PASKA BERLALUNYA KONFLIK YANG BERKEPANJANGAN, YANG BERAWAL DARI AGRESI KOLONIAL BELANDA THN. 1873 DAN TERUS BERLANGSUNG DARI SATU DEKADE KE DEKADE BERIKUTNYA HINGGA MENCAPAI KLIMAKS NYA KETIKA DATANG GEMPA DAN TSUNAMI DAHSYAT THN. 2004 YANG LALU, MAKA LENGKAP DAN SELESAILAH SUDAH (MUDAH-MUDAHAN) SEGALA BENCANA YANG MENIMPA DAERAH “SERAMBI MEKAH” ACEH. KEMUDIAN, SEJAK ITU DIMULAILAH BABAK BARU PEMBANGUNAN KEMBALI ACEH KE DEPAN DALAM SEGALA BIDANG, YANG BIAYANYA BANYAK DIBANTU DONATUR LUAR DAN DALAM NEGERI. NAMUN, TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI BAHWA PERISTIWA-PERISTIWA YANG TELAH TERJADI SELAMA INI TURUT MEMBAWA DAMPAK YANG CUKUP BERAT MENGGERUS DAN
MELEMAHKAN KETAHANAN DAN KEMAMPUAN FISIK, MENTAL DAN SPIRITUAL, DAN JUGA MENINGGALKAN TRAUMA YANG MENDALAM PADA SEBAGIAN MASYARAKAT DI ACEH.
DAMPAK IKUTAN DARI KONFLIK DAN MUSIBAH TERSEBUT, PADA SAAT INI KIAN TERASA MULAI (DAPAT) MENGGEROGOTI SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN, EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA, DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DI ACEH. KECEDERUNGAN DAN GEJALANYA MULAI MENGUAT TAJAM DAN MENGARAH. YANG SETERUSNYA, TIDAK TERTUTUP KEMUNGKINAN AKAN (MULAI) BERPENGARUH KUAT MELEMAHKAN ASPEK KESEJARAHAN BANGSA, YANG KEMUDIAN AKAN MELUNTURKAN RASA KEBANGGAAN KEPADA KEJAYAAN BANGSA MASA LALU. DAN AKHIRNYA, AKAN MENGURANGI RASA KEPEDULIAN DAN PENGHARGAAN KEPADA PARA PAHLAWAN DAN PEJUANG (YANG MERUPAKAN BAGIAN DAN JIWA DARI IDEALISME KEBANGSAAN). OLEH KARENA ITU, SANGATLAH DIPERLUKAN TINDAKAN ANTISIPASI SERIUS, UTAMANYA YANG LEBIH TERFOKUS KEPADA GENERASI MUDA SEBAGAI PEWARIS MASA DEPAN BANGSA.
DALAM MOMENTUM INI,YANG KEBETULAN MASIH ERAT KAITANNYA DENGAN PERINGATAN 100 TAHUN MENINGGALNYA PAHLAWAN TJUT NJAK DHIEN, ADALAH MERUPAKAN SUATU KENISCAYAAN BAGI “PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA” UNTUK TAMPIL BERPERAN MENGIMPLEMENTASIKAN SEBUAH PROGRAMNYA, BERBUAT SESUATU “MANFAAT” UNTUK ACEH, KHUSUSNYA KEPADA GENERASI MUDA, SISWA ATAU MASYARAKAT UMUM DI ACEH. MUDAH-MUDAHAN MELALUI SUMBANGAN PEMIKIRAN YANG DITANDAI DENGAN PELUNCURAN BUKU “SEJARAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA” INI, NIAT TULUS PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA DAPAT DAN TELAH
PASKA BERLALUNYA KONFLIK YANG BERKEPANJANGAN, YANG BERAWAL DARI AGRESI KOLONIAL BELANDA THN. 1873 DAN TERUS BERLANGSUNG DARI SATU DEKADE KE DEKADE BERIKUTNYA HINGGA MENCAPAI KLIMAKS NYA KETIKA DATANG GEMPA DAN TSUNAMI DAHSYAT THN. 2004 YANG LALU, MAKA LENGKAP DAN SELESAILAH SUDAH (MUDAH-MUDAHAN) SEGALA BENCANA YANG MENIMPA DAERAH “SERAMBI MEKAH” ACEH. KEMUDIAN, SEJAK ITU DIMULAILAH BABAK BARU PEMBANGUNAN KEMBALI ACEH KE DEPAN DALAM SEGALA BIDANG, YANG BIAYANYA BANYAK DIBANTU DONATUR LUAR DAN DALAM NEGERI. NAMUN, TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI BAHWA PERISTIWA-PERISTIWA YANG TELAH TERJADI SELAMA INI TURUT MEMBAWA DAMPAK YANG CUKUP BERAT MENGGERUS DAN
MELEMAHKAN KETAHANAN DAN KEMAMPUAN FISIK, MENTAL DAN SPIRITUAL, DAN JUGA MENINGGALKAN TRAUMA YANG MENDALAM PADA SEBAGIAN MASYARAKAT DI ACEH.
DAMPAK IKUTAN DARI KONFLIK DAN MUSIBAH TERSEBUT, PADA SAAT INI KIAN TERASA MULAI (DAPAT) MENGGEROGOTI SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN, EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA, DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DI ACEH. KECEDERUNGAN DAN GEJALANYA MULAI MENGUAT TAJAM DAN MENGARAH. YANG SETERUSNYA, TIDAK TERTUTUP KEMUNGKINAN AKAN (MULAI) BERPENGARUH KUAT MELEMAHKAN ASPEK KESEJARAHAN BANGSA, YANG KEMUDIAN AKAN MELUNTURKAN RASA KEBANGGAAN KEPADA KEJAYAAN BANGSA MASA LALU. DAN AKHIRNYA, AKAN MENGURANGI RASA KEPEDULIAN DAN PENGHARGAAN KEPADA PARA PAHLAWAN DAN PEJUANG (YANG MERUPAKAN BAGIAN DAN JIWA DARI IDEALISME KEBANGSAAN). OLEH KARENA ITU, SANGATLAH DIPERLUKAN TINDAKAN ANTISIPASI SERIUS, UTAMANYA YANG LEBIH TERFOKUS KEPADA GENERASI MUDA SEBAGAI PEWARIS MASA DEPAN BANGSA.
