You are on page 1of 3

DINAMIKA KEBUDAYAAN

Posted on Agustus 20, 2010

A. Pengertian Dinamika Kebudayaan Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat harus senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial. Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Perubahan-peribahan dalam kebudayaan mencakup seluruh bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas, sudah tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Namun demikian setiap perubahan kebudayaan tidak perlu harus mempengaruhi sistem sosial masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ideide yang mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan polapola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-hubungan dalam keluarga. Melihat unit analisis perubahan masing-masing perubahan tersebut, maka dapat dimengerti mengapa perubahan kebudayaan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan sosial. Dinamika kebudayaan identik dengan perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam kenyataan kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang lambat, bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor (Horton & Hunt, 2006 : 58) sebagai suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum, moral, adat, semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat; maka tingkat perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Untuk memudahkan pengertian mengenai tingkat kesulitan perubahan unsur-unsur kebudayaan, Koentjaraningrat (2003 : 81) menguraikan 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal yang diasumsikan memiliki tingkat perubahan dari yang paling mudah sampai yang paling sulit yaitu : 1) Sistem peralatan hidup dan teknologi 2) Sistem mata pencaharian hidup

3) Organisasi social 4) Kesenian 5) Sistem pengetahuan 6) Bahasa 7) Sistem religi Perubahan kebudayaan sebagai suatu kenyataan, didasari oleh seperangkat teori yang menjelaskan analisis kausal antara konsep-konsep yang relevan. Teori-teori yang menguraikan proses perubahan sosial dan budaya antara lain (Pelly & Menanti, 1994 :200 201) : 1. Teori Sosio Historis Siklus dalam asumsi dasarnya mengemukakan bahwa peradaban manusia berkembang menurut suatu lingkaran atau siklus. Tokoh-tokoh teori ini adalah Ibnu Chaldun, Arnold Toynbee, dan Sorokin. 2. Teori Sosio Historis Perkembangan atau Linear lebih optimis dibanding penganut teori Sosio Historis Siklus. Hal ini didasarkan pada kepercayaan mereka terhadap kesempurnaan kemampuan manusia; proses perkembangan peradaban manusia diasumsikan menuruti garis lurus, makin berkembang makin baik. 3. Teori Psikologi Sosial banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan teori perubahan sosial terutama teori-teori tentang : (a) kepribadian kreatif, (b) kepribadian prestasi, dan (c) individu modern. Asumsi dasar dari teori-teori Psikologi Sosial yaitu individu-individu dengan kegiatan dan kreativitasnya akan dapat menggerakkan perubahan sosial. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kebudayaan Masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya, termasuk didalamnya cara berinteraksi sosial dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan dunia supranatural menurut kepercayaan yang diyakini. Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan maupun adanya mekanisme akibat munculnya penemuan-penemuan baru atau invensi, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Sairin (2002 : 1) mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan atau ide yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang befungsi sebagai landasan dan pedoman bagi masyarakat tersebut dalam berperilaku. Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak atau invisible power yang mampu mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik bersama, bauik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian, dan sebagainya. Oleh karena itu, kebudayaan bukan hanya terbatas pada kegiatan kesenian, peninggalan sejarah, atau upacara-upacara tradisional seperti yang dipahami oleh banyak kalangan selama ini. Lebih jauh Sairin (2002 : 2) mengemukakan bahwa sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti sejak manusia dilahirkan sampai ajal menjelang. Proses belajar dalam konteks ini, bukan hanya dalam bentuk proses internalisasi dari sistem pengetahuan yang diperoleh melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah, atau lembaga pendidikan formal lainnya, tetapi juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya. Belajar merupakan kata kunci dalam membicarakan transmisi kebudayaan. Konsep ini sangat penting kedudukannya dalam menganalisis berbagai masalah kebudayaan, karena memberikan petunjuk yang jelas bahwa

