You are on page 1of 190

T.

Palgunadi

Catatan Perjalanan :

TOUGH
ADVENTURER

Its two ‘tough’ man who


trekking all 3000 m high
or more mountain in Java
TOUGH !
ADVENTURER
Kami dilahirkan sebagai manusia di muka bumi yang keras
ini
Sehingga kami ingin merasakan bagaimana menjadi manusia
yang benar-benar berjuang,
baik untuk hidup dan kehidupannya.

Kamipun ingin merasakan bagaimana Pioneer-pioneer, para


pendahulu, dan nenek moyang kami, berjuang mencari
sesuatu yang hakiki, bagaimana mereka mencari sesuatu
untuk kenyamanan, bagaimana mereka berjuang menghadapi
alam yang memang diciptakan untuk mereka, dan bagaimana
--secara naluri-- mereka akan merasakan benar-benar kerdil
dibandingkan dengan alam yang maha besar ini sehingga
timbul perasaan bersyukur, dan rasa semakin dekat dengan
Allah.

Sehingga tidaklah berlebihan bila untuk menghadapi itu


semua kami harus terlebih dahulu mengerti dan mendalami
apa arti dari Keberanian dan Harga Diri, Tantangan dan
Ketangguhan, Otonomi dan Kebebasan, Keunggulan dan
Rendah Hati, Persaingan dan Kompetisi, Kekuatan dan Daya
Tahan, Hidup dan Perjuangan hidup, Kesia-siaan dan
Pengorbanan, Penderitaan dan Ketabahan, Kepasrahan dan
Kekaguman, Cinta pada Allah pencipta seru sekalian alam.

Kami tidak / belum paham apa arti semua itu, barangkali


dengan mengadakan perjalanan itu nanti, kami akan bisa
menjawab semua yang timbul dalam benak kami itu
Kami tidak peduli apakah yang kami lakukan ini penuh
dengan kesia-siaan, tidak membawa hasil bagi banyak orang,
atau apalah..., namun kami ingin menempa hidup kami, kami
ingin sesuatu yang hakiki bakal lahir dari perjalanan kami
ini, dan menjiwa dalam kehidupan kami. Yang pasti, inilah
cara kami, cara kami bersyukur kepada Allah atas segala
yang diciptakannya, baik anggota badan, pikiran, bahkan
alam indah yang pantas untuk dinikmati... kami bangga bisa
bercerita panjang lebar karena pengalaman kami.

Biarlah nanti bila mulut-mulut kami tak sanggup berbicara


lagi karena kering dan dahaga, hanya tangan dan kaki nan
kokoh inilah yang akan bercerita sesuai dengan hati nurani
yang tak bisa dibohongi ini...

Dengan berakhirnya tulisan ini maka telah dimulailah suatu


perjalan panjang menaklukkan puncak-puncak lebih dari
3000 m di pulau Jawa, perjalanan panjang dimana kami akan
merayapi atap-atap dunia itu hingga seolah bisa turut
mencakar langit, perjalanan panjang untuk mencari hal-hal
yang akan kami cari jawabannya, perjalanan panjang dengan
nafas memburu, yang akan penuh dengan suka, duka,
keringat dan air mata, hmmm....perjalanan
panjang....ketangguhan....

TOUGH ! ADVENTURER.
menantang rintangan dan penderitaan
itu lebih mulia
daripada surut ke belakang
menuju ketentraman

rama-rama yang berputar-putar


sekitar lampu hingga mati
lebih terhormat
daripada tikus yang hidup
dalam terowongan gelap

SAYAP-SAYAP PATAH
KHALIL GIBRAN
“Aku ingin menikmati segala keindahan alam ini
bersamanya”
TOUGH ! ADVENTURES
International Edition 1995

Exclusive rights by PGDI FM™, Indonesia


for manufacture and export. This book cannot be re-
exported from the country to which it is consigned by
PGDI FM™.

Copyright © 1995 by PGDI FM™


All right reserved. No part of this publication may be
reproduced or distributed in any form or by any means, or
stored in a data base or a retrival system, without the prior
written permission of the publisher.

This book was set in Times New Roman.


The Editor was T.Palgunadi MF
Front Cover Design by Pal

Printed and bound in Indonesia


Kata Pengantar
ADA 12 gunung terkenal di pulau jawa*
yang memiliki ketinggian lebih dari 3000 mdpl.
Kesemuanya telah menarik perhatian kami
berdua untuk mendakinya, dan saya pribadi,
senantiasa mencatat perjalanan kami itu, sekedar
kenangan atas berbagai peristiwa yang kami
hadapi bersama.

Ke 12 gunung itu ialah Gunung


Pangrango, Ciremai (Jawa Barat), Gunung
Slamet, Sundoro, Sumbing, Merbabu, Lawu
(Jawa Tengah), Gunung Semeru, Arjuno
Welirang, Argopuro, Raung (Jawa Timur).

Tidak semua Gunung saya paparkan, dari


12 itu hanya 8 yang benar-benar menarik untuk
diceritakan, ke 8 gunung itu benar-benar unggul
segalanya, baik medannya, suasananya, terutama
dalam perjalan kami itu, serta sense-nya, ini
yang terpenting, saya sadari bahwa ini termasuk
hal yang sangat subyektif, tapi itulah yang kami
rasa, itulah yang kami peroleh.

*
Disekitar 12 gunung itu terdapat puncak-puncak kecil lainnya yang
kadangkala berketinggian diatas 3000 mdpl.
Dalam buku ini, gunung tersebut
diceritakan berdasarkan urutan Abjand nama
gunung yang bersangkutan dimulai dari Gunung
Argopuro hingga Welirang dan Arjuno.

Begitulah, kami bangga bisa bercerita


banyak tentang pengalaman kami, cerita yang
berisi, karena telah teruji dalam suatu
experience.

Wassalam

T.Palgunadi MF
Daftar isi

ARGOPURO, Pegunungan Iyang 1


CIREMAI Perjuangan Keras 23
PANGRANGO, Gunung Wisata 47
RAUNG, Kopi Mbah Srane 61
SEMERU, Bromo Tengger 81
Mentari Pagi SLAMET 121
Kabut WELIRANG, ARJUNO 141
ARGOPURO
Pegunungan
Iyang

T IBA di terminal Bondowoso, pagi


hari tanggal 27 Agustus 1994, untuk
mengejar bus umum jurusan
Probolinggo - Bremi, sudah tidak
mungkin, bus rakyat itu sehari hanya
melayani dua kali route, untuk route
pertama, sudah terlambat --berangkat
pukul 06.00 WIB-- dan untuk menunggu
route ke dua, terlalu lama, pukul 13.00,
yeah, untungnya, berdasarkan informasi
yang kami terima, hari itu adalah hari
“pasar” bagi kebanyakan penduduk jawa
timur, sehingga akan banyak kendaraan
pedesaan yang menuju Bremi --desa
terakhir menuju Puncak Argopuro--,
beruntung sekali kami kala itu.

Route kali ini, kami naik bus


jurusan Probolinggo, namun kami akan
turun di tengah perjalanan, tepatnya kami
2

turun di kota kecamatan Pejarakan, nah,


dari sana lantas kami akan naik angkutan
pedesaan menuju Bremi, praktis toh, tanpa
harus menunggu bus rakyat yang langka
itu...

Tidaklah sulit mendapatkan


angkutan-angkutan tersebut, singkatnya,
kami telah berada dalam bus, keluar dari
terminal Bondowoso, masih pagi,
menyusuri jalan-jalan di kota itu, kabut
masih menutupi jalan, sementara anak-
anak berseragam sekolah bergerombol
pergi sekolah, waduh..suasana yang asyik
sekali.... Mulai keluar kota, kali ini
pemandangan tak kalah menariknya,
menyusuri kaki gunung --tepatnya
Pegunungan-- Argopuro sisi timur, jalan
berkelok-kelok, naik-turun, sementara
mentari pagi yang terik, begitu cerah,
seolah alam ini ingin memamerkan
keelokannya kepada kedua petualang ini,
memasuki kota Besuki, suasana
pegunungan kemudian berganti, berubah
menjadi pemandangan pantai dan laut nan
luas, namun tenang, membiru...,,
kendaraan yang kami tumpangi menyusuri
jalanan yang letaknya begitu dekat sekali
dengan bibir laut, sementara mentari jam

TOUGH ! ADVENTURER
3

sembilanan kala itu memberi keceriaan


tersendiri, waduh......

Turun di Pajarakan, kami ganti


kendaraan, kali ini berjubel dengan para
penduduk yang beraneka ragam, maklum
hari pasar, saatnya orang-orang desa turun
ke kota-kota kecamatan untuk berbelanja
habis-habisan, bawaan mereka banyak
sekali, yah.. macam-macam lah..ada ayam
hidup, barang kelontongan, barangkali
persediaan buat satu bulan, kamipun tak
mau kalah, bawaan kami juga tak kalah
montoknya, pokoknya berjubel-lah....

Tiba di tujuan, kami segera


melapor kepada Petugas Polsek setempat,
lagi-lagi --untuk kesekian kalinya, dalam
rangkaian perjalanan kali ini--, tak ada
pendaki lain yang sedang mendaki, benar-
benar semua gunung yang akan kita daki
seolah dikosongkan guna pendakian kami
ini...he..he...Tough! Adventurer.

Tidak ada pondok pendaki, yang


ada hanyalah, sebuah warung transit,
tempat para penduduk desa menunggu
angkutan ke kota, namun pemilik warung
ini ramah sekali, sehingga kami tidak
sungkan-sungkan untuk menitipkan

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


4

sebagian bawaan kami yang saat itu belum


kami perlukan sepenuhnya, untuk
rangkaian pendakian selanjutnya, setelah
ini.

Menurut informasi, lama pendakian


ke Gunung Argopuro (3088 m dpl1) --
turun-naik--, paling cepat adalah tiga hari,
semula kami tidak mempercayainya,
bayangkan, kami biasa mendaki gunung
setinggi 3000-an paling lama hanya dua
hari, tetapi yeah..untuk berjaga-jaga, kami
telah siap logistik untuk lima hari,
belakangan emang sih route Argopuro ini
patut diberi acungan jempol. Masalah
air...tidak perlu terlalu dikhawatirkan,
sebab di gunung ini, air berlimpah...--
demikian informasi yang kami peroleh--.

Tak lama, setelah kami packing,


segera kami melanjutkan perjalanan, mula-
mula melewati daerah perkebunan kopi
Arabica, melewati hutan pohon damar
yang homogen dan teratur rapi, dan mulai
memasuki daerah hutan heterogen nan
lebat.

1
mdpl = meter diatas permukaan laut

TOUGH ! ADVENTURER
5

Suasana siang itu tidaklah begitu


ceria, hutan begitu lebat, sementara langit
mendung, entah kabut, entah memang
mendung, nampaknya daerah pegunungan
ini selalu diliputi awan tebal, terlebih
diatas pukul 10.00 pagi --situasi standard
di gunung manapun--, semakin naik kami
mendaki, tetes tetes air mulai jatuh
membasahi bumi, sempat kami berpapasan
dengan beberapa orang desa di bawah yang
sedang turun sambil memikul penuh daun
pisang, nampaknya mereka para pencari
daun pisang yang masih banyak terdapat di
dalam hutan itu, ngg..ngg..pisang...!!
waduh.. berarti ketinggian masih rendah
sekali, sementara suasana sangat tidak
meng-enak-kan saat itu. Belakangan
memang route gunung Argopuro ini sangat
panjang, dan hampir setengah dari route itu
masih berada pada dataran yang tak begitu
tinggi, dimana masih banyak
terkonsentrasi berbagai flora dan fauna,
terus terang kami tidak mengantisipasi
keadaan ini, maka tindakan kami hanyalah
berhati-hati dan berdoa.

Lagi-lagi suatu kesalahan yang


amat fatal, tatkala pertama kali mendengar
informasi bahwa route Argopuro banyak
menyediakan air yang melimpah, maka

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


6

kami hanya membawa air secukupnya,


toch nanti bisa ambil lagi, pikir kami,
ternyata untuk mencapai sumber air
pertama, dibutuhkan waktu berjam-jam --
tepatnya tiga jam jalan kaki--, dan hal itu
tidak kami antisipasi, akibatnya, selama
perjalanan yang mencekam itu, kami selalu
beririt air, dan sepakat tidak melakukan
masak-memasak dahulu.

Terdapat perbedaan presepsi


tentang arti puncak yang kami tuju dengan
anggapan penduduk di bawah sana,
menurut mereka puncak adalah tempat
dimana terdapat danau alami --bernama
Taman hidup--, sedangkan bagi para
pendaki “puncak” adalah puncak yang
sebenarnya --lebih dari setengah
perjalanan ke Taman hidup--, sehingga
tatkala kami bertanya kepada para
pemanggul daun pisang, tentang
keberadaan sumber air sebelum puncak,
dengan tegas mereka menjawab tidak ada
air..kecuali di danau di puncak..., nah..
kamipun mulai merasa bimbang. Namun
hal itu bisa kami atasi dengan
memprediksikan keadaan pada peta yang
kami bawa, memang hingga Taman hidup,
kami tidak akan melewati sungai / sumber
air, namun setelah itu akan ditemui

TOUGH ! ADVENTURER
7

sedikitnya dua hingga tiga sungai kecil.


Everything is under control.

Perjalanan masih seperti tadi,


gerimis, kabut, remang, kesemuanya
membuat suasana mencekam sekali,
hingga akhirnya kami tiba di pertigaan,
terdapat papan penunjuk yang
menunjukkan arah ke puncak Argopuro
dan menuju Mata air, segera kami menuju
ke arah mata air. Arah yang dituju agak
menurun, terus kami lalui,menerobos
dedaunan, yang basah, sehingga turut
membasahi tubuh kami yang
menerobosnya, hingga tampak di depan
sana, dari balik rimbunan pepohonan hutan
nan lebat, daerah yang
terbuka..terang...ada apa gerangan di depan
sana, dan....subhanallah... sebuah
hamparan danau nan luas... mirip dengan
Ranu Kumbolo2tapi......akh...begitu
sunyi...airnya tenang..kehijauan --banyak
mengandung alga, hmmm.. reaktor type
Batch nich !!--...sementara di pinggirnya
langsung berbatasan dengan hutan nan
lebat nampak kerapatan dan kerimbunan
pepohonannya, tidak ada bangunan-
bangunan pondok pendaki --benar-benar
2
Danau di kaki gunung Semeru, baca : Semeru, Bromo
Tengger

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


8

wild..and I like that !--, belakangan setelah


turun nanti, diperoleh cerita bahwa danau
itu begitu dalammya, pernah ada helikopter
yang jatuh ke dalamnya, akh..ada-ada
saja..., sementara sinar mentari nampak
malu-malu sekali menembus daerah itu...
kami segera bergegas menuju daerah
lapang, tepat di tepi danau, saya berteriak
girang, karena bertemu dengan
air...terdengar suara saya menggema jauh
ke pelosok hutan...., tiba-tiba.. terjadi suatu
peristiwa yang membuat diri ini kaget
bercampur takjub...bagaimana
tidak...ketika aku selesai berteriak...secara
spontan dari berbagai penjuru hutan
turunlah kabut dengan cepat sekali, begitu
cepatnya, sehingga sebentar saja..keadan
sekitar menjadi gelap, berkabut...sesaat
kami sempat ngiprit --terus terang--,
namun tak lama kemudian sirna, dan
keadaan kembali seperti tadi... tenang,
mencekam..sendu....akh...

Rekanku mencoba mengambil air,


waduh perjuangan, sukar sekali mencapai
bibir danau itu, sebab tanahnya lembek
buanget, berlumpur, tanah gambut, bila
diinjak, kaki akan terbenam hingga paha,
dan dinginnya...brrr.... Begitulah, sedang
asyik-asyiknya memasak, dan menyantap

TOUGH ! ADVENTURER
9

makanan, tiba-tiba di sebrang danau --


didalam hutan-- sekilas terdengar suara
yang menggema, yang membuat kami
terdiam sesaat, saling berpandangan, sesaat
jantung terasa berhenti, suara sesaat itu
begitu singkat namun tegas, dan gemanya -
-masih terus menembus hingga jauh ke
dalam hutan-- membuat bulu kuduk ini
berdiri, yah..suara auman..waduh.. tak
terbayangakan perasaan hatiku saat itu,
tubuh ini bergetar hebat, ingin rasanya
menangis, sebab dalam kondisi yang sendu
seperti itu --dimana telah digunakan tenaga
ekstra untuk mengatasi rasa mencekam
saat itu-- , masih ditambah pula dengan
suara yang meng-gerung-kan itu....dan
suara itu muncul lagi....waduh... makanan
serasa tidak lezat lagi untuk di makan.....
tapi akh...lama kelamaan kami terbiasa
dengan suara-suara itu, yang kemudian
terus menerus berbunyi disusul dengan
suara riuh binatang-binatang unggas...
Hiyyyy...

