijakan penghematan yang dialihkan menjadi peningkatan belanja modal untuk pembangunan infrastruktur. Belanja pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp. 1.139,0 triliun, naik sebesar 6,5% dari APBN-P 2012. Belanja pemerintah pusat diarahkan untuk meningkatkan peran dan daya 7 dukung belanja dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta kesejahteraan rakyat. Untuk pendidikan murah dan terjangkau dialokasikan sebesar Rp. 331,8 triliun, kesehatan murah untuk masyarakat sebesar Rp. 50,9 triliun, ketahanan pangan untuk stabilisasi harga dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat sebesar Rp. 64,3 triliun, penanggulangan kemiskinan Rp. 106,8 triliun. Sementara untuk infrastruktur perhubungan dan irigasi masing-masing sebesar Rp. 62,1 triliun dan Rp. 18,7 triliun. Sementara belanja ke daerah dialokasikan sebesar Rp. 518, 9 triliun, naik 8,4% dari APBN-P 2012. Belanja ke daerah diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, kapasitas fiskal daerah, serta meningkatkan pemerataan dan kualitas pelayanan publik daerah. Defisit dalam RAPBN 2013 direncanakan sebesar Rp. 150,2 triliun (1,62% terhadap PDB). Pembiayaan melalui utang dan nonutang diperlukan untuk membiayai defisit yang dibutuhkan guna mendanai kebutuhan pembangunan, investasi pemerintah, penjaminan infrastruktur dan penyertaan modal negara. Sumber pembiayaan RAPBN 2013 bersumber dari dalam negeri yakni didominasi oleh penerbitan SUN berdenominasi Rupiah sehingga bebas dari resiko nilai tukar. Rasio utang terhadap PDB direncanakan sebesar 23% , lebih rendah dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 35%. (Mamay Sukaesih) 9

Rasio Utang Terhadap PDB

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

Regulasi Lindung Nilai Valuta Asing


Sebagai bagian dari komitmen untuk mendorong transaksi di pasar valuta asing domestik, Bank Indonesia menerbitkan instrumen hedging valas. Instrumen tersebut berbentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/10 /PBI/2012 Tanggal 8 Agustus 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing Oleh Bank. diharapkan dapat meningkatkan suplai valas. Secara garis besar, beberapa perubahan ketentuan dalam PBI ini diantaranya: rangka penyelesaian transaksi kegiatan investasi. Dari berbagai ketentuan pada perubahan regulasi lindung valas ini tampak bahwa Bank Indonesia mengembalikan pengelolaan permintaan dan penawaran valas oleh Bank. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi moneter serta tetap mengutamakan stabilitas nilai tukar. Bagi pihak perbankan, relaksasi ini memberi keleluasaan dalam mengelola likuiditas valas serta sebagai bagian dari manajemen risiko fluktuasi nilai tukar. Peraturan ini juga merupakan bagian dari upaya untuk menjaga neraca transaksi berjalan yang berpengaruh terhadap nilai tukar Rupiah. Transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2012 mencatat rekor terendah dengan defisit USD6,9 juta atau sekitar 3 persen dari PDB. Angka tersebut melonjak lebih dari dua kali lipat defisit periode sebelumnya USD3,2 juta. Walaupun menunjukkan kinerja yang melemah, defisit transaksi berjalan merupakan konsekuensi dari penurunan permintaan ekspor di tengah permasalahan ekonomi yang dihadapi berbagai negara termasuk negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan moneter oleh Bank Sentral ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor melalui kebijakan perpajakan dan bea impor. Sinergi antar kebijakan diharapkan tidak hanya akan meningkatkan laju investasi tetapi juga menjaga stabilitas perekonomian nasional. (Rista Amallia)

1) Persyaratan jangka waktu lindung nilai Pihak Asing yang dipersingkat dari tiga bulan menjadi paling singkat satu minggu; 2) Persyaratan kegiatan investasi mencakup penghasilan investasi yang dapat dipastikanPihak Lindung nilai atau yang disebut hedging Asing yang menjadi underlying adalah upaya melindungi sebuah transaksi lindung nilai dari paling perusahaan dari tekananterhadap singkat tiga bulan menjadi satu nilai tukar.Perubahan peraturan minggu; lindung nilai tersebut dilakukan 3) Kelonggaran underlying kegiatan dalam rangka pendalaman pasar valas ekspor impor perdagangan domestik dengan tetap internasional, tidak hanya memperhatikan stabilitas fluktuasi berdasarkan Letter of Credit nilai tukar Rupiah khususnya di (L/C) tetapi juga Non L/C; tengah gejolak ekonomi 4) Penghapusan ketentuan lindung internasional. nilai atas penyertaan langsung Meskipun begitu Bank Indonesia dengan jangka waktu paling lama meyakini tren Rupiah yang melemah satu bulan melalui mekanisme belakangan ini tidak perlu lelang; dikhawatirkan mengingat faktor 5) Pengaturan lindung nilai antara fundamental ekonomi Indonesia yang Bank dengan Pihak Asing untuk tergolong kuat. Nilai Rupiah tercatat tujuan menlingkupi lindung nilai melemah selama tahun 2012 dari Rp Bank; dan 9.079/USD pada tanggal 2 Januari 6) Peraturan yang membolehkan 2012 hingga Rp 9.512/USD pada lindung nilai dengan jangka waktu tanggal 31 Agustus 2012. kurang dari 1 minggu dalamrangka penyelesaian Perubahan peraturan lindung nilai kegiatan investasi. valas ini lebih bersifat relaksasi atas ketentuan pembatasan pada Lebih jauh lagi, peraturan tersebut peraturan sebelumnya. Salah satu juga mengatur lindung nilai dengan perubahan adalah pada peraturan jangka waktu paling singkat satu sebelumnya BI membatasi lindung minggu untuk kegiatan investasi. nilai jangka waktu minimum tiga Salah satunya adalah pengecualian bulan. Perubahan pada peraturan transaksi outright forward beli valuta yang baru memberikan relaksasi asing terhadap rupiah antara Bank untuk memberikan keleluasaan dengan Pihak Asing dalam 10