manusia buksnlsh mshluk ysng statis dan dapat diperlakukan semena-mena, tetapi manusia adalah mahluk yang berakal, berpikir, dan melakukan penilaian sebelum memutuskan untuk bersikap pada sesuatu yang dihadapinya. Akal yang dimiliki manusia merupakan alat utama dalam menyaring, memahami, dan mempertimbangkan berbagai masukan yang diterima dari alam sekitarnya sebelum mengambil keputusan dalam bersikap terhadap sesuatu. Dalam konteks yang lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami secara sosial oleh para anggota masyarakat. Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial dan pada gilirannya, bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya (Horton & Hunt, 2006 : 58). Selain karakteristik kebudayaan diperoleh melalui prose belajar, salah satu karakteristik lain dari kebudayaan yaitu sifat dinamis. Kebudayaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Sifat manusia yang tidak pernah puas dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang semakin bermutu dan bervariasi menyebabkan manusia berupaya untuk membuat inovasi-inovasi baru. Berbagai unsur kebudayaan masyarakat Indonesia pada 25 tahun yang lalu, tanpa terasa sudah berubah pada saat-saat ini. Perubahan tersebut bukan semata-mata terjadi pada aspek kebudayaan materil melainkan juga pada aspek immateril. Menurut Poerwanto (2000 : 143) sebab umum terjadinya perubahan kebudayaan lebih banyak dari adanya ketidakpuasan masyarakat, sehingga masyarakat berusaha mengadakan penyesuaian. Penyebab perubahan bisa saja bersumber dari dalam masyarakat, dari luar masyarakat atau karena faktor lingkungan alam sekitarnya. Faktor perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain adalah : 1. Faktor demografi; yaitu bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk. Sebagai gambaran pertambahan penduduk yang saangat cepat di pulau Jawa menyebabkan perubahan struktur kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemahaman terhadap hak atas tanah, sistem gadai tanah, dan sewa tanah yang sebelumnya tidak dikenal secara luas. Perpindahan penduduk atau migrasi menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah, sehingga banyak lahan yang tidak terurus dan lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh. Pengaruh akibat migrasi yang akan terlihat secara langsung adalah dalam sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial. 2. Penemuan baru; proses perubahan yang besar pengaruhnya tetapi terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut sebagai inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, masuknya unsur kebudayaan baru yang terebar ke berbagai bagian masyarakat. Penemuan baru dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Discovery dan Invention. Discovery adalah penemuan daru suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat atau pun berupa ide-ide baru yang diciptakan oleh seseorang atau bisa juga merupakan rangkaian ciptaan dari individuindividu dalam suatu masyarakat. Discovery baru akan menjadi invention bila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru yang ada. Penemuan-penemuan baru dapat tercipta bila ada kondisi yang menjadi stimulus, seperti : a. Kesadaran dari individu akan adanya kekurangan dalam kebudayaan mereka b. Kualitas ahli-ahli dalam satu kebudayaan yang terus mencari pembaharuan 3. Pertentangan atau konflik dalam masyarakat; dapat menjadi sebab timbulnya perubahan kebudayaan. Pertentangan yang terjadi

bisa antara orang perorangan, perorangan dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Sebagai contoh pertentangan antar kelompok yaitu pertentangan antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan antar generasi kerapkali terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern. 4. Pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri; perubahan yang terjadi sebagai akibat revolusi merupakan perubahan besar yang mempengaruhi seluruh sistem lembagalembaga kemasyarakatan. Soekanto (1994 : 330 332) menyatakan bahwa selain pengaruh besar yang berasal dari dalam masyarakat, ada pula pengaruh yang datang dari luar masyarakat, seperti : 1. Dari lingkungan alam fisik di sekitar manusia seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor yang menyebabkan manusia seringkali harus berpindah tempat tinggal dan menyesuaikan diri dengan tempat tinggal yang baru. Contoh pada masyarakat pantai yang tertimpa musibah tsunami, semula mata pencaharian sebagai nelayan, ketika mereka harus pindah tempat tinggal di daerah dataran tinggi, maka mereka harus belajar hidup dari kegiatan pertanian. 2. Peperangan dengan negara lain bisa menyebabkan negara taklukan harus bersedia menerima kebudayaan yang dianggap lebih tinggi derajatnya oleh negara penguasa. Contoh : Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II mngalami perubahan, dari bentuk negara agraris-militer menjadi negara industri. 3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua kelompok masyarakat atau lebih, mempunyai kecenderungan menimbulkan pengaruh timbal balik bagi masing-masing kebudayaan. Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat senantiasa melalui tahapan beberapa bentuk proses. Proses perubahan kebudayaan sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain (Ibid, 333 337) : 1) Adanya kontak dengan kebudayaan lain atau diffusi. Proses ini merupakan penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain atau dari satu masyarakat ke satu masyarakat yang lain. 2) Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan memberikan suatu nilainilai tertentu bagi manusia, untuk menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan, juga mengajarkan bagaimana manusia bisa berfikir secara oyektif, sehingga mampu menilai kebudayaan masyarakatnya apakah dapat memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan zaman atau tidak. 3) Sikap menghargai hasil karya seseorang serta keinginan-keinginan untuk maju. 4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang (deviasi) tetapi bukan yang bersifat kriminal. 5) Stratifikasi sosial masyarakat yang bersifat terbuka, sehingga nenberikan kesempatan kepada seseorang untuk maju dan mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi. 6) Penduduk yang heterogen. Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda akan mempermudah terjadinya kegoncangan budaya, dan selajutnya menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. 7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. 8) Orientasi ke masa depan dan adanya nilai-nilai bahwa manusia harus senantiasa memperbaiki kulitas hidup. C. Implikasi Dinamika Kebudayaan Dalam Masyarakat Masyarakat dan kebudayaan saling ketergantungan satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu kesatuan fungsional tanpa

kebudayaan, demikian sebaliknya. Atas daar hubungan fungsional inilah maka dalam masyarakat tercipta Esprit de corps dan para anggotanya dapat hidup dan bekerjasama dalam sgala aspek kehidupan (Linton, 1984 : 195). Dinamika kebudayaan di dalam masyarakat terjadi melalui serangkaian proses yang memerlukan waktu dan membawa konsekuensi logis terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang menjadi penopang dan pengatur keberadaan suatu masyarakat, sehingga harus senantiasa dalam kondisi dinamis. Selain itu, kebudayaan juga harus mampu bersifat adaptif, selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungan biogeofisik maupun lingkungan sosial-budaya para pendukung kebudayaan. Peran individu-individu sebagai anggota masyarakat menjadi sangat strategis dalam mengantisipasi perubahan kebudayaan, meskipun partisipasi yang diberikan belum tentu sempurna. Berbagai analisis yang bisa dilakukan, terutama pada masyarakat dengan kebudayaan yang homogen adalah ditemukannya paling tidak 3 (tiga) kategori tingkat kesulitan, yaitu : 1. Ada ide-ide kebiasaan dan tanggapan bersyarat yang sama bagi semua anggota masyarakat. Kategori ini merangkum asosiasi dan nilai-nilai yang sebagian besar berada di bawah sadar, tetapi yang sebenarnya merupakan bagian integral dari kebudayaan. 2. Ada unsur-unsur kebudayaan yang hanya dinikmati oleh para anggota, yang termasuk didalam kategori individu-individu tertentu yang mendapat pengakuan sosial di dalam masyarakat. Kategori ini termasuk : pola-pola yang mengatur aktivitas yang beraneka ragam tetapi saling berhubungan dan berlaku bagi berbagai kelompok dari masyarakat di dalam pembagian kerja. 3. Ada sejumlah unsur-unsur yang hanya dinikmati oleh individu-individu tertentu, tetapi dapat diakatakan asing bagi seluruh anggota masyarakat atau asing juga bagi semua anggota dari setiap kategori individu-individu yang mendapat pengakuan sosial. Menurut Parsons sebagaimana dikutip Poerwanto (2000: 153), setiap perubahan budaya akan menimbulkan ketidakseimbangan terhadap nilai-nilai budaya dan sistem sosial masyarakat yang sudah lebih dahulu ada. Namun pada gilirannya akan tercipta pula serangkaian upaya yang berfungsi untuk menjaga terciptanya keseimbangan nilai-nilai budaya dari para pendukung kebudayaan. Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan akan membawa akibat menguntungkan dan merugikan bagi masyarakat. Jika suatu perubahan terjadi, maka masyarakat pendukungnya harus siap melakukan modifikasi pola tingkah laku. Sebagaimana dikemukakan oleh Sahlins dalam Poerwanto (2000: 140), bahwa dalam menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung melakukan pendekatan budaya dalam bentuk sistem simbol, makna dan sistem nilai. Implikasi dinamika kebudayaan seharusnya bertujuan untuk menciptakan perbaikan kualitas hidup bagi semua anggota masyarakat. Perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi hendaknya membuat masyarakat dapat menikmati hidup yang layak. Bila kita perhatikan, perubahan budaya lebih mengarah pada upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, dan terampil dalam era persaingan global. Mengetahui laju pertumbuhan ekonomi bangsa kita yang mulai banyak bergerak dalam bidang industri, seharusnya pemerintah tetap mengupayakan keseimbangan lahan usaha dengan konservasi alam dan pemukiman penduduk. Namun sangat disayangkan, lahan untuk konservasi alam semakin sempit. Dengan demikian perubahan budaya masih belum berhasil menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kondisi alam wilayah negara kita.

Begitu banyak wujud kemajuan dan keuntungan sudah kita peroleh akibat perubahan kebudayaan. Namun kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan bangsa kita menjadi lebih baik dan berkualitas tinggi karena adanya dinamika kebudayaan tetapi bisa juga kehidupan masyarakat kita mengalami kemerosotan moral dan nilai-nilai luhur akibat dinamika kebudayaan. Parsons menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari empat subsistem yang berbeda, yang masing-masing subsistem mempunyai fungsi untuk memecahkan persoalan tertentu. Bahkan Parsons mengklaim bahwa keempat subsistem tersebut harus ada dalam suatu masyarakat jika masyarakat itu mau bertahan untuk waktu yang sangat panjang (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, 2005 : 59). Keempat subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Adaptation; adalah cara sistem beradaptasi dengan dunia material dan pemenuhan kebutuhan material untuk dapat bertahan hidup (pangan, sandang, dan papan). Aspek ekonomi sangat penting dalam subsistem ini. 2. Goal attainment; adalah pencapaian tujuan. Subsistem ini berurusan dengan hasil atau produk dari sistem dan kepemimpinan. Politik menjadi panglima dalam subsistem ini. 3. Integration; adalah penyatuan subsistem yang berkenaan dengan menjaga tatanan. Sistem hukum, lembaga-lembaga atau komunitaskomunitas yang memperjuangkan tatanan sosial termasuk dalam kelompok ini. 4. Laten pattern maintenance and tension management; mengacu kepada kebutuhan masyarakat untuk mempunyai arah panduan yang jelas dan gugus tujuan dari tindakan. Lembaga-lembaga yang ada dalam subsistem ini bertugas untuk memproduksi nilai-nilai budaya, menjaga solidaritas, dan mensosialisasikan nilai-nilai. Gereja, sekolah, dan keluarga termasuk dalam subsistem ini.
DAFTAR PUSTAKA Haviland, William A. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Horton, Paul B & Chester L. Hunt. 2006 Sosiologi Jilid 1 Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta : Rineka Cipta. Linton, Ralph. 1984. The Study of Man. Bandung : Jemmars. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaa dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Soekanto, Soerjono. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, ed. 2005. Teori Teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.

Manusia dan Kebudayaan


Kebudayaan manusia dari waktu ke waktu selalu berubah atau bersifat dinamis. Perubahan-perubahan yang terjadi itu disebabkan oleh dua factor yakni, perubahan dari dalam dan perubahan dari luar. Perubahan dari dalam sesuai analisi saya yaitu manusia dalam hidupnya selalu menginginkan sesuatu yang baru, lebih baik dan sempurna serta dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga menyebabkan ia (manusia) dengan kemampuan akalnya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya kebutuhan akan tempat tinggal (rumah) dan beberapa hal-hal lainnya. Sementara, perubahan dari luar yakni dengan masuknya pengaruh asing seperti system pengetahuan dan teknologi karena adanya pertemuan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dimana manusia yang satu bertindak sebagai pemberi unsur-unsur kebudayaan dan manusia yang lainnya bertindak sebagai penerima kebudayaan tersebut. Kebudayaan masyarakat Papua juga sama seperti yang telah di kemukakan diatas.Sebelum kebudayaan Papua dipengaruhi oleh kebudayaan dari

luar, kebudayaan masing-masing masyarakat setempat didaerah pantai maupun pedalaman tidaklah bersifat statis tanpa mengalami perubahan. Meskipun perubahan secara tidak nyata bolehlah dikatakan bahwa setiap generasi mewujudkan sejumlah hasil pemikiran yang tidak didapati pada kebudayaan yang diwujudkan oleh generasi yang mendahuluinya. Dalam kenyataan terlihat bahwa masyarakat-masyarakat setempat di papua mewujudkan tata cara kehidupan yang berbeda, system kekerabatan yang berbeda. Pengetahuan mengenai alat-alat yang terbuat dari besi dan logam oleh masyarakat daerah di pedalaman Papua, diketahui setelah adanya pengaruh dari luar, yaitu dengan masuknya orang Eropa yang datang selain untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah juga usaha untuk memperoleh kekayaan. Begitu pula dengan penggunaan uang yang di buat Pemerintah Jajahan Belanda sebagai alat penukar untuk memperoleh barang-barang tertentu, sehingga mendorong sejumlah individu berusaha memperoleh uang yang di pertukarkan dengan barang-barang keinginannya. Keadaan sebagaimana dijelaskan diatas terjadi pula hampir di semua daerah yang ada di dua Provinsi ini yakni Papua dan Papua Barat. Dimana sebelum masyarakat lokal menerima pengaruh dari luar, adat sangat berperan dalam kehidupan masyarakat setempat. Setelah masuknya pengaruh dari luar mengakibatkan peranan adat semakin berkurang (merosot-red), seperti masuknya pengaruh agama Kristen yang menyebabkan adanya pembakaran rumah-rumah tradisional serta hal-hal lain yang dilihat bertentangan dengan agama Kristen. Masuknya system pemerintahaan formal turut juga mempengaruhi system pemerintahaan tradisional. Seperti semakin menurunnya dinamika gotong royong pada masyarakat. Selain itu terdapat pula perubahan pada rumah yang meliputi; bentuk, ukuran, dan bahan serta lokasi rumah tersebut. Telah dijelaskan dimuka bahwa kebudayaan bersifat dinamis, sekarang muncul pertanyaan bila kebudayaan bersifat dinamis, apakah unsur-unsurnya juga bersifat dinamis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita ketahui apa saja unsur-unsur kebudayaan itu. Sesuai data yang di input penulis, ada sebanyak tujuh unsur kebudayaan yang universal diantaranya yakni, Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi dan Kesenian. Dari ketujuh unsur tersebut saya lebih memperhatikan unsur teknologi, secara khusus adalah teknik pembuatan rumah. Mengapa teknik pembuatan rumah itu penting ? Alasan karena rumah mempunyai arti tertentu bagi pemiliknya. Rumah merupakan salah satu hasil kebudayaan yang terdapat pada semua masyarakat atau manusia di dunia. Rumah dibangun dengan mempunyai bentuk, motif dan arsitektur dalam kebudayaan, selain itu selama ini sejumlah referensi yang berhubungan dengan teknik membuat rumah belum terungkap. Hal ini penting untuk diteliti sebelum punah, berubah dan menghilang. Bagian pertama, fungsi sosial yaitu rumah tempat tinggal keluarga kecil atau keluarga besar, rumah suci, rumah pertahanan, dan rumah tempat berkumpul umum. Bagian kedua, fungsi pemakaian yaitu tenda atau gubuk yang segera dapat dilepas dan rumah untuk menetap. Rumah juga berfungsi untuk menunjukkan wilayah klen tertentu (marga tertentu). Kondisi persoalan ini dipersulitkan oleh munculnya kecenderungan dari petuah-petuah itu sendiri untuk memilih rumah modern, karena tidak mempertahankan bentuk rumah tradisional. Keadaan ini juga berakibat pada menurunnya partisipasi dari sejumlah fungsionaris adat dalam rumah.....Semoga..!!!
Diposkan oleh aditya syaiful anwar di 23:47 Label: tugas kuliah

Merintis Jalan Kultural bagi Papua


Oleh R. Kristiawan

Wacana dan analisis soal Papua cenderung meletakkan problem ekonomi-politik sebagai akar masalah. Ketidakpuasan orang Papua salah satu indikasinya penyerahan Undang-Undang Otonomi Khusus disebabkan ketidakadilan ekonomi politik akibat kebijakan pusat yang tidak kondusif. Kekayaan alam belum mengangkat nasib ekonomi setempat; penduduk lokal terpinggirkan di tanah sendiri (demografi di Merauke menunjukkan, 40 persen penduduk adalah etnis Jawa, 30 persen suku-suku asli, dan 30 persen etnis-etnis pendatang non-Jawa); dan banyak masalah lain. Sebagai respons praksis dari pendekatan ekonomi politik, banyak dibuat program yang sifatnya juga ekonomi politik, misalnya pemberian status otonomi khusus dan pemekaran provinsi. Ada pula pembentukan kelompok pemerhati Papua, misalnya Kelompok Kerja Papua. Tentu saja pendekatan-pendekatan itu benar. Namun, sampai sekarang masih terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam situasi Papua. HS Dillon dalam sebuah pertemuan mengatakan, sudah dilakukan banyak upaya politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah Papua, tetapi terasa sekali upaya itu belum berdampak maksimal. Ada sesuatu yang tidak lengkap dalam melihat dan merespons masalah Papua. Yang banyak terlupakan dalam pendekatan ekonomi politik adalah persoalan identitas kultural. Francis Fukuyama dalam Trust (1995) mewakili sedikit ilmuwan yang percaya bahwa ekonomi tidak bisa lepas dari dinamika kultural lokal. Artinya, teropong kultural mutlak dipakai dalam implementasi kebijakan ekonomi. Budaya populer Sadar akan pentingnya strategi kultural dalam mengatasi masalah sangat penting, saya terpaksa melirik tema budaya populer karena budaya populer sangat signifikan dalam proses produksi dan konsumsi budaya modern. Budaya populer juga menyediakan kekuatan dengan tingkat konflik yang rendah. Masyarakat Papua sudah bisa menyaksikan tayangan-tayangan televisi Jakarta. Mau tidak mau mereka harus menyaksikan dinamika budaya populer dalam ranah domestik mereka lewat televisi. Modernitas ada di depan mata mereka meskipun cara hidup mereka masih banyak yang tidak bersentuhan dengan modernitas. Mengacu pada pendapat Alexis de Tocqeville, pada taraf kehidupan modern di mana kebudayaan-kebudayaan cenderung konvergen, identitas menjadi aspek penting dalam tautannya dengan struktur kekuasaan dan dominasi. Dengan demikian, ekspresi-ekspresi kebudayaan sebenarnya juga merupakan perjuangan mempertahankan identitas. Dalam hubungannya dengan masyarakat Papua, jelas sekali mereka tidak terwakili dalam arus budaya populer yang ada. Mereka dipaksa untuk hanya menonton tayangan televisi Jakarta. Padahal, simbol, ikon, metafora, dan idiom tayangan-tayangan itu tidak bersignifikasi dengan situasi keseharian mereka. Inilah proses komunikasi kebudayaan populer yang tidak seimbang karena cenderung bersifat satu arah sehingga banyak orang Indonesia tidak tahu bahwa selain Australia, Papua juga punya kanguru. Budaya populer erat kaitannya dengan identitas politik. Budaya populer adalah sarana modern di mana identitas nasional, etnik, jender, agama, dan kelas sosial saling memperjuangkan signifikasi dan dominasi dalam politik ruang publik (Chris Barker, 2003). Targetnya tentu saja bukan perolehan suara seperti pemilu, tetapi dominasi identitas. Lihatlah AFI dan Indonesian Idol yang

selalu mengaitkan seorang penyanyi dengan daerah asalnya. Lihat pula bagaimana wali kota, bupati, dan gubernur sangat antusias mendukung penyanyi dari daerahnya. Seperti halnya diplomasi, budaya populer memakai perangkatperangkat lunak, misalnya kata-kata, gambar, dan lagu, untuk memperjuangkan dominasi non koersif. Meskipun tanpa koersi, dominasi itu sangat terasa dalam psikologi politik dan kualitas kepercayaan, apalagi untuk daerah sensitif seperti Papua. Orang Papua terpaksa menyaksikan berbagai ekspresi kultural di luar diri mereka, sementara ekspresi mereka tidak mendapat tempat yang layak dalam arena budaya populer. Tidak seperti Jakarta, Papua tidak menguasai faktor-faktor produksi budaya populer. Dari sinilah perasaan terdominasi dan tersubordinasi salah satunya berasal. Maka, untuk menghasilkan solusi komprehensif mengenai Papua, jalan ekonomi dan jalan politik mesti juga dibarengi dengan jalan kultural. Cara ini bukannya belum ada di dunia. Tentu kita masih ingat cerita Keluarga Huxtable di TVRI tahun 80-an. Seluruh pemain utama serial ini berkulit hitam. Tidak seperti komunitas kulit hitam di kampung kumuh Brooklyn, Huxtable diposisikan sebagai keluarga kelas menengah seperti orang kulit putih. Sebagai sebuah strategi kultural, serial televisi tersebut sangat jitu untuk mengangkat identitas masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Secara politis, Keluarga Huxtable mempromosikan persamaan etnis dalam sosiologi masyarakat Amerika. Inilah cara proaktif mencegah konflik etnis. Penarikan musik jazz yang aslinya adalah musik pemberontakan budak Negro ke dalam industri musik pop juga merupakan strategi budaya lain yang jitu. Intinya adalah pemberian ruang psikologi politik untuk aktualisasi identitas kultural. Di Indonesia, upaya Rano Karno memperjuangkan kultur Betawi lewat Si Doel Anak Sekolahan memulai babak baru masuknya tema-tema Betawi ke tayangan televisi kita. Upaya memperjuangkan identitas Papua baru sedikit dilakukan. Padahal, Papua menyediakan potensi yang luar biasa. Masyarakatnya ekspresif dan cerdas; warna langitnya biru bersih; lautnya indah; variasi idiom kulturalnya pun luar biasa. Dari sinilah terasa begitu miskin representasi identitas Papua dalam arus budaya populer. Salah satu ekspresinya sangat jelas terdengar dalam dialog film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja karya Garin Nugroho. Bapa pastor, kenapa Yesus tidak dilahirkan berkulit hitam? kata satu pemeran di bilik pengakuan dosa. Ketika film itu diputar, sambutan masyarakat Papua luar biasa. Film ini menjadi box office di Papua. Ini membuktikan kerinduan mereka pada representasi dalam budaya populer. Strategi kebudayaan seperti contoh-contoh di atas perlu dilakukan agar Papua tidak hanya dihubungkan dengan potensi sumber daya alamnya, tetapi juga martabat dan identitas budaya manusia setempat.
R Kristiawan Peneliti Yayasan SET, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta, Melakukan Assessment Sosiokultural untuk Pilkada di Papua

You might also like