Kami yakin itu suara binatang buas,


raja hutanlah minimal, atau mungkin hanya
seekor babi hutan, entahlah.. namun kami
tidak mau kembali pulang --sempat
terlintas dalam benak kami lho !--, kami
harus terus maju, berbagai macam resiko

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


10

harus kami hadapi bersama, lagipula


perjalanan kali ini adalah mengemban
tugas membentuk jiwa tangguh..Tough !...
Sehingga setelah kami makan dan
berkemas, kamipun melanjutkan
perjalanan, masih menembus hutan
belantara nan buas itu. Sempat dalam
perjalanan kami menemui bulu-bulu
burung banyak sekali bertebaran,
nampaknya habis dimangsa..dicabik-
cabik..barangkali auman tadi dalam rangka
pesta menyantap burung ini...bah..., kami
terus berjalan, sembari menepis berbagai
‘barangkali-barangkali’ yang selalu
menyertai perjalanan ini, hingga menjelang
mentari terbenam, kami telah keluar dari
daerah buas, kini kami berjalan dengan
bantuan lampu senter, memasuki daerah
rumput ilalang nan tinggi dan pepohonan
yang bagian bawahnya sudah hangus
terbakar, beberapa diantaranya tumbang,
karena terbakar, nampaknya daerah ini
rawan kebakaran.

Kesalahan yang kesekian kalinya,


antisipasi sumber air yang dikiranya dekat,
membuat kami tidak membawa cadangan
air yang cukup untuk perjalanan kali itu,
akibatnya, menjelang malam hari, kami
terpaksa bermalam di tengah jalan, capek

TOUGH ! ADVENTURER
11

dan kesal, sich tanpa masak, tanpa


persiapan tidur yang layak, hanya sekedar
menghampar, sambil mengirit air, ini
sebagai hukuman akibat kecerobohan
kami, mau berjalan terus, malam-malam
begini, takut akh.., masih terbayang
bayang-bayang ketakutan kami sewaktu di
bawah tadi. Kamipun beristirahat ala
kadarnya, sambil berusaha menenangkan
hati yang sedang gundah ini.

Kami terbangun di pagi yang lain,


di hari yang lain, langit biru terang itu
menyilaukan mata, waduh siang sekali
kami bangun kala itu, langsung kami shalat
shubuh, dengan tayyamum dulu tentunya.
Tetapi mentari belum begitu tinggi, sadar
bahwa kami tidur ala kadarnya --ditengah
jalan lagi--, maka setelah shalat, segera
kami mengambil ransel dan segera
melanjutkan perjalanan, sembari
memamah batangan coklat jatah logistik
kami, yang kaya akan kalori itu, kali ini
suasana sedikit ceria, langit biru jernih,
suasana cerah --karena hari Minggu kali--,
membuat semangat baru, seolah lupa
kesenduan dan kengerian kemarin, route
yang kami tempuh masih berfariasi antara
naik dan turun, namun komposisi flora dan

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


12

faunanya sudah berubah, lebih bersahabat-


lah.

Tak lama kami berjalan, kami tiba


di daerah yang memperdengarkan suara
gemericik air...Alhamdulillah...
sungai...cik, segera kami mempercepat
langkah ini, dan akhirnya kami sampai di
sebuah sungai kecil, routenya memang
memotong sungai kecil itu. Segera kami
melepaskan beban di pundak ini, aku
sendiri segera melepas sepatu, dan
menanggalkan segala baju dan celana,
dan....meceburkan diri di aliran anak
sungai itu, membasahi tubuh ini dengan air
segar yang mengalir deras ini
membiarkannya mengisi pori-pori tubuh
ku ini..air..air...airrr....

Kami sepakat sarapan dahulu di


sana, kami masak, membersihkan badan,
dan istirahat sambil mendengarkan suara
alam yang sangat ceria, indah, dan
menggembirakan itu.....ha...ha...ha.....,
bahagia sekali lho, rasanya saat itu...

Setelah puas, kami melanjutkan


perjalanan kembali, kali ini kami
membawa cadangan air lebih banyak,
sebagai jaga-jaga saja, walaupun kami

TOUGH ! ADVENTURER
13

yakin tak jauh di depan sana, kami akan


kembali menemui sungai kecil --menurut
peta yang kami bawa, minimal kami akan
menjumpai / menyebrangi dua anak sungai
kecil lagi--.

Suasana perjalanan sungguh


berbeda dengan kemarin, kali ini cerah
sekali, langit biru jernih, mungkin karena
ketinggian sudah cukup tinggi, atau
memang karena susana pada pagi hari
memang cerah, entahlah, yang pasti kami
sangat menikmati perjalanan itu.

Kamipun melewati kebun bangsat,


demikian menurut cerita para pendaki yang
kami temui sebelumnya, dinamakan
begitu sebab seluruh tubuh tanaman
tersebut --dari daun hingga batang--,
ditumbuhi dengan duri-duri yang
bervariasi ukurannya, pokoknya yahud
dech... kamipun sempat menyenggol, dan
sebagian lengan kamipun langsung penuh
ditempeli duri, melihat begitu ,secara
spontan, kami segera menepisnya, tapi
justru itulah yang konon tidak boleh segera
dilakukan, akibatnya, kulit menjadi gatal,
berbentol hebat, dan pedih-pedih
dikit....waduh...habis mau diapakan
lagi.......

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


14

Selanjutnya kami melintasi padang


luas, padang rumput, dan edelweis3,
berbeda dengan pohon edelweis yang
senantiasa kami temui tatkala mendaki
gunung-gunung sebelumnya, maka pohon
edelweis di sini berdaun lebih hijau, tidak
hijau pucat berbulu seperti biasanya, dan
bunganya, tak jauh berbeda dengan bunga
edelweis yang lain,--seperti biasanya, kami
sudah tidak begitu tertarik lagi mengambil
bunga tersebut, nggak suka, sich..--. Di
areal itu, kami masih menemui beberapa
fauna berupa sejenis ayam merak yang
langsung beterbangan dari balik rimbunan
rerumputan tatkala kami melewatinya,
beberapa diantaranya berlarian searah
dengan jalan kami, lucu, menarik sekali....

Sebenarnya kami bisa saja singgah


dahulu untuk melihat bekas lapangan
terbang peninggalan jaman Belanda --
menurut informasi yang kami dapat, serta
prediksi lokasi di peta yang kami bawa--,

3
Edelweis, tumbuhan khas pada tempat-tempat tinggi, pada
daerah tertentu memiliki nama yang berbeda, seperti
Sundoro (karena itu gunungnya disebut dengan gunung
Sundoro). Di dunia ini ada dua jenis yaitu Edelweis yang
sudah kita kenal, dan satu lagi Edelweiss (dengan dua huruf
‘s’) yang berasal dari pegunungan di Swiss, yang terkenal
itu, (terkenal karena lagunya, barangkali).

TOUGH ! ADVENTURER
15

namun karena arahnya tidak sejurusan, dan


kami dikejar waktu, terpaksa kesempatan
itu kami lewatkan, padahal berdasarkan
cerita dari --lagi-- para pendaki
sebelumnya, di daerah sekitar lapangan
terbang --termasuk areal kekuasaan Ratu
Rengganis, lembah datar tempat kami
sekarang ini-- merupakan daerah yang
paling angker, dan selalu ditemukan
berbagai peristiwa aneh, nan menakjubkan,
termasuk pengakuan pendaki yang pernah
melihat barisan serdadu tanpa kepala pada
malam hari....waduh..asyik sekali cik......

Tak lama kemudian kamipun tiba


di tampat yang bernama Cisentor, yaitu
sebuah tempat pertemuan jalur dari Bremi -
Probolinggo --route yang kini kami jalani-
-dan dari Baderan - Besuki, disana terdapat
sungai yang lebih besar dari yang pertama
kami temui pertama tadi, belakangan itulah
sumber air terbesar dalam jalur kami, kalo
mau bisa cuci-cuci dulu lho, kamipun
beristirahat sejenak, tidak lama-lama,
walaupun tempat disana nampaknya lebih
cocok buat bersantai, dari Cisentor, jalur
ke Puncak tinggal kurang lebih tiga jam
lagi, demikian yang tertulis pada papan
penunjuk jalan yang terpasang --dipasang

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


16

oleh berbagai perkimpulan pendaki dari


pelosok di tanah air ini--.

Semakin siang cuaca semakin


redup, awan mulai naik, menghiasi langit
yang sedari tadi biru jernih, kadangkala
menutupi sinar mentari, membuat
cahayanya berpendar tak meng-enak-kan
dan panasnya seperti hangat-hangat tahi
ayam. Kami berjalan terus, kali ini jalanan
banyak mendakinya, namun masih terus
melewati hutan rumput dan edelweis,
kering, debu, panas, sementara beberapa
tempat tanahnya berbalik-balik, seolah
habis di bajak, ternyata itu adalah buah
perbuatan babi hutan, yang kami amati dari
bentuk serudukan pada tanahnya, serta
bekas pijakannya.

Hingga kami tiba di Rawa Embik,


nampaknya, pos terakhir, sebelum ke
puncak, ada sungai kecil sekali, malas
untuk bersinggah di sana, tanggung sich,
kami terus berjalan membelah padang-
padang rumput terbuka, yang mulai banyak
kami temui, memang benar-benar
membosankan perjalanan kali itu, kami
merasa --memang-- melintasi jalur yang
berputar, mengitari Gunung. Pantaslah
para pendaki di Jawa Timur ini

TOUGH ! ADVENTURER
17

menamakan Gunung ini sebagai Gunung


Frustasi, bagaimana tidak, dari permulaan
mendaki, hingga saat ini, kami terus
dipermainkan dengan naik, dan turun
gunung, maklumlah...Argopuro sebenarnya
merupakan Pegunungan.

Lama kami berjalan, di terik


mentari tahi ayam yang mulai mencapai
titik kulminasinya, tubuh penuh peluh
bercampur debu....hggrr...gerah dan rese
banget !! sementara kabut turut berlomba
mendaki gunung, hingga akhirnya, kami
tiba di daerah berkapur, putih semua, kami
merasa nuansa lain, serba putih,
menyilaukan mata, terus.., kami melewati
susunan bebatuan, nampaknya bekas
reruntuhan bangunan, akh..masa..di puncak
gunung begini, terus... hingga kamipun
tiba di darah yang paling tinggi --seperti
biasa, kami merasakan angin bertiup hebat,
kabut siang itu mulai berlarian menerpa
tempat tersebut, dingin..--
...astaga...ternyata dipuncaknya terdapat
sebuah kuburan !!....tepat di
puncaknya.....waduh...antik, euy !!

Belakangan kami mengetahui


bahwa sebenarnya puncak yang dituju --
oleh kebanyakan pendaki-- adalah puncak

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


18

Rengganis, sementara puncak


Argopuronya sendiri, hanya beberapa
meter dari sana, --namun tidak umum--,
dan dipuncak tersebut, berbaringlah
dengan tenang Putri Rengganis yang
konon berparas ayu...asyik..., kami tidak
begitu memperhatikan sejarah, sehingga
timbul dalam benak kami, siapa
sebenarnya Putri Rengganis itu, benarkah
ia seorang yang diusir dan diasingkan di
Puncak gunung ?, benarkah Putri itu
parpaduan antara Jin dan Manusia, lantas
kuburannya siapakah ini ?, entahlah...--
setahu kami di Bandung juga ada Asrama
Rengganis, itu..tuh.. asrama putri UNPAD-
- yang jelas, setelah mengaso kurang lebih
satu jam, tiduran, menyandar pada makam
tersebut --siapa tau muncul jelmaan Sang
Putri dengan Senyumnya, menggoda kami,
hmm..untuk itu sich, kami udah siap pura-
pura bego aja !!--, kamipun berjalan turun,
memang benar, nampaknya disana pernah
ada berdiri --setidaknya-- suatu kompleks
perumahan, terlihat dari susunan batu yang
menyerupai pondasi suatu bangunan.
Waduh asyik sekali....
Rengganis..oh..Rengganis...

Kami turun gunung, dengan masih


asyik dengan alam fantasinya masing-

TOUGH ! ADVENTURER
19

masing, membayangkan hal-hal yang


asyik-asyik...waduh....., hingga tidak terasa
kamipun tiba di Cisentor lagi, suasana
masih seperti sejak kami tinggalkan
beberapa jam yang lalu, memang gunung
itu lagi sepi..sepi pendaki..., kami
beristirahat sejenak, dan melanjutkan
perjalanan.

Tiba di sumber air yang pertama


kami temui tadi pagi, kamipun berniat
istirahat total..termasuk makan
siang...kamipun bongkar
ransel..membersihkan badan, masak dan
makan, habis
makan..eh...ngantuk....sehingga kami
sepakat untuk istirahat banyak di sana, dan
nanti malam --tepat tengah malam-- kami
bergerak turun, toh kami memang terbiasa
berjalan malam. Akhirnya kamipun
mendirikan tenda ‘Titi’ Dome, dan setelah
semuanya dalam jangkauan
pengkondisian, kamipun mulai tidur, oh
ya... jam beker telah distel pukul 23.00
WIB. Kamipun terbuai, tertidur, dalam
pelukan ‘Titi’, diiringi gemericik air yang
terus menerus mengalir tepat disamping
kami...akh,

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


20

Kami terbangun, dibangunkan oleh


bunyi bel jam beker, segera, dengan malas-
malasan tentunya, kami berusaha bangkit
dari tidur lelah kala itu --itulah gunanya
kami menyetel waktu lebih awal--, mula-
mula kami kemasi dulu kantung-kantung
tidur masing-masing, kemudian kami
berinisiatif menyalakan api unggun,
supaya suasana lebih aman dan nyaman,
baru kemudian masak, entahlah, untuk
makan malam atau untuk makan pagi,
pokoknya makannnn !!.....,
alhamdulillah...betapa nyamannya, dan
nikmatnya, menyantap menu saat itu,
ditambah dengan segelas kopi creamer
panas, akh....nikmat sekali.

Hampir satu jam kami berkemas,


dan makan, kamipun telah siap cabut,
menembus kegelapan malam --round
midnight--, menembus hutan. Setelah
memanjatkan doa, kamipun mulai
melanjutkan perjalanan turun. Perjalanan
turun saat itu, sepi, hening, tak ada suara
binatang, ataupun serangga malam, hanya
suara dedaunan dan ranting yang terinjak
oleh langkah kami, --berhenti berjalan
berarti menyerahkan diri bulat-bulat pada
keheningan yang tiada tara, sehingga irama
tubuh ini, baik degup jantung, serta aliran

TOUGH ! ADVENTURER
21

darah, atau bahkan suara tumbuhnya kuku


serta rambut ini, terdengar jelas sekali
mengisi relung kesepian itu....busyeet !!--
hingga tiba di daerah menurun yang cukup
terbuka, kami sempat menikmati
pemandangan kota nun jauh di bawah
sana...indah sekali...tatkala orang-orang di
sana tidur lelap....tak ada yang
mempedulikan kami yang sedang terus
berjalan menembus jalanan setapak,
berdua, hening, sepi.....sementara di depan
kami telah menunggu hutan buas, yang
kemarin kami lalui dengan perasaan
ngiprit, kini, sebentar lagi kami akan
menembusnya....waduh...jrrueenggg!!!