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

Kompatibilitas Utang Luar Negeri Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas
Pada tanggal 18 September 2012, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kembali menggelar Forum Diagnosa Ekonomi (FDE) dengan pembicara Prof. Ahmad Erani Yustika dan Dra. Tuti Riyati, MA. Tema FDE kali ini adalah Pengelolan Utang Luar Negeri untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, utang luar negeri merupakan hal dapat dibenarkan dalam upaya menutup kesenjangan pembiayaan pembangunan. Persoalan berikutnya adalah bagaimana pengelolaan utang luar negeri tersebut mampu digunakan sebagai alat pembangunan bukan justru menjadi penghancur perekonomian bangsa? Pada awal pembangunan, pemerintah tidak terlalu disibukkan untuk menyusun pada sektor mana ULN tersebut digunakan dengan tujuan memberikan multiplier effect dan peningkatan aktivitas perekonomian di Indonesia. Namun, ketika ekonomi semakin berkembang, maka pada saat itu pemerintah dituntut memberikan prioritas penyelesaian persoalan yang ada di masyarakat. Prof. Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa sampai saat ini, perekonomian nasional masih mengidap masalah serius dalam hal kemiskinan dan pengangguran. Mengapa hal ini terjadi? Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir menunjukkan kenaikan dari 6,10% pada tahun 2008 menjadi 6,50% pada tahun 2011. Namun apabila melihat secara lebih dalam, maka peningkatan yang tinggi tersebut sebagian besar didominasi oleh sektor-sektor non-tradable 8 seperti konstruksi, jasa-jasa, dan perhotelan. Sektor ini hanya menyerap sekitar 49,5% tenaga kerja. Sementara itu, sektor-sektor tradable mengalami pertumbuhan yang semakin melambat. Sektor ini menyerap sekitar 50,5% tenaga kerja. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh sebagian sektor ekonomi, sehingga semakin meningkatkan ketimpangan pendapatan di masyarakat. Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan. Dapat dikatakan bahwa proses transformasi ekonomi cukup berhasil dari sisi kontribusi sektoral terhadap PDB, yakni sektor industri dan jasa yang semakin besar terhadap perekonomian nasional. Masalahnya adalah transformasi sektoral tersebut tidak diikuti dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder/ tersier secara proporsional. Hal ini membuat penyakit kemiskinan dan beban pengangguran sulit diatasi karena sebagian besar tenaga kerja menumpuk di sektor pertanian (yang kontribusinya terhadap PDB terus merosot). Di sisi lain, kondisi utang luar negeri Indonesia mengalami perbaikan dimana dapat dilihat dari Debt to GDP dan Debt to Export yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Namun, jika melihat pada bagaimana aliran utang luar negeri tersebut, maka terdapat suatu transformasi
Sumber: Bank Indonesia

Posisi ULN Pemerintah, Bank Sentral dan Swasta

atau pergeseran yang sangat cepat 11

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

pada pemanfaatan proyek dan program ULN. Sejak dekade 1990an, khususnya dari Bank Dunia, ULN tidak lagi menyasar ke sektor pertanian, melainkan ke sektor administrasi publik dan hukum. Praktis sejak masa tersebut program dan pembangunan investasi fisik (seperti irigasi) mengalami kemandekan dan menimbulkan kemerosotan sektor pertanian. Menurut Prof. Ahmad Erani Yustika, kondisi prioritas pembangunan yang diagendakan oleh lembaga donor tersebut menggambarkan bahwa ULN semakin lama semakin tidak kompatibel. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam melakukan pinjaman luar negeri. Melihat pada persoalan utang luar negeri tersebut, Prof. Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa pemerintah harus mengembalikan instrument utang luar negeri sebagai pelengkap pembangunan dan dipakai sesuai dengan kepentingan nasional yaitu untuk menggerakkan sektorsektor riil melalui penggeseran proyek ULN ke dalam program yang sejalan dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Dua pendekatan yang perlu dilakukan kedepan adalah strategi penciptaan lapangan pekerjaan secara permanen dan penguatan aset kaum miskin. Hal itu bisa terlaksana bila sektor pertanian dikembangkan lagi dan kebijakan reforma agraria mampu dijalankan. Lebih jauh lagi, ULN memiliki makna apabila mendukung hal tersebut.

