You are on page 1of 37

Tjut NjakDhien

Kisah Kepahlawanan

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 1


Tjut Njak Dhien
Melawan Belanda

Dalam Rangka Memperingati

100 Tahun Meninggalnya Tjut Njak Dhien

Penyusun :

Prof. DR. H. Said Zainal Abidin

Drs. Ir. H. Muhammad Djuned Harun, MM

Ir.H. Dharma Ali Hasjmy

Drs. H. Siswoyo Suwandi

Drs. T. Sukandar

sdabidin@yahoo.com

aldi_140483@yahoo.com

bungongjeumpa@ymail.com

www.youtube.com/bungongjeumpa

Wanita-Wanita Aceh Dalam Kancah


Perang

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 2


W
anita-wanita pemimpin dan pejuang Aceh
telah banyak tercatat dengan tinta emas
dalam sejarah panjang perjuangan Aceh,
baik dalam kedudukannya sebagai pemimpin di
kerajaan Atjeh Darussalam dan panglima pasukan
perang tentara kerajaan, maupun sebagai pemimpin
pejuang lainnya, di hati mereka masing-masing
telah tertanam teguh jiwa kesatriaan dan kejuangan
untuk membela hak kedaulatan bangsa. Ini berarti
harga mati, menentang setiap usaha penjajahan
dan kolonialisasi oleh setiap bangsa asing yang
datang ke Aceh seperti Portugis, Inggris dan
Belanda saat itu. Meskipun harus mengorbankan
jiwa raganya dan terjun langsung dalam perang
sedahsyat apapun, mereka tidak pernah gentar dan
putus asa, seperti halnya dialami dalam Perang
Aceh (1873-1942) atau perang melawan kolonial
Belanda. Perang ini diakui oleh sejarahwan sebagai
perang perlawanan terhadap tentara pendudukan
kolonial yang terlama terjadi dalam lintasan sejarah
Nusantara, berlangsung lebih kurang 70 tahun
lamanya, dan memakan kerugian harta benda dan
nyawa yang sedemikian besarnya di kedua belah
pihak.
Dalam perang perlawanan terhadap kolonial
Belanda di Aceh, memang telah banyak melibatkan
kaum wanita Aceh yang terkenal gagah berani, yang
tidak kalah dibandingkan dengan kaum laki-laki,
dan bahkan dapat lebih dalam beberapa hal

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 3


tertentu, misalnya kesabaran dan keteguhan
hatinya. Hal ini disebabkan oleh sifat kebanyakan
pejuang wanita Aceh jarang berputus asa, berubah
pikiran dan ragu dalam mempertaruhkan segala
jiwa raganya demi mempertahankan apa yang
dipandang penting sebagai masalah hak kedaulatan
bangsa dan kebenaran agama. Dibuktikan dengan
adanya laskar janda atau ‘laska inong balee’ terlibat
dalam banyak peperangan. Dan dapat dilihat pula
peran laskar laut armada Lakseumana Malahajati
yang sangat terkenal itu, terdiri dari para ‘inong
balee’, dan sangat disegani armada laut bangsa
Eropa dan bangsa Asia di selat Malaka. Makanya,
wajarlah jika banyak dijumpai pemimpin-pemimpin
wanita Aceh yang ikut terjun, berperan langsung,
bertempur menentang agresi Belanda, sampai-
sampai membuat Belanda berdecak kagum.
Tersebut dalam buku ‘Wanita Utama Nusantara
Dalam Lintasan Sejarah (Ismail Sofyan, 1994, hal.
78)’, bahwa tidaklah mengherankan jika seorang
penulis ternama bangsa Belanda H.C. Zentgraaft
menyatakan dalam banyak peperangan rakyat Aceh
melawan Belanda, para wanitalah yang merupakan
‘de leidster van het verzet’ (pemimpin perlawan)
perang tersebut. Dan lanjut H.C. Zentgraaft, bahwa
sejarah Aceh telah pula mengenal ‘Grandes Dames’
(wanita-wanita besar) sebagai pemegang peranan
penting dan berpengaruh, baik dalam pemerintahan
sebagai Sulthanah atau Permaisuri Raja, maupun

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 4


sebagai pemimpin atau panglima perang. Tidak
hanya itu, ucapnya lagi bahwa kedudukan beberapa
pemimpin pejuang wanita Aceh bahkan menyamai
Samiramis permaisuri raja Babilon dan Katherina II
kaisar wanita Rusia, sungguh luar biasa.
Salah satu wanita pemimpin dan pejuang yang
dimaksudkan tadi adalah Tjut Njak Dhien, memiliki
kelembutan khas perempuan bangsawan, memiliki
kharisma sebagai pemimpin masyarakat, sehingga
membuatnya menjadi sangat berpengaruh di
kalangan manapun. Namun sebaliknya, beliau juga
memiliki kekerasan hati dan keberanian untuk
menegakkan kebenaran dan menetang kezaliman.
Oleh karena perpaduan sifat-sifat tersebut itulah tak
heran jika Tjut Njak Dhien sangat disegani oleh
pihak musuh, pemimpin Belanda dan serdadunya.