Memang, seolah tersadar akan


keadaan yang bakal kami hadapi, selama
perjalan kami senantiasa mengucapkan
takbir dan tahlil, seraya mohon
perlindungan kepada Allah, Bulan separuh
yang mulai terbit di ufuk timur, perlahan-
lahan mulai surut oleh rimbunnya
pepohonan, terasa sekali kami
sedang memasuki daerah hutan yang lebat,
sesak sekali rasanya --singup-- , aromanya
pun berbeda, seakan merupakan aroma
daerah struggle of life , tapi kami jalan
terus, bertakbir, seolah berusaha
melupakan bayang-bayang kengerian yang

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


22

secara silih berganti timbul dalam benak


ini mulai dari ancaman binatang buas,
hingga serdadu-serdadu tak berkepala itu,
senantiasa menghantui setiap langkah ini.
Terus terang Saya Pribadi baru kali ini
merasakan betapa mencekamnya perasaan
saya kala itu, Argopuro memang sendu,
seolah tidak memiliki rasa toleran kepada
para petualang kesepian ini.

Syukurlah... setelah berjuang


sekian jam melawan rasa takut dan cemas -
-termasuk auman edan mirip kemarin,
cuman kini berdua sama temennya, serta
terciumnya bau pandan yang begitu tiba-
tiba selama perjalanan tadi,
hmm..presepsikan sendiri...lah-- akhirnya
langit mulai terang, Alhamdulillah....Fajar
akhirnya menyingsing juga, seolah
menggantikan gelap yang menelimuti kami
beserta halusinasinya. Kami berjalan terus,
terus..sebentar lagi kami akan keluar hutan
nan pengap itu, tiga...dua...satu....dan
yeah... kamipun keluar dari sana, batas
antara kesenduan dan keceriaan seolah
dibuat jelas, dan tegas, dan kami
merasakannya, kini kembali kami
menempuh kebun kopi, di pagi yang
damai, ceria... Banyak para penduduk desa
yang pergi ke kebun, berpapasan dengan

TOUGH ! ADVENTURER
23

kami, menebar senyum, bersaman dengan


itu surut pula raut tegang pada muka kami,
ugh..amat sangat melegakan hati kami,
selintas kami mengamati pemandangan
sekitar, nampak di Barat, Puncak
Mahameru --puncak Gunung Semeru--
yang gundul sedang mengeluarkan asap
putihnya,..menakjubkan sekali....sementara
nampak di belakang kami Puncak
Argopuro, Rengganis, masih tegak berdiri
--seolah baru bangun tidur--, sedang
menggoda para pendaki lainnya.

Argopuro memang gunung yang


patut diberi acungan jempol, alamnya,
medannya, benar-benar menguji ketahanan
fisik dan mental, disana kami merasa
benar-benar teruji, semakin diingatkan
akan --sekali lagi-- betapa kecilnya kami
dihadapan kekuasaan Allah, betapa kami
dibuat tersadar dan ingat akan segala
keangkuhan dan kesombongan kami
selama ini,
Argopuro...Rengganis...Pegunungan
Iyang......hmm......

Pagi indah, kabut tipis segera sirna,


bertepatan dengan keluarnya mentari dari
balik punggung gunung, sementara kami
sedang duduk, menghempaskan beban di

ARGOPURO, Pegunungan Iyang


24

pundak ini, di hamparan rumput yang


basah oleh butir-butir embun, di kebun
kopi, memandang kembali punggungan
Argopuro yang masih hitam, masih
memendam segala misteri serta kebuasan,
seolah akan tetap begitu terus, tak
terpengaruh oleh hari yang makin cerah di
bawah sini, girang hati kami, kami telah
menang, kehormatan telah kami dapatkan,
seolah baru saja keluar dari suatu angkara
murka.....”Allah Selalu Dekat Bersama
Orang-orang Berani”.***

TOUGH ! ADVENTURER
CIREMAI
Perjuangan
Keras

B AGI kami, pendakian gunung


Ciremai memiliki arti tersendiri,
bagaimana tidak, inilah pendakian
kami pertama kali untuk gunung
berketinggian diatas 3000 mdpl, sekaligus
merupakan cikal bakal terbentuknya team
yang nantinya akan juga mendaki berbagai
gunung 3000-an di pulau jawa...Tough!
Adventurer..

Saat itu bulan Desember 1992,


tepatnya saat memasuki pergantian Tahun,
kebetulan kami sedang libur smesteran,
pada waktu itu kami belum saling
mengenal, kami membentuk team dalam
rangka tugas yang diberikan oleh
organisasi sebagai salah satu syarat
menjadi anggotanya. Singkat kata, kami
berdua sepakat menjadi satu team dan
26

mengambil tugas berupa pendakian ke


Gunung Ciremai (3076 mdpl4).

Persiapan sudah dilakukan, saat itu


kami masih belajar untuk melakukan suatu
perjalanan pendakian, sehingga masih
belum memiliki suatu gambaran, atau
setidaknya bahan pertimbangan dari
pengalaman sebelumnya ( kami belum
pernah mendaki lebih dari 3000 m, namun
dibawah itu, kami sudah pernah koq ).

Tepat pada tanggal 31 Desember


1992, pukul 12.00, setelah shalat Dzhuhur,
kami mulai meningalkan kediaman kami,
menuju terminal Cicaheum, lantas dari
sana kami naik bus jurusan Cirebon.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan
selama kurang lebih enam jam, ditambah
dengan menunggu sesaat di terminal
Cirebon, kami tiba di pertigaan arah
Kuningan dengan ke arah Linggarjati.
Kami turun di sana, dan karena hari sudah
mulai gelap (Ba’da Magrib), maka tidak
ada lagi kendaraan umum menuju desa
terakhir --Linggarjati--, sehingga kami
mulai berjalan kaki.

4
lihat not 1

TOUGH ! ADVENTURER
27

Jalan yang kami lalui masih lebar,


maklum jalan raya, sementara dikiri-kanan
kami terdapat beberapa tempat hiburan
yang mulai menyemarakkan malam tahun
baru saat itu dengan old and new - nya,
sementara itu mendung menggantung
menaungi perjalanan kami, membuat
suasana menjadi lebih cepat gelap sebelum
waktunya.

Hingga akhirnya kami tiba di


warung pak Ahmad --tempat yang sangat
terkenal di kalangan para pendaki yang
menggunakan jalur Linggarjati--,
bersamaan dengan turunnya hujan dengan
lebatnya. Kami segera berteduh di pondok
sederhana yang saat itu juga sarat dengan
para pendaki dari kota lainnya. Kami
mendapat tempat yang cocok buat kami
berdua, kami mengeringkan badan, jajan,
dan saling ngobrol dengan pendaki lain,
yang nampaknya sudah pada turun. Dari
hasil perbincangan, ternyata diperoleh
waktu yang tepat untuk memulai mendaki
yaitu pada dini hari, sehingga kami harus
menghabiskan waktu hingga esok hari, yah
lagipula hujan masih turun dengan
derasnya di luar.

CIREMAI, Perjuangan Keras


28

Setelah tidur beberapa jam,


kamipun memutuskan untuk segera
berangkat dini hari itu, kebetulan hujan
sudah reda, diluar suasana segar sekali,
habis hujan sih, kami berjalan mendaki,
dan tiba di pos pertama, , banyak orang
mendirikan tenda di sana, suasana hiruk-
pikuk, nampaknya mereka semua sedang
merayakan malam pergantian tahun, yah,
selamat tahun baru, kawan.

Satu hal yang amat fatal yang kami


lakukan adalah, tidak membawa air cukup
banyak, sehingga sebelum melanjutkan
perjalanan, kami mencari dahulu botol-
botol bekas air minum mineral, yang
banyak berceceran di sana, kemudian kami
mengisi penuh dengan air, yang memang,
menurut beberapa orang di sana, inilah
sumber air terakhir yang resmi,
maklumlah, walaupun pada musim hujan
ini akan banyak sekali --selama perjalanan
nanti--alur-alur sungai yang berair --run
off--, namun kami dihadapkan pada suatu
keadaan gambling, yeah, kami tidak mau
mengambil resiko cing.

Setelah dirasa persediaan air


mencukupi, kamipun memulai perjalanan
lagi, jalanan terus mendaki, sementara di

TOUGH ! ADVENTURER
29

bawah sana --di kota-- sayup-sayup


terdengar lagu hingar-bingar, menyambut
malam tahun baru, wah perjalanan kami
santai sekali saat itu, berkali-kali kami
berhenti, bahkan kami sempat tidur dahulu
hingga suasana terang, wah payah deh.
Jalur pendakian kala itu bisa dikatakan
ramai, baik yang turun, maupun yang
mendaki, kebanyakan mereka tidak sampai
puncak --itu menurut pengakuan mereka
yang bertemu dengan kami--, entah karena
kekurangan air, atau apa-lah, namun hal
tersebut memacu semangat kami untuk tiba
di puncak.

Seperti biasanya, perjalanan kami


saat itu lelet pisan dech, namun
belakangan setelah menjajal gunung-
gunung 3000-an di jawa ini secara pribadi
saya acungkan jempol buat jalur ini,
belakangan memang jalur pendakian
gunung Ciremai melalui jalur ini paling
yahud, belum ada tandingannya. Selama
perjalanan kami selalu menemui plang-
plang kayu bertuliskan nama-nama sesuai
dengan daerah / blok pada jalur pendakian,
data yang ada selain nama tempat adalah
ketinggian, dan jarak tempuh dari puncak
gunung. Bagi kami keberadaan tanda-tanda
itu memiliki dua presepsi, pertama

CIREMAI, Perjuangan Keras


30

menguntungkan, sebab kami semakin tahu


berapa ketinggian yang telah kami jalani,
kedua justru melemahkan, bagaimana
tidak, dengan melihat deretan angka
tersebut, hati kami makin ciut, tatkala
menghitung-hitung selisih ketinggiannya,
ha..ha..ha....

Saat itu musim hujan, walaupun


pada pendakian kali ini kami tidak diguyur
hujan, namun jalanan buechek kali pun,
warisan hujan semalam kali, bayangkan
pada bagian jalan tertentu licinnya aje
gilee, ditambah jalan yang daki banget,
berkali-kali kami harus merayap --tepatnya
memanjat-- jalan yang becek itu, badan
jadi sangat kotor, tanah pijakan longsor
berjatuhan karena gembur sekali,
untunglah ada akar, atau bagian dari
tanaman yang bisa digunakan untuk
berpegangan, sialnya, adakalanya
pegangan itu sudah digunakan pendaki-
pendaki lain sebelumnya, jadi selain
menjadi kotor, juga licin mengkilat.

Kami terus mendaki dengan nafas


memburu, sekali-kali kami berhenti
melepas dahaga, yah.. irit air tentunya, dan
setiap pos kami beristirahat, bahkan di
salah satu pos, kami beristirahat panjang

TOUGH ! ADVENTURER
31

sambil masak makan siang. Sementara


kemudian kabut, awan, selalu menaungi
perjalanan kami ini, suasana lembab sekali,
tidak mengenakkan, apalagi ditambah
dengan pohon-pohon di sekeliling yang
juga basah, hitam, lembab, wah...
mengganjal sekali suasana kala itu.

Sedikit ulasan tentang keadaan


kebersihan gunung ini, nampaknya sudah
ada usaha-usaha untuk menjaga kebersihan
di gunung itu, terlihat dengan adanya
berbagai papan-papan bertuliskan imbauan
ramah lingkungan, juga dengan
disediakannya tong-tong sampah pada
tempat-tempat tertentu, namun sayangnya,
slogan tinggal slogan, masih ada yang
membuang sampah seenaknya, lalu
mengenai tong sampah tersebut, yeah..,
usaha si pemasang tong sampah memang
sudah mulia, namun bagaimana
kelanjutannya, apakah tong sampah itu
akan dijadikan tempat pembuangan akhir,
atau sementara ?, siapa yang akan
membuang isi tong sampah itu, bagaimana
maintenance-nya, nampak tong sampah itu
sudah tidak sanggup lagi menampung
sampah, sehingga sudah ada bagian
sampah yang tumpah ruah, berhamburan di
sekelilingnya.

CIREMAI, Perjuangan Keras


32

Ada hal menarik dalam pendakian


kali ini, terdapat suatu mitos yang sudah
dikenal oleh para pendaki gunung Ciremai
ini, salah satunya ialah dilarang membuang
air kencing langsung mengenai tanah,
hmm.. entah lah apakah larangan ini
berhubungan secara mistis atau justru
merupakan hal yang logis, namun secara
akal sehat memang sih membuang hajat
sembarangan akan mengganggu para
pendaki lainnya, terlebih ditinjau dari segi
estetika. Tetapi para pendaki kebanyakan
tidak mau mengambil resiko, sehingga
diterimanya aturan itu bulat-bulat, walhasil
mereka mengambil plastik, atau botol
bekas minuman mineral, dan..... yah..
mereka berhajat di situ, lalu
menggantungkannya di pepohonan, tidak
menyentuh tanah..khan.., akibatnya,
selama perjalanan itu, kami banyak
menemui kantong-kantong berwarna
kekuningan bergelantungan di samping-
samping dahan, pohon, wow....., sehingga
ada anekdot diantara pendaki,
bahwasannya, bagaimanapun hausnya kita,
janganlah meminum air yang ada dalam
kantong-kantong yang bergelantungan
selama perjalanan, selintas menggiurkan
juga, ditambah dengan titik-titik embun di

TOUGH ! ADVENTURER
33

luar plastik penampungnya, segarrr... --ya


terang aja..atuh--.

Hari semakin sore, perjuangan


kami sudah cukup panjang, tubuh letih
sekali, tubuh basah terkena air yang
menepel dari pergeseran dengan daun-daun
selama perjalanan, bercampur dengan
keringat, uf..cepel sekali, selama
perjalanan masih banyak para pendaki lain
--entah mereka tiba di puncak atau tidak--
mereka turun, nampaknya mereka habis
merayakan malam pergantian tahun, tadi
malam. Hingga akhirnya kami tiba di suatu
tempat terbuka, yang nampaknya cocok
untuk bermalam di sana, rencananya, kami
akan bermalam, dan dini hari esok, kami
akan meneruskan perjalanan yang
nampaknya tinggal beberapa meter lagi.
Saat itu hari mulai gelap, di daerah terbuka
itu angin dengan leluasa menyapu hebat
daerah sekitarnya, termasuk kami,
wah...dingin sekali, segera kami mencari
tempat berlindung, untunglah ada sebuah
ceruk yang nampaknya sudah biasa
digunakan oleh para pendaki yang lain,
kami berlindung di sana, menyalakan api,
masak, dan mempersiapkan diri untuk
tidur. Diluar sana angin masih terus
bertiup, kadangkala sanggup mematikan

CIREMAI, Perjuangan Keras


34

api kecil dari sebatang lilin yang telah


kami nyalakan. Kami pun tertidur di
malam itu, sementara di luar angin masih
bertiup, kencang, bersiul hebat, menyertai
tidur lelah kami.

Sekitar dini hari, kami dibangunkan


oleh suara langkah kaki dan sorot lampu
senter, nampaknya ada para pendaki
lainnya yang akan menuju puncak pada
saat itu. Memang bila ingin menyaksikan
matahari terbit, nampaknya saat itulah
yang paling tepat, tapi dasar kami saja
yang malas, saat itu kami masih ingin tidur
santai, hingga kami terbangun pada saat
hari mulai terang, damn !, kami hanya bisa
menyaksikan matahari terbit dari tempat
itu, memang cukup indah juga sih, tapi
khan kurang afdhol, rasanya.

Segera kami bangun, berkemas,


masak alakadarnya, dan kemudian segera
berangkat melanjutkan perjalanan. Tidak
seperti kemarin, route jalan kali ini jauh
lebih kering, maklumlah daerah setinggi
ini nampaknya sudah diluar jangkauan
hujan, tetapi jalannya lebih daki dan
berbau, eh.. berbatu, kadangkala
menguntungkan kami, namun kadangkala
bebatuan itu licin sehingga kurang nyaman

TOUGH ! ADVENTURER
35

untuk berpijak, dan kalo terpeleset,


membentur dengkul, ugh..nyeri sekali.

Kurang dari tigapuluh menit,


akhirnya kamipun tiba di puncaknya, angin
bertiup kencang sekali, matahari bersinar
memanasi kami yang kedinginan ini,
Gunung Ciremai memiliki kepundan yang
besar sehingga kami saat itu berniat
mengelilinginya, sembari mencari jalan
turun melalui jalur lain. Namun
sebelumnya kami menikmati dulu alam
sekitar yang memang indah, dari atas sini
kami bisa melihat panorama yang luar
biasa, nampak di sebelah timur puncak
gunung Slamet, dan sedikit nampak puncak
gunung Sumbing, Sundoro, seolah
menantang kami untuk turut mendakinya,
di sebelah utara nampak pemandangan laut
jawa yang tenang berikut pantainya, indah
sekali, oh ya.. nampaknya ada benda kecil
di tengah laut, sebuah kapal barangkali.