DALAM MOMENTUM INI,YANG KEBETULAN MASIH ERAT KAITANNYA DENGAN PERINGATAN 100 TAHUN MENINGGALNYA PAHLAWAN TJUT NJAK DHIEN, ADALAH MERUPAKAN SUATU KENISCAYAAN BAGI “PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA” UNTUK TAMPIL BERPERAN MENGIMPLEMENTASIKAN SEBUAH PROGRAMNYA, BERBUAT SESUATU “MANFAAT” UNTUK ACEH, KHUSUSNYA KEPADA GENERASI MUDA, SISWA ATAU MASYARAKAT UMUM DI ACEH. MUDAH-MUDAHAN MELALUI SUMBANGAN PEMIKIRAN YANG DITANDAI DENGAN PELUNCURAN BUKU “SEJARAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA” INI, NIAT TULUS PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA DAPAT DAN TELAH
PASKA BERLALUNYA KONFLIK YANG BERKEPANJANGAN, YANG BERAWAL DARI AGRESI KOLONIAL BELANDA THN. 1873 DAN TERUS BERLANGSUNG DARI SATU DEKADE KE DEKADE BERIKUTNYA HINGGA MENCAPAI KLIMAKS NYA KETIKA DATANG GEMPA DAN TSUNAMI DAHSYAT THN. 2004 YANG LALU, MAKA LENGKAP DAN SELESAILAH SUDAH (MUDAH-MUDAHAN) SEGALA BENCANA YANG MENIMPA DAERAH “SERAMBI MEKAH” ACEH. KEMUDIAN, SEJAK ITU DIMULAILAH BABAK BARU PEMBANGUNAN KEMBALI ACEH KE DEPAN DALAM SEGALA BIDANG, YANG BIAYANYA BANYAK DIBANTU DONATUR LUAR DAN DALAM NEGERI. NAMUN, TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI BAHWA PERISTIWA-PERISTIWA YANG TELAH TERJADI SELAMA INI TURUT MEMBAWA DAMPAK YANG CUKUP BERAT MENGGERUS DAN
MELEMAHKAN KETAHANAN DAN KEMAMPUAN FISIK, MENTAL DAN SPIRITUAL, DAN JUGA MENINGGALKAN TRAUMA YANG MENDALAM PADA SEBAGIAN MASYARAKAT DI ACEH.
DAMPAK IKUTAN DARI KONFLIK DAN MUSIBAH TERSEBUT, PADA SAAT INI KIAN TERASA MULAI (DAPAT) MENGGEROGOTI SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN, EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA, DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DI ACEH. KECEDERUNGAN DAN GEJALANYA MULAI MENGUAT TAJAM DAN MENGARAH. YANG SETERUSNYA, TIDAK TERTUTUP KEMUNGKINAN AKAN (MULAI) BERPENGARUH KUAT MELEMAHKAN ASPEK KESEJARAHAN BANGSA, YANG KEMUDIAN AKAN MELUNTURKAN RASA KEBANGGAAN KEPADA KEJAYAAN BANGSA MASA LALU. DAN AKHIRNYA, AKAN MENGURANGI RASA KEPEDULIAN DAN PENGHARGAAN KEPADA PARA PAHLAWAN DAN PEJUANG (YANG MERUPAKAN BAGIAN DAN JIWA DARI IDEALISME KEBANGSAAN). OLEH KARENA ITU, SANGATLAH DIPERLUKAN TINDAKAN ANTISIPASI SERIUS, UTAMANYA YANG LEBIH TERFOKUS KEPADA GENERASI MUDA SEBAGAI PEWARIS MASA DEPAN BANGSA.
DALAM MOMENTUM INI,YANG KEBETULAN MASIH ERAT KAITANNYA DENGAN PERINGATAN 100 TAHUN MENINGGALNYA PAHLAWAN TJUT NJAK DHIEN, ADALAH MERUPAKAN SUATU KENISCAYAAN BAGI “PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA” UNTUK TAMPIL BERPERAN MENGIMPLEMENTASIKAN SEBUAH PROGRAMNYA, BERBUAT SESUATU “MANFAAT” UNTUK ACEH, KHUSUSNYA KEPADA GENERASI MUDA, SISWA ATAU MASYARAKAT UMUM DI ACEH. MUDAH-MUDAHAN MELALUI SUMBANGAN PEMIKIRAN YANG DITANDAI DENGAN PELUNCURAN BUKU “SEJARAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA” INI, NIAT TULUS PAGUYUBAN BUNGONG SEULANGA DAPAT DAN TELAH
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 1
Tjut Njak Dhien Melawan Belanda
Dalam Rangka Memperingati
100 Tahun Meninggalnya Tjut Njak Dhien
Penyusun :
Prof. DR. H. Said Zainal Abidin
Drs. Ir. H. Muhammad Djuned Harun, MM
Ir.H. Dharma Ali Hasjmy
Drs. H. Siswoyo Suwandi
Drs. T. Sukandar
sdabidin@yahoo.com
aldi_140483@yahoo.com
bungongjeumpa@ymail.com
www.youtube.com/bungongjeumpa
Wanita-Wanita Aceh Dalam Kancah
Perang
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 2
W anita-wanita pemimpin dan pejuang Aceh telah banyak tercatat dengan tinta emas dalam sejarah panjang perjuangan Aceh, baik dalam kedudukannya sebagai pemimpin di kerajaan Atjeh Darussalam dan panglima pasukan perang tentara kerajaan, maupun sebagai pemimpin pejuang lainnya, di hati mereka masing-masing telah tertanam teguh jiwa kesatriaan dan kejuangan untuk membela hak kedaulatan bangsa. Ini berarti harga mati, menentang setiap usaha penjajahan dan kolonialisasi oleh setiap bangsa asing yang datang ke Aceh seperti Portugis, Inggris dan Belanda saat itu. Meskipun harus mengorbankan jiwa raganya dan terjun langsung dalam perang sedahsyat apapun, mereka tidak pernah gentar dan putus asa, seperti halnya dialami dalam Perang Aceh (1873-1942) atau perang melawan kolonial Belanda. Perang ini diakui oleh sejarahwan sebagai perang perlawanan terhadap tentara pendudukan kolonial yang terlama terjadi dalam lintasan sejarah Nusantara, berlangsung lebih kurang 70 tahun lamanya, dan memakan kerugian harta benda dan nyawa yang sedemikian besarnya di kedua belah pihak. Dalam perang perlawanan terhadap kolonial Belanda di Aceh, memang telah banyak melibatkan kaum wanita Aceh yang terkenal gagah berani, yang tidak kalah dibandingkan dengan kaum laki-laki, dan bahkan dapat lebih dalam beberapa hal
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 3
tertentu, misalnya kesabaran dan keteguhan hatinya. Hal ini disebabkan oleh sifat kebanyakan pejuang wanita Aceh jarang berputus asa, berubah pikiran dan ragu dalam mempertaruhkan segala jiwa raganya demi mempertahankan apa yang dipandang penting sebagai masalah hak kedaulatan bangsa dan kebenaran agama. Dibuktikan dengan adanya laskar janda atau ‘laska inong balee’ terlibat dalam banyak peperangan. Dan dapat dilihat pula peran laskar laut armada Lakseumana Malahajati yang sangat terkenal itu, terdiri dari para ‘inong balee’, dan sangat disegani armada laut bangsa Eropa dan bangsa Asia di selat Malaka. Makanya, wajarlah jika banyak dijumpai pemimpin-pemimpin wanita Aceh yang ikut terjun, berperan langsung, bertempur menentang agresi Belanda, sampai- sampai membuat Belanda berdecak kagum. Tersebut dalam buku ‘Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah (Ismail Sofyan, 1994, hal. 78)’, bahwa tidaklah mengherankan jika seorang penulis ternama bangsa Belanda H.C. Zentgraaft menyatakan dalam banyak peperangan rakyat Aceh melawan Belanda, para wanitalah yang merupakan ‘de leidster van het verzet’ (pemimpin perlawan) perang tersebut. Dan lanjut H.C. Zentgraaft, bahwa sejarah Aceh telah pula mengenal ‘Grandes Dames’ (wanita-wanita besar) sebagai pemegang peranan penting dan berpengaruh, baik dalam pemerintahan sebagai Sulthanah atau Permaisuri Raja, maupun
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 4
sebagai pemimpin atau panglima perang. Tidak hanya itu, ucapnya lagi bahwa kedudukan beberapa pemimpin pejuang wanita Aceh bahkan menyamai Samiramis permaisuri raja Babilon dan Katherina II kaisar wanita Rusia, sungguh luar biasa. Salah satu wanita pemimpin dan pejuang yang dimaksudkan tadi adalah Tjut Njak Dhien, memiliki kelembutan khas perempuan bangsawan, memiliki kharisma sebagai pemimpin masyarakat, sehingga membuatnya menjadi sangat berpengaruh di kalangan manapun. Namun sebaliknya, beliau juga memiliki kekerasan hati dan keberanian untuk menegakkan kebenaran dan menetang kezaliman. Oleh karena perpaduan sifat-sifat tersebut itulah tak heran jika Tjut Njak Dhien sangat disegani oleh pihak musuh, pemimpin Belanda dan serdadunya.
Siapakan Tjut Njak Dhien
Tjut Njak Dhien sebagai seorang putri uleebalang
(pemimpin bangsawan) titisan berdarah pahlawan, lahir pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada. Ayahnya yang bernama Teuku Nanta Seutia, Uleebalang VI Mukim Wilayah XXV Aceh Besar adalah anak Teuku Nanta Sjech, Uleebalang Peuet VI Mukim. Saudara kandung Teuku Nanta Seutia lainnya, Teuku Tjut Mahmud yang menikah dengan Tjut
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 5
Mahani adik Raja Meulaboh keturunan Machoedoem Sati bergelar Teuku Nanta seutia Raja (seorang perantau dari daerah Sumatera Barat, tatkala itu kerajaan Aceh diperintah oleh Sulthan Djamalul Badrul Munir pada tahun 1711-1733 M). Teuku Tjut Mahmud mempunyai putra bernama Teuku Umar. Jadi Tjut Njak Dhien masih bersaudara sepupu dengan Teuku Umar. Ibu Tjut Njak Dhien pun, juga masih berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka di Lampagar. Jadi, kedua orang tua Tjut Njak Dhien berdarah keturunan uleebalang Aceh Besar. Sebagaimana lazimnya adat istiadat dan tata kehidupan putri-putri bangsawan Aceh lainnya, maka sejak kecil hingga berangsur remaja Tjut Njak Dhien sudah cukup dibekali berbagai pendidikan agama, pengetahuan tentang rumah tangga, pengetahuan tentang sejarah dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Sehingga setelah menginjak sudah usia dewasa ia bukan hanya memiliki sifat-sifat tabah, lembut, tawakal dan taat beragama, namun juga berani, keras hati dan berwibawa. Jadi bukanlah hal kebetulan, kalau dalam tubuh Tjut Njak Dhien telah bersemi semangat kepahlawan yang luar biasa sejak usia remaja. Hal ini juga dikarenakan selagi beliau masih bayi, ibunya selalu mendendangkan lagu-lagu dan pantun yang menumbuhkan semangat kepahlawanan di
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 6
dalam jiwa sang bayi. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan ayahnya, juga tidak henti-henti menceritakan kepadanya tentang kehebatan wanita-wanita Aceh di masa lalu seperti Ratu Nihrasijah Rawangsa Khadiju, Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Lakseumana Malahajati, Lakseumana Tjut Meurah Inseun, Lakseumana Meurah Ganti, dan sebagainya. Tjut Njak Dhien kian hari kian tumbuh menjadi dewasa penuh semangat juang, dan seolah seperti telah ditakdirkan nanti pada saatnya akan menjadi seorang srikandi Aceh. Selanjutnya dalam masalah perkawinan, sepertinya sudah menjadi kebiasaan pula dalam keturunan masyarakat bangsawan di Aceh saat itu, bahwa soal perjodohan diantara sesama kerabat bangsawan adalah merupakan hal yang lumrah. Oleh karena itu, di saat Tjut Njak Dhien telah beranjak ke usia 12 tahun, 1860, beliau dijodohkan orang tuanya dengan Teuku Tjhik Ibrahim. Teuku Tjhik Ibrahim adalah anak dari saudara laki-laki sebelah ibunya yaitu Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim Montasik, Aceh Besar. Teuku Tjhik Ibrahim juga dikenal dengan panggilan Panglima Teuku Sjech Ibrahim Lamnga, ia seorang pejuang yang sangat ditakuti tentara Belanda. Dari pernikahan Tjut Njak Dhien dengan Teuku Tjhik Ibrahim, mereka dikaruniai seorang putri cantik. Namun, tidaklah lama mereka dapat menikmati
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 7
kebahagiaan dalam rumah tangganya, karena pertengahan 1873 telah berkecamuk perang dengan Belanda.