Siapakan Tjut Njak Dhien

Tjut Njak Dhien sebagai seorang putri uleebalang


(pemimpin bangsawan) titisan berdarah pahlawan,
lahir pada tahun 1848 di kampung Lam Padang
Peukan Bada. Ayahnya yang bernama Teuku Nanta
Seutia, Uleebalang VI Mukim Wilayah XXV Aceh
Besar adalah anak Teuku Nanta Sjech, Uleebalang
Peuet VI Mukim.
Saudara kandung Teuku Nanta Seutia lainnya,
Teuku Tjut Mahmud yang menikah dengan Tjut

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 5


Mahani adik Raja Meulaboh keturunan Machoedoem
Sati bergelar Teuku Nanta seutia Raja (seorang
perantau dari daerah Sumatera Barat, tatkala itu
kerajaan Aceh diperintah oleh Sulthan Djamalul
Badrul Munir pada tahun 1711-1733 M). Teuku Tjut
Mahmud mempunyai putra bernama Teuku Umar.
Jadi Tjut Njak Dhien masih bersaudara sepupu
dengan Teuku Umar.
Ibu Tjut Njak Dhien pun, juga masih berasal dari
keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang
terkemuka di Lampagar. Jadi, kedua orang tua Tjut
Njak Dhien berdarah keturunan uleebalang Aceh
Besar. Sebagaimana lazimnya adat istiadat dan tata
kehidupan putri-putri bangsawan Aceh lainnya,
maka sejak kecil hingga berangsur remaja Tjut Njak
Dhien sudah cukup dibekali berbagai pendidikan
agama, pengetahuan tentang rumah tangga,
pengetahuan tentang sejarah dan hal-hal yang
menyangkut kehidupan sehari-hari. Sehingga
setelah menginjak sudah usia dewasa ia bukan
hanya memiliki sifat-sifat tabah, lembut, tawakal
dan taat beragama, namun juga berani, keras hati
dan berwibawa.
Jadi bukanlah hal kebetulan, kalau dalam tubuh
Tjut Njak Dhien telah bersemi semangat
kepahlawan yang luar biasa sejak usia remaja. Hal
ini juga dikarenakan selagi beliau masih bayi,
ibunya selalu mendendangkan lagu-lagu dan pantun
yang menumbuhkan semangat kepahlawanan di

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 6


dalam jiwa sang bayi. Demikian pula tidak jauh
berbeda dengan ayahnya, juga tidak henti-henti
menceritakan kepadanya tentang kehebatan
wanita-wanita Aceh di masa lalu seperti Ratu
Nihrasijah Rawangsa Khadiju, Ratu Tajul Alam
Safiatuddin, Lakseumana Malahajati, Lakseumana
Tjut Meurah Inseun, Lakseumana Meurah Ganti,
dan sebagainya.
Tjut Njak Dhien kian hari kian tumbuh menjadi
dewasa penuh semangat juang, dan seolah seperti
telah ditakdirkan nanti pada saatnya akan menjadi
seorang srikandi Aceh. Selanjutnya dalam masalah
perkawinan, sepertinya sudah menjadi kebiasaan
pula dalam keturunan masyarakat bangsawan di
Aceh saat itu, bahwa soal perjodohan diantara
sesama kerabat bangsawan adalah merupakan hal
yang lumrah. Oleh karena itu, di saat Tjut Njak
Dhien telah beranjak ke usia 12 tahun, 1860, beliau
dijodohkan orang tuanya dengan Teuku Tjhik
Ibrahim. Teuku Tjhik Ibrahim adalah anak dari
saudara laki-laki sebelah ibunya yaitu Teuku Po
Amat, Uleebalang Lam Nga XIII Mukim Tungkop,
Sagi XXVI Mukim Montasik, Aceh Besar. Teuku Tjhik
Ibrahim juga dikenal dengan panggilan Panglima
Teuku Sjech Ibrahim Lamnga, ia seorang pejuang
yang sangat ditakuti tentara Belanda. Dari
pernikahan Tjut Njak Dhien dengan Teuku Tjhik
Ibrahim, mereka dikaruniai seorang putri cantik.
Namun, tidaklah lama mereka dapat menikmati

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 7


kebahagiaan dalam rumah tangganya, karena
pertengahan 1873 telah berkecamuk perang dengan
Belanda.

Awal Malapetaka, Agresi Kolonial


Belanda

Perlu diketahui bahwa awal datang malapetaka


dan meletusnya perang melawan Belanda sangat
erat kaitannya dengan kedatangan bangsa-bangsa
Barat ke Aceh untuk berdagang. Timbul pertanyaan
bahwa ‘Mengapa bangsa-bangsa Barat ingin sekali
menguasai daerah Aceh?’ Alasan utamanya adalah
karena kedudukan geografis. Aceh mempunyai letak
yang sangat strategis yaitu di tepi selat Malaka,
merupakan pintu gerbang lalu lintas pelayaran laut
internasional di sebelah barat kepulauan Indonesia.
Disamping itu kondisi tanahnya sangat subur,
topografinya sangat memungkinkan untuk tumbuh
rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada, nilam
dan sebagainya, yang saat itu harganya sangat
menggiurkan dan menembus pasaran Eropah dan
Amerika. Maka tak heranlah apabila bangsa-bangsa
Portugis, Belanda, Inggeris ingin berlomba-lomba
untuk mencekam kukunya di tanah ‘rempah-
rempah’ Aceh yang lebih dikenal dengan sebutan
Serambi Mekah. Selanjutnya, agar diantara mereka
tidak saling berperang, maka dibuatlah perjanjian

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 8


berupa Traktat Sumatra khususnya antara Inggeris
dan Belanda, dan justru hal inilah ini yang membuat
awal penyebab malapetaka bagi kedamaian dan
ketenteraman di Aceh.
Menurut Traktat Sumatera yang ditandatangani
Belanda dan Inggris pada tahun 1871, Belanda
mendapat hak dan kebebasan untuk memperluas
kekuasaannya di pulau Sumatera termasuk Aceh
sehingga tidak ada kewajiban bagi Belanda untuk
menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang
sebelumnya diakui (baik Belanda maupun Inggeris),
sebagaimana tercantum dalam Traktat London
tahun 1824, ini merupakan pengingkaran Belanda
dan Inggris terhadap Aceh.
Sehubungan dengan itu, pada tanggal 26 Maret
1873 dari atas geladak kapal perang ‘Citadel Van
Antwerpen’ yang berlabuh di pantai Ulee Lheue,
Belanda memaklumkan perang kepada Kerajaan
Atjeh Darussalam yang diperintah oleh Sulthan
Alaiddin Mahmud Sjah. Sebulan kemudian, dengan
kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira tentara
Belanda yang dipimpin panglimanya Jenderal J.H.R.
Kohler, pertama kalinya mendaratlah di pantai
Ceureumen, Uleelheue dan melakukan penyerangan
sepanjang pantai Aceh. Penyerbuan tersebut yang
merupakan tindakan Agresi Belanda Pertama ke
kerajaan Aceh Darussalam yang sah dan berdaulat
adalah telah melanggar ketentuan internasional
yang tidak patut dilakukan oleh suatu bangsa dan