Karena tadi sewaktu berangkat


kami terburu-buru, sehingga dirasa perlu
untuk makan lagi saat itu, sehingga kami
mencari tempat yang sedikit terlindung,
kemudian menyalakan api, masak dan
makan. Seusai makan kami mulai berjalan
mengitari puncak, pemandangan ke sisi

CIREMAI, Perjuangan Keras


36

sebelah dalam juga tak kalah indahnya,


nampak hamparan kawah yang senantiasa
masih mengepulkan asap putih tipis.

Bejalan mengitari sisi kepundan


memang memiliki citarasa tersendiri, kami
bisa melihat pemandangan ke bawah sana
dari berbagai sudut pandang, mulai dari
pemandangan kota Cirebon, laut jawa,
sungai besar yang berkelok-kelok, dan
segala sesuatu yang berada disekitar
gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Di
beberapa bagian yang kami lalui, kami
menemukan beberapa tempat , tepatnya
stasiun pengamatan, yang mungkin milik
instansi Geologi, atau Geofisika, yang
pasti kami tidak bisa memastikan apakah
alat-alat tersebut masih berfungsi atau
tidak.

Sesuai dengan yang kami


rencanakan sebelumnya, kami akan turun
melalui jalur lain, memang ada jalur lain
yang bisa digunakan, misalnya jalur Apuy,
nah inilah jalur yang sedianya akan kami
gunakan sebagai jalan turun, tetapi hingga
saat itu, kami masih belum menemukan
jalur tersebut. Kurang lebih setelah kami
mengitari tigaperempat sisi kepundan
akhirnya kami memutuskan untuk turun

TOUGH ! ADVENTURER
37

melaui jalan yang memang nampak, tepat


disisi sebuah alat pengukur kecepatan/arah
angin yang telah rusak. Kami sepakat turun
melalui jalur itu. Tak lama kemudian kami
sudah dalam perjalanan turun, saat itu
tanggal 2 Januari 1993 pukul 10.26 WIB.
Belakangan memang jalur yang kami
turuni itu bukanlah jalur menuju Apuy,
sebab jalur turun yang sebenarnya --ke
arah Apuy-- adalah tepat menghadap tugu /
patok ketinggian, --yang telah kami lewati
kurang lebih pada setengah putaran tadi--,
bukannya pada alat pengukur kecepatan
angin yang kami kira.

Sinar matahari masih bersinar,


siang itu bersinar agak terik, daerah yang
kami lalui masih berupa hamparan rumput,
yang makin lama makin tinggi, berkali-kali
kami menemui persimpangan, kami selalu
memutuskan mangambil salah satu jalur,
tanpa peduli apakah itu benar atau tidak,
sebab kami memiliki asumsi bahwa jalur-
jalur itu akan bertemu kembali.

Semakin lama kami berjalan,


semakin yakin bahwa itu bukanlah jalur
turun menuju Apuy, bagaimana tidak, jalur
yang kami lalui semakin tidak jelas,
nampaknya sudah jarang digunakan orang,

CIREMAI, Perjuangan Keras


38

sedari tadi kami tak menemukan sampah,


hmm rupanya sampah itu ada gunanya juga
yach..., terlebih setelah kita memasuki
daerah hutan yang lebat, tiap langkah yang
kami pijak selalu berbunyi gemeretak,
menginjak ranting dan humus yang tebal,
pertanda baru kamilah yang menginjak di
tempat tersebut, berkali-kali kami berusaha
mencari jalan yang memungkinkan,
tepatnya layak untuk kami lalui, mau
kembali lagi ke atas...akh..malas coy.
Beruntunglah bila kami menemukan
sebuah path, kami segera menyusurinya,
namun tak lama kemudian hilang ditelan
tumbuhan yang tumbuh di sekelilingnya.
Sementara kami melihat daerah sekeliling,
penuh pohon yang besar-besar, nampak
kami masih diatas awan, suasana lebih
mencekam dan lebih lembab --padahal
langit cerah, pada jam-jam seperti itu kabut
masih jauh di bawah kami--, dibandingkan
saat kemarin sewaktu berangkat. Kami
memutuskan jalan terus, daripada bingung
memikirkan, apalagi mencari kembali jalan
turun melalui Apuy, hal inilah yang
membuat kami merasa segan dan menunda
waktu makan siang kami yang saat itu
memang sudah waktunya, kami lebih
khawatir terhadap keadaan saat itu
dibandingkan keadaan perut kami, maklum

TOUGH ! ADVENTURER
39

kami baru pertama kali itu mendaki


gunung berketinggian diatas 3000-m,
sehingga perjalanan dirasa panjang sekali.

Semakin lama kami menuruni


gunung, semakin mendung suasana yang
menaungi kami itu, dan tentu, semakin
lebat pepohonan yang melingkupi kami,
peta kompas yang kami bawa sudah tidak
kami pedulikan lagi, kami sudah malas
untuk berorientasi lagi, sebab sulit untuk
menentukan titik-titik ekstrim dari dalam
hutan nan lebat itu. Tiba-tiba hujan turun
dengan lebatnya, mengguyur bumi ini,
kami yang berada di bawah naungan
pohon-pohon masih tetap merasakan
curahan hujan yang kami akui sangat deras
sekali saat itu, belum lagi dengan petir
yang senantiasa muncul, yang bila diamati
dari selisih kemunculannya hingga
timbulnya guruh, menandakan betapa
dekatnya akar api itu dengan bumi, yang
membuat kami semakin dekat dengan
Allah, Allahu akbar, Allahu akbar !!!.

Kami sepakat untuk jalan terus,


kami merasa segan untuk berhenti di
tempat seperti itu, tertutup pepohonan
maha rindang, lembab, belum lagi hujan
lebat begitu, segera kami mengenakan

CIREMAI, Perjuangan Keras


40

pelindung hujan, dan terus berjalan,


semakin lama berjalan, semakin terasa air
mulai membasahi tubuh kami, dingin,
bercampur dengan keringat kami yang
hangat, membuat tubuh ini menjadi
berasap hebat. Petir masih terus-menerus
menyambar dengan hebatnya, angin,
hujan, menerpa kami seolah dicurahkan
begitu saja dari langit, sementara kami
dengan langkah tergesa-gesa terus dihantui
perasaan ngeri, mencekam, saya pribadi
jadi ingat rumah, ayah, ibu, saudara,
akh...mungkin inilah akhir hayat kami,
benar-benar mencekam sekali, dan saya
sendiri koq jadi melankolis begini !!

Tiba di daerah sedikit terbuka,


namun masih dalam area hutan yang
memiliki pepohonan besar, kami berhenti
sejenak, sesaat kami ragu, apakah petir
akan menyambar kami di daerah terbuka di
depan kami, akh.. terlalu didramatisir
sekali suasana saat itu, pikirku... segera
kami menerobos daerah terbuka itu...
secepat itu pula petir menyambar dengan
hebatnya, terasa dekat sekali rasanya,
tanah yang kami pijak seolah bergetar,
kami sempat berpekik sesaat, segera kami
merendahkan langkah kami, namun masih
terus menembus hamparan terbuka itu,

TOUGH ! ADVENTURER
41

hingga tiba di daerah yang tertutup


kembali, kami berhenti, melihat kembali
jalan yang baru saja kami lewati... fiuh....,
namun kami tidak bisa berhenti, kami
harus jalan terus, daripada basah
kedinginan, lebih baik kami hangatkan
dengan deru nafas kami.

Kekhawatiran kami bertambah


seiring dengan masih terusnya petir
menyambar-nyambar gemuruhnya
menggetarkan sekali, seolah pecah dada
ini, yang kami khawatirkan bukanlah
petirnya, tetapi justru bila petir itu
menyambar pohon diatas kami dan jatuh
menimpa kami, nah...., kami terus berjalan
dengan sekali-kali berhenti menarik nafas,
kami masih sesekali berhenti, mencari-cari
jalur yang layak, maklum tanah yang kami
pijak semakin gembur ditambah dengan air
yang membuat jalan menjadi becek,
jeblog, berkali-kali kami terpeleset, jatuh
terduduk.

Hingga menjelang sore hari, masih


dibawah guyuran hujan, kami mulai
memasuki daerah yang sedikit tidak wild,
namun jalur semakin tidak bisa kami
taksir, selintas nampak oleh kami diatas
hamparan alang-alang yang tumbuh subur

CIREMAI, Perjuangan Keras


42

di sana, sebuah jalur yang berupa rebahan


alang-alang, membentuk sebuah jalur,
tanpa pikir panjang kami mengikutinya,
dengan suka cita, memang cukup panjang
jalur rebahan itu, namun lama kelamaan
timbul kekhawatiran, nampaknya jalur ini
masih baru dilalui, nampak sekali dari
bekas rebahan, serta patahan batang
rumputnya, akh.. ada apa gerangan, kami
tidak mau ambil resiko, sehingga setelah
memasuki daerah pepohonan hetrerogen
kamipun mencari jalur lain, belakangan
nampaknya jalur yang kami lalui itu
kemungkinan besar adalah jalur binatang,
mengenai jenis binatang apa yang berada
di depan kami saat itu, entahlah, yang pasti
kami tidak terperangkap mengikutinya
hingga, mungkin, ke sarangnya, masih
terbayang hingga kini betapa lebarnya
daerah rebahan yang ditimbulkannya,
menandakan seberapa besar mahluk yang
melewatinya, kadangkala rebah ke kiri, ke
kanan bahkan pada keduanya.

Hari semakin gelap, menjelang sore


hari kami merasa sedikit terhibur, tatkala
kami tiba di sebuah daerah yang
nampaknya memiliki pola tanaman teratur,
benar, kami tiba di ujung daerah reboisasi,
nampak masih banyak bibit-bibit pohon

TOUGH ! ADVENTURER
43

yang belum tumbuh, ditanam teratur,


perkiraan kami, daerah itu tentu sudah
dijamah oleh orang, dan pasti tak lama lagi
kami akan menemui perkampungan,
syukurlah, tetapi tunggu dulu, kami
ternyata masih terus berjalan-dan berjalan,
kali ini peta yang kami bawa sudah benar-
benar tidak bisa di baca, luntur oleh air
hujan, hal ini menjadikan pelajaran buat
kami pada perjalanan berikutnya, untuk
membungkus plastik dengan rapi, peta
yang kami bawa. Hingga hari gelap, kami
masih terus berjalan, dengan path yang
‘gak jelas sementara kami masih belum
menemui daerah kehidupan, nampak
sekilas nun jauh dibawah sana --diantara
celah pepohonan-- kerlipan lampu,
mungkin dari sebuah kampung, masih
jauh..., kami kini dibantu dengan lampu
senter, hujan masih turun, dan sudah tak
terhitung lagi berapa kali kami jatuh
bangun terpeleset.

Inilah rupanya keburukannya


sebuah team kecil, nampaknya kami saling
gengsi untuk lebih dahulu berhenti, bah..,
sehingga kami terus saja berjalan, kini
nampak makin melemah, kami semakin
jarang berbicara, kami sibuk dengan alam
pikiran serta khayalannya masing-masing -

CIREMAI, Perjuangan Keras


44

-biasanya pikiran kala itu penuh dengan


segala sesuatu yang enak-enak--, bayangan
sinar lampu senter kami, mamberi
imajinasi pada pikiran kami masing-
masing, gelap, basah, sunyi, sepi, lapar,
lelah, akhh.. kapan hal ini akan
berakhir...........

Entah siapa yang memulainya --


hingga kini pun kami masih
memperdebatkannya--, kamipun berhenti
di sebuah tempat, entah memadai entah
tidak kami tak peduli lagi, saat itu kami
benar-benar lelah sekali, kami sudah tidak
sanggup melanjutkan perjalanan lagi,
biarlah apa yang ada di sekeliling kami
saat itu kami tak peduli, kami sepakat
untuk segera tidur, untuk memulihkan
tenaga, tapi kami ingat akan bahaya yang
menghadang kami, ingat kami harus masih
tetap dalam keadaan sadar, sangatlah
berbahaya untuk segera melepas lelah
dalam keadaan begitu lelahnya, sehingga
kamipun sepakat untuk mengisi dahulu
kalori yang sedari siang tadi belum terisi,
mau masak akh.. tidak mungkin, korek api
sudah basah, tanganpun malas untuk
bergerak-gerak, kami segera membuka
makanan kaleng, makanan yang memang
cocok buat keadaan darurat seperti itu,

TOUGH ! ADVENTURER
45

kami segera menyantapnya, tanpa dimasak


terlebih dahulu, yang penting bukan
nikmatnya, tetapi kalorinya, kami ingin
agar panas tubuh kami yang akan banyak
keluar pada saat kami tidur nanti, akan
terganti dengan makanan saat itu.

Tiba saat tidur, busyet.. ternyata isi


ransel kami basah semua --inilah packing
pertama kami, untuk perjalanan mendaki
gunung diatas 3000 m-- sehingga sleeping
bag, yang sedari tadi merupakan harapan
terakhir kami satu-satunya yang bisa
menjamin kenikmatan kami, ternyata
basah kuyup, hingga ke dalam-dalamnya...
pupus sudah harapan kami, saya pribadi
kecewa banget, sudah tidak ambil pusing,
segera ku buka semua baju yang ku
kenakan, dan segera masuk ke dalam
sleepng bag yang sudah mirip kantung air,
saya masuk ke dalammya, sesaat terdengar
bunyi berkecipak, akh...., dinginnya masya
Allah, tapi biarlah ku tahan sesaat, toh
nantinya akan hangat oleh tubuh ku
sendiri,...begitulah, sesaat kemudian
memang jadi hangat, walaupun masih
basah, betapa nyamannya, ooh..segera ku
lemaskan kaki-kaki yang sedari tadi terus
bergerak, sementara di luar --kami tidur
hanya dengan sleeping bag dan dibungkus

CIREMAI, Perjuangan Keras


46

dengan poncho-- hujan masih turun,


menerpa poncho, menimbulkan suara khas
yang turut menyertai tidur lelah kami saat
itu, Laaila ha ilallaah.

Keesokan harinya, hujan sudah


berhenti, langit biru, sementara di timur
matahari mulai menembus diantara
rimbunnya pepohonan, aku bangun,
kusingkapkan poncho yang menaungiku,
Alhamdulillah....., indahnya suasana pagi
itu, seolah masih memberi harapan hidup
kepada kami, kami terbangun mengamati
sekelilingnya, ternyata kami bermalam di
tempat yang cukup indah, hamparan
rumput hijau segar, pohon pinus yang
memiliki pesona tersendiri, kicau burung
yang .... wah..indah sekali. Lamat-lamat
terdengar alunan lagu dangdut, aha..pasti
ada kehidupan di depan kami. Tubuh yang
terbungkus kantung tidurku sudah
mengering --termasuk kantung tidurnya--,
segera kami berkemas, berpakaian, dan
segera --tanpa makan dulu-- melanjutkan
perjalanan, waduh... serasa segar sekali
saat itu, new power, new spirit, saat itu 3
Januari 1993 pukul 06.37 WIB.

Dalam perjalanan, kami menemui


seseorang yang bisa kami tanyai, menurut

TOUGH ! ADVENTURER
47

beliau, di bawah sudah ada desa, nah..


kamipun melanjutkan perjalanan dengan
suka cita. Memang tak lama kemudian
kami telah menemukan desa, ini
memberikan ketenangan tersendiri bagi di
kami, bagaimanapun kami telah berada di
lingkungan yang civilize, melewati MCK,
kami bersih-bersih dulu, berak dan cuci
muka, trus kami meneruskan perjalanan,
kali ini, menempuh jalan melalui jalur
jalan desa.

Ternyata perjalanan ini masih jauh,


kami musti berjalan puluhan kilometerlagi
untuk tiba di jalan raya desa, ternyata jalur
jalan yang terbentang lebar di hadapan
kami, serasa lebih melelahkan daripada
jalur jalan di hutan, mau berhenti dan
singgah di rumah pendukuk, akh... segan
dech, apalagi dengan tampang dan pakaian
berlumut dekil begini, waw.....