Menanggapi paparan Prof. Erani, Dra Tuti Riyati menyampaikan bahwa pengelolaan ULN pemerintah terus disempurnakan. ULN baru dibatasi dengan ketat agar rasio utang terhadap PDB menurun dan menunjang tercapainya anggaran berimbang, Jumlah ULN baru selama beberapa tahun terakhir lebih rendah daripada pembayaran utang pokok. Daftar ULN baru diterbitkan dalam dokumen Blue Book yang disusun oleh Bappenas. Usulan jumlah pinjaman dari Kementerian/ Lembaga pada umumnya jauh lebih besar dari alokasi pinjaman yang direncanakan. Seleksi usulan tersebut dilakukan dengan memperhatikan dampaknya terhadap prioritas pembangunan yang ditetapkan setiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir pinjaman diprioritaskan untuk pembangunan sektor investasi dan energi. Blue

book diterbitkan setelah mendapat persetujuan Presiden. Jumlah ULN swasta yang melesat dalam semester I 2012 hingga melebihi ULN pemerintah kiranya perlu mendapat perhatian. Debt service ratio (DSR) yang tunjukkan porsi pembayaran hutang pokok dan bunga terhadap pendapatan ekspor, melewati 30% pada triwulan II-2012. Pinjaman swasta perlu diarahkan pada produksi yang berorientasi ekspor. ULN yang berorientasi akselerasi pertumbuhan perlu ditunjang dengan peningkatan alokasi anggaran Rupiah murni pada sektor pertanian dan industri. Akselerasi pertumbuhan kedua sektor tersebut akan memastikan tercapainya pertumbuhan berkualitas. (Fauzia Suryani Puteri)

Penyelenggaraan Forum Diagnosa Ekonomi, 18 September 2012

12

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

Pelajaran dari Irlandia


Sebuah fakta menarik terungkap belum lama ini dari publikasi CNBC mengenai 20 negara pengutang terbesar di dunia yang mendudukan Irlandia di peringkat teratas. Rasio utang luar negeri (ULN) terhadap PDB mencapai 1.239%. Nominal ULN mencapai US$ 2,26 triliun, sementara PDB hanya sebesar US$ 182,1 miliar. Menariknya, pendapatan per kapita negara tersebut menurut CIA Factbook tergolong terbesar di dunia, yaitu US$ 478.087 (setara Rp 378 juta sebulan dengan kurs Rp 9.500/US$). Bagaimana negara yang kaya akan panas bumi terjerat ULN sedemikian besar dan terperosok krisis 2008 lalu? Dalam kurun pertengahan 1990 hingga 2007, Irlandia menikmati pertumbuhan ekonomi yang sedemikian pesat dan tercatat sebagai ekonomi tersukses di dunia. Hingga awal 2000-an, Irlandia sudah mampu mengejar pertumbuhan ekonomi negara-negara maju setelah sekian lama tertinggal. Penyatuan pasar kawasan Eropa memberi berkah bagi Irlandia berupa derasnya arus investasi karena dianggap mempunyai daya pikat yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi terus berlangsung dari 2002-2007 tetapi dibarengi dengan perluasan kredit yang tumbuh cepat di kalangan individu. Tak terasa harga properti pun lalu melonjak dan mendorong terjadi gelembung (bubble) pasar properti karena lonjakan pinjaman bank. Akibatnya,neraca bank-bank di Irlandiamenjadi tidak proporsional dengan skala ekonominya. Industri bank yang menggantungkan nasib pada dana simpanan menggunakan dana tersebut untuk membiayai kredit. Arus uang dari luar Irlandia terus mengalir ke dalam sistem perbankan dan beralih wujud menjadi pinjaman jangka pendek ke sektor properti mengubah perbankan sebagai distributor pasar uang. Kondisi ini seakan mengingatkan kembali kejadian di Indonesia tahun 1997 ketika dihantam krisis yang dipicu oleh ledakan konsumsi di sektor properti. Kondisi berubah pada saat praktik pinjaman menaikkan risiko dan kegagalan para pengawas perbankan mencegah malpraktik tersebut. Gelembung sistem keuangan akhirnya pecah tersulut krisis Global pada Agustus 2007, memaksa pemerintah untuk melakukan intervensi. Meskipun saat itu pemerintah Irlandia tengah membukukan surplus anggaran, kebijakan fiskal yang diputuskan justru diyakini banyak pengamat malah menyulut kobaran krisis. Pajak meningkat dan belanja publik juga meningkat dengan cepat bersamaan dengan peningkatan upah menyebabkan daya saing Irlandia langsung merosot. Harga-harga properti berguguran menyebabkan industri bank menderita kerugian yang dalam karena kredit properti. Di tengah kepercayaan yang goyah, perbankan menghadapi penarikan dana (rush) oleh para nasabahnya yang kuatir kehilangan simpanan setelah melihat kerugian besar yang diderita bank. Untuk mengatasi erupsi krisis, pemerintah Irlandia memutuskan dana talangan atas likuditas perbankan dan merekapitalisasi dengan dana publik. Ini pun juga mengingatkan kejadian yang sama di Indonesia tahun 1998. Tentu saja keputusan talangan menggoyahkan posisi fiskal. Pemerintah lalu mengimbangi dengan melakukan penghematan (austerity) untuk menjaga kelangsungan fiskal. Pada tahun 2009, porsi belanja pemerintah sudah mencapai 48,9% dari PDByang sekitar 17,4% digunakan untuk transfer sosial. Padahal pada tahun 2000, porsi anggaran baru sebesar 31,3% dari PDB di mana 8,9% untuk transfer sosial. Keterbatasan kapasitas fiskal untuk mengatasi krisis, akhirnya membuat pemerintah Irlandia mencari bantuan keuangan. Pada tanggal 29 Nopember 2010, pemerintah berhasil mencapat paket pinjaman dari EU dan IMF sebesar 85 miliar. Tujuh bulan kemudian, EU memberikan keringanan berupa penurunan suku bunga dan memperpanjang jatuh tempo pinjaman EU. Keringanan ini memberikan manfaat signifikan berupa penghematan bagi pembayar pajak dan menaikkan sustainabilitas utang. Kejadian di Irlandia ini senada dengan krisis 1998 di Indonesia. Beberapa waktu sebelum krisis,sektor properti mengalami ledakanpermintaan sehingga banyak menyerap kredit perbankan. 13