Awal Malapetaka, Agresi Kolonial
Belanda
Perlu diketahui bahwa awal datang malapetaka
dan meletusnya perang melawan Belanda sangat erat kaitannya dengan kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Aceh untuk berdagang. Timbul pertanyaan bahwa ‘Mengapa bangsa-bangsa Barat ingin sekali menguasai daerah Aceh?’ Alasan utamanya adalah karena kedudukan geografis. Aceh mempunyai letak yang sangat strategis yaitu di tepi selat Malaka, merupakan pintu gerbang lalu lintas pelayaran laut internasional di sebelah barat kepulauan Indonesia. Disamping itu kondisi tanahnya sangat subur, topografinya sangat memungkinkan untuk tumbuh rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada, nilam dan sebagainya, yang saat itu harganya sangat menggiurkan dan menembus pasaran Eropah dan Amerika. Maka tak heranlah apabila bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggeris ingin berlomba-lomba untuk mencekam kukunya di tanah ‘rempah- rempah’ Aceh yang lebih dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. Selanjutnya, agar diantara mereka tidak saling berperang, maka dibuatlah perjanjian
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 8
berupa Traktat Sumatra khususnya antara Inggeris dan Belanda, dan justru hal inilah ini yang membuat awal penyebab malapetaka bagi kedamaian dan ketenteraman di Aceh. Menurut Traktat Sumatera yang ditandatangani Belanda dan Inggris pada tahun 1871, Belanda mendapat hak dan kebebasan untuk memperluas kekuasaannya di pulau Sumatera termasuk Aceh sehingga tidak ada kewajiban bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya diakui (baik Belanda maupun Inggeris), sebagaimana tercantum dalam Traktat London tahun 1824, ini merupakan pengingkaran Belanda dan Inggris terhadap Aceh. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 26 Maret 1873 dari atas geladak kapal perang ‘Citadel Van Antwerpen’ yang berlabuh di pantai Ulee Lheue, Belanda memaklumkan perang kepada Kerajaan Atjeh Darussalam yang diperintah oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Sjah. Sebulan kemudian, dengan kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira tentara Belanda yang dipimpin panglimanya Jenderal J.H.R. Kohler, pertama kalinya mendaratlah di pantai Ceureumen, Uleelheue dan melakukan penyerangan sepanjang pantai Aceh. Penyerbuan tersebut yang merupakan tindakan Agresi Belanda Pertama ke kerajaan Aceh Darussalam yang sah dan berdaulat adalah telah melanggar ketentuan internasional yang tidak patut dilakukan oleh suatu bangsa dan
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 9
negara yang beradab. Dengan tindakan agresi yang telah dilakukan oleh Belanda di bumi Tanah Rencong, menyulut api peperangan dan mengusik segala ketenteraman dan kedamaian yang ada. Sehingga disana sini timbullah perlawanan yang luar biasa dahsyatnya dari pejuang-pejuang Aceh, laki-laki, perempuan, tua dan muda, sehingga menjadi catatan sejarah perang kolonial Belanda di Aceh yang juga disebut ‘Prang Kaphe Ulanda.’ Pecahnya perang kolonial Belanda tersebut telah menggerakkan secara serentak seluruh rakyat Aceh bersatu-padu, bahu-membahu melawan Belanda di seluruh wilayah Aceh. Dibawah komando Sulthan, uleebalang-uleebalang, ulama-ulama dan pemimpin terkemuka lainnya, telah membuat rakyat menjadi sukarela dan ikhlas berjuang atas dasar perang sabil, mati syahid dalam perang mengusir penjajah dari bumi Serambi Mekah. Penyerangan dan agresi pertama Belanda ke Aceh termasuk gagal total, disamping tak berhasil merebut Istana Kraton Darud Donja, bahkan J.H.R. Kohler tewas diujung peluru seorang pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrachman Banda Aceh. Tewasnya seorang Jenderal senior di tangan rakyat Aceh, merupakan satu pukulan telak dan sangat memalukan bagi pemerintah Kolonial Belanda di mata dunia Barat. Setelah belajar dari kegagalan agresi pertama,
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 10
Belanda kembali menyusun rencana strategi baru dengan melipat gandakan jumlah pasukan untuk penyerangannya dalam agresi kedua. Untuk itu khusus mengangkat seorang pimpinan perangnya dari pensiunan Jenderal, J. Van Swieten. Pada tanggal 24 Januari 1874, dengan kekuatan 6.950 prajurit berikut 249 perwira, Belanda kembali menyerang Aceh hingga dapat merebut Kraton Istana, namun tak berhasil menangkap Sulthan Alaiddin Mahmud Sjah karena dia, keluarga serta pengikutnya telah mengungsi ke luar kota yaitu ke Lueng Bata. Dalam pengungsiannya Sulthan sakit berat dan akhirnya meninggal akibat wabah kolera yang menyerangnya sewaktu terjadi peperangan. Untuk menggantikan posisi sulthan baru dilakukan perundingan dengan penasihat-penasihat kerajaan, maka terpilih untuk dinobatkan Sulthan Alaiddin Mumammad Daud Sjah II, tetapi karena usianya masih 10 tahun, sementara waktu pemerintahan dijalankan oleh pemangku sulthan Tuanku Hasjim Bangta Muda. Karena situasinya yang semakin terdesak, tidak lama setelah itu Sulthan mengungsi lagi jauh ke pedalaman, ke Keumala daerah Pidie. Sementara disanalah Sulthan mendirikan pusat pemerintahannya, dan dari sana pulalah Sulthan melakukan perundingan, mengatur siasat perang bersama-sama dengan Teuku Panglima Polem, Teungku Tjhik di Tiro, Teuku Umar dan pejuang- pejuang lainnya.
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 11
Selama sekian tahun perang berlangsung, Teuku Tjhik Ibrahim selalu tampil di barisan depan dalam peperangan, menjadi panglima bersama rakyatnya hingga ke seluruh pelosok untuk mempertahankan wilayah Aceh Besar dari serangan Belanda, dan oleh karena itu terpaksa meninggalkan isterinya Tjut Njak Dhien di daerah pertahanannya Peukan Bada. Teuku Ibrahim sebagai panglima yang memimpin langsung pasukannya di medan perang, banyak berhasil memporak porandakan pasukan Belanda hingga mengalami kerugian yang besar baik moril maupun materil. Namun suratan takdir tidak dapat ditolak, dalam satu pertempuran seru di lembah Beuradeun Gle’ Taron, Montasik, pasukan Belanda dipimpin van Der Hayden berhasil menggempur dan menguasai pertahanan pasukan Teuku Tjhik Ibrahim dan Nanta Seutia di daerah VI Mukim. Dan tanggal 29 Juni 1878 Teuku Tjhik Ibrahim gugur syahid sebagai syuhada pahlawan kusuma bangsa bersama beberapa anggota pasukannya. Untuk kesekian kali kegeraman dan kedongkolan Tjut Njak Dhien tatkala mendengar jatuhnya korban dalam pertempuran, termasuk suaminya, tetapi terlebih lagi sewaktu melihat kesewenangan dan keberingasan serdadu Belanda dalam membumi- hanguskan Mesjid Raya Baiturrachman sebagai pusat kegiatan ibadah dan benteng pertahanan pejuang-pejuang Aceh, hal ini telah dilukiskan oleh Szekely Lulofs dalam sebuah bukunya dengan kata-
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 12
kata sebagai berikut: “Tjut Njak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-ngacung, sampailah ia ke pintu halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumun memperlihatkan apa yang bergolak-golak itu dari jauh, berseru-serulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukim yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasa- kannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupa-lupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir itu! Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?.” Sepeninggal suaminya dalam perang yang masih terus berkecamuk, hampir setiap harinya Tjut Njak Dhien mendendangkan syair pantun Aceh untuk membuaikan anaknya yang telah yatim hingga usia cukup. Pantun tersebut menarik untuk dihayati, merupakan ungkapan kasih sayang Tjut Njak Dhien sebagai seorang ibu yang juga pejuang dalam membesarkan putra buah harapannya supaya kelak berguna bagi bangsa dan agama. Simaklah bait-bait pantun itu (terjemahan bahasa Indonesia) sbb.: Buai-buai, buailah sayang, Burung terbang diatas angkasa, KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 13 Lekaslah gadang buah hati nang, Tampil ke medan memerangi Belanda.
Putih berseri di sawah raya, Panggulah senapan kekasih hati, Perangi kafir bela ayahda.
Mari kutimang kuncup kapas,
Indah laksana bunga silanga, Perbanyak kawan, jangan malas, Tiap hari perangi Belanda.
Mari kutimang bunga rambutan,
Pagi sore menyembah Ilahi, Pandailah sayang mengarungi lautan,
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 14
Rebutlah kapal perang Belanda. Mari kutimang bunga rihan, Bunga angsana kuning warnanya, Semoga anakanda dicintai teman, Rebut bersama benteng Belanda. (Kutipan buku: Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang, A. Hasjmy, hal. 63)
Dorongan hati dari kekecewaan dan kepedihan
Tjut Njak Dhien yang amat sangat akibat ditinggal suaminya serta mengalirnya darah kepahlawanan dalam dirinya, adalah merupakan dasar kekuatan dan motivasi untuk meneruskan cita-cita suaminya berperang melawan kolonial Belanda sampai titik darah terakhir, dan bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya menuntut bela terhadap kematian suaminya (Biografi Pejuang-Pejuang Aceh, Abdurrahman G, 2002). Setelah sekian lama Tjut Njak Dhien menjanda membesarkan anaknya, terdengar berita bahwa ia dipinang oleh seorang panglima bernama Teuku Umar, yang terbilang masih saudara sepupunya sendiri. Ketika itu, Teuku Umar masih beristrerikan Tjut Njak Sapiah putri Uleebalang Glumpang dan Tjut Njak Meuligo putri Panglima Sagi XXV Mukim. Semula ia menolak pinangan itu, namun untuk memenuhi desakan dari keluarganya dan berbagai pertimbangan lainnya iapun bersedia menjadi isteri
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 15
Teuku Umar dengan syarat, bahwa ia tidak lagi menjadi isteri penunggu rumah, melainkan diperbolehkan ikut berperang bersama suami dan pejuang-pejuang lainnya. Maka terwujudlah impian Tjut Njak Dhien untuk berada di medan perang mempertahankan tanah air melawan Belanda. Dari perkawinannya dengan Teuku Umar, Tjut Njak Dhien memperoleh seorang putri bernama Tjut Njak Gambang yang tumbuh dewasa dalam kancah perang, ia kemudian dinikahkan dengan Teungku Majet alias Teungku Di Buket, putra Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman (pejuang dan ulama besar Aceh, pemimpin dan penggerak Prang Sabi atau perang jihad yang sangat terkenal itu). Begitu besarnya amarah dan dendam Tjut Njak Dhien kepada Belanda selama ini, dilukiskan dalam buku ‘Aceh Sepanjang Abad’ (Muhammad Said, 1985). C. van der Pol seorang penulis Belanda menguraikan awal timbulnya dendam Tjut Njak Dhien, setelah mengetahui kebiadaban perlakuan serdadu-serdadu Belanda atas anggota pasukan Aceh yang tertangkap ataupun masyarakat biasa yang tidak mau bekerja sama dengannya, seperti kejadian penganiayaan dan pemenggalan kepala Panglima Njak Makam (pemimpin Aceh yang sangat berani dan banyak memporak porandakan pasukan Belanda) didepan umum dan tanpa perikemanusiaan kepalanya diarak keliling kota
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 16
Kutaradja. C. van der Pol selanjutnya menyebutkan bahwa akibat dendam kemarahan Tjut Njak Dhien tidak hanya menimpa ratusan korban Belanda, bahkan ribuan dan berikut jutaan kerugian uang. Katanya: “Zij (maksudnya Tjut Njak Dhien dan pengikutnya) smeedeen wraakplannen zoo grootsch en veelomvattend, dat er vele duizenden levens en millioenen schats moeten worden opgeofferd om ze te verijdelen.” Dan ia juga melukiskan bahwa pejuang wanita yang satu ini sebagai: “een der merkwaardigste vrouwen in Ned. Indie” (yang artinya kira-kira: salah seorang wanita yang mengajaibkan di Indonesia). Seluruh wajah Tjut Njak Dhien seolah menyiratkan ekspresi kebenciaan yang sangat terhadap penjajahan yang penuh dengan penindasan dan kebuasan. Tetapi dibalik itu semua, sesungguhnya Belanda dengan tegas menyatakan kagum akan ketangkasan berjuang dan keteguhan iman Tjut Njak Dhien. Disebutkan lagi, walaupun tenaga Tjut Njak Dhien telah banyak berkurang, tetapi jika dibandingkan dengan wanita lain waktu itu, daya juangnya cukup tinggi hingga menjapai usia lanjut, adalah sangat luar biasa. Bangsa Belanda mengakuinya semua ini, mungkin selama ini belum pernah mempunyai seorangpun pejuang pahlawan wanita yang hebat seperti Tjut Njak Dhien, juga tidak akan pernah mempunyai seperti Joan d’Arc, lanjutnya.
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 17
Tjut Njak Dhien Terjun di Medan Tempur
Pasangan baru Tjut Njak Dhien dan Teuku Umar
sempat mengejutkan Belanda di Kutaradja (Banda Aceh diganti Belanda namanya menjadi Kutaradja). Bersatunya dua kesatria ini telah mengobarkan semangat juang yang begitu hebat di hati rakyat Aceh. Sehingga pejuang-pejuang berhasil merebut kembali wilayah VI Mukim dari tangan Belanda, dan Tjut Njak Dhien dapat pulang ke kampung halamannya lagi untuk membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumahnya ini sekaligus menjadi markas tempat pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama dalam mengobarkan semangat jihad fisabilillah. Sebenarnya Teuku Umar, suami kedua Tjut Njak Dhien adalah sosok pejuang rakyat yang unik. Ia sangat dicintai rakyat dan akalnya cepat berputar bila menghadapi sesuatu persoalan. Taktiknya yang cukup brilliant, ia berhasil ‘menggondol’ ratusan pucuk senjata berikut amunisinya dari Belanda, yang kemudian untuk dipergunakannya lagi melawan Belanda. Peristiwanya ini terjadi pada tahun 1893, Teuku Umar sebagai panglima perang bersama 250 anggota pasukannya dengan resmi menyatakan tunduk kepada Gubernur Belanda di Kutaradja, dan bersedia membantu mengamankan seluruh Aceh. KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 18 Untuk itu ia dipercaya, pasukannya diberi perlengkapan yang cukup untuk merebut daerah- daerah yang masih dikuasai pejuang Aceh. Apa yang dilakukan Teuku Umar tentunya selalu sepengetahuan isterinya Tjut Njak Dhien. Selang berapa lama kemudian, Teuku Umar bersama seluruh pasukannya berbalik menentang Belanda, dengan menggondol persenjataan, amunisi dan perlengkapan lainnya hasil pemberian Belanda, ia kembali bergabung dengan pejuang-pejuang yang memang telah menantinya di daerah Aceh Barat dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Reaksi Belanda saat itu sangatlah keras, segera memerintahkan panglima dan serdadunya untuk melakukan pengejaran terhadap Teuku Umar itu kemanapun beradanya, Belanda juga mencabut gelar ‘Johan Pahlawan dan Panglima Besar’ yang pernah diberikan kepadanya, dan memecat semua pimpinan Belanda yang bertanggung jawab. Wibawa dan pengaruh Tjut Njak Dhien kepada Teuku Umar, oleh Jongenjans bekas Residen Belanda ditulis (Aceh Sepanjang Abad, 1985, hal. 249) sebagai berikut: “Sebagai isteri-isteri dari banyak pemimpin pejuang, Tjut Njak Dhien lebih sangat fanatik lagi dari suaminya, dalam hal tidak mengenal takluk. Segala kisah tentang dia serupa ceritanya, terutama bagaimana Tjut Njak Dhien senantiasa mendorong dan menggosok suaminya supaya tetap jihad memerangi Belanda. Satu
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 19
diantara sebab utama maka Umar balik lagi kepangkuan perjuangan Aceh adalah karena Tjut Njak Dhien. Dia menemani Umar kemana saja, turut merasa pahit pedih perjuangan dan terus mengingatkan bahwa meski bagaimanapun tak bolehlah menyerah.” Ungkapan Belanda ini mengingatkan kita akan besar dan kuatnya pengaruh Tjut Njak Dhien kepada Teuku Umar; dan bahkan mampu menginspirasikan pemikiran stratejik, mengkoordinasikan prajurit, mengatur siasat perang dan tindak perbuatan yang sulit-sulit sekalipun dalam melawan Belanda.
Tjut Njak Dhien Memimpin Pasukan
Kembali bergabungnya Teuku Umar berikut
panglimanya ke pasukan Tjut Njak Dhien, ternyata secara serius telah diikuti serdadu Belanda, yang setiap saat apabila lengah dapat membuat celaka bagi pasukan Tjut Njak Dhien. Dan ini memang benar terjadi, ketika terjebak kontak senjata hasil kerja mata-mata Belanda dalam satu pertempuran sengit di daerah Suak Ujung Kalak, Meulaboh. Tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar sang panglima gugur syahid diterpa peluru anggota marsose Belanda. Dengan berangnya Tjut Njak Dhien mengambil alih pimpinan pasukan Teuku Umar tersebut. Sebagai panglima baru, Tjut Njak
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 20
Dhien tegas dan bertekad melanjutkan perjuangan suaminya, bak ‘Singa Wanita’ julukan Ragil Suwarno Progolupati dalam buku ‘Roman Singa Lam Nga (1982).’ Cerita kehebatan, keberanian Tjut Njak Dhien bagaikan air di lautan yang tak habis-habisnya, diungkapkan lagi dalam buku ‘Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah’ bahwa Szekely Lulofs (1951) melukiskan ucapan Tjut Njak Dhien tentang perjuangan, sebagai berikut: ‘… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini hendak kuteruskan. Demi Allah! Polem hidup, Bayet hidup, Imeum Lueng Bata, menantuku Teungku Majet Di Tiro hidup, Sulthan Daud hidup, dan kita hidup! Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita meneruskan pekerjaannnya, Guna agama, Guna kemerdekaan bangsa kita, Guna Aceh, Guna Allah.’ Bertahun-tahun berjihad, bergerilya dari satu medan ke medan lain, dari satu belantara ke belantara lain, dari satu lembah ke lembah lain, naik turun gunung penuh derita, maka sebagai panglima, ia tidak pernah merasa lelah dan takluk, bahkan saat uzur dan rabunpun, dipinggangnya tetap terselip rencong dan siap terhunus untuk musuhnya. Hatta berselang beberapa tahun kemudian, karena rabun matanya yang demikan parah di dalam hutan tanpa obat-obatan yang memadai, akibatnya matanya menjadi buta sama sekali. Tetapi dalam keadaan mata yang
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 21
sedemikian ini, tidak berarti semangatnya buta dan luntur, ia berpantang menyerah dan bahkan di saat posisinya sudah terkepungpun ia masih sempat menikam seorang perwira Belanda yang mencoba menghampirinya. Kisah hati baja Tjut Njak Dhien ini selanjtnya digambarkan lagi olrh Jongenjans (Aceh Sepanjang Abad, 1985, hal. 249) sebagai berikut: “Bahkan sejak Umar wafat, ruh suaminya tetap memberi dorongan kepadanya untuk tabah menderita, menyambut kelanjutan pahit perjuangan bersama-sama dengan pengikutnya. Begitulah, masuk dan keluar desa, masuk dan keluar belantara, naik dan turun gunung, iapun semakin uzur dan rabun, namun ia terus memimpin pengikutnya, diburu dan memburu, tiada waktu mengasoh dan menjaga terhindar dari sergapnya patrol Belanda ‘Maar nog was haat wil niet gebroken’ yang artinya: namun bencinya tidaklah padam.” Tjut Njak Dhien mendapat dukungan kuat dari teman-teman seperjuangan seperti Teuku Ali Baet yang juga menantunya, Teuku Raja Nanta yang juga adiknya, bahkan sampai Sulthan Muhammad Daud Sjah II dan Teuku Panglima Polem pun juga demikian. Tidak hanya itu, iapun didukung pula oleh puluhan bahkan ratusan uleebalang, ulama dan pemuka masyarakat, datuk-datuk, penghulu di Meulaboh mulai dari rakyat biasa hingga petinggi. Belanda dengan tak henti-hentinya mengejar
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 22
kemanapun keberadaan pasukan gerilya Tjut Njak Dhien, sehingga mengharuskan Tjut Njak Dhien berpindah-pindah tempat persembunyiannya, dari satu hutan ke hutan lain yang dianggap aman tidak mudah diketahui, bahkan kadang-kadang ia terpaksa menyamar, menggunakan anak kecil untuk keperluan sehari-hari, sebagai mata-mata. Demikianlah, 6 tahun Tjut Njak Dhien bergerilya memimpin perjuangan di hutan belantara bersama pengikut dan pasukannya. Oleh karena persedian makanan, obat-obatan yang sangat tidak menentu adanya, juga kerentaan usianya pun memperparah gejala kebutaan matanya sehingga pada akhirnya melemahkan daya ingat dan daya tahan fisiknya. Dengan penderitaan Tjut Njak Dhien yang begitu berat dipikulnya, terus terang akan membuat iba siapa saja yang melihatnya tidak terkecuali Pang Laot (selaku panglimanya), sehingga pada suatu saat yang tepat Pang Laot berusaha memberanikan diri menyampaikan perasaannya pada Tjut Njak Dhien agar bersedia menghentikan perlawanan kepada Belanda. Namun apa yang diperolehnya adalah kemarahan, kemurkaan dan umpatan caci maki dalam nada suara keras. Kira-kira hardik Tjut Njak Dhien demikian bunyinya: “Lebih baik aku mati di rimba ini daripada menyerah kepada kafir”. Namun, meskipun demikian kejadiannya, dengan sangat berat hati Pang Laot tetap memutuskan untuk
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 23
‘mengkhianati’ Tjut Njak Dhien karena demi kebaikannya juga, dan Pang Laot datang melapor serta membuat kesepakatan terbaik dengan pihak Belanda mengenai rencana tersebut. Tersebutlah tanggal 23 Oktober 1905 tentara Belanda dipimpin oleh Van Veltman mengerahkan pasukannya, diam-diam maju bergerak menyergap ketempat persembunyian Tjut Njak Dhien, namun tentara Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit dari pasukan Tjut Njak Dhien sehingga kali ini gagallah menangkapnya. Kemudian Tjut Njak Dhien berpindah lagi persembunyiaannya. Dan sesudah itu, tanggal 7 Nopember 1905, setelah seorang anak kecil sebagai kurir Tjut Njak Dhien berhasil ditangkap, maka terungkaplah letak lokasi persembunyian Tjut Njak Dhien pada saat itu. Walaupun berusaha mengadakan perlawanan yang cukup, namun apa daya kekuatan pasukan Tjut Njak Dhien yang tidak seimbang, apalagi penyergapan dilakukan secara mendadak ditambah keadaan fisik Tjut Njak Dhien yang sudah begitu uzur, buta, perlu ditandu oleh pengawalnya, maka tidaklah mudah bagi Tjut Njak Dhien kali ini untuk diselamatkan, sehingga berhasillah Belanda.
Tidak Pernah Menyerah Walau
Tertawan
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 24
Akhirnya, Tjut Njak Dhien ‘singa betina’ dari pantai barat Aceh ini tertawan juga oleh serbuan satu pasukan Belanda di bawah pimpinan Leutnan Van Vuuren dan Kapten Van Veltman. Semula Tjut Njak Dhien dikawal ketat menuju ke Kutaradja, diperlakukan sebagaimana layaknya seorang putri bangsawan terkenal dengan makanan, pakaian dan pelayanan yang baik (sesuai kesepakatan dengan Pang Laot). Keaadan Tjut Njak Dhien meskipun tertawan dalam kondisi sakit serta buta, ia tetap garang, masih berusaha mengkomandokan perang dari kamp tawanannya di Kutaradja. Atas kejadian yang menimpa dirinya setelah tertawan, rasa simpati dan hormat rakyatpun terus datang tak pernah berkurang-kurang kepadanya, bergantian menjenguk sehingga menimbulkan rasa kecemasan kepada Van Daalen sebagai Gubernur Belanda di Kutaradja.
Pengasingan Bukan Akhir
Perjuangan
Terus terang diakui, Belanda kewalahan juga
dalam membungkam Tjut Njak Dhien. Untuk itu Belanda berpikir untuk mengasingkannya sebagai mana halnya dengan pahlawan-pahlawan lain dari tanah Jawa misalnya, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Prawiradirdjo. Maka pada 11 Desember
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 25
1906 Gubernur Jenderal J.B.V. Heutz telah memutuskan untuk mengasingkan Tjut Njak Dhien berikut seorang panglimanya serta seorang anak yang masih kerabat dekatnya bernama Teuku Nana ke pulau Jawa, tepatnya daerah Sumedang Jawa Barat. Dalam pengasingan itu Tjut Njak Dhien sangat ramah diterima oleh Bupati Sumedang Pangeran Aria Suria Atmadja yang bergelar Pangeran Mekah. Bupati Sumedang menyerahkan segala sesuatunya kepada K.H. Sanusi, seorang ulama besar Mesjid Agung Sumedang untuk merawat Tjut Njak Dhien sdengan intensif. Makanya, disamping suami-isteri K.H. Sanusi, yang juga ikut merawat Tjut Njak Dhien adalah anaknya H. Husna dan Siti Hodijah, isterinya. Tjut Njak Dhien yang hafiz Al Qur’an, tidak pernah diam di pengasingan, ia menjalankan dakwah agama, aktif mengajarkan baca ayat-ayat Al Qur’an kepada ibu-ibu di sekitarlnya, sehingga ia mendapat gelar panggilan yang sangat terhormat sebagai Ibu Ratu.
Tjut Njak Dhien Pahlawan Nasional
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6
Nopember 1908 Tjut Njak Dhien meninggal dunia, kembali ke Sang Khalik Allah SWT, gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa, meninggalkan segala
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 26
kenangan indah, bermanfaat bagi nusa, bangsa, agama dan tidak mampu dilukiskannya dengan kata-kata satu-persatu. Almarhumah dimakamkan di tanah pemakaman khusus keluarga K.H. Sanusi di Gunung Puyuh, Sumedang, yang berdampingan dengan lokasi kompleks pemakaman bangsawan- bangsawan Bupati Sumedang saat itu. Sebagai catatan untuk lebih mengingatkan kita akan kejuangan Tjut Njak Dhien di masa lalu, maka ditulislah dibawah ini ungkapan seorang petinggi Belanda C Van der Pal yang menulis dalam bukunya sbb.: “Apa yang mereka lakukan adalah pada pokoknya karya Tjut Njak Dhien sendiri. Serangan-serangan kelewang yang hebat- hebat dialami oleh Belanda umumnya digerakkan oleh pejuang-pejuang atas perintah Tjut Njak Dhien sendiri. Untuk selanjutnya segala perjuangan yang ada di Aceh, terutama di Aceh Besar adalah menurut petunjuknya”. Adalah Eros Djarot, seorang sutradara muda Indonesia pada beberapa tahun yang lalu berhasil mengangkat kisah perjuangan Tjut Njak Dhien ke dalam layar lebar dan mendapatkan supremasi yang terbesar di pentas perfilman di Indonesia dan festival film Asia. Kemudian, sebagai penghargaan atas jasa-jasa Tjut Njak Dhien dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, maka pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 27
nomor 106/TK/1964 pada tanggal 2 Mei 1964 mengangkat Tjut Njak Dhien sebagai Pahlawan Nasional.
Penutup
Demikianlah sekilas kisah perjuangan Srikandi
Tanah Rencong Aceh, Pahlawan Nasional Tjut Njak Dhien yang telah berjuang demi menegakkan kebenaran menurut keyakinan agamanya dalam berjihad fisabilillah (matee syahid meuprang ngon kaphee) dan membela hak kadaulatan bangsa dari tindakan perampasan penjajahan agresor Belanda. Kebesaran jiwa dan keteguhan hatinya menjadi pejuang sejati dengan komitmen pantang menyerah kepada pihak kolonial bahkan Belanda sekalipun sampai dengan titik darah penghabisan, adalah jawaban yang telah ditunjukkan oleh Tjut Njak Dhien saat mengarungi hidupnya walaupun mengalami penderitaan sakit dan pahit yang luar biasa baik moril maupun materil. Demikian pula halnya tidak jauh berbeda dengan kedua pendamping yang menjadi suami beliau, Teuku Tjhik Ibrahim dan Teuku Umar, panglima-panglima perang beliau, semuanya telah bersama-sama bahu-membahu mengangakat senjata, termasuk suka duka kala perjuangan. Dan banyak lagi pejuang-pejuang wanita Aceh
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 28
yang telah rela secara luar biasa menyumbangkan darma baktinya kepada nusa dan bangsa, terutama dalam memerangi penjajah yang merampas kedaulatan Aceh yang sah, sehingga pantaslah kita berikan kepada mereka gelar tertinggi sebagai pahlawan pejuang bangsa. Beberapa saja dari mereka misalnya, Teungku Fakinah (putri seorang ulama kerajaan Atjeh Darussalam, isteri Teungku Achmad yang syahid dalam saat memimpin perang, pemimpin pesantren Dayah Lamputjok dan panglima Sukey Fakinah yang berjuang bersama Tjut Njak Dhien, Teuku Umar, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Sjah II dan Tuanku Hasjim Bangta Muda), Tjut Njak Meutia (Pahlawan Nasional, putri Teuku Ben Daud seorang bangsawan dan ulama terkenal, isteri Teuku Tjut Muhammad seorang panglima yang syahid dalam peperangan), Potjut Meurah Inseun (putri seorang bangsawan, isteri Tuanku Abdul Madjid bin Abbas bin Sulthan Alaiddin Jauhar Sjah Alam), Potjut Baren (putri Teuku Tjut Ahmad uleebalang Tungkop, isteri uleebalang kejruen Geume, panglima perang Woyla), Teungku Fatimah (putri Teungku Khatim ulama besar, isteri Teungku di Barat, panglima perang Tjut Njak Meutia) dan Potjut Asiah (Teungku Tjhik Mahjiddin Tiro). Tidak heranlah kalau ada pertanyaan, mengapa di Aceh terdapat banyak pejuang dan pemimpin wanita yang terkenal kehebatannya? Jawabannya
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 29
singkat, adalah karena semenjak awal dari lahirnya Kerajaan Atjeh Darussalam hingga berlangsungnya perang dengan Belanda, wanita Aceh telah diberi kesempatan dan peran yang sama kedudukannya dengan pria, sesuai ajaran Islam (Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima, A. Hasjmy). Kita sebagai bangsa Indonesia, yang senantiasa menghargai jasa-jasa para pahlawan dan pejuang, baik wanita maupun pria, maka marilah kita mendoakan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga melimpahan kepada para pahlawan dan pejuang tersebut pahala yang setimpal dengan amal perjuangannya, dan diberikan tempat yang sebaik-baiknya disisiNya. Kepada kita semua, harus berbangga meneruskan perjuangan dan pengorbanan mereka, mampu mengambil hikmah dan suri-tauladannya untuk mengisi kemerdekaan ini dari apa yang telah mereka persembahkan sebelumnya untuk kejayaan nusa dan bangsa di bumi nusantara ini.
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 30
Tjut Njak Dhien, para Panglima dan kerabatnya ketika ditawan Belanda
Makam Tjut Njak Dhien di Sumedang, Jawa Barat
Rumah Tjut njak Dhien di Peukan Bada
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 31
Paguyuban Bungong Seulanga ketika berziarah ke Makam Tjut Njak Dhien di Sumedang pada 1 Juni 2008
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 32
Balada Tjut Njak Dhien
Apabila bulan tersejum
di atas bumi merdeka dia adalah wajah Tjut Njak Dhien
Apabila angin berembus
membelai bumi Mugo yang suci dia adalah nafas Tjut Njak Dhien
Tjut Njak Dhien adalah harimau
yang tabah dan jelita bersembunyi antara rumput ilalang untuk menumpas kaphe dan penjajah
WS Rendra.
Daftar Pustaka:
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 33
1. Arif, Abdullah, Srikandi Tjut Nja’ Dhien, Penerbit Panitia Peringatan Almarhumah Srikandi Nasional “Tjut Nja’ Dhien”, Djakarta, 1956. 2. Zainuddinm, H.M., Srikandi Atjeh, Penerbit Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1966. 3. Hasjmy, A., Kebudayaan Aceh dalam sejarah, penerbit Beuna, jakrta, 1983. 4. Said, H. Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, jilid Kedua, PT Harian Waspada Medan, Medan, 1985. 5. Veer, Paul Van’t, Perang Aceh, PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985. 6. Sofyan, Ismail dkk, Perang Kolonial Belanda, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1990. 7. Suhaimi, Dra. Emi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan, Yayasan Penerbir Pendidikan Ali Hasjmy, Banda Aceh, 1993. 8. Sofyan, Ismail dkk, Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, 1994. 9. Hasjmy, Prof. A., 50 Tahun Aceh Membangun, Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995. 10. Hasjmy, Prof. A., Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1996. 11. Abdurrahman, G., Biografi Pejuang-Pejuang Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2002. 12. Lulofs, M.H. Szekely, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh, Komunitas Bambu, Depok, 2007
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 34
KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 35 KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 36 KISAH KEPAHLAWANAN TJUT NJAK DHIEN MELAWAN KOLONIAL BELANDA 37