Kesulitan muncul lagi, kali ini


masalah uang transport yang pas-pasan,
sehingga tidak memungkinkan kami untuk
membeli sesuatu di warung, sebab jatah
uangnya ngepaasss sekali. Kami terus
berjalan di jalur yang nyaman itu.

CIREMAI, Perjuangan Keras


48

Tiba di sebuah jalan raya desa,


berdasarkan petunjuk seorang penduduk,
akhirnya kami naik kendaraan umum,
menuju terminal Rajagaluh, dari sana naik
lagi ke jurusan terminal Majalengka, dan
dari sana kami melanjutkan ke Cirebon,
tetapi karena uang kami tidak mencukupi,
kami turun di pertengahan jalur Cirebon-
Bandung, dan di sana kami bisa mencegat
bus yang menuju Bandung.

Ternyata perjuangan kami belum


berakhir, kami harus menunggu bus yang
langka, penuh lagi, dan kami harus
bersaing dengan calon penumpang lainnya,
belum lagi bawaan kami yang turut
menggelayut di punggung kami, turut
merepotkan.

Sambil menunggu di pinggir jalan,


lamunan kami melayang pada resoran di
ujung sana, tak jauh dari tempat kami
menunggu, aduhh, kalo lagi ada duit,
mungkin saya pribadi udah beli baso tahu
plus segelas susu soda, tapi...aghh....

Singkat cerita kami bisa


mendapatkan bus, walaupun berdiri, dan
tiba di Bandung dengan Selamat, tiba di
rumah masing-masing. Belakangan inilah

TOUGH ! ADVENTURER
49

satu-satunya gunung yang paling keras,


dan kami sepakat, gunung ini kami beri
bintang lima, he..he.., oh ya inipun
merupakan satu-satunya gunung, dimana
kami tak bisa melihat sosok
gunung itu lagi pada saat tiba di bawah --
maklumlah, gunung itu telah tenggelam
oleh punggungan-punggungan sewaktu
kami menuruninya--.

Menutup tulisan ini aku ingat


dengan kata-kata yang diucapkan oleh
seorang instruktur sewaktu aku mengikuti
Suatu Pendidikan Dasar alam terbuka di
Bandung, “Biasakan mengambil
keputusan dalam kondisi ‘under
pressure’, dan biasakan pula
beraktifitas dalam perut kosong”,
hmmm.......***

CIREMAI, Perjuangan Keras


50

TOUGH ! ADVENTURER
PANGRANGO
Gunung Wisata

B ILA Gunung itu tidak memiliki


ketinggian lebih dari 3000 meter,
dapat dipastikan kami tidak akan
mendakinya. Setidak-tidaknya
itulah kesan yang timbul ketika kami tiba
di Gunung Putri, salah satu --dari tiga jalur
resmi-- pendakian ke gunung Pangrango
(3019 mdpl5), setelah melihat bagaimana

5
Lihat not 1
52

jalan tol terbentang lebar di hadapan kami


hingga ke puncak gunung, tough...kah ??.

Sekali lagi, karena kami terpaksa --


demi konsistensi pada komitmen-- harus
mendaki gunung Pangrango, yang nota
bene sudah termasuk pendakian wisata,
maka sebelum pendakian kami harus
disibukkan dengan pengurusan ijin-ijin,
dimulai dengan pengurusan ijin dari kantor
polisi di Bandung, hingga pengurusan ijin
di lokasi. Ada kisah menarik dalam proses
perijinan di lokasi pendakian. Ceritanya
begini, berdasarkan informasi dari seorang
rekan di Bandung, maka kami berangkat
mendaki hanya dengan membawa surat
jalan dari kepolisian Bandung, kami
berangkat dari Bandung dini hari pukul
03.30 WIB tanggal 14 July 1994, kami tiba
di Cipanas --samping Istana Cipanas--
tepat dua jam kemudian. Setelah mengisi
perut sejenak, kami segera naik Angkot ke
Gunung Putri. Setibanya di sana, selain
kekaguman pada jalan tol, kamipun
ternyata harus melengkapi diri dengan
berbagai surat-surat yang tidak kami
miliki saat itu, Shit..!!, kalo gunung ini
tidak berketinggian diatas 3000 m kami tak
akan mendakinya !!.

TOUGH ! ADVENTURER
53

Karena konsistensi kami, maka


segera kami berangkat kembali ke bawah,
mengurus surat-surat, dalam perjalanan
kami telah bersiap-siap menghadang
tembok-tembok birokrasi yang paling tidak
kami sukai, oh ya, ransel kami titipkan di
pos Gunung Putri. Mula-mula kami
mengunjungi Puskesmas, untuk meminta
Surat keterangan Sehat dari Dokter,
mulanya kami ragu, ini puskesmas atau
Pos Yandu sih, soalnya, di pagi itu banyak
sekali ibu-ibu bunting, dan beberapa
menggendong anak kecil, namun setelah
kami tanyakan ke petugas, ternyata kami
bisa juga meminta surat keterangan di sini.
Singkat cerita kami telah mendapatkan
Surat keterangan Dokter, kemudian
perjalanan kami lanjutkan ke kantor
PHPA, disana kami meminta ijin seraya
melampirkan berbagai persyaratan yang di
minta, namun betapa kecewanya kami,
tatkala petugas disana tidak mengijinkan
kami lantaran kami akan mendaki hanya
dengan personil dua orang, padahal,
katanya, minimal harus tiga orang, waduh,
gimana nich, kamipun keluar, kami malas
berdebat dengan orang-orang kaku yang
sekedar menjalankan tugas tersebut --
inilah kekurangan perjalanan kami yang
tidak bawa-bawa nama organisasi--,

PANGRANGO, Gunung Wisata


54

sehingga kamipun keluar, sambil


mempersiapkan rencana selanjutnya.
Rencana kami, kami akan menunggu para
pendaki lain, toh disana --di Cibodas--
akan banyak pendaki yang lewat situ,
maksudnya kami akan membajak salah
satu pendaki, yah, sebagai pelengkap
persyaratan, toh tidak ada ruginya mereka
juga akan meminta ijin juga khan ?.
Memang sih banyak waktu yang terbuang
dalam penantian itu, namun akhirnya kami
berhasil menculik seorang pendaki,
menjadikannya sebagai joki, dan yah
keluarlah surat ijin yang menjadi kunci
untuk memasuki penjara hutan nasional
Gede-Pangrango. Sebenarnya kami bisa
mendaki langsung dari Cibodas, namun
apadaya, ransel kami ditinggal di Gunung
Putri, tak apalah, nantinya hal ini akan
membawa kesan tersendiri dalam
perjalanan kami ini koq. Kamipun kembali
lagi ke Gunung putri segera setelah ijin
keluar, tentunya setelah berterimakasih
kepada sang joki .

Segera kami kembali ke Gunung


putri, kemudian menyerahkan ijin, dan
kamipun diperbolehkan berangkat
mendaki, pendakian pun dimulai, saat itu
pukul 11.30 WIB. Sedikit ulasan mengenai

TOUGH ! ADVENTURER
55

jalur pendakian ke gunung Gede-


Pangrango, jalur resmi menuju puncak
gunung ada tiga, yaitu dari Cibodas
(tempat PHPA), Jalur Gunung Putri, dan
Jalur Salabintana (Sukabumi), sebenarnya
bagi kami yang ingin mendaki Gunung
Pangrango akan lebih baik memakai jalur
Cibodas, sebab nanti pada perjalanan akan
berjumpa dengan pertigaan --Kandang
Badak-- yang membagi jalur ke gunung
Gede dan Pangrango, sedangkan kali itu
kami mendaki dari Gunung Putri, maka
kami harus mendaki dahulu gunung Gede,
turun lagi, dan baru lah mendaki gunung
Pangrango, tapi biarlah, toh
ini...Tough..Adventure !!.

Pendakian melalui jalur Gunung


Putri kali ini memang sepi, nampaknya
banyak orang yang senang mendaki
melalui jalur Cibodas, sebab belakangan
kami ketahui --sewaktu pulang-- jalurnya
lebih landai, banyak persediaan air, bahkan
air panas yang mengalir, terlebih satu jalur
dengan tempat meminta surat ijin, ya.. di
PHPA itu. Sehingga jalur lainnya
nampaknya hanya digunakan sebagai
alternatif jalur turun saja.

PANGRANGO, Gunung Wisata


56

Satu jam berjalan, kami


memutuskan istirahat sambil makan siang,
kami memilih tempat ditepi sungai --
menurut penjaga pos tadi, ini merupakan
sungai terakhir--, kami masak, makan,
sambil istirahat, total, tigapuluh menit
kemudian kami siap untuk berjalan lagi.
Seperti yang telah diutarakan pada awal
cerita ini, jalur pendakian sudah terbentang
lebar, dilengkapi dengan tangga-tangga,
dari batang-batang pohon, terus setiap
beberapa meter dipasang shelter-shelter
sebagai tempat beristrahat, wah.. benar-
benar gunung yang memberikan pelayanan
prima, tapi..bagi kami, sebagai pendaki
tough !!, hal tersebut sangat memanjakan
sekali, tidak ada tantangan.

Tak ada yang menarik untuk


diceritakan dalam pendakian kali ini,
semuanya berjalan lancar-lancar saja,
hingga akhirnya kami tiba di alun-alun
Suryakencana, daerah datar, nan luas,
penuh ditumbuhi pohon-pohon Edelweis,
indah sekali suasana saat itu, belum lagi
dengan terpaan sinar mentari yang masih
cukup terik, walaupun sudah tergelincir ke
ufuk barat, nampak disebelah kanan kami,
gunung gede yang sebentar lagi akan kami
daki. Kami berjalan di padang nan luas itu

TOUGH ! ADVENTURER
57

dari sana mulai banyak bertebaran sampah-


sampah yang ditinggalkan pendaki,
rupanya daerah ini banyak digunakan
pendaki untuk nge-camp, waduh semakin
dekat ke kaki gunung, semakin banyak
sampah yang dijumpai, kotor sekali.

Kami segera memulai mendaki


Gede, yang hanya beberapa meter lagi,
terus kami mendaki, hingga tigapuluh
menit kemudian kamipun tiba di Puncak
Gede, memang indah sekali suasana pada
saat itu, matahari sedang dalam fase
menenggelamkan diri di perut bumi,
sementara dihadapan kami nampak
menjulang --sedikit lebih tinggi--, gunung
tujuan kami yaitu Pangrango, waduh,
rasanya malas sekali untuk turun untuk
kemudian mendaki lagi gunung
berikutnya, Pangrango, yang nampak
begitu segitiga. Setelah menikmati alam
sesaat, kami segera turun, kami tidak ingin
berlama-lama menunggu hari gelap, segera
kamipun berjalan menuruni Gunung Gede,
tidak seperti jalur Gunung Putri, maka
jalur yang kami turuni ini --jalur dari
Cibodas-- penuh sekali dengan sampah
yang menutupi jalan, mulai dari bungkus
mie instan, kaleng-kaleng minuman,
plastik, kertas koran, bahkan --maaf--

PANGRANGO, Gunung Wisata


58

pembalut wanitapun kami temui, aduh..


kotor sekali, mungkin inilah keadaan dari
sebuah gunung yang bisa didaki oleh para
pendaki yang penuh fasilitas, sehingga
mengabaikan kualitas lingkungan, yeah..
nampaknya kawasan gunung ini memang
membuka peluang besar bagi para pendaki
gunung amatiran yang baru gede --ini
istilah kami--.

Malam hari kami tiba di pertigaan


yang telah kami ulas sebelumnya, namanya
Kandang Badak. Kami memang berencana
untuk bermalam di sana, memang sudah
ramai keadaan di sana, rata-rata mereka
akan mendaki ke Gunung gede esok hari,
ada yang sedang masak, tidur, nge-camp,
atau menempati sebuah pondok yang
cukup luas, disanapun sarana air bersih
cukup memadai. Kamipun masak sebentar,
dan kemudian tidur dengan menempati
salah satu pojok dari pondok tersebut.

Semakin malam, bahkan dini hari,


semakin banyak yang datang --pendaki
dari arah Cibodas-- sehingga suasana di
Kandang Badak semakin ramai, hal itu
menjadikan kami tidak bisa tidur, kami
saling ngobrol, kebayakan dari mereka
adalah pendaki dari Bogor dan Jakarta,

TOUGH ! ADVENTURER
59

dari Bandung pun hanya beberapa team,


dan tujuan mereka semuanya adalah ke
Gunung Gede, nampaknya hanya kami lah
yang saat itu akan menuju gunung
Pangrango --tapi kami habis turun dari
Gede, lho--.

Hal menarik yang kami jumpai


dalam keramaian itu adalah nampak
banyak anak-anak yang lebih pantas
dikatakan mau tamasya, betapa tidak,
pakaian rapih, dan wanitanya, wow... ,
belum lagi di pojok sana, tampak dua anak
sedang tiduran sambil kompor gasnya
menyala untuk mendidihkan air
minum...hah...merebus air...gilaa... kalau
kami sih...dalam keadaan seperti ini hanya
minum air mentah.....

Satu jam lebih awal dari jadwal


keberangkatan kami semula --soalnya
suasana semakin hiruk-pikuk--, kami
memutuskan mengisi perut dahulu, untuk
kemudian melanjutkan perjalanan, setelah
kami masak dan makan maka kami
berangkat mendaki kembali, saat itu pukul
02.45 WIB tanggal 15 July 1994,
pendakian kali ini jauh lebih sepi, dan
bersih dari berbagai sampah, nampaknya
jarang sekali ada pendaki yang lewat situ,

PANGRANGO, Gunung Wisata


60

jalurnya bercabang-cabang --belakangan


kami ketahui bahwa semuanya sama saja,
toh hanya sekedar jalan pintas--, pendakian
kali itu memang lebih curam dari saat
kemarin mendaki gunung Gede, juga
jalannya tidak selebar --jalan tol-- kemarin,
hingga akhirnya menjelang matahari terbit,
kamipun tiba di Puncak, terus terang kami
tidak menduga puncaknya se-garing ini,
bayangkan puncaknya tertutup pohon,
sehingga tidak bisa melihat sekeliling,
terdapat shelter, dan tugu batu dan tulisan
Puncak Pangrango, waduh --lagi--...kalo
gunung ini tidak berketinggian diatas
3000, tentu tidak akan kami daki, memang
pendakian yang nyaman sekali.

Kami memang berencana tinggal


lama di puncak, hingga menjelang
matahari tinggi, kami akan segera turun,
dalam penantian itu kami masak seadanya
--maklumlah bahan makanan kami sudah
mulai habis--, santai sekali kegiatan kami
saat itu, kemudian ternyata tibalah team
pendaki yang ternyata dari Bandung juga,
ternyata ada juga yang mendaki ke
Pangrango, tapi bedanya, mereka --
berlima-- tidak mengenakan ransel, mereka
menitipkannya di Kandang Badak, he-he..
kami masih lebih Tough... cing !!. Mereka

TOUGH ! ADVENTURER
61

tidak lama koq, kemudian meraka kembali


lagi turun. Oh ya kamipun sempat
mengunjungi lembah Mandalawangi, yah..
semacam padang Suryakencana, tetapi
tidak begitu luas, juga dipenuhi timbuhan
Edelweis, terus kami kembali ke Puncak,
tidur-tiduran...pokoknya santaii sekali,
ehm..sekedar memanfatkan fasilitas...kita
sudah bayar mahal koq.

Akhirnya setelah lama, matahari


mulai meninggi, dan kamipun sudah mulai
jenuh, kamipun mulai berkemas, dan turun.
Perjalanan turun biasa-biasa saja, tak ada
yang istimewa, sehingga kurang lebih satu
jam kemudian kamipun tiba di Kandang
badak, suasana sudah sepi, tidak ada siapa-
siapa, kami hanya sempat bertemu dengan
team dari Bandung --yang tadi naik ke
Pangrango-- yang sudah siap pulang
meninggalkan kandang Badak.