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

Rambatan krisis dari kawasan Asean kemudian memperburuk keadaan, memaksa pemerintah meminta pinjaman kepada IMF. Resep IMF ternyata tidak manjur memulihkan krisis, sehingga krisis ekonomi berubah menjadi multikrisis dan meruntuhkan rejim pemerintahan. Keadaan baru membaik setelah 14tahun kemudian ditandai dengan persepsi peringkat utang dari lembaga pemeringkat internasional. Pelajaran yang dapat dipetik adalah ketika hasrat individu untuk memenuhi kebutuhan hingga besarpasak dari pada tiang dan tidak lagiterkendali, intervensi pemerintah justru menyeret negara masuk kedalam pusaran jeratan utang.

Pendapatan per kapita di Irlandiayang sangat besar tidak lagi bernilaidengan besarnya utang yang

menggunung. Utang tetap harus dilunasi. (Edi Prio Pambudi)

Wawancara dengan Arlyana Abubakar: Peran Bank Indonesia dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi keterbatasan sumber penerimaan negara. Perkembangan utang luar negeri perlu dipantau karena akan mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara, termasuk dampaknya terhadap stabilitas moneter. Bank Indonesia memiliki peranan penting dalam pengelolaan utang luar negeri yang dalam prakteknya berkoordinasi langsung dengan Pemerintah. Utang luar negeri terdiri dari utang pemerintah, bank sentral, BUMN, dan swasta. Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam pengelolaan utang luar negeri pemerintah sudah diatur dalam beberapa peraturan, salah satunya adalah Pasal 53 dalam UndangUndang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 6/2009. Demikian penjelasan dari Arlyana Abubakar, Direktur Direktorat Internasional Bank Indonesia. Dalam regulasi tersebut, dinyatakan bahwa Bank Indonesia atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri. Arlyana menyatakan bahwa Bank Indonesia berkoordinasi setiap bulan untuk melakukan pencatatan dan data mirroring antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan pembayaran utang luar negeri karena jika terlambat maka konsekuensinya bukan saja berupa sanksi denda, namun reputasi Indonesia akan memburuk. Kita harus mempertahankan reputasi kita terlebih lagi saat ini Indonesia telah masuk investment grade yang di-rating oleh lembaga-lembaga pemeringkat global seperti Moodys, S&P, dan Fitch, jelas Arlyana Abubakar. Bank Indonesia tidak hanya melakukan pemantauan terhadap

14

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

utang luar negeri pemerintah, tetapi juga utang luar negeri swasta yang terdiri dari perbankan dan nonperbankan. Menurut Arlyana, pemantauan utang luar negeri untuk perbankan lebih mudah dipantau karena sudah diatur dalam peraturan, misalnya untuk pinjaman jangka panjang, pihak bank harus mengajukan rencana bisnis bank yang nanti akan dinilai oleh pihak Bank Indonesia, sedangkan untuk pinjaman jangka pendek, BI membatasi tidak lebih dari 30% dari modal bank secara harian. Berbeda dengan perbankan, menurut Arlyana, pinjaman luar negeri perusahaan swasta non-perbankan lebih sulit dipantau. Sejak akhir tahun 2008, Bank Indonesia mulai mengharuskan perusahaan swasta menyampaikan rencana tiga tahun ke depan, hasil assessment resiko, informasi keuangan perusahaan, serta kemampuan perusahaan melakukan pembayaran. Hal ini

dilakukan agar Bank Indonesia memiliki data akurat mengenai pinjaman luar negeri perusahaan swasta. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Arlyana menyatakan bahwa sektor ekonomi yang tumbuh secara signifikan dalam kaitannya dengan pinjaman luar negeri adalah sektor pertambangan dan penggalian; pengangkutan dan komunikasi; listrik, gas, dan air; serta sektor bangunan. Pengaruh pinjaman luar negeri terhadap pertumbuhan keempat sektor tersebut dinilai cukup signifikan. Permintaan pinjaman utang luar negeri oleh swasta saat ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan permintaan pinjaman dari perbankan dalam negeri. Menurut Arlyana, hal tersebut wajar jika perusahaan swasta lebih memilih untuk menarik pinjaman dari luar negeri asalkan lebih menguntungkan

bagi pihak swasta. Justru dengan begitu, Bank Indonesia harus berperan menjaga kredibilitas dengan mempertahankan rating Indonesia dalam investment grade agar perusahaan swasta memiliki akses pinjaman luar negeri yang semakin luas dan kompetitif. Arlyana juga menyatakan sejauh ini dari beberapa laporan keuangan perusahaan swasta, pihak kreditur semakin rasional terhadap pinjaman yang diajukan oleh perusahaan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengelolaan utang luar negeri, peran Bank Indonesia dan Pemerintah sangat penting karena akan berdampak langsung terhadap kredibilitas Indonesia secara global.Jika Bank Indonesia dan Pemerintah mampu menjaga reputasi Indonesia dalam skala global, maka perusahaan swasta dapat dipercaya oleh pihak kreditur luar negeri. (Sandra Kurniawati)

Wawancara dengan Bhimantara Widyajala: Peran Pemerintah dalam Mengelola Utang Luar Negeri
Dalam mengelola utang Negara, menurut Bhimantara Widyajala, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), pemerintah mendasarkan diri pada peraturan perundangan yang berlaku dan sesuai dengan prinsip serta tata kelola yang baik. Pemerintah sangat selektif dalam mencari sumber pembiayaan yang paling optimal. Utang Luar Negeri (ULN) semakin berkurang dalam pembiayaan APBN dibandingkan dengan Surat Berharga Negara. Hal ini sejalan dengan strategi pembiayaan dan pengelolaan utang yang menempatkan ULN hanya sebagai pelengkap. Statistik terkait utang Indonesia menunjukan hasil yang terus membaik. Defisit yang terjaga ratarata lima tahun terakhir sebesar 1%, Debt to GDP sebesar 24,3% di tahun 2011 dan diperkirakan menjadi 23% pada akhir tahun 2012. Hal ini merefleksikan bahwa penambahan jumlah nominal utang jauh lebih rendah secara relatif dibandingkan dengan peningkatan PDB. Jika dibandingkan dengan kondisi Eropa pengelolaan ULN Indonesia jauh lebih prudent, tutur Bhimantara. 15

Sampai saat ini,peran

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Utama

Upaya mecegah dan menangani krisis juga terus dilakukan dengan menyusun protokol manajemen di unit terkait dan mengintegrasikannya dalam protokol manajemen nasional. DJPU juga telah menginisiasi kerangka kerja yang dikenal dengan nama Bond Stabilization Framework, yang pada pokoknya menyusun langkah-langkah bersama untuk menstabilkan pasar Surat Berharga Negara guna memulihkan kepercayaan pelaku pasar dan mencegah serta menangani krisis yang lebih buruk lagi. Menurut Bhimantara, penggunaan utang negara harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, tepat sasaran dari tahap perencanaan sampai proses evaluasi agar memberikan kontribusi yang optimal dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dalam hal ini, DJPU tidak hanya berperan pada tahap pengadaan tetapi juga memastikan

peluang untuk mendapatkan sumber pembiayaan dengan biaya yang rendah dengan tingkat resiko yang dapat dikendalikan. Menanggapi kepemilikan SBN yang sebagian besar dimiliki oleh asing, Sekretaris DJPU menjawab bahwa hal ini dapat dilihat dari dua sisi, yang pertama tingkat kepercayaan perilaku pasar asing terhadap Indonesia yang sangat baik. Namun, disisi lain dapat dilihat sebagai eksposur resiko kemungkinan terjadinya pelepasan SBN secara massif dalam jangka pendek atau sudden reversaloleh asing apabila kondisi pasar sedang mengalami krisis. Untuk mengantisipasi kejadian ini pemerintah mengembangkan komunikasi yang baik dengan perilaku pasar, mengkoordinasikan kebijakan fiskal dan moneter bersama dengan Bank Indonesia serta mempromosikan berbagai capaian kebijakan.

Kesuksesan Indonesia meraih peringkat layak investasi (investment grade) merupakan satu capaian yang semakin meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia dalam jangka panjang. Langkah pemerintah menyusun protokol manajemen krisis dan bond stabilization framework diapresiasi oleh para pelaku pasar sebagai langkah yang positif. (Sandra Kurniawati)

Bhimantara Widyajala, S.H., Ak., M.SF., CIA. Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU)

Utang Luar Negeri Swasta Meningkat


Berdasarkan laporan Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia secara nominal mengalami peningkatan hingga Juli 2012 menjadi USD 243,3 miliar. Baik pemerintah dan swasta melakukan peningkatan komitmen utang dengan pihak asing. Selama beberapa periode hingga akhir tahun 2011, pemerintah menjadi peminjam terbesar dengan porsi diatas 50%. Sebaliknya pada tahun 2012, peningkatan komitmen ULN yang lebih besar justru dilakukan oleh pihak swasta hingga Juli 2012 mencapai 50,8% dari total ULN. Peningkatan Utang Luar Negeri Swasta (ULNS) secara signifikan terjadi pada tahun 2011 sebesar 27,4% (yoy) disebabkan oleh pemberlakukan sanksi denda kepada perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban ULN berdasarkan PBI No. 12/24/PBI/2010 tanggal 29 Desember 2010. Sanksi ini berlaku efektif pada Juli 2011 dan telah meningkatkan cakupan pelaporanserta jumlah pelapor ULNS. Tentunya hal ini meningkatkan kualitas pelaporan ULN Indonesia. Kelompok bukan bank merupakan peminjam ULNS terbesar yaitu mencapai USD 100,2 miliar atau 81% dari total ULNS. Nilai ini naik 13,5% dibandingkan posisiDesember 2011 yang mencapai USD 88,3 miliar. Besarnya ULNS bukan bank ini khususnya berasaldari pinjaman asing yang dilakukan oleh kelompok perusahaan bukan lembaga keuangan sebesar USD 92,6 miliar. (bersambung ke halaman 18)

16

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Daerah

Obligasi Pemda Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur


Pemerintah daerah kini bisa bernafas lega karena keinginan untuk mencari sumber pembiayaan sendiri untuk kebutuhan pembangunan di daerah bakal terwujud. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah, Pemerintah daerah diizinkan untuk menerbitkan obligasi daerah. Obligasi tersebut dalam mata uang Rupiah dan diterbitkan di pasar modal. Dana yang terkumpul harus digunakan guna membiayai investasi sektor publik dan menghasilkan penerimaan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk mendapatkan dana pembangunan pada tingkat daerah, prosedur pembiayaan bisa berbentuk konvensional dan incoventional. Tipe konvensional biasanya mengandalkan pemasukan dari pendapatan pajak, retribusi, dan pendapatan public saving. Sedangkan untuk tipe inconvencional menerbitkan obligasi atau bentuk surat utang lainnya. Penerbitan obligasi pemerintah daerah dilakukan karena anggaran pembangunan infrastruktur tidak mampu ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh sebab itu, sangat penting sekali untuk mencari alternatif penggalangan dana melalui obligasi. Untuk sementara ini obligasi daerah hanya diperbolehkan untuk pembiayaan proyek, bukan untuk menutupi defisit. Untuk itu pemdaharus menyiapkan proyekproyek yang akan dibiayai dari dana obligasi itu beserta perhitungan cashflownya yang dapat dengan mudah dianalisis dan dipertanggungjawabkan asumsiasumsinya. Perhitungan cash flow sangat penting karena dari sini investor akan dapat melihat apakah proyek tersebut akan mampu menghasilkan revenue yang cukup untuk membayar kewajiban berjalan atau tidak. Penerbitan obligasi bagi daerah memerlukan persiapan dan perubahan pola pikir pegawai Pemda dalam mengelola keuangan. Bebeda halnya dengan pinjaman langsung pemerintah pusat yang diperoleh secara bilateral yang syarat dan ketentuan kreditnya cukup lunak dan negotiable setiap kali kredit tersebut jatuh tempo,penerbitan obligasi daerah lebih menyerupai penerbitan obligasi pemerintahpusat, baik dalan bentuk surat utang negara (SUN) ataupun obligasi rekap perbankan.Sekali menerbitkan obligasi, pihak penerbit harus konsekuen memenuhi kewajiban yang berjalan, baik berupa pembayaran kupon maupun pokok obligasi. Obligasi pemerintah daerah dimasa datang mempunyai prospek dan peluang yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat kecenderungan yang terus meningkat. Dana yang didapat investordari obligasi pemerintah daerah bisa dipergunakan untuk membangun serta membenahi Infrastruktur daerah tersebut, hal ini dimaksudkan untuk menarikminatinvestor domestik maupun investor asing untuk modalnya pada obligasi pemerintah daerah. Dalam menerbitkan obligasiatau bentuk surat utang lainnya, yang paling penting adalah adanya alasan yang legal yang melatarbelakangi penerbitan tersebut yang mencakup maksud, tujuan dan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat umum. Selama maksud dan tujuan penerbitan obligasi telah disepakati oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam jajaran pemerintah daerah serta masyarakat umum lainnya yang diwakili oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, maka hal itu dapat untuk dijadikan alasan kuat dalam penerbitan obligasi tersebut. Selain itu alasan penerbitan obligasi pemerintah daerah yang lainnya adalah tersedianya kemampuannya pembayaran bunga dan pelunasan pokok pinjaman dapat dilakukan dengan lancar dan aman. Jumlah penghasilan aliran kas bersih yang akan diterima untuk membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman harus benar dan layak , sehingga bisa dijadikan alasan utama lainnya. Obligasi daerah yang diterbitkan akan menggeser obligasi korporasi dan pasar saham karena obligasi daerah memiliki risiko yang lebihkecil apalagi obligasi tersebut dijamin oleh proyek tersebut dan APBD. Bagi investor pasar modal, obligasi daerah merupakan instrumen investasi baru setelah obligasipemerintah pusat, obligasi korporasi, dana pensiun, maupun 17

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Ekonomi Daerah

asuransi, apalagi jika nanti obligasi daerah menawarkan tingkat keuntungan yang menarik, dipastikan minat investor akan tinggi. Rencana penerbitan obligasi pemerintah daerah diperkirakan bakal mendapat respons positif dari investor. Potensi tingginya minat investor setidaknya terlihat dari tingginya peringkat yang didapat oleh beberapa pemerintah daerah

yang akan merilis obligasi perdananya. Terhadap obligasi Pemda, PT Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) telah memberi peringkat (AA+) terhadap obligasi Pemda DKI. Pada saat ini implementasi penerbitan obligasi dilaksanakan oleh Pemda DKI Jakarta yang akan menerbitkan obligasi Rp 1,7 triliunpada tahun 2012dan diharapkan yang tinggi di dalam negeri merupakan sejumlah faktor penarik meningkatnya ULN termasuk oleh swasta. Namun demikian, terdapat sejumlah risiko yang perlu diwaspadai terutama ditengah pemulihan kondisi global, diantaranya currency mismatch, maturity mismatch, serta interest rate risk. Peningkatan ULNS telah membuat beban ULN Indonesia menjadi lebih tinggi. Hal ini terlihat dari naiknya rasio pembayaran ULN terhadap ekspor (DSR) dari 21,3% pada tahun 2011 menjadi 30,5% padatriwulan II-2012. Rasio utang 9

akan diikuti oleh pemerintah daerah lainnya. Langkah penerbitan obligasi Pemda diharapkan akan menjadi trend pendanaan pembangunan infrastruktur. Menurut rencana obligasi pemda DKI ini akan digunakan untuk membiayai sejumlah multi proyek infrastruktur yang tidak ter-cover oleh anggaran pemerintah daerah. (Gede Edy Prasetya)

Sambungan halaman 16: Utang Luar Negeri Swasta Meningkat Secara sektoral, posisi ULNS terbesar selama Januari hingga Juli 2012 adalah pada sektor keuangan, persewaan, dan jasa keuangan yaitu 28% dari total ULNS. Sedangkan penarikan ULNS berdasarkan investasi langsung terbesar adalah pada sektor industri pengolahan oleh perusahaan induk dan sektor pertambangan dan penggalian oleh perusahaan afiliasi.

terhadap PDB juga meningkat dari 26,4% pada tahun 2011 menjadi 27,3% pada triwulan II-2012. Selain meningkatnya nilai ULN, kinerja ekspor yang melemah akibat kelesuan perekonomian global dan penurunan harga komoditas menjadi faktor lain penyebab naiknya beban ULN. Pengawasan terhadap kinerja ULNS telah dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam upaya menjaga kestabilan ULNS, penggunaan ULNS untuk sektor produktif khususnya yang berorientasi ekspor perlu ditingkatkan agar rasio beban ULN dapat terus terjaga. (Tri Kurnia A.) 10

Perekonomian Indonesia yang stabil, tingkat bunga yang relatiftinggi, serta kebutuhan investasi Porsi ULN Berdasarkan Peminjam

Posisi ULN Swasta

18

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Rubrik Penyaluran KUR

Realisasi Penyaluran KUR Agustus 2012


Penyaluran KUR pada Agustus 2012 terjadi penurunan menjadi Rp 2,6 T, dibanding bulan sebelumnya sebesar Rp 3,6 T. Hal ini disebabkan adanya periode libur bersama selama beberapa hari. Dengan capaian tersebut maka KUR yang disalurkan dari Januari hingga Agustus 2012 tercatat Rp 21,5 T. Sedangkan penyaluran total KUR sejak November 2007 hingga Agustus 2012 mencapai Rp 84,9 T dengan jumlah debitur sebanyak 6,97 juta orang. Rata-rata tiap debitur menerima kredit sebesar Rp 12,2 juta dengan tingkat NPL 3,7%. Bank BRI merupakan penyalur tertinggi untuk KUR Mikro.Tercatat realisasinyahingga Agustus 2012 mencapai Rp 40,1T. Sedangkan untuk KUR Ritel Bank BRI tercatat realisasinya hingga Agustus 2012 sebesar 11,4 T. Realisasi penyaluran KUR oleh BPD pada bulan Agustus 2012 mencapai Rp 376 M dengan jumlah debitur sebanyak 4.886orang. Tingkat NPL rata-rata untuk BPD sebesar 6.2%. Bank Jatim dan Jabar Banten merupakan penyalur KUR tertinggi. Bank Jatim menyalurkan sebanyak Rp 3 T dan Bank Jabar Banten sebesar Rp 2 T. Dilihat dari sektor yang menerima KUR pada bulan Agustus 2012, sektor perdagangan menerima KUR terbanyak hingga 58%. Sedangkan urutan kedua sektor pertanian 16%. Menurut sebaran regional, secara kumulatif penyaluran terbanyak KUR berada di provinsi Jawa Timur tercatat Rp 13 T. Untuk Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 12,6 T. Sementara penyaluran KUR di luar Jawa masih sangat rendah, khususnya di Maluku Utara dan Papua Barat yang masing-masing hanya Rp 348 M dan Rp 425 M. Penyaluran KUR bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), saat ini terus mengalami peningkatan, tercatat realisasi penyaluran Agustus 2012 mencapai Rp 18,5 M dengan jumlah debitur hingga mencapai 1.898 TKI. Sebagian besar KUR TKI diberikan bagi para pekerja yang ditempatkan di negara tujuan Korea Selatan, Malaysia dengan penyaluran masingmasing sebesar Rp 11,6 milliar dan Rp 3 milliar. Penyaluran terbesar menurut lapangan kerja diberikan pada sektor pabrik yang mencapai Rp 11,4 milliar. (Windy Pradipta) 11

Penyaluran KUR Menurut Sektor Ekonomi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan ISeptember 2012

19

Rubrik Opini Pakar

Wawancara dengan Prof. Hermanto Siregar: Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia
Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia yang terus meningkat menjadi kekhawatiran tersendiri mengingat krisis utang di kawasan Eropa masih berlangsung. Sampai dengan Juni 2012, ULN Indonesia mencapai USD 240,143 Juta dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Belajar dari krisis di Eropa, pengeluaran pemerintah yang terlalu besar akan mendorong peningkatan ULN. Akan tetapi, pengeluaran pemerintah memiliki peran penting dalam menopang perekonomian Indonesia khususnya di daerah. Pengeluaran pemerintah akan memberikan multiplier effectyang cukup besar bagi perekonomian. Menimbang manfaat tersebut maka perlu diperhatikan pengelolaan deficit financing yang sustainablesehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Defisit bukan masalah, asalkan ada sumber yang jelas untuk menutup defisit tersebut, tentunya dengan perhitungan yang matang. Jika sumber pembiayaannya dari ULN, maka pemerintah harus mempertimbangkan risk exposure, karena ULN terkait dengan stabilitas nilai tukar. Saat kurs melemah maka utang akan meningkat dan mengurangi kapasitas fiskal dalam mendanai pembangunan, tutur professor Hermanto. 20 Penggunaan dan alokasi ULN juga harus tepat. ULN seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif seperti pembangunan infrastruktur, bukan untuk konsumsi atau belanja pegawai. Rakyat harus secara efektif menyuarakan aspirasinya sehingga mendorong pemerintah mengalokasikan ULN ke sektor yang tepat dan dibutuhkan publik. Seharusnya pemerintah sadar bahwa perekonomian yang berputar di sektor keuangan hanya akan dinikmati oleh beberapa pihak saja, yaitu perbankan dan sektor moneter sehingga tidak menyentuh masyarakat. Professor Hermanto juga berpendapat bahwa sektor keuangan Indonesia masih kurang kompetitif terlihat dari suku bunga pinjaman yang relatif tinggi. Untuk itu, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor resiko dan ketidakpastian. Kedua, faktor Inflasi. Sepanjang inflasi masih tinggi maka perbankan tidak dapat menurunkan suku bunganya. Penabung akan menuntut suku bunga tabungan diatas inflasi dan perbankan akan menetapkan suku bunga pinjaman diatas suku bunga tabungan. Untuk itu inflasi harus ditekan untuk mendorong penurunan suku bunga sehingga pihak swasta tertarik untuk berhutang dengan perbankan dalam negeri . Kepemilikan SUN yang didominasi oleh pihak asing merupakan dilema tersendiri bagi Indonesia. Disatu sisi kita membutuhkan pihak asing untuk memperbesar kapitalisasi karena pasar yang besar akan cenderung stabil. Tapi disisi lain, kestabilan nilai tukar harus terus dijaga. Oleh karena itu perlu adanya regulasi yang mengatur pihak asing untuk memperpanjang periode peminjaman sehingga ada penundaan pembayaran dan kemampuan memprediksi yang lebih tepat, tutur Prof Hermanto. (Masyitha Mutiara)

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Institur Pertanian Bogor

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan I September 2012

Halaman ini sengaja dikosongkan

You might also like