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 9


negara yang beradab.
Dengan tindakan agresi yang telah dilakukan
oleh Belanda di bumi Tanah Rencong, menyulut api
peperangan dan mengusik segala ketenteraman dan
kedamaian yang ada. Sehingga disana sini
timbullah perlawanan yang luar biasa dahsyatnya
dari pejuang-pejuang Aceh, laki-laki, perempuan,
tua dan muda, sehingga menjadi catatan sejarah
perang kolonial Belanda di Aceh yang juga disebut
‘Prang Kaphe Ulanda.’
Pecahnya perang kolonial Belanda tersebut telah
menggerakkan secara serentak seluruh rakyat Aceh
bersatu-padu, bahu-membahu melawan Belanda di
seluruh wilayah Aceh. Dibawah komando Sulthan,
uleebalang-uleebalang, ulama-ulama dan pemimpin
terkemuka lainnya, telah membuat rakyat menjadi
sukarela dan ikhlas berjuang atas dasar perang
sabil, mati syahid dalam perang mengusir penjajah
dari bumi Serambi Mekah.
Penyerangan dan agresi pertama Belanda ke
Aceh termasuk gagal total, disamping tak berhasil
merebut Istana Kraton Darud Donja, bahkan J.H.R.
Kohler tewas diujung peluru seorang pejuang Aceh
di halaman Masjid Raya Baiturrachman Banda Aceh.
Tewasnya seorang Jenderal senior di tangan rakyat
Aceh, merupakan satu pukulan telak dan sangat
memalukan bagi pemerintah Kolonial Belanda di
mata dunia Barat.
Setelah belajar dari kegagalan agresi pertama,

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 10


Belanda kembali menyusun rencana strategi baru
dengan melipat gandakan jumlah pasukan untuk
penyerangannya dalam agresi kedua. Untuk itu
khusus mengangkat seorang pimpinan perangnya
dari pensiunan Jenderal, J. Van Swieten. Pada
tanggal 24 Januari 1874, dengan kekuatan 6.950
prajurit berikut 249 perwira, Belanda kembali
menyerang Aceh hingga dapat merebut Kraton
Istana, namun tak berhasil menangkap Sulthan
Alaiddin Mahmud Sjah karena dia, keluarga serta
pengikutnya telah mengungsi ke luar kota yaitu ke
Lueng Bata. Dalam pengungsiannya Sulthan sakit
berat dan akhirnya meninggal akibat wabah kolera
yang menyerangnya sewaktu terjadi peperangan.
Untuk menggantikan posisi sulthan baru dilakukan
perundingan dengan penasihat-penasihat kerajaan,
maka terpilih untuk dinobatkan Sulthan Alaiddin
Mumammad Daud Sjah II, tetapi karena usianya
masih 10 tahun, sementara waktu pemerintahan
dijalankan oleh pemangku sulthan Tuanku Hasjim
Bangta Muda. Karena situasinya yang semakin
terdesak, tidak lama setelah itu Sulthan mengungsi
lagi jauh ke pedalaman, ke Keumala daerah Pidie.
Sementara disanalah Sulthan mendirikan pusat
pemerintahannya, dan dari sana pulalah Sulthan
melakukan perundingan, mengatur siasat perang
bersama-sama dengan Teuku Panglima Polem,
Teungku Tjhik di Tiro, Teuku Umar dan pejuang-
pejuang lainnya.

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 11


Selama sekian tahun perang berlangsung, Teuku
Tjhik Ibrahim selalu tampil di barisan depan dalam
peperangan, menjadi panglima bersama rakyatnya
hingga ke seluruh pelosok untuk mempertahankan
wilayah Aceh Besar dari serangan Belanda, dan oleh
karena itu terpaksa meninggalkan isterinya Tjut
Njak Dhien di daerah pertahanannya Peukan Bada.
Teuku Ibrahim sebagai panglima yang memimpin
langsung pasukannya di medan perang, banyak
berhasil memporak porandakan pasukan Belanda
hingga mengalami kerugian yang besar baik moril
maupun materil. Namun suratan takdir tidak dapat
ditolak, dalam satu pertempuran seru di lembah
Beuradeun Gle’ Taron, Montasik, pasukan Belanda
dipimpin van Der Hayden berhasil menggempur dan
menguasai pertahanan pasukan Teuku Tjhik
Ibrahim dan Nanta Seutia di daerah VI Mukim. Dan
tanggal 29 Juni 1878 Teuku Tjhik Ibrahim gugur
syahid sebagai syuhada pahlawan kusuma bangsa
bersama beberapa anggota pasukannya.
Untuk kesekian kali kegeraman dan kedongkolan
Tjut Njak Dhien tatkala mendengar jatuhnya korban
dalam pertempuran, termasuk suaminya, tetapi
terlebih lagi sewaktu melihat kesewenangan dan
keberingasan serdadu Belanda dalam membumi-
hanguskan Mesjid Raya Baiturrachman sebagai
pusat kegiatan ibadah dan benteng pertahanan
pejuang-pejuang Aceh, hal ini telah dilukiskan oleh
Szekely Lulofs dalam sebuah bukunya dengan kata-

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 12


kata sebagai berikut: “Tjut Njak Dhien
meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan
tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan
mengacung-ngacung, sampailah ia ke pintu
halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang
datang berkerumun memperlihatkan apa yang
bergolak-golak itu dari jauh, berseru-serulah ia
dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai
sekalian mukim yang bernama orang Aceh!
Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid
kita dibakarnya! Mereka menentang Allah
Subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasa-
kannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah
itu! Janganlah kita melupa-lupakan budi si kafir
yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang
suka mengampuni dosa si kafir itu! Masih adakah
orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?.”
Sepeninggal suaminya dalam perang yang masih
terus berkecamuk, hampir setiap harinya Tjut Njak
Dhien mendendangkan syair pantun Aceh untuk
membuaikan anaknya yang telah yatim hingga usia
cukup. Pantun tersebut menarik untuk dihayati,
merupakan ungkapan kasih sayang Tjut Njak Dhien
sebagai seorang ibu yang juga pejuang dalam
membesarkan putra buah harapannya supaya kelak
berguna bagi bangsa dan agama. Simaklah bait-bait
pantun itu (terjemahan bahasa Indonesia) sbb.:
Buai-buai, buailah sayang,
Burung terbang diatas angkasa,
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 13
Lekaslah gadang buah hati nang,
Tampil ke medan memerangi Belanda.

Buai-buai, buailah intan,


Lekaslah dewasa kekasih bunda,
Sehatlah hati, kuatlah badan,
Anakku nanti pegang senjata.

Buai-buai, buah hatiku,


Pasir putih diserang gelombang,
Lekaslah besar kekasih ibu,
Jagalah pantai, maju berperang.

Buai-buai, kekasih hati,


Biji sawi dalam kaca,
Lekaslah remaja kemala putri,
Pengganti ayah melawanBelanda

Mari kutimang bunga padi,


Putih berseri di sawah raya,
Panggulah senapan kekasih hati,
Perangi kafir bela ayahda.

Mari kutimang kuncup kapas,


Indah laksana bunga silanga,
Perbanyak kawan, jangan malas,
Tiap hari perangi Belanda.

Mari kutimang bunga rambutan,


Pagi sore menyembah Ilahi,
Pandailah sayang mengarungi lautan,

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 14


Rebutlah kapal perang Belanda.
Mari kutimang bunga rihan,
Bunga angsana kuning warnanya,
Semoga anakanda dicintai teman,
Rebut bersama benteng Belanda.
(Kutipan buku: Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan
Panglima Perang, A. Hasjmy, hal. 63)

Dorongan hati dari kekecewaan dan kepedihan


Tjut Njak Dhien yang amat sangat akibat ditinggal
suaminya serta mengalirnya darah kepahlawanan
dalam dirinya, adalah merupakan dasar kekuatan
dan motivasi untuk meneruskan cita-cita suaminya
berperang melawan kolonial Belanda sampai titik
darah terakhir, dan bahkan ia pernah berjanji akan
bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat
membantunya menuntut bela terhadap kematian
suaminya (Biografi Pejuang-Pejuang Aceh,
Abdurrahman G, 2002).
Setelah sekian lama Tjut Njak Dhien menjanda
membesarkan anaknya, terdengar berita bahwa ia
dipinang oleh seorang panglima bernama Teuku
Umar, yang terbilang masih saudara sepupunya
sendiri. Ketika itu, Teuku Umar masih beristrerikan
Tjut Njak Sapiah putri Uleebalang Glumpang dan
Tjut Njak Meuligo putri Panglima Sagi XXV Mukim.
Semula ia menolak pinangan itu, namun untuk
memenuhi desakan dari keluarganya dan berbagai
pertimbangan lainnya iapun bersedia menjadi isteri

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 15


Teuku Umar dengan syarat, bahwa ia tidak lagi
menjadi isteri penunggu rumah, melainkan
diperbolehkan ikut berperang bersama suami dan
pejuang-pejuang lainnya. Maka terwujudlah impian
Tjut Njak Dhien untuk berada di medan perang
mempertahankan tanah air melawan Belanda.
Dari perkawinannya dengan Teuku Umar, Tjut
Njak Dhien memperoleh seorang putri bernama
Tjut Njak Gambang yang tumbuh dewasa dalam
kancah perang, ia kemudian dinikahkan dengan
Teungku Majet alias Teungku Di Buket, putra
Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman (pejuang
dan ulama besar Aceh, pemimpin dan penggerak
Prang Sabi atau perang jihad yang sangat terkenal
itu).
Begitu besarnya amarah dan dendam Tjut Njak
Dhien kepada Belanda selama ini, dilukiskan dalam
buku ‘Aceh Sepanjang Abad’ (Muhammad Said,
1985). C. van der Pol seorang penulis Belanda
menguraikan awal timbulnya dendam Tjut Njak
Dhien, setelah mengetahui kebiadaban perlakuan
serdadu-serdadu Belanda atas anggota pasukan
Aceh yang tertangkap ataupun masyarakat biasa
yang tidak mau bekerja sama dengannya, seperti
kejadian penganiayaan dan pemenggalan kepala
Panglima Njak Makam (pemimpin Aceh yang
sangat berani dan banyak memporak porandakan
pasukan Belanda) didepan umum dan tanpa
perikemanusiaan kepalanya diarak keliling kota

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 16


Kutaradja. C. van der Pol selanjutnya menyebutkan
bahwa akibat dendam kemarahan Tjut Njak Dhien
tidak hanya menimpa ratusan korban Belanda,
bahkan ribuan dan berikut jutaan kerugian uang.
Katanya: “Zij (maksudnya Tjut Njak Dhien dan
pengikutnya) smeedeen wraakplannen zoo
grootsch en veelomvattend, dat er vele duizenden
levens en millioenen schats moeten worden
opgeofferd om ze te verijdelen.” Dan ia juga
melukiskan bahwa pejuang wanita yang satu ini
sebagai: “een der merkwaardigste vrouwen in Ned.
Indie” (yang artinya kira-kira: salah seorang wanita
yang mengajaibkan di Indonesia). Seluruh wajah
Tjut Njak Dhien seolah menyiratkan ekspresi
kebenciaan yang sangat terhadap penjajahan yang
penuh dengan penindasan dan kebuasan. Tetapi
dibalik itu semua, sesungguhnya Belanda dengan
tegas menyatakan kagum akan ketangkasan
berjuang dan keteguhan iman Tjut Njak Dhien.
Disebutkan lagi, walaupun tenaga Tjut Njak Dhien
telah banyak berkurang, tetapi jika dibandingkan
dengan wanita lain waktu itu, daya juangnya cukup
tinggi hingga menjapai usia lanjut, adalah sangat
luar biasa. Bangsa Belanda mengakuinya semua
ini, mungkin selama ini belum pernah mempunyai
seorangpun pejuang pahlawan wanita yang hebat
seperti Tjut Njak Dhien, juga tidak akan pernah
mempunyai seperti Joan d’Arc, lanjutnya.

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 17


Tjut Njak Dhien Terjun di Medan
Tempur

Pasangan baru Tjut Njak Dhien dan Teuku Umar


sempat mengejutkan Belanda di Kutaradja (Banda
Aceh diganti Belanda namanya menjadi Kutaradja).
Bersatunya dua kesatria ini telah mengobarkan
semangat juang yang begitu hebat di hati rakyat
Aceh. Sehingga pejuang-pejuang berhasil merebut
kembali wilayah VI Mukim dari tangan Belanda,
dan Tjut Njak Dhien dapat pulang ke kampung
halamannya lagi untuk membangun rumah
tangganya di Lampisang. Rumahnya ini sekaligus
menjadi markas tempat pertemuan para tokoh
pejuang dan alim ulama dalam mengobarkan
semangat jihad fisabilillah.
Sebenarnya Teuku Umar, suami kedua Tjut Njak
Dhien adalah sosok pejuang rakyat yang unik. Ia
sangat dicintai rakyat dan akalnya cepat berputar
bila menghadapi sesuatu persoalan. Taktiknya yang
cukup brilliant, ia berhasil ‘menggondol’ ratusan
pucuk senjata berikut amunisinya dari Belanda,
yang kemudian untuk dipergunakannya lagi
melawan Belanda.
Peristiwanya ini terjadi pada tahun 1893, Teuku
Umar sebagai panglima perang bersama 250
anggota pasukannya dengan resmi menyatakan
tunduk kepada Gubernur Belanda di Kutaradja, dan
bersedia membantu mengamankan seluruh Aceh.
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 18
Untuk itu ia dipercaya, pasukannya diberi
perlengkapan yang cukup untuk merebut daerah-
daerah yang masih dikuasai pejuang Aceh. Apa
yang dilakukan Teuku Umar tentunya selalu
sepengetahuan isterinya Tjut Njak Dhien. Selang
berapa lama kemudian, Teuku Umar bersama
seluruh pasukannya berbalik menentang Belanda,
dengan menggondol persenjataan, amunisi dan
perlengkapan lainnya hasil pemberian Belanda, ia
kembali bergabung dengan pejuang-pejuang yang
memang telah menantinya di daerah Aceh Barat
dan bertempur habis-habisan melawan Belanda.
Reaksi Belanda saat itu sangatlah keras, segera
memerintahkan panglima dan serdadunya untuk
melakukan pengejaran terhadap Teuku Umar itu
kemanapun beradanya, Belanda juga mencabut
gelar ‘Johan Pahlawan dan Panglima Besar’ yang
pernah diberikan kepadanya, dan memecat semua
pimpinan Belanda yang bertanggung jawab.
Wibawa dan pengaruh Tjut Njak Dhien kepada
Teuku Umar, oleh Jongenjans bekas Residen
Belanda ditulis (Aceh Sepanjang Abad, 1985, hal.
249) sebagai berikut: “Sebagai isteri-isteri dari
banyak pemimpin pejuang, Tjut Njak Dhien lebih
sangat fanatik lagi dari suaminya, dalam hal tidak
mengenal takluk. Segala kisah tentang dia serupa
ceritanya, terutama bagaimana Tjut Njak Dhien
senantiasa mendorong dan menggosok suaminya
supaya tetap jihad memerangi Belanda. Satu

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 19


diantara sebab utama maka Umar balik lagi
kepangkuan perjuangan Aceh adalah karena Tjut
Njak Dhien. Dia menemani Umar kemana saja,
turut merasa pahit pedih perjuangan dan terus
mengingatkan bahwa meski bagaimanapun tak
bolehlah menyerah.” Ungkapan Belanda ini
mengingatkan kita akan besar dan kuatnya
pengaruh Tjut Njak Dhien kepada Teuku Umar; dan
bahkan mampu menginspirasikan pemikiran
stratejik, mengkoordinasikan prajurit, mengatur
siasat perang dan tindak perbuatan yang sulit-sulit
sekalipun dalam melawan Belanda.

Tjut Njak Dhien Memimpin Pasukan

Kembali bergabungnya Teuku Umar berikut


panglimanya ke pasukan Tjut Njak Dhien, ternyata
secara serius telah diikuti serdadu Belanda, yang
setiap saat apabila lengah dapat membuat celaka
bagi pasukan Tjut Njak Dhien. Dan ini memang
benar terjadi, ketika terjebak kontak senjata hasil
kerja mata-mata Belanda dalam satu pertempuran
sengit di daerah Suak Ujung Kalak, Meulaboh.
Tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar sang
panglima gugur syahid diterpa peluru anggota
marsose Belanda. Dengan berangnya Tjut Njak
Dhien mengambil alih pimpinan pasukan Teuku
Umar tersebut. Sebagai panglima baru, Tjut Njak

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 20


Dhien tegas dan bertekad melanjutkan perjuangan
suaminya, bak ‘Singa Wanita’ julukan Ragil
Suwarno Progolupati dalam buku ‘Roman Singa
Lam Nga (1982).’ Cerita kehebatan, keberanian
Tjut Njak Dhien bagaikan air di lautan yang tak
habis-habisnya, diungkapkan lagi dalam buku
‘Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah’
bahwa Szekely Lulofs (1951) melukiskan ucapan
Tjut Njak Dhien tentang perjuangan, sebagai
berikut: ‘… selama aku masih hidup, masih
berdaya, perang suci melawan kafir ini hendak
kuteruskan. Demi Allah! Polem hidup, Bayet hidup,
Imeum Lueng Bata, menantuku Teungku Majet Di
Tiro hidup, Sulthan Daud hidup, dan kita hidup!
Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita
meneruskan pekerjaannnya, Guna agama, Guna
kemerdekaan bangsa kita, Guna Aceh, Guna Allah.’
Bertahun-tahun berjihad, bergerilya dari satu
medan ke medan lain, dari satu belantara ke
belantara lain, dari satu lembah ke lembah lain,
naik turun gunung penuh derita, maka sebagai
panglima, ia tidak pernah merasa lelah dan takluk,
bahkan saat uzur dan rabunpun, dipinggangnya
tetap terselip rencong dan siap terhunus untuk
musuhnya. Hatta berselang beberapa tahun
kemudian, karena rabun matanya yang demikan
parah di dalam hutan tanpa obat-obatan yang
memadai, akibatnya matanya menjadi buta sama
sekali. Tetapi dalam keadaan mata yang

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 21


sedemikian ini, tidak berarti semangatnya buta dan
luntur, ia berpantang menyerah dan bahkan di saat
posisinya sudah terkepungpun ia masih sempat
menikam seorang perwira Belanda yang mencoba
menghampirinya. Kisah hati baja Tjut Njak Dhien
ini selanjtnya digambarkan lagi olrh Jongenjans
(Aceh Sepanjang Abad, 1985, hal. 249) sebagai
berikut: “Bahkan sejak Umar wafat, ruh suaminya
tetap memberi dorongan kepadanya untuk tabah
menderita, menyambut kelanjutan pahit
perjuangan bersama-sama dengan pengikutnya.
Begitulah, masuk dan keluar desa, masuk dan
keluar belantara, naik dan turun gunung, iapun
semakin uzur dan rabun, namun ia terus
memimpin pengikutnya, diburu dan memburu,
tiada waktu mengasoh dan menjaga terhindar dari
sergapnya patrol Belanda ‘Maar nog was haat wil
niet gebroken’ yang artinya: namun bencinya
tidaklah padam.”
Tjut Njak Dhien mendapat dukungan kuat dari
teman-teman seperjuangan seperti Teuku Ali Baet
yang juga menantunya, Teuku Raja Nanta yang
juga adiknya, bahkan sampai Sulthan Muhammad
Daud Sjah II dan Teuku Panglima Polem pun juga
demikian. Tidak hanya itu, iapun didukung pula
oleh puluhan bahkan ratusan uleebalang, ulama
dan pemuka masyarakat, datuk-datuk, penghulu di
Meulaboh mulai dari rakyat biasa hingga petinggi.
Belanda dengan tak henti-hentinya mengejar

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 22


kemanapun keberadaan pasukan gerilya Tjut Njak
Dhien, sehingga mengharuskan Tjut Njak Dhien
berpindah-pindah tempat persembunyiannya, dari
satu hutan ke hutan lain yang dianggap aman
tidak mudah diketahui, bahkan kadang-kadang ia
terpaksa menyamar, menggunakan anak kecil
untuk keperluan sehari-hari, sebagai mata-mata.
Demikianlah, 6 tahun Tjut Njak Dhien bergerilya
memimpin perjuangan di hutan belantara bersama
pengikut dan pasukannya. Oleh karena persedian
makanan, obat-obatan yang sangat tidak menentu
adanya, juga kerentaan usianya pun memperparah
gejala kebutaan matanya sehingga pada akhirnya
melemahkan daya ingat dan daya tahan fisiknya.
Dengan penderitaan Tjut Njak Dhien yang begitu
berat dipikulnya, terus terang akan membuat iba
siapa saja yang melihatnya tidak terkecuali Pang
Laot (selaku panglimanya), sehingga pada suatu
saat yang tepat Pang Laot berusaha memberanikan
diri menyampaikan perasaannya pada Tjut Njak
Dhien agar bersedia menghentikan perlawanan
kepada Belanda. Namun apa yang diperolehnya
adalah kemarahan, kemurkaan dan umpatan caci
maki dalam nada suara keras.
Kira-kira hardik Tjut Njak Dhien demikian
bunyinya: “Lebih baik aku mati di rimba ini
daripada menyerah kepada kafir”. Namun,
meskipun demikian kejadiannya, dengan sangat
berat hati Pang Laot tetap memutuskan untuk

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 23


‘mengkhianati’ Tjut Njak Dhien karena demi
kebaikannya juga, dan Pang Laot datang melapor
serta membuat kesepakatan terbaik dengan pihak
Belanda mengenai rencana tersebut.
Tersebutlah tanggal 23 Oktober 1905 tentara
Belanda dipimpin oleh Van Veltman mengerahkan
pasukannya, diam-diam maju bergerak menyergap
ketempat persembunyian Tjut Njak Dhien, namun
tentara Belanda mendapat perlawanan yang cukup
sengit dari pasukan Tjut Njak Dhien sehingga kali
ini gagallah menangkapnya. Kemudian Tjut Njak
Dhien berpindah lagi persembunyiaannya.
Dan sesudah itu, tanggal 7 Nopember 1905,
setelah seorang anak kecil sebagai kurir Tjut Njak
Dhien berhasil ditangkap, maka terungkaplah letak
lokasi persembunyian Tjut Njak Dhien pada saat
itu. Walaupun berusaha mengadakan perlawanan
yang cukup, namun apa daya kekuatan pasukan
Tjut Njak Dhien yang tidak seimbang, apalagi
penyergapan dilakukan secara mendadak ditambah
keadaan fisik Tjut Njak Dhien yang sudah begitu
uzur, buta, perlu ditandu oleh pengawalnya, maka
tidaklah mudah bagi Tjut Njak Dhien kali ini untuk
diselamatkan, sehingga berhasillah Belanda.

Tidak Pernah Menyerah Walau


Tertawan

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 24


Akhirnya, Tjut Njak Dhien ‘singa betina’ dari
pantai barat Aceh ini tertawan juga oleh serbuan
satu pasukan Belanda di bawah pimpinan Leutnan
Van Vuuren dan Kapten Van Veltman. Semula Tjut
Njak Dhien dikawal ketat menuju ke Kutaradja,
diperlakukan sebagaimana layaknya seorang putri
bangsawan terkenal dengan makanan, pakaian dan
pelayanan yang baik (sesuai kesepakatan dengan
Pang Laot). Keaadan Tjut Njak Dhien meskipun
tertawan dalam kondisi sakit serta buta, ia tetap
garang, masih berusaha mengkomandokan perang
dari kamp tawanannya di Kutaradja.
Atas kejadian yang menimpa dirinya setelah
tertawan, rasa simpati dan hormat rakyatpun terus
datang tak pernah berkurang-kurang kepadanya,
bergantian menjenguk sehingga menimbulkan rasa
kecemasan kepada Van Daalen sebagai Gubernur
Belanda di Kutaradja.

Pengasingan Bukan Akhir


Perjuangan

Terus terang diakui, Belanda kewalahan juga


dalam membungkam Tjut Njak Dhien. Untuk itu
Belanda berpikir untuk mengasingkannya sebagai
mana halnya dengan pahlawan-pahlawan lain dari
tanah Jawa misalnya, Pangeran Diponegoro, Sentot
Alibasyah Prawiradirdjo. Maka pada 11 Desember

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 25


1906 Gubernur Jenderal J.B.V. Heutz telah
memutuskan untuk mengasingkan Tjut Njak Dhien
berikut seorang panglimanya serta seorang anak
yang masih kerabat dekatnya bernama Teuku Nana
ke pulau Jawa, tepatnya daerah Sumedang Jawa
Barat.
Dalam pengasingan itu Tjut Njak Dhien sangat
ramah diterima oleh Bupati Sumedang Pangeran
Aria Suria Atmadja yang bergelar Pangeran Mekah.
Bupati Sumedang menyerahkan segala sesuatunya
kepada K.H. Sanusi, seorang ulama besar Mesjid
Agung Sumedang untuk merawat Tjut Njak Dhien
sdengan intensif. Makanya, disamping suami-isteri
K.H. Sanusi, yang juga ikut merawat Tjut Njak
Dhien adalah anaknya H. Husna dan Siti Hodijah,
isterinya. Tjut Njak Dhien yang hafiz Al Qur’an,
tidak pernah diam di pengasingan, ia menjalankan
dakwah agama, aktif mengajarkan baca ayat-ayat
Al Qur’an kepada ibu-ibu di sekitarlnya, sehingga ia
mendapat gelar panggilan yang sangat terhormat
sebagai Ibu Ratu.

Tjut Njak Dhien Pahlawan Nasional

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6


Nopember 1908 Tjut Njak Dhien meninggal dunia,
kembali ke Sang Khalik Allah SWT, gugur sebagai
pahlawan kusuma bangsa, meninggalkan segala

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 26


kenangan indah, bermanfaat bagi nusa, bangsa,
agama dan tidak mampu dilukiskannya dengan
kata-kata satu-persatu. Almarhumah dimakamkan
di tanah pemakaman khusus keluarga K.H. Sanusi
di Gunung Puyuh, Sumedang, yang berdampingan
dengan lokasi kompleks pemakaman bangsawan-
bangsawan Bupati Sumedang saat itu.
Sebagai catatan untuk lebih mengingatkan kita
akan kejuangan Tjut Njak Dhien di masa lalu,
maka ditulislah dibawah ini ungkapan seorang
petinggi Belanda C Van der Pal yang menulis dalam
bukunya sbb.: “Apa yang mereka lakukan adalah
pada pokoknya karya Tjut Njak Dhien sendiri.
Serangan-serangan kelewang yang hebat-
hebat dialami oleh Belanda umumnya
digerakkan oleh pejuang-pejuang atas perintah
Tjut Njak Dhien sendiri. Untuk selanjutnya segala
perjuangan yang ada di Aceh, terutama di Aceh
Besar adalah menurut petunjuknya”.
Adalah Eros Djarot, seorang sutradara muda
Indonesia pada beberapa tahun yang lalu berhasil
mengangkat kisah perjuangan Tjut Njak Dhien ke
dalam layar lebar dan mendapatkan supremasi
yang terbesar di pentas perfilman di Indonesia dan
festival film Asia.
Kemudian, sebagai penghargaan atas jasa-jasa
Tjut Njak Dhien dalam perjuangannya melawan
kolonialisme Belanda, maka pemerintah melalui
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 27


nomor 106/TK/1964 pada tanggal 2 Mei 1964
mengangkat Tjut Njak Dhien sebagai Pahlawan
Nasional.

Penutup

Demikianlah sekilas kisah perjuangan Srikandi


Tanah Rencong Aceh, Pahlawan Nasional Tjut Njak
Dhien yang telah berjuang demi menegakkan
kebenaran menurut keyakinan agamanya dalam
berjihad fisabilillah (matee syahid meuprang ngon
kaphee) dan membela hak kadaulatan bangsa dari
tindakan perampasan penjajahan agresor Belanda.
Kebesaran jiwa dan keteguhan hatinya menjadi
pejuang sejati dengan komitmen pantang
menyerah kepada pihak kolonial bahkan Belanda
sekalipun sampai dengan titik darah penghabisan,
adalah jawaban yang telah ditunjukkan oleh Tjut
Njak Dhien saat mengarungi hidupnya walaupun
mengalami penderitaan sakit dan pahit yang luar
biasa baik moril maupun materil. Demikian pula
halnya tidak jauh berbeda dengan kedua
pendamping yang menjadi suami beliau, Teuku
Tjhik Ibrahim dan Teuku Umar, panglima-panglima
perang beliau, semuanya telah bersama-sama
bahu-membahu mengangakat senjata, termasuk
suka duka kala perjuangan.
Dan banyak lagi pejuang-pejuang wanita Aceh

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 28


yang telah rela secara luar biasa menyumbangkan
darma baktinya kepada nusa dan bangsa, terutama
dalam memerangi penjajah yang merampas
kedaulatan Aceh yang sah, sehingga pantaslah kita
berikan kepada mereka gelar tertinggi sebagai
pahlawan pejuang bangsa. Beberapa saja dari
mereka misalnya, Teungku Fakinah (putri seorang
ulama kerajaan Atjeh Darussalam, isteri Teungku
Achmad yang syahid dalam saat memimpin
perang, pemimpin pesantren Dayah Lamputjok dan
panglima Sukey Fakinah yang berjuang bersama
Tjut Njak Dhien, Teuku Umar, Sulthan Alaiddin
Muhammad Daud Sjah II dan Tuanku Hasjim
Bangta Muda), Tjut Njak Meutia (Pahlawan
Nasional, putri Teuku Ben Daud seorang
bangsawan dan ulama terkenal, isteri Teuku Tjut
Muhammad seorang panglima yang syahid dalam
peperangan), Potjut Meurah Inseun (putri seorang
bangsawan, isteri Tuanku Abdul Madjid bin Abbas
bin Sulthan Alaiddin Jauhar Sjah Alam), Potjut
Baren (putri Teuku Tjut Ahmad uleebalang
Tungkop, isteri uleebalang kejruen Geume,
panglima perang Woyla), Teungku Fatimah (putri
Teungku Khatim ulama besar, isteri Teungku di
Barat, panglima perang Tjut Njak Meutia) dan
Potjut Asiah (Teungku Tjhik Mahjiddin Tiro).
Tidak heranlah kalau ada pertanyaan, mengapa
di Aceh terdapat banyak pejuang dan pemimpin
wanita yang terkenal kehebatannya? Jawabannya

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 29


singkat, adalah karena semenjak awal dari lahirnya
Kerajaan Atjeh Darussalam hingga berlangsungnya
perang dengan Belanda, wanita Aceh telah diberi
kesempatan dan peran yang sama kedudukannya
dengan pria, sesuai ajaran Islam (Wanita Aceh
Sebagai Negarawan dan Panglima, A. Hasjmy).
Kita sebagai bangsa Indonesia, yang senantiasa
menghargai jasa-jasa para pahlawan dan pejuang,
baik wanita maupun pria, maka marilah kita
mendoakan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
semoga melimpahan kepada para pahlawan dan
pejuang tersebut pahala yang setimpal dengan
amal perjuangannya, dan diberikan tempat yang
sebaik-baiknya disisiNya. Kepada kita semua, harus
berbangga meneruskan perjuangan dan
pengorbanan mereka, mampu mengambil hikmah
dan suri-tauladannya untuk mengisi kemerdekaan
ini dari apa yang telah mereka persembahkan
sebelumnya untuk kejayaan nusa dan bangsa di
bumi nusantara ini.

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 30


Tjut Njak Dhien, para Panglima dan kerabatnya ketika
ditawan Belanda

Makam Tjut Njak Dhien di Sumedang, Jawa Barat

Rumah Tjut njak Dhien di Peukan Bada

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 31


Paguyuban Bungong Seulanga ketika berziarah ke
Makam Tjut Njak Dhien di Sumedang pada 1 Juni 2008

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 32


Balada Tjut Njak Dhien

Apabila bulan tersejum


di atas bumi merdeka
dia adalah wajah Tjut Njak Dhien

Apabila angin berembus


membelai bumi Mugo yang suci
dia adalah nafas Tjut Njak Dhien

Tjut Njak Dhien adalah harimau


yang tabah dan jelita
bersembunyi antara rumput ilalang
untuk menumpas kaphe dan penjajah

WS Rendra.

Daftar Pustaka:

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 33


1. Arif, Abdullah, Srikandi Tjut Nja’ Dhien, Penerbit
Panitia Peringatan Almarhumah Srikandi Nasional “Tjut
Nja’ Dhien”, Djakarta, 1956.
2. Zainuddinm, H.M., Srikandi Atjeh, Penerbit Pustaka
Iskandar Muda, Medan, 1966.
3. Hasjmy, A., Kebudayaan Aceh dalam sejarah,
penerbit Beuna, jakrta, 1983.
4. Said, H. Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, jilid
Kedua, PT Harian Waspada Medan, Medan, 1985.
5. Veer, Paul Van’t, Perang Aceh, PT Grafiti Pers,
Jakarta, 1985.
6. Sofyan, Ismail dkk, Perang Kolonial Belanda, Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1990.
7. Suhaimi, Dra. Emi, Wanita Aceh Dalam
Pemerintahan dan Peperangan, Yayasan Penerbir
Pendidikan Ali Hasjmy, Banda Aceh, 1993.
8. Sofyan, Ismail dkk, Wanita Utama Nusantara
Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, 1994.
9. Hasjmy, Prof. A., 50 Tahun Aceh Membangun,
Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda
Aceh, 1995.
10. Hasjmy, Prof. A., Wanita Aceh Sebagai Negarawan
dan Panglima Perang, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, 1996.
11. Abdurrahman, G., Biografi Pejuang-Pejuang Aceh,
Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Banda Aceh, 2002.
12. Lulofs, M.H. Szekely, Cut Nyak Din Kisah Ratu
Perang Aceh, Komunitas Bambu, Depok, 2007

KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 34


KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 35
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 36
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 37

You might also like