Rencananya kami akan turun


melalui jalur Cibodas, namun sebelumnya
kami akan santai dulu koq, kami takut sih
akan menyusul team yang di depan kami,
kasian khan !!. Kemudian datang pula satu
team yang baru turun dari Gunung Gede,
mereka pun istirahat dulu di sana. Seperti
biasa kami ngobrol. Dalam obrolan itu

PANGRANGO, Gunung Wisata


62

dibicarakan masalah pemeriksaan di pos di


bawah, apakah ketat atau tidak, kami
sendiri belum mengalaminya, namun
menurut pendaki sebelumnya, memang,
suka diadakan penggeledahan, baik isi
ransel maupun badan, nah kalau ditemukan
barang yang dilarang misalnya radio,
golok, atau bahkan bunga Edelweis, yang
terakhir ini bila ketahuan membawa akan
dikenakan sanksi yang aje gile..!! , namun
belakangan kami tidak mengalami
penggeledahan koq, walaupun hati cemas
karena kami membawa sebuah golok tebas.
Yang membuat kami Geli adalah para
pendaki yang baru turun dari Gede, begitu
was-was nya karena membawa sekuntum
bunga Edelweis, yah hanya sekuntum --
manis sekali memang--, terlepas dari
sanksi dan pelestarian --katanya-- kawasan
Gede-Pangrango, sebenarnya --kalau mau-
- kami bisa membawa Bunga Edelweis
yang lebih banyak, bahkan kalau perlu
pohonnya, sayang kami sudah tidak begitu
suka bunga abadi itu.

Hingga dirasa sudah tiba waktunya,


kamipun berpamitan untuk pulang duluan,
kami berjalan melalui jalur yang ternyata
lebih mulus dari jalur Gunung Putri, yah..
memang sih akan jauh lebih panjang

TOUGH ! ADVENTURER
63

jalurnya. Di perjalanan kami menyebrangi


sungai, air terjun yang mengalirkan air
panas --saya terpaksa melepas kacamata,
sebab ber-embun--, wah asyik sekali...lama
kami berjalan menyusuri jalan tol itu,
kerap kali kami berpapasan oleh para
pendaki lainnya yang baru akan mendaki.

Memang jalur ini lebih nikmat dari


jalur manapun, lebih ramai, bahkan
melewati pinggiran lapangan golf, semakin
minderlah kami yang turun dengan baju
lusuh, baru kami sadar.. mengapa
kebanyakan para pendaki yang melewati
jalur itu selalu mengenakan pakaian yang
yahuud dan wangi, benar-benar mountain
look,...he..he..he..

Akhirnya kami tiba di PHPA,


tempat kami mendaftarkan diri kemarin,
kami segera naik angkot, ke Cianjur, sudah
ingin cepat-cepat tiba di Bandung sih.....
kami pun naik bis ke Bandung.

Kesan yang kami peroleh dalam


perjalanan kali ini adalah, mulus, penuh
fasilitas, kurang tough!, kotor, dan
merupakan pendakian yang mahal !!!.
Selama perjalana banyak dijumpai papan-
papan yang sia-sia sekali keberadaannya,

PANGRANGO, Gunung Wisata


64

yaitu yang bertuliskan “Cintailah Kami,


Bawalah Sampah Kembali “, yeah...
ternyata tidak semua pendaki merasa turut
memiliki alam ciptaan Allah ini.... , bila
gunung ini tidak memiliki tinggi lebih dari
3000 meter -- sekali lagi, untuk yang
terakhir-- tentu kami tak akan
mendakinya....bah ! .***

TOUGH ! ADVENTURER
RAUNG, Kopi
Mbah Srane

P AGI hari, 24 Agustus 1994 -- satu


minggu lebih lambat dari jadual
semula-- di stasiun Kereta api, aku
menunggu --tepatnya menjemput--
rekanku yang akan tiba di Banyuwangi,
memang sebelumnya saya telah tinggal di
Banyuwangi, kurang lebih satu minggu.
Kereta datang, dan tak lama kemudian
dengan mudah kami telah saling bertemu
dan segera menuju rumah teman di
Banyuwangi yang selama ini saya
tumpangi.

Selama di Banyuwangi saya telah


menghubungi berbagai pihak, terutama
yang berhubungan dengan jalur pendakian
ke gunung-gunung yang bakal kami daki
seperti gunung Raung dan Argopuro,
informasi yang saya dapatkan sangat
berfariasi, dan saya mengambil salah satu
yang dianggap terbaik.
66

Setelah mengaso sebentar,


sekaligus packing ulang, maka menjelang
pukul 09.00 WIB, kamipun segera pergi
menuju Stasiun KA kembali, untuk naik
Kereta yang menuju Jember. Singkat cerita
kami telah dalam perjalanan menuju
Jember, dan kurang lebih tiga jam
kemudian kami telah tiba di Arjasa --kota
kecamatan di Jember--. Dari sana kami
melanjutkan perjalanan ke Bondowoso,
dengan menggunakan bus umum, dan
kurang lebih empat puluh lima menit
kemudian kami tiba di terminal
Bondowoso, suasana saat itu terik, kering,
terbakar oleh mentari kemarau yang panas
menyengat, sementara kami dengan tubuh
mendua --berat oleh bawaan kami--
nampak sedang hilir mudik diantara
keramaian terminal, mencari angkutan ke
tempat tujuan. Akhirnya kami
mendapatkan angkutan --orang sana
bilangnya taksi--, kalau kami sih
menyebutnya omprengan, tujuannya jelas
yaitu ke Sumberwringin, sebuah kota kecil,
tempat desa terakhir sebelum puncak
gunung Raung (3332 m dpl6) berada.

6
Lihat note 1

TOUGH ! ADVENTURER
67

Satu jam perjalanan kami disuguhi


pemandangan kebun tebu yang nampaknya
sudah siap dipotong, terasa sekali suasana
khas pedesaan di Jawa timur, kebanyakan
penduduknya berbahasa Madura, memang
menurut sang sopir, daerah sini --
Bondowoso khususnya-- memiliki
penduduk yang berasal dari pendatang dari
kebanyakan orang Madura. Akhirnya kami
tiba di tujuan, dengan diantar pak sopir,
kami menuju kantor pembantu camat
untuk meminta ijin pendakian.

Sebenarnya istilah meminta ijin


tidak sepenuhnya tepat, yang tepat adalah
melaporkan pendakian, bagaimana tidak,
belakangan untuk mendaki gunung-gunung
di Jawa timur dan Jawa tengah tidaklah
membutuhkan birokrasi yang rumit, hanya
sekedar lapor, dan membayar uang
administrasi ala kadarnya, sehingga
hampir 100% calon pendaki bisa lolos
untuk mendaki, berbeda dengan gunung-
gunung di Jawa barat yang full birokrasi,
pokoknya rumit dah, entah karena alasan
faktor keamanan atau apalah, namun kami
hanya bisa melaksanakan prosedur yang
berlaku.

RAUNG, Kopi Mbah Srane


68

Setelah melapor, kami diberi peta


kasar tanpa skala, dan kemudian kamipun
segera melanjutkan perjalanan. Sebenarnya
dari tempat itu terdapat kendaraan ojeg
yang mengantar hingga Pondok Motor --
demikianlah nama pondok terakhirnya--,
namun dengan pertimbangan hemat biaya,
dll, kamipun sepakat berjalan kaki saja
sejauh 5 km.

Perjalanan kali ini masih diliputi


semangat yang tinggi, kami melewati
kampung, dan perkebunan kopi, mentari
sore sudah tidak terik lagi, jalanan berbatu
dan akhirnya berpasir, adakalanya ada truk
yang lewat, kamipun minta diri untuk
nebeng, hingga akhirnya kamipun tiba di
sebuah pundok, ada tulisannya pondok
pendaki, dan kamipun berhenti dahulu di
sana.

Tidak ada siapa-siapa di sana, yang


ada hanya seorang bapak tua yang sedang
bengong, saya sapa, diam saja, namun
muncul seorang nenek tua yang menyapa
kami dengan bahasa maduranya, waduh,
saya yang sedikitnya mengerti bahasa
jawa, dibuatnya tidak berkutik dengan
celoteh maduranya, akhirnya komunikasi
berlanjut dengan bahasa tarzan. Nama

TOUGH ! ADVENTURER
69

pasangan serasi itu adalah Mbah Srane,


menurut beliau, ia sudah tinggal lama di
sana sejak jaman PKI berkuasa. Sambil
menunggu dan meminta ijin membongkar
muatan, yang sedianya sebagian dari
logistik akan kami titipkan disini, sang
nenek menghidangkan segelas kecil kopi,
dingin memang, itu kami maklumi, namun,
busyet.. alangkah lezatnya kopi itu,
nampaknya kopi asli dari kebun yang
mengitari pondok itu. Semula kami tidak
mau merepotkan pasangan itu, namun
dilihat dari caranya menyajikan kopi, nasi,
beserta sayurnya, kami yakin bahwa
kegiatannya itu sudah menjadi kebiasaan
sebagai tuan rumah, jadi yah, mau apa
lagi......, satu hal yang kami sayangkan,
kepada kami dan kepada setiap pendaki
yang datang kemudian, mbah Srane
senantiasa menanyakan obat batuk, tentu
saja banyak diantara kami yang tidak
membawanya, belakangan setelah kami
turun gunung dan bertemu sesama pendaki
lain yang akan naik, kami nyuruh agar
mereka membawa obat batuk buat Mbah
Srane, dan gilanya mereka nurut tuch !!,
dasar bego.

Setelah packing, sedianya kami


akan berangkat ba’da Magrib, namun sang

RAUNG, Kopi Mbah Srane


70

mbah melarang kami, alasannya menunggu


bulan terang, yah kamipun menurut, kami
menunggu bulan muncul, yang
diperkirakan tiga jam lagi, sementara
menunggu sambil tiduran, hari mulai
gelap, pemilik rumah mulai menyalakan
lampu dari kaleng yang diberi sumbu, dan
gilanya, sang nenek pun membuat api
unggun di dalam rumah gedek yang
berlantai tanah itu, karuan saja asap segera
memenuhi ruangan itu, tapi nampaknya
sang nenek sudah berpengalaman baik
sirkulasi maupun kenyamanan ruangan,
sehingga beberapa saat kemudian suasana
menjadi hangat.

Bulan sudah muncul, kami berniat


mohon diri, tapi lagi-lagi kekhawatiran
seorang tua-lah yang mampu membendung
keberangkatan kami, katanya banyak
celenk7-lah, banyak pemburu jahat-lah,
kesasar jalan-lah, dsb, yang kesemuanya
tak kuasa kami tolak, sehingga jadual
keberangkatan kami ditunda hingga esok
harinya. Kamipun beristirahat, tapi mata
tidak bisa terpejam, khasiat kopi tadi sore
mulai terasa, begitu dahsyatnya, hingga
sepanjang malam kami melek terus.

7
Babi Hutan

TOUGH ! ADVENTURER
71

Selagi menunggu, datanglah satu


rombongan pendaki lain yang juga akan
naik, kami pura-pura tidur, nampak
dengan sigap sang nenek membukakan
pintu, mempersilakan masuk, menyuguhi
kopi edun, dan mepersilakan makan,
kemudian kami bangun dan ngobrol
dengan mereka, meraka pandaki dari
Malang, dari merekalah kami banyak
mendapatkan informasi --sebagai
pelengkap-- berbagai route menuju
gunung-gunung yang bakal kami daki
nanti setelah Raung ini.

Karena kami tidak bisa tidur, dan


sudah tidak ada lagi yang musti kami
lakukan lagi, akhirnya kami sepakat
berangkat dini hari itu, nampak rekan kami
sedang tidur, begitu pula mbah Srane, kami
berkemas, dan membangunkan seorang
rekan kami untuk pamit dan titip pamit
buat Mbah srane, dengan keadan masih
hang, rekan kami itu mengiyakan.

Kamipun memulai perjalanan di


pagi buta itu, dingin memang, langit cerah,
bulan bersinar terang, walaupun sudah
memasuki fase pasca purnama, jalan yang
kami pijak masih berupa jalanan lebar --

RAUNG, Kopi Mbah Srane


72

cukup untuk kendaraan roda empat--,


maklumlah masih disekitar perkebunan
kopi. Kemudian jalanan mulai mengecil,
dan tinggallah kini kami menempuh jalan
setapak.

Begitulah, kami merayapi jalanan


setapak itu, menembus dini hari yang
sedikit terang ditemani rembulan.
Begitulah...sehingga menjelang matahari
bersinar, kami sudah berada di dalam
hutan heterogen, namun kering, segera
kami berhenti dan masak untuk sarapan
pagi hari itu. Setelah sarapan pagi kamipun
melanjutkan perjalanan kembali, kali ini
pos satu (Pondok Sumur / Ondo) kami
lewati, jalur ini berupa hutan heterogen,
dan masih ditemui kebun pisang hutan, dan
kemiringan medan masih bervariasi, naik
dan turun.

Perjalanan diteruskan dengan


masih menyusuri jalanan setapak yang
tidak terlampau melelahkan untuk ditapaki,
sementara mentari pagi dengan indahnya
berusaha menembus rimbunnya pepohonan
kala itu, memberi aksen kuning kehijauan,
menambah pesona ceria di pagi itu. Tak
ada pendaki lain yang sedang naik, bahkan
hanya ada seorang peneliti beserta enam

TOUGH ! ADVENTURER
73

porternya, yang kala itu sedang turun, dan


berpapasan dengan kami, jadi hari itu
Raung adalah hanya milik kami.

Tiba di pos kedua (Pondok Demit),


kami beristirahat sejenak, sebab, menurut
peta yang kami bawa, bahwa jalur
pendakian setelah pos ini adalah terus
mendaki, dengan ekosistem tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya, hanya
pepohonannya mulai terlihat homogen.

Entah mengapa, pada jalur kali ini,


aku merasakan kepayahan yang luar biasa,
tidak biasanya, mungkin keadaan ku lagi
tidak fit, waduh payah sekali, sesekali aku
berhenti, untuk sekedar melepas lelah,
nafas terasa lebih tersengal-sengal, dahaga
menjadi-jadi, pokoknya tidak seperti
biasanya saya mendaki seperti ini,
belakangan diketahui bahwa nampaknya
kadar Hb dalam darah saya telah menyusut
/ mengecil, sebab saya telah tinggal lama
di daerah rendah, di Banyuwangi, sehingga
keadaan tubuh menjadi lebih payah bila
segera beradaptasi dengan daerah
ketinggian, berbeda bila saya sebelumnya
tinggal di Bandung, daerah yang cukup
memiliki ketinggian. Begitulah....

RAUNG, Kopi Mbah Srane


74

Di tengah-tengah kelelahan yang


amat sangat itu, untungnya rekan saya
yang satu lagi tidak menunjukkan gejala
yang sama, kami berhenti untuk makan
siang, kami, tepatnya saya, menggunakan
waktu itu dengan sebaik-baiknya, melepas
lelah, sementara didepan kami masih ada
tanjakan yang menurut pandangan saya
saat itu sungguh menyebalkan, ingin
rasanya segera mengakhiri perjalanan itu.

Pejalanan dilanjutkan, keputus


asaan mulai muncul dalam pikiranku, ingin
rasanya berhenti saja, namun hanya
semangat yang bisa membuatku terus
merayapi tanjakan itu. Tiba di pos
selanjutnya ( Pondok Mayit), jalanan
masih terus mendaki, kali ini dihiasi
pepohonan yang jarang, berganti menjadi
hamparan rumput nan tinggi, kering,
berpotensi sebagai lahan kebakaran hutan,
panas, membuat mulut ini semakin dahaga.

Setelah lama perjalanan itu kami


lalui dengan sabar, tibalah kami di pos
terakhir (Base Camp), yaitu daerah yang
mendekati berbatasan antara daerah
berpasir dengan daerah bertumbuhan.
Berdasarkan kesepakatan, didasarkan
kepada kondisi saya yang sudah sangat

TOUGH ! ADVENTURER
75

payah, --supaya tau aja, itulah kondisi fisik


saya yang paling kampungan-- maka kami
sepakat untuk beristirahat selama dua jam,
sebelum melanjutkan perjalanan menuju
puncak gunung.

Waktu beristirahat kami manfatkan


sebaik-baiknya, saya segera mencari
tempat yang enak untuk berbaring,
dibawah rimbunan pohon cantigi yang
rindang saya segera merebahkan tubuh nan
payah ini, kupandangi langit nan biru
jernih, angin bertiup kencang, sementara
mentari yang sudah mulai tergelincir ke
ufuk barat, masih memancarkan sinarnya
yang galak, keadaan yang begitu
mendukung itu, membuat saya tertidur
kelelahan.

Kami terbangun ketika jam beker


yang dibawa temanku, berbunyi dengan
nyaringnya, menandakan waktu dua jam
telah berlalu, waduh.. malas rasanya untuk
segera bangkit, namun mengingat kami
telah dan sedang dikejar waktu, maka
kamipun segera mempersiapkan segalanya,
untuk kepuncak, kami tidak perlu
membawa seluruh perlengkapan kami,
kami cukup membawa minuman serta
makanan sekedarnya, juga lampu senter,

RAUNG, Kopi Mbah Srane


76

bila nanti kami turun kemalaman. Segera


kami menyembunyikan ransel kami di
tempat yang cukup aman, kami tahu saat
itu tidak akan ada orang lain yang bakal
menjamah tempat tersebut, namun untuk
berjaga-jaga, lagipula kurang etis
meninggalkan barang bawaan begitu saja
di tempat terbuka.

Perjalanan dimulai, kami melewati


sejenak daerah yang masih ditumbuhi
tanaman pendek, kemudian kamipun tiba
di daerah berpasir. Dilihat dari medannya,
pendakian jalur terbuka ini tidaklah sesulit
pada waktu kami mendaki pada jalur
terbuka di gunung Slamet, apalagi Gunung
Semeru. Jalur kali ini, lebih landai, dan
berbatu-batu, sehingga tidak perlu
khawatir kaki terbenam dalam pasir.

Jalur yang sudah tidak jelas itu


kami rayapi terus, hanya satu tujuan kami,
puncak !, beberapa kami temui semacam
prasasti yang dibawa kelompok pendaki
dari Bandung, sebagai tugu peringatan
wafatnya seorang pendaki bernama Deden,
juga dari Bandung.

Tidak sampai satu jam, kamipun


tiba di derah tertinggi, angin bertiup

TOUGH ! ADVENTURER
77

dengan kencangnya, menerpa tubuh kami,


sementara pemandangna menjelang
matahari terbenam saat itu sungguh indah,
ku tebarkan pandangan ke seluruh pelosok
penjuru bumi di bawah sana, mulai dari
hamparan laut di utara dan timur,
pemandangan kawah Ijen, beserta
beberapa kepundan di daerah sekitarnya,
kawah kepundan Raung8 itu sendiri, yang
begitu luas, dan berwibawa, serta
pemandangan puncak gunung, tepatnya
pegunungan Argopuro yang begitu banyak,
juga tak lepas pemandangan puncak
Mahameru yang menjulang tinggi,
mengiringi dataran tinggi Tenggernya.

Tanpa menunggu mentari


terbenam, kami segera turun, sebab kami
tidak mau menuruni dareah berpasir itu
dalam keadaan gelap, selain beresiko, kami
yakin daerah terbuka itu gampang sekali
diterpa angin yang mulai menjadi dingin
itu. Kami segera turun, sembari menikmati
sisa-sisa pemandangan yang masih bisa
dinikmati kala itu, memerah, seiring

8
Gunung Raung memiliki kepundan yang amat besar,
seorang peneliti dari Belanda Dr. CW Wormser menyebut
kawah ini terbesar di pulau Jawa, dan kedua terbesar di
Indonesia

RAUNG, Kopi Mbah Srane


78

dengan semakin redupnya mentari


tenggelam di barat sana.

Setibanya di Base Camp, kami


sepakat untuk bermalam di sana, untuk
kemudian bergerak kembali, tepat malam
hari nanti, bagaimanapun kami telah
terbiasa berjalan malam hari, apalagi pada
saat turun gunung, bukannya apa-apa,
perjalanan malam memberikan banyak
keuntungan, yaitu suasana tidak terlalu
panas, menghemat air, konsentrasi menjadi
terpusat, dan adakalanya perjalanan
menjadi lebih cepat, tanpa memberikan
efek yang terlalu melelahkan.

Untuk pertamakalinya, dalam


perjalan mendaki gunung, kami membawa
sebuah tenda ‘Titi’ Dome, entahlah,
rasanya tanpa benda itu pun kami telah
terbiasa untuk tidur dengan sleeping bag
dan poncho, lucu sekali kalo saya ingat
proses sehingga kami berniat membawa
sebuah Tenda. Sebelumnya kami telah
berlatih membuat serta membongkarnya,
prestasinya adalah, kurang dari lima menit,
yeah.. tidak terlalu banyak membuang
waktu. Kamipun segera mendirikan tenda,
perlengkapan tidur segera dimasukkan ke
dalamnya, kami membuat api unggun,

TOUGH ! ADVENTURER
79

untuk menghangatkan diri, sementra itu


kamipun masak makanan malam, dan
setelah kesemuanya beres, kamipun mulai
tidur, api unggun kembali dipadamkan,
kami masuk ke kantung tidur masing-
masing, jam beker distel sesuai kebutuhan,
dan kamipun mulai tertidur, diluar sana
bulan mulai muncul, sementara angin di
bawah sana, bertiup dengan kencang,
menerpa dedaunan, membuat suara yang
menderu, menghantarkan kami untuk terus
tidur, menyelami alam bawah sadar kami.

Jam beker berbunyi, tanda waktu


tidur sudah berakhir, bulan sudah tinggi,
dengan malas-malas, kami bangun,
merapikan kantung tidur, melipat tenda,
menyalakan kembali api unggun, masak
kopi seadanya, berkemas, dan bersiap
untuk melanjutkan perjalan turun.

Seperti biasa, sebelum melanjutkan


perjalan setelah beristirahat panjang, kami
berdoa terlebih dahulu, setelah itu barulah
kami mulai menuruni jalanan setapak nan
kering, berdebu, suasana gelap, hanya
cahaya bulan yang membentuk bayangan
semu, sementara lampu senter menyorot,
membentuk sudut dengan permukaan
tanah, angin berhembus kuat, menerpa

RAUNG, Kopi Mbah Srane


80

dedaunan, di lembah sana, suaranya


gemuruh sekali...

Lama kami berjalan menuruni


gunung, tubuh menjadi berkeringat, panas,
segera kami buka jacket, yang sejak tadi
kami kenakan, dingin sudah tidak terasa
lagi, berganti menjadi rasa segar
semriwing dan nyaman, langkahpun
menjadi semakin cepat, menembus angin,
gelap, dan rimbunnya rerumputan, pohon,
diiringi menyebut Asma Allah, selama
perjalanan, Laa ilaha illallaah.......

Setelah lama berjalan kami bertemu


dengan camp team yang kemarin bertemu
di Pondok Pendaki, waduh..koq baru
sampe sini, kasihan..perjuangan masih
panjang bung, nampak mereka meringkuk
dalam tenda, tak tega kami
membangunkannya, sehingga kamipun
melewatinya, dengan harap tidak
mengganggu tidur resah mereka kala
itu...hmmm.....

Menjelang fajar menyingsing, kami


sudah mencapai hutan yang lebat kembali,
nampak langit mulai kemerahan, nuansa
pepohonan mulai tercetak pada latar
belakang langit yang mulai menerang,

TOUGH ! ADVENTURER
81

secara pribadi saya sangat menyukai saat-


saat pergantian malam, entahlah susana
seperti itu memberikan kesan yang begitu
mendalam dimanapun saya mengalaminya,
supaya tau aja, saya bisa tahan berlama-
lama duduk merenung, mengamati saat-
saat perubahan gelap menuju terang itu,
akh...sentimentil sekali. Lampu senter
segera kami masukkan kembali, kini jalan
mulai agak terlihat, kicau burung mulai
terdengar bersahutan, indahnya suasana
pagi itu. Tanpa membuang waktu, kami
terus menerobos hutan itu, terus..terus..
hingga akhirnya tiba di pondok pendaki
kembali. Nampak rombongan pendaki
lainnya, yang nampaknya segera akan
berangkat, kami bertegur sapa dahulu,
ternyata mereka dari Jakarta, nampak
mereka sedang berpamitan dengan Mbah
Srane..., yang juga masih menanyakan
keberadaan Obat batuk, yang dijawab
dengan gelengan kepala...membuat hati
kami semakin teriris......

Dengan logat maduranya sang


mbah, menyambut kami dengan gembira,
kami haturkan permohonan maaf kami,
tatkala pergi tanpa pamit, selang beberapa
hari yang lalu, sang nenek memakluminya,
seraya menyiapkan hard coffee-nya,

RAUNG, Kopi Mbah Srane


82

ditambah sebakul nasi dan sepanci sayur


semur tahu dan tempe, yang kesemuanya
kami santap dengan hati lapang.

Kami memang berniat beristirahat


dahulu barang dua jam di pondok itu, kami
tidur-tiduran, mengambil kembali barang
titipan, packing, dan melihat-lihat keadaan
sekitar. Kasihan pasangan suami istri itu,
hidup hanya berdua... sakit-sakitan,..
akh..., perhatian segera aku layangkan ke
sekeliling pondok pendaki itu, seperti
halnya pondok pendaki dimanapun berada,
banyak dibenuhi oleh coretan, tempelan
sticker, yang melambangkan kegagahan
dan prestige, kemudian nampak buku tamu
yang penuh berisi kesan, pesan dari para
pendaki yang telah mendaki gunung
Raung, seru bercampur geli, tatkala kami
membaca isi buku tamu itu satu-persatu...
ada yang merasa puas, mendaki Raung,
pesona alam yang memukau, trus, ada
yang merasa didatangi hantu-nya Deden9,
merasakan perasaan kekeluargaan yang
erat sesama pendaki, bahkan ada
sekelompok pendaki non-pri, dari Jember,
memberi pesan-pesan promosi niaga,
pikirannya dagang melulu...he..he..he..
9
Pendaki dari Bandung yang tewas, kecelakaan pendakian
pada Oktober 1991

TOUGH ! ADVENTURER
83

Setelah istirahat dirasakan cukup,


kamipun mohon diri kepada Mbah Srane,
oh ya.. sebelumnya kami sempat
mengambil gambar --foto-- dengan
mereka, kemudian kami memberi gula
putih, seperampat kilo dan sedikit uang,
bagaimanapun kami merasa bertanggung
jawab kepada mbah-mbah ini. Kamipun
meninggalkan pondok itu, sementara sang
empunya rumah melepas kami dengan
sesekali terdengar suara batuk-batuk yang
terdengar sudah akut
itu.....ukhuk....ukhuk....grukh.....

Melalui jalan setapak nan lebar


terasa menjengkelkan, bagaimana tidak,
tak ada pohon yang mempu menaungi
kami dari terik panas siang itu...tapi
akhirnya kami tiba juga koq di kantor
pembantu camat, disana kami segera
beristirahat lagi, kali ini kami mencuci
berbagai perlengkapan yang kami bawa,
baik pakaian maupun alat masak, mandi
dan berak, kemudian sembari menunggu
semuanya kering, kamipun tidur.....

Karena kami bangun kesorean,


kamipun tidak bisa melanjutkan
perjalanan, sebab menurut bapak petugas

RAUNG, Kopi Mbah Srane


84

di sana, angkutan ke Bondowoso sudah


tidak ada lagi, damn !!, akhirnya kami
dianjurkan untuk bermalam dahulu di
sana...., tawaran itupun kami terima, kami
saling bercerita, banyak sekali, dari
pembicaraan itu, belakangan diketahui
bahwa tempo hari team kami sempat
diragukan untuk mendaki, alasannya cukup
unik, sebab kami yang dari Bandung,
berdua lagi, mirip dengan team Deden
yang juga Berdua --yang mendapat
musibah itu lho..--, dan lucunya, wajah
Deden itu Mirip pula dengan
Wajahku,...ha..ha.. kami dianggap
sempalan-nya kali.....

Keesokan harinya kami sudah


bangun, masak sarapan pagi, dan segera
kami menumpang kendaraan pertama yang
menuju Bondowoso, kami berpamitan dan
mulailah perjalan pagi itu menembus jalan
desa yang sejuk, indah, membelah
hamparan kebun tebu...indah
sekali.....”Janganlah Gembira Bila Tiba
Di Puncak, Pikirkanlah Untuk Turun
Dengan Selamat”.***

TOUGH ! ADVENTURER
85

RAUNG, Kopi Mbah Srane


SEMERU,
Bromo, Tengger

T EPAT pukul 03.30 saya bangun dari


tidur pendek ku saat itu, segera
aku lihat keadaan sekeliling
kamarku, berantakan cing !, terang
aja, hari ini aku akan berangkat menuju
jawa timur, untuk menaklukkan Gunung
Semeru, gunung tertinggi di pulau jawa
(3676 mdpl10).

Nampak rekanku sedang


meringkuk di"ranjang tempur"--
demikian aku menyebutnya, sebab itu
ranjang khusus buat teman-teman yang
kebetulan mondok di rumahku--,
sementara di sisi lain nampak dua buah
carrier yang montok dan padat berisi, dan
bobotnya jangan ditanya, sudah siap
dipanggul untuk menyertai expedisi kami
berdua.

10
Lihat Note 1
87

Segera aku bangun dan berdiri,


membangunkan temanku untuk segera
bersiap-siap --mandi kalo perlu-- karena
kami akan segera menuju stasiun kereta
api untuk antri karcis (sebelumnya
kami lupa untuk memesan karcis,
maklum kami disibukkan dengan kegiatan
persiapan adventure ini)

Singkat kata, setelah mengisi perut,


berkemas, pamit kepada orang tua saya
(rekanku adalah seorang imigran yang tak
punya ongkos untuk pulang kampung saat
liburan ini, sehingga ia lebih tertarik
bertualang, tapi udah ijin ke ortunya di
kampung koq), kami segera berangkat
menuju stasiun KA diantar sang babeh.

Setibanya di stasiun KA betapa


terkejutnya saya (baca:kami) sebab orang
yang antre karcis bejibun banget, ini
mangingatkan saya pada masa-masa mudik
lebaran, entah karena mungkin pada saat
itu sedang hari Minggu (libur) atau
karena kereta ini bertarif murah meriah
sehingga ayoo serbuuu !!!

Entah la yaoo, yang pasti dengan


segenap perjuangan yang tak mungkin
diceritakan disini, maka kami bisa

SEMERU, Bromo, Tengger


88

mendapatkan karcis plus tempat


duduknya, sehingga kami punya
wewenang untuk menggusur rakyat
yang tak punya "surat ijin menetap",
bukannya sadis lho, soalnya kami bakal
berkendaraan seharian, masa selama itu
kami harus berdiri-berdesak-desakan
semantara tubuh kami sudah dipenuhi
oleh "knapsack" yang guedenya sama
dengan yang bawanya. Lain halnya bila
kami hanya menuju kota yang
dekat..yeah..kami gusur juga dech...lha
wong udah bayar karcis koq...he..he..he.

Sedikit saya ceritakan tentang


perjalanan berkereta api itu, Suasana
kurang nyaman, penuh sesak, lebih 'gila'
dari saat-saat menjelang lebaran, ironisnya
walaupun kereta sudah penuh bergundal-
gundal tetap saja masih ada orang jualan
atau pedagang asongan yang dengan
ributnya berceloteh menjajakan barang
dagangannya, bahkan pengemis yang -
-nampaknya-- buta, pincang tapi bisa lari
waktu kereta akan jalan meninggalkan
stasiun. Mereka dengan gigihnya
menerobos lautan daging yang
senantiasa menggerutu, akibatnya
kejadian siapa menindih apa, apa
memegang siapa, menginjak, dll

TOUGH ! ADVENTURER
89

nampaknya sudah lumrah untuk saat itu,


dan sah-sah sajah.

Sebagai informasi sisipan, Kereta


yang kami tumpangi berangkat dari
Stasiun Bandung --menurut jam yang kami
bawa-- pukul 05.30 pada hari Minggu 25
July 1993, dan tiba di Surabaya --kami
turun di Stasiun Wonokromo-- pada pukul
20.47 pada hari dan tanggal yang sama.

Tiba di Surabaya kami segera menuju


kediaman saudara saya yang diharapkan
bersedia menjadikan rumahnya sebagai
tempat kami transit dan sekedar
beristirahat malam itu, serta makanan
seridhonya, haruss!!.Oh ya, rencananya
besok pagi 26 July 1993, kami akan
berangkat menuju Malang, disana kami
akan meminta ijin dahulu ke PHPA
Pusat Malang berdasarkan rekomendasi
surat ijin jalan yang kami bawa dari
Bandung, selanjutnya barulah kami akan
memulai perjalanan kami ini.

Memang, keesokan harinya, pagi-


pagi,sekitar pukul 07.00 kami pergi
meninggalkan "tempat mampir", setelah
sebelumnya dijamu makanan
(baca:sarapan) yang mengenyangkan.

SEMERU, Bromo, Tengger


90

Dari Surabaya ke Malang kami memilih


naik bus umum, sebab untuk kembali
naik kereta api kami harus
menyesuaikan jadual perjalanan
keretanya, sedangkan kami telah
memiliki jadual sendiri. Perjalanan dua
jam itu tidak terlalu melelahkan, kami tiba
di Malang pukul 09.00, segera kami
mencari informasi letak kantor PHPA,
sebelumnya saya telah diberitahu oleh
teman di Bandung, tentang lokasi kantor
tersebut, celakanya saya lupa apakah
kantor tersebut dekat dengan kantor
Pengadilan Negri, atau Kantor Kejaksaan
??, walhasil jadual kami mengalami
kemoloran sekitar satu setengah jam untuk
ngubek-ngubek kota Malang, mencari dua
"kantor kunci" itu (gilanya, tuh kantor
yang satu di ujung barat, dan yang satu di
ujung timur). Namun akhirnya dapet juga
koq, kami segera meminta surat ijin
pendakian, memang sih surat jalan yang
diberikan dari Bandung memiliki masa
laku selama dua minggu, namun dalam
meminta surat ijin pendakian, lama
waktunya kami sunat menjadi satu
minggu.

Setelah perijinan beres, kami


segera melanjutkan perjalanan menuju

TOUGH ! ADVENTURER
91

kota kecil bernama Tumpang dengan


menaiki kendaran umum, kalo di Bandung
mirip Angkot lah. Setibanya di Tumpang,
dan turun dari angkot, kami segera
ditawari oleh seorang disana, ia
menawarkan jasa angkutan Jeep
langsung menuju Ranu Pane, desa terakhir,
tempat terakhir bersemayamnya
kehidupan, sebelum puncak gunung
Semeru. Namun ada syaratnya, yaitu
membayar ongkos yang aduhaii, dan
menunggu pendaki-pendaki lainnya,
maksudnya agar kendaraan itu full tank,
mahal? apa boleh buat, sebab itulah
kendaraan satu-satunya, jalan kaki?
nekad..!! lagipula malas ah..!!.

Sambil menunggu kendaraan "Jeep


Willis" itu penuh, kami "belanja" dulu,
makan siang, shalat Dzuhur, dan
seorang temanku menyempatkan mengirim
surat kepada teman kostnya yang sedang
berada di Bandung. Untunglah setelah
kami melakukan "jalan-jalan", sudah ada
dua rombongan pendaki yang satu dari
Jakarta, yang satu dari Jogjakarta. Seperti
biasa, diantara sesama pendaki gunung,
kami cepat sekali akrab, sambil sesekali
membanding-bandingkan "bawaan" serta

SEMERU, Bromo, Tengger


92

perlengkapan kami --secara curi-curi


tentunya--.

Pejalanan pun dimulai, Jeep itu


memang di design untuk angkutan yang
"off road", kami para penumpang
diletakkan di balakang jeep yang telah
dipagari besi-besi, sementara ransel-
ransel diikat dengan kuat pada atap jeep.
Menit-menit pertama kami masih
disuguhi suasana yang menyenangkan,
pemandangan indah, jurang yang dalam,
jalan yang masih mulus, serta tak lupa
sepasang muatan baru yang dinaikkan di
tengah jalan, sepasang muda-mudi "bule"
yang katanya berasal dari negri Jerman,
Woww Ceweknya cing...yuo can see !!!,
tapi gak lama koq, pasangan itu turun di
pertigaan menuju ke Gunung Bromo.
Nah mulai dari situlah perjalanan yang
"mengasyikkan" dimulai. Jalan yang
tadinya mulus. berubah menjadi jalan
berpasir --maklum menurut sang sopir,
sudah dua bulan belakangan ini tidak
turun hujan, gimana kalo ujan, jeblog apa
?, didukung dengan keadaan tanah di sana
yang berpasir--. Baru lima menit
berjalan, sebagian dari para penumpang
minta pindah untuk duduk di kap jeep,
termasuk saya, soalnya debunya....fiuh...,

TOUGH ! ADVENTURER
93

oke, kata sang supir, cuman jangan duduk


menghalangi pandangannya. Selama
perjalanan di kap jeep itu memang
mengasyikkan, bersih, tidak diterpa debu-
debu, dan guncangan-guncangannya
mengingatkan saya sewaktu mengendarai
perahu karet di Sungai Citarum (orad).
Akhirnya ditengah perjalanan, penumpang
lainnya yang semula "keukeuh" numpang
di belakang, pada pindah ke depan,
namun sudah terlanjur, tampang meraka
sudah penuh ditutupi debu campur
keringat...yach!!.

Pejalanan berakhir di pondok di


Ranu Pane, kami menurunkan ransel,
dan segera melapor ke pos lapor. Disana
belum banyak team pendaki lain, namun
menurut petugas di sana, sudah banyak
pendaki yang naik,dan kini diperkirakan
sedang dalam perjalanan, juga ada yang
sedang dalam perjalanan pulang. Rekan
kami dari Jogja dan Jakarta berencana
bermalam dulu disitu, namun saya (kami
berdua) sepakat terus melanjutkan
perjalanan sore itu, dan akan bermalam di
perjalanan.

Setelah perijinan beres, serta


berpamitan dan berjanji akan bertemu di

SEMERU, Bromo, Tengger


94

perjalanan, maka kami memulai perjalanan


itu. Pada awalnya jalan yang kami lalui
masih "jalan tol", suasana sore itu
sungguh indah, nampak puncak
Mahameru (nama puncak tertinggi dari
gunung Semeru) di kejauhan, yang
gundul --seperti halnya kepalaku yang
di"babat" sehabis os!!--,nampak semakin
indah tatkala mentari sore yang memerah
menerpa sisi gunung itu, kontras dengan
langit biru jernih di latar belakangnya,
wah gagah sekali puncak gunung
itu...dan yang terpenting kami, berdua,
akan menaklukkannya.

Hari semakin gelap, "jalan tol" sudah


berakhir, kami mulai masuk hutan,
untung bulan sedang terang, sehingga
suasana tidak terlalu gelap gulita, keadan
jalan, setapak, mendaki, dan sesekali
menurun. Dalam perjalanan itulah kami
bertemu dengan rombongan pendaki yang
baru turun, katanya dari Bandung juga,
STBA lho, ceweknya....!!!, sayang sekali
keadaan saat itu tak begitu terang, namun
mendangar dari suaranya saja, sudah
terbayang kelezatannya, ehm saya
berasumsi nih orang pasti kece buanget.

TOUGH ! ADVENTURER
95

Empat jam kami lalui dengan tabah,


dan kami tiba di daerah yang menurut
peta yang kami bawa, bernama Ranu
Kumbolo, seperti halnya Ranu Pane, di
Ranu Kombolo ini terdapat danau11,
namun lebih luas, disana sepi, jauh dari
penduduk, yang ada hanyalah pondok
pedaki yang saat itu kami lihat penuh
sesak dengan para pendaki. Hari sudah
malam, kabut mulai menutupi cahaya
bulan, setelah masak makan malam --
mie instan, plus segelas kopi panas--,
kami segera menyiapkan tempat tidur,
terpaksa di luar, penuh sih, dan kami pun
mulai beristirahat dan sepakat bangun
dini hari esok untuk melanjutkan
perjalanan, kami mulai tidur, saat itu jam
menunjukkan pukul 22.13.

Malam itu terasa amat panjang,


dinginnya minta ampun, sejak tadi,
sewaktu masak, memang sudah dingin,
tapi tidak sedingin saat ini, ala mak,
belum lagi terdengar rintihan-rintihan
kedinginan dari tenda di sebelah kami
(kami tidur tak membawa tenda, jadi hanya
sleeping bag dan poncho sebagai
pelindung hujan dan embun), sekali-kali
11
Ranu kumbolo merupakan danau di Indonesia (Asia ? )
dengan letak tertinggi diatas permukaan laut ( 2400 m).

SEMERU, Bromo, Tengger


96

kami bangun, melihat jam, ngobrol


sebentar, tidur lagi, sambil saling
merapatkan diri agar hangat. Brr, tiris,
manehh !!!

27 Juli 1993, pukul 02.00 kami bangun,


namun rencana kami untuk segera bangun
dan berangkat saat itu diurungkan, tatkala
kami mendengar suara benda-benda kecil
menerpa atap pondok tempat kami
berteduh, ternyata butiran-butiran es..!
itu menyebabkan kami makin malas dan
rencana "cabut" diundur selama satu jam.
Akhirnya pada pukul 03.00 kami bangun,
tidak peduli apakah masih hujan es atau
tidak --kebetulan hujan es sudah
berakhir-- segera dengan menggigil
hebat, kami menyalakan api, siap masak
lagi ,buat sarapan dan sekedar isi perut,
dan menghangatkan diri. Habis itu
langsung kami berkemas, dan segera
berangkat dini hari itu.

Bulan sudah lama terbenam, kabut


masih menutupi daerah itu, perjalanan
saat itu tidak bisa kami nikmati, gelap,
kabut, sepi, sunyi. Kami harus terus
berjalan, diam beristirahat terlalu lama
berakibat maut, kami tak mau mati
konyol kedinginan, lagipula dengan

TOUGH ! ADVENTURER
97

berjalan tubuh menjadi hangat, tapi di


pihak lain fisik kami belumlah sama kuat,
sehingga kami harus saling tenggang rasa.

Keadaan hutan yang kami lalui


adalah tipe hutan alang-alang, pohon-
pohonnya tidak lebat, kering, dan
cenderung tidak basah, rawan kebakaran,
keadan jalannya juga tidak monoton
naik, kadangkala turun, keadan
ini,berdasarkan pengalaman kami ,
memiliki medan yang tidak seberat
medan gunung Ciremai (3078 mdpl),
dimana hutan di gunung Ciremai sangat
basah, lembab, pohonnya besar-besar,
pokoknya tidak mengenakkan, belum lagi
keadaan jalan yang monoton naik.
Kelebihan lain dari gunung Ciremai adalah
"range" pendakian, di gunung Ciremai --
gunung tertinggi di Jawa Barat--
,walaupun masih kalah tinggi dengan
gunung Semeru, namun kita mulai
mendaki (desa terakhir) pada ketinggian
700 meteran, sedangkan pada gunung
Semeru, desa terakhir ditemui pada
ketinggian 2200 meter..bayangkan..!!,
namun bagaimanapun gengsi sebuah
gunung itu dilihat dari ketinggiannya,
bukan dari cara menaklukannya.

SEMERU, Bromo, Tengger


98

Kami terus berjalan, hingga suatu saat


kami tiba di lembah luas mirip sebuah
padang luas, sementara di hadapan kami
nampak puncak Mahameru yang gundul,
hitam, sebab matahari belum sepenuhnya
terbit, kabut di ketingguan itu pada jam-
jam seperti itu sudah tidak ada lagi, terus
kami berjalan, menerobos tanah datar
nan tandus itu, sesekali kami memetik
bunga edelweis buat kenang-kenangan
(secukupnya, sebab bila berlebihan,
dilarang).

Tak lama kami tiba di suatu tempat,


tertulis disana, pada sebuah papan kayu,
tempat itu bernama Kali Mati, entah
apakah disana ada bekas sungai, atau
apalah, namun di sana nampaknya cocok
buat bermalam, hanya memang susah air
(air terakhir terdapat di Ranu Kumbolo,
kami tak mau ambil resiko, kami bawa air
sebanyaknya dari Ranu Kumbolo).
Nampak disana tenda-tenda "kuya"
berdiri, disisi lain nampak api unggun
dengan dikitari oleh orang-orang berkemul
sarung. Belakangan diketahui mereka
adalah para porter yang disewa oleh
rombongan pemilik tenda-tenda itu, yaitu
para turis-turis bule yang saat itu sedang
naik ke puncak. Dari keterangan mereka,

TOUGH ! ADVENTURER
99

kami mendapat informasi, agar sebaiknya


kini kami menuju Arcopodo, suatu
tempat, katakanlah sebagai pos
terakhir, disana kami dianjurkan untuk
menanggalkan ransel dan membawa
barang serta makan minum seperlunya,
sebab, menurut mereka, untuk mendaki
Mahameru dengan membawa beban berat
adalah berbahaya, sebab selain untuk
menjaga keseimbangan, juga angin di sana
bertiup kencang.

Kami mengucapkan terimakasih dan


mulai melanjutkan perjalanan. Kali ini
barulah kami rasakan pendakian yang
sebenarmya, tempat itu masih ditutupi
pepohonan, sementara kiri kanan kami
jurang curam menganga. Ada hal yang
menarik, saya yang berjalan di depan
mendapatkan seekor burung yang
senantiasa berloncatan di jalan di hadapan
kami, seolah olah memberi petunjuk
kepada kami. Suasana pagi itu sungguh
indah, walaupun obsesi kami untuk
menikmati "sunrise" di puncak gunung
tidak terlaksana namun dari lereng gunung
saat itu pun kami bisa menikmati saat-saat
munculnya mentari di pagi saat itu.

SEMERU, Bromo, Tengger


100

Ditengah perjalanan kami menemukan


sebuah bivak, kami mengunjunginya, di
dalamnya terdapat tiga orang yang
sedang meringkuk, kami menyapanya,
mereka keluar, berkenalan dengan kami,
ternyata mereka adalah pendaki dari
Bandung juga, betapa girangnya kami,
biasa, orang akan senang bila bertemu
rekan sedaerahnya di perantauan, padahal
bila bertemu di daerahnya sendiri belum
tentu berbuat demikian. Dari pembicaraan
kami, diperoleh keterangan bahwa mereka
juga akan mendaki Mahameru hari itu
juga. Diputuskan saya (kami berdua) akan
menjadikan tempat bivak mereka sebagai
"base camp" untuk menuju Mahameru.
Kebetulan diantara rekan kami yang
bertiga itu, salah seorang bersedia
menunggu bivak dan menjaga barang-
barang yang bakal kami tinggalkan,
segera kami berkemas, kami
menyiapkan minuman, makanan
secukupnya, kami kemas dalam "day
pack", oh ya, kami juga menyisihkan
bahan makanan untuk dimasak "sang
penunggu" sebagai makan siang.

Kini kami berempat, mulai


melanjutkan perjalanan itu, kami
melewati Arcopodo, beristirahat sejenak

TOUGH ! ADVENTURER
101

dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di


perbatasan antara hutan dan kaki gunung
yang senantiasa diliputi pasir, gundul.
Nampak di depan mata gundukan pasir
maha besar, hingga kami tak bisa melihat
puncaknya.

Kami mulai mendaki pasir, susah


sekali, dan menjengkelkan, bagaimana
tidak, kaki tebenam di pasir hingga mata
kaki, dan setiap kami naik dua langkah,
tubuh kami merosot minimal satu
langkah... angin juga bertiup kencang,
meniup debu-debu yang beterbangan,
menerpa muka kami, kadangkala debu itu
masuk ke mata kami, sehingga kami
harus 'ngucek-ngucek' mata. Belum lagi
dengan panas matahari --yang walaupun
masih pagi-- begitu menyengat, mungkin
karena tidak adanya pepohonan,
membuat kami selalu merasa dahaga
dan keringat yang bercucuran. Saat itu
saya mendaki dengan sekuat tenaga, jauh
meninggalkan rekan-rekan yang lain, saya
tak mau konyol dalam hal ini, mump[umg
masih punya banyak tenaga, saya tak mau
diam terpanggang mentari lantaran
menunggu rekan saya yang berusaha
memanjat --seperti saya-- di bawah sana.
Nampaknya pendakian ini tiada habis-

SEMERU, Bromo, Tengger


102

habisnya, sesaat saya berhenti, melihat


ke bawah, rekanku nampak sedang
bersusah payah, kecil nun jauh di bawah
sana,sementara kualihkan pandangan pada
pemandangan sekitar, nampak awan sudah
berada dibawah, di kaki gunung.
Kuteruskan "perjuangan" itