You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Dispepsia adalah keluhan umum yang disampaikan oleh individu-individu dalam suatu populasi umum yang mencari pertolongan medis. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Belum didapatkan data epidemiologi di Indonesia (Djojoningrat, 2007). Angka kejadian dispepsia di masyarakat luas tergolong tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada suatu komunitas selama 6 bulan, tingkat keluhan dispepsia mencapai 38% (Jones dkk, 1989), dimana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa keluhan dispepsia banyak didapatkan pada usia yang lebih muda. Penelitian pada komunitas lain yang dilakukan oleh peneliti yang sama selama 6 bulan mendapatkan angka keluhan dispepsia 41% (Jones dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja usia 14-17 tahun, remaja perempuan lebih banyak menderita dispepsia dibandingkan dengan remaja laki-laki, yaitu 27% dan 16% (Reshetnikov, 2001). Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Djojoningrat, 2007). Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal, jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dyspepsia (Reshetnikov, 2007).

Pola makan yang tidak teratur umunya menjadi masalah yang sering timbul pada remaja perempuan. Aktivitas yang tinggi baik kegiatan disekolah maupun di luar sekolah menyebabkan makan menjadi tidak teratur (Sayogo, 2006). Selain itu, pola diet banyak dilaporkan secara konsisten pada remaja wanita yang mencoba untuk melakukan diet. Pada survey nasional di sebuah sekolah menengah atas, 44% remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki mencoba untuk menurunkan berat badan. Sebagai tambahan, 26% remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki dilaporkan mencoba agar berat badan mereka tidak bertambah (Robert, 2000). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Medan Sumatra Utara pada remaja perempuan SMA Al-Azhar terdapat angka kejadian sindroama dispepsia sebesar 64,4 %. Angka ini tergolong cukup besar, dan dapat dikatakan bahwa hampir semua atau sebagian besar remaja perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan mengalami sindroma dispepsia. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia. Besarnya angka kejadian sindroma dispepsia remaja perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan ternyata sesuai dengan pola makannya yang sebagian besar tidak teratur (Annisa, 2009).

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara ketidakteraturan makan dengan terjadinya sindroma dispepsia remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mencari hubungan antara ketidakteraturan makan dengan kejadian sindroma dispepsia remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Diketahuinya ketidakteraturan makan remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur. 2. Diketahuinya angka kejadian sindroma dispepsia remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bidang penelitian : Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang sindroma dispepsia. 2. Bidang pendidikan :

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.

3. Bidang pelayanan masyarakat : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar bagi masyarakat tentang ketidakteraturan makan dan sindroma dispepsia pada remaja perempuan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Sekresi Asam Lambung Lambung melaksanakan 3 fungsi utama. Fungsi utama lambung yang paling penting adalah menyimpan makanan yang telah dicerna hingga makanan tersebut dapat dikosongkan kedalam usus halus pada kecepatan normal untuk proses cerna dan absorpsi. Lambung akan mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim untuk memulai pencernaan protein. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran antara makanan yang dicerna dan cairan lambung untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus. Seluruh isi lambung harus diubah menjadi kimus sebelum dikosongkan ke duodenum (Sheerwood, 2007). Sel-sel lambung mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung setiap hari. Cairan lambung ini mengandung bermacam-macam zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen (Gambar 2.1.). HCl yang disekresikan oleh kelenjar di korpus lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang aliran empedu dan cairan pankreas. Asam ini cukup pekat untuk dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal muksa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung juga mengandung mukus (Ganong, 2003).

Gambar 2.1. Sekresi Asam Lambung Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

Lambung memiliki mekanisme protektif sendiri, diantaranya adalah mukus yang melapisi permukaan mukosa lambung (Gambar 2.2). Mukus ini berperan sebagai pelindung dari berbagai macam kerusakan potensial pada mukosa lambung dengan sifat lubrikasinya untuk mencegah kerusakan mekanis. Mukus juga membantu melindungi mukosa lambung agar tidak mencerna dirinya sendiri dengan menginhibisi pepsin saat bersentuhan dengan lapisannya. Sebagai substansi alkali, mukus juga membantu mekanisme perlindungan mukosa dari kerusakan akibat asam dengan menetralisir HCl di sekitarnya tanpa mempengaruhi HCl pada lumen (Sheerwood, 2007). Seluruh permukaan mukosa lambung di antara kelenjar-kelenjar memiliki lapisan yang bersambungan dari jenis sel mukus yang istimewa, yang secara sederhana disebut sel mukus permukaan. Sel-sel tersebut menyekresikan sejumlah mukus

kental yang melapisi mukosa lambung dengan suatu lapisan gel khusus, seringkali dengan ketebalan lebih dari 1 milimeter, sehingga menyediakan suatu cangkang proteksi utama bagi dinding lambung yang juga berperan dalam melumaskan transpor makanan (Guyton, 2007) Ciri lain dari mukus adalah alkalis. Oleh karena itu dinding normal lambung tidak secara langsung terpapar dengan sekresi lambung yang sangat asam dan proteolitik. Bahkan kontak dengan yang ringan sekali pun dengan makanan atau iritasi mukosa apa pun, secara langsung akan merangsang sel-sel mukus permukaan untuk menyekresikan mukus tambahan yang lengket, alkalis dan kental ini (Guyton, 2007) Motilitas dan sekresi lambung diatur oleh mekanisme persarafan dan humoral. Komponen saraf adalah otonom lokal yang melibatkan neuron-neuron kolinergik dan ilmpuls-impuls dari SSP melalui nervus vagus. Pengaturan fisiologik sekresi lambung biasanya dibahas berdasarkan pengaruh otak (sefalik), lambung, dan usus (Ganong, 2003).

Gambar 2.2. Pertahanan Mukosa Lambung Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000 Pengaruh sefalik adalah respon yang diperantarai oleh nervus vagus dan diinduksi oleh aktivitas di SSP. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi lambung. Serat-serat eferen untuk refleks ini adalah nervus vagus. Pada manusia, melihat, mencium, dan memikirkan makanan akan meningkatkan sekresi lambung. Peningkatan ini disebabkan oleh refleks bersyarat saluran cerna yang telah berkembang sejak awal masa kehidupan. Rangsang hipotalamus anterior dan bagian-bagian korteks frontalis orbital disekitarnya meningkatkan aktivitas eferen vagus dan sekresi lambung. Pengaruh otak menentukan sepertiga sampai separuh dari asam yang disekresikan sebagai respon terhadap makanan normal (Ganong, 2003).

Pengaruh lambung terutama adalah respon-respon refleks lokal dan respon terhadap gastrin. Adanya makanan dalam lambung mempercepat peningkatan sekresi lambung yang disebabkan oleh penglihatan, bau makanan, dan adanya makanan di mulut. Reseptor di dinding lambung dan mukosa berespon terhadap peregangan dan rangsang kimia, terutama asam-asam amino dan produk pencernaan terkait lain. Produk-produk pencernaan protein juga menyebabkan peningkatan sekresi gastrin, dan hal ini meningkatkan aliran asam (Ganong, 2003). Pengaruh usus adalah efek umpan balik hormonal dan refleks pada sekresi lambung yang dicetuskan dari mukosa usus halus. Walaupun di mukosa usus halus dan lambung terdapat sel-sel yang berisi gastrin, pemberian asam amino langsung ke dalam duodenum tidak akan meningkatkan kadar gastrin dalam darah. Sekresi asam lambung meningkat bisa sebagian besar usus halus diangkat, sehingga sumber hormon-hormon yang menghambat sekresi asam menghilang (Ganong, 2003). Sekresi lambung akan menurun secara bertahap ketika makanan mulai masuk dari lambung menuju usus halus. Mekanisme penurunan sekresi lambung ada 3 jenis. Saat makanan mulai dikosongkan ke duodenum secara bertahap, stimulus utama yang merangsang sekresi lambung, yaitu protein, telah ditarik. Setelah makanan meninggalkan lambung, cairan lambung akan terus terakumulasi hingga pH lambung akan menurun sangat rendah dan akhirnya akan merangsang somatostatin sebagai pemberi respon balik negatif untuk menghambat sekresi lambung. Penurunan motilitas lambung juga akan menurunkan sekresi asam lambung (Sheerwood, 2007).

2.2 Dispepsia 2.2.1 Definisi Dispepsia Dispepsia adalah sebuah turunan kata bahasa Yunani yang artinya indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman, atau distensi (Davidson, 1975). Dispepsia umumnya terjadi akibat adanya masalah pada bagian lambung dan duodenum. Penyakit yang memiliki sindroma seperti dispepsia seperti gastroesophageal reflux disease dan irritable bowel syndrome yang melibatkan esofagus dan bagian saluran cerna lainnya tidak dimasukkan ke dalam bagian dispepsia (Djojoningrat, 2007). Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa. Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala maupun intensitas gejala tersebut dari waktu ke waktu (Djojoningrat, 2007). Dispepsia dapat muncul meskipun tidak ada perubahan struktural pada saluran cerna, yang biasanya dikenal sebagai fungsional dan gejalanya dapat berasal dari psikologis ataupun akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Di sisi lain, dispepsia dapat merupakan gejala dari gangguan organik pada saluran cerna, dan dapat juga disebabkan oleh gangguan di sekitar dari saluran cerna, misalnya pankres, kandung empedu, dan sebagainya (Davidson, 1975). 2.2.2 Etiologi Dispepsia

Secara garis besar sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik maupun yang fungsional atau yang tidak terdapat kelainan secara struktural ataupun biokimiawi setelah dilakukan pemeriksaan penunjang (Djojoningrat, 2007). Tabel 2.1. Penyebab Dispepsia Dalam lumen saluran cerna Tukak peptic Gastritis Keganasan Gastroparesis Pankreas Pankreatritis Keganasan Keadaan sistemik Dibetes mellitus Penyakit tiroid Gagal ginjal Kehamilan Obat-obatan - Penyakit tiroid Anti inflamasi non steroid Teofilin Digitalis Antibiotik Hepato-bilier Gangguan fungsional Hepatitis Kolesistitis Kolelitiasis Keganasan Disfungsi sphincter Odli Penyakit jantung iskemik Gangguan fungsional Dyspepsia fungsinal Sindrom kolon iritatif

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , 2007 Berdasarkan hasil pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi pada 591 kasus dispepsia di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, ditemukan adanya lesi pada esophagus, gastritis, gaster, duodeni, dan lain-lain. Sebagian besar ditemukan kasus dispepsia dengan hasil esofagogastroduodenoskopi yang normal (Djojoningrat, 2007). Tabel 2.2 Hasil Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi pada 591 Kasus Dispepsia di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta Lesi Jumlah Kasus % Normal 168 28,43 Esofagitis 35 5,91 Gastritis 295 49,91 Ulkus gaster 13 2,20 Ulkus duodeni 21 3,55 Tumor esofagus 1 0,16 Tumor gaster 6 1,01 Lain-lain 52 8,83 Keterangan: Data Subbagian Gastroenterologi RSCM tahun 1994 Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007 Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Berdasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling berhubungan (Djojoningrat, 2007). Gastritis akut dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Kira-kira 80-90% pasien yang dirawat di ruang intensif menderita gastritis akut erosif yang sering disebut gastritis akut stress. Penyebab lain adalah obat-obatan. Obat yang sering dihubungkan

dengan gastritis erosive adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (NSAID) (Hirlan, 2001). Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjuk kepada suatu kelompok penyakit ulserativa saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama bagian proksimal duodenum dan lambung, yang mempunyai patogenesis yang sama-sama melibatkan asam-pepsin (Gambar 2.3.). Bentuk utama ulkus peptikum adalah ulkus duodeni dan ulkus lambung. Ulkus peptikum terjadi bila efek-efek korosif asam dan pepsin lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa duodenum (McGuigan, 1995). Dispepsia dengan temuan penyebab organik ataupun adanya kelainan sistemik yang jelas akan berdampak pada pengobatan yang defenitif perdasarkan patogenesis yang ada. Dalam kenyataan sehari-hari didapatkan keluhan dispepsia yang tidak ada kelainan sistemik yang mendasarinya, pemeriksaan radiologi dalam batas normal dan pada pemeriksaan endoskopi tidak dijumpai lesi mukosa. Hal inilah yang melahirkan istilah dispepsia non-ulkus atau dispepsia fungsional.

Gambar 2.3. Mekanisme Pembentukan Ulkus Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000 2.1.3 Diagnosa dyspepsia Berdasarkan kriteria diagnosa Roma III, sindroma dispepsia didiagnosa dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal (Anonim, 2006). Untuk menegakkan diagnosa, diperlukan data dan pemeriksaan penunjang untuk melihat adanya kelainan organik/struktural, ataupun mengesklusinya untuk menegakkan diagnosa dispepsia fungsional. Adanya keluhan tambahan yang mengancam seperti penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan, perdarahan, dan lain-lainnya, mengindikasikan agar dilakukan eksplorasi diagnostik secepatnya. Selain radiologi, pemeriksaan yang bisa dilakukan diantaranya adalah laboratorium, endoskopi, manometri esofago-gastro-duodenum, dan waktu pengosongan lambung (Djojoningrat, 2007). 2.2.4 Tatalaksana Tatalaksana dispepsia dibagi dalam tatalaksana nonmedikamentosa dan talaksana medikamentosa. a. Tatalaksana Nonmedikamentosa :

Meliputi edukasi terkait diet kepada pasien agar menghindari makan yang dapat memicu timbulnya keluhan dispepsia yaitu makananan yang pedas, asam, tinggi lemak (Djojoningrat, 2007). b. Tatalaksana Medikamentosa meliputi : Antasida Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien dyspepsia, tapi dalam studi meta-analisis obat ini tidak lebih unggul dari placebo(Djojoningrat, 2007). Penyekat H2 Reseptor Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Dari studi acak ganda tersamar, didapatkan hasil yang controversial. Sebagian gagal

memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional dan sebagian lain berhasil. Secara meta-analisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas placebo. Masalah pokok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian dan kemungkinan juga masuknya kasus GERD. Umumnya manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati(Djojoningrat, 2007). Penghambat Pompa Proton Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada kasus dispepsia terutama untuk kasus ulkus (Djojoningrat, 2007). Sitoproteksi

Tidak banyak studi untuk memperoleh manfaat yang dapat dinilai dari obat ini misalnya misoprostol dan sucralfat (Djojoningrat, 2007). Metoklopramid Merupakan antagonis reseptor dopamine D2 dan antagonis serotonin (5HT3) member manfaat tapi juga kemungkinan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya (Djojoningrat, 2007). Domperidon Termasuk obat antagonis dopamine D2 yang tidak melewati sawar darah otak sehingga tidak terdapat efek samping ekstrapiramidal (Djojoningrat, 2007). Cisapride Tergolong obat agonis (5-HT4) dan antagonis (5-HT2) yang pada studi meta-analisis memperlihatkan pemberiannya memperlihatkan angka

keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo.

Beraksi pada

pengosongan lambung dan disritmia lambung. Namun dengan diketahuinya adanya efek samping terutama disritmia sehingga pemakaiannya harrus dalam pengawasan(Djojoningrat, 2007). Agonis Motilin Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah eritromisin yang dapat meningkatkan pengosongan lambung pada gastroparesis namun aplikasi klinis tidak praktis (Djojoningrat, 2007).

2.2.5 Prognosis Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik(Djojoningrat, 2007).

2.3 Pola Makan 2.3.1 Pola makan sehat Ada dua hal yang terkandung dalam pola makan yang sehat, yaitu makanan yang sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (Hardani, 2002). Pada Pedoman Umum Gizi Seimbang dari direktorat gizi masyarakat RI, terdapat 13 pesan dasar, yaitu: 1. Makanlah aneka ragam makanan 2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan 17nergy 3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan 17nergy 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan 17nergy 5. Gunakan gara beryodium 6. Makanlah makanan sumber zat besi 7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan 8. Biasakan makan pagi 9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya 10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur

11. Hindari minum minuman beralkohol 12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan 13. Bacalah label pada makanan yang dikemas Sedangkan pada masyarakat Jepang, ada beberapa anjuran kesehatan oleh departemen kesehatan Jepang yang tidak jauh berbeda dengan yang telah dikemukakan diatas. Hal yang penting diantaranya adalah memakan makanan tiga kali sehari dengan porsi yang seimbang, makan jangan berlebihan, jangan lupa makan pagi, dan setelah makan jangan langsung tidur (Hardani, 2002). 2.3.2 Pola makan remaja Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi (Sayogo, 2006). Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya peningkatan kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap transformasi somatis pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk berpusat pada karakteristik luar yang berbeda dengan introspeksi pada remaja akhir. Normal pada remaja awal untuk memperhatikan dengan teliti penampilannya dan merasakan bahwa orang lain sedang memandangi mereka juga. Gangguan citra tingkat ringan pada usia ini bersifat universal. Gangguan citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa, juga cenderung muncul pada usia ini (Nelson, 2000).

Saat mencapai puncak kecepatan pertumbuhan, remaja biasanya makan lebih sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya mereka akan lebih memperthatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri. Mereka sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan zat gizi (Sayogo, 2006). Pengembangan sebuah gambaran tentang fisik pribadi yang menyangkut bentuk tubuh dewasa adalah suatu gabungan antara kerja intelektual dan emosional yang berkaitan dengan isu nutrisi. Remaja umumnya merasa tidak nyaman dengan perubahan yang pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan, mereka sangat dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki teman sebaya ataupun idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh lebih kecil ataupun lebih besar, ingin tumbuh lebih cepat ataupun lebih lambat. Perasaan-perasaan seperti ini dapat mengarahkan mereka kepada percobaan untuk mengubah bentuk tubuh dengan memanipulasi pola makan mereka (Robert, 2000).

2.4

Hubungan Keteraturan Makan Terhadap Dispepsia Salah satu faktor yang berperan pada kejadian dispepsia diantaranya adalah

pola makan dan sekresi cairan asam lambung (Djojoningrat, 2007). Selain jenis-jenis makanan yang dikonsumsi, ketidak teraturan makan seperti kebiasaan makan yang

buruk, tergesa-gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman, 1984). Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal yang dilakukan oleh Reshetnikov kepada 1562 orang dewasa, jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia. Pada penelitian ini juga ditemukan perbedaan antara pola makan dan pengaruhnya terhadap gejala gastrointestinal pada pria dan wanita (Reshetnikov, 2007). Mendukung hasil penelitian diatas, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ervianti pada 48 orang subyek tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma dispepsia, didapatkan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma dispepsia adalah keteraturan makan (Ervianti, 2008). Remaja putri sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan zat gizi. Tindakan remaja ini mencakup manipulasi jadwal makan dan menyebabkan terjadi jeda waktu yang panjang antara jadwal makan (Sayogo, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 449 siswa usia 14-17 tahun, remaja perempuan lebih banyak menderita dispepsia dibandingkan dengan remaja laki-laki, yaitu 27% dan 16% (Reshetnikov, 2001). Selain itu, pola diet banyak dilaporkan secara konsisten pada remaja wanita yang mencoba untuk melakukan diet. Pada survey nasional di sebuah sekolah menengah atas, 44% remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki mencoba untuk menurunkan berat badan. Sebagai tambahan, 26% remaja perempuan dan 15% remaja

laki-laki dilaporkan mencoba menjaga agar berat badan mereka tidak bertambah (Robert, 2000). Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan, serta sekresi cairan asam lambung (Djojoningrat, 2007). Asam lambung adalah cairan yang dihasilkan lambung dan bersifat iritatif dengan fungsi utama untuk pencernaan dan membunuh kuman yang masuk bersama makanan (Redaksi, 2009). Selain faktor asam, efek proteolitik pepsin sesuai dengan sifat korosif asam lambung yang disekresikan merupakan komponen integral yang menyebabkan cedera jaringan. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam lambung juga meningkatkan sekresi pepsinogen. Walaupun sekresi asam lambung dihambat, sekretin tetap merangsang sekresi pepsinogen (Harrison, 2000). Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari (Redaksi, 2009). Penghasilan asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong, 2003). Selain pengaruh sefalik, sekresi asam lambung interdigestif atau basal dapat dipertimbangkan untuk menjadi tahapan sekresi. Tahap ini tidak berhubungan dengan makan, mencapai puncaknya sekitar tengah malam dan titik terendahnya kira-kira pukul 7 pagi (Harrison, 2000). Peningkatan sekresi asam lambung yang melampaui akan mengiritasi mukosa lambung, dimana efek-efek korosif asam dan pepsin lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa (McGuigan, 1995).

2.5 Hipotesis Ada hubungan antara ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia pada remaja perempuan di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur. Faktor diet Lingkungan Sekresi asam lambung Sindroma Dispepsia Fungsi motorik laambung Psikologi
Remaja Perempu an

Infeksi Helicobacter pylori

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional.

3.2. Subjek Penelitian Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah remaja perempuan yang sebagai siswi yang sedang duduk di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur pada tahun 2012. Siswi yang menjadi subjek penelitian adalah yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu siswi yang bersedia menjadi responden, sedangkan untuk kriteria eksklusi yaitu, siswi yang tidak menyerahkan kembali kuesioner penelitian pada batas waktu yang telah ditetapkan. 3.3. Besar Sampel Sampel dari penelitian ini adalah semua remaja perempuan yang sebagai siswi yang sedang menjalani proses belajar di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian 3.4.1 Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA N 1 Selong Lombok Timur. 3.4.2 Waktu penelitian

No Kegiatan 1 2 Penyiapan Proposal Prsiapan penelitian dan Ethical 3 4 5 clearence Pengambilan data Analisa data Penyusunan laporan akhir

Juli

Agustus september Oktober november desember

3. 5 Identifikasi Variabel Variable independent


Ketidakteraturan makan

Variable dependent
Sindroma dyspepsia remaja perempuan

3.6 Definisi Operasional Subyek penelitian: Subyek penelitian adalah remaja perempuan yang aktif secara akademik yang sedang duduk di kelas XI IPA SMA N 1 Selong, Lombok Timur. Ketidakteraturan makan: Hitungan pola konsumsi makanan per hari yang diukur berdasarkan frekuensi dan penilaian cara konsumsi dengan menggunakan angket.

Penilaian terhadap variabel ketidakteraturan makan yaitu dengan melakukan skoring. Skor terendah adalah 7 dan skor tertinggi adalah 28. Apabila responden menjawab: (a) Skornya adalah 4 (b) Skornya adalah 3 (c) Skornya adalah 2 (d) Skornya adalah 1 Dari skor tersebut terbagi dalam tiga kategori - Skor 22-28 : Baik - Skor 15-21 : Sedang - Skor 7-14 : Buruk Penilaian ketidakteraturan makan: - Teratur : kategori baik

- Tidak teratur : kategori sedang dan buruk Sindroma dispepsia: sindroma dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang dan sendawa. Pengukuran dilakukan dengan metode angket sesuai keluhan spesifik yang terpapar pada kriteria diagnosa dispepsia fungsional berdasarkan Rome Criteria III. Penilaian sindroma dispepsia positif adalah: Terdapatnya jawaban (Ya) pada 1 atau lebih dari pertanyaan 1-4 ataupun 2 atau lebih dari seluruh pertanyaan.

3.7. Teknik Pengumpulan Data Data ketidakteraturan makan: diperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa angket yang dibagikan kepada sampel penelitian. Data sindroma dispepsia: diperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa angket yang dibagikan kepada sampel penelitian. Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Mengisi dan menandatangani informed consent 2. Siswi yang berusia 14-17 tahun. 3. Subjek penelitian yang dijadikan sampel akan diberikan Informed concent untuk diisi dan ditandatangani sebagai persetujuan menjadi responden dalam penelitian ini. 4. Pengembalian kuisioner.

3.8 Analisis Data Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini akan digunakan SPSS sebagai database dan program analisis data. Setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data penelitian yang diperoleh, hasil pengamatan akan disusun dalam tabel 2 x 2. Kemudian berdasarkan data akan dicari rasio prevalensi untuk mengetahui pengaruh faktor resiko terhadap efek, dan dilakukan uji hipotesis.

EFEK

YA FAKTOR RESIKO

TIDAK

JUMLAH

YA A B A+B TIDAK C D C+D Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan pada studi cross sectional.

A = subyek dengan faktor resiko yang mengalami efek B= subyek dengan faktor resiko yang tidak mengalami efek C= subyek tanpa faktor resiko yang mengalami efek D= subyek tanpa faktor resiko yang tidak mengalami efek Rumus rasio prevalens: RP = A / (A + B) : C / (C + D) Interpretasi hasil: 1. Bila rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga merupakan faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya efek, dengan kata lain bersifat netral. 2. Bila rasio prevalens > 1 berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit tertentu. Penentuan uji hipotesis berdasarkan rancangan penelitian: Langkah Menentukan variabel yang dihubungkan Jawaban

Variabel yang dihubungkan adalah ketidak teraturan makan (kategorik) dengan sindroma dispepsia (kategorik) Menentukan jenis hipotesis Menentukan masalah skala variabel Komparatif Kategorik

Menentukan pasangan/tidak berpasangan Menentukan jenis table B x K Kesimpulan:

Tidak berpasangan

2x2

Jenis tabel pada soal ini adalah 2 x 2. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square bila memenuhi syarat. Bila tidak memenuhi syarat uji Chi-Square digunakan uji alternatifnya yaitu uji Fisher.

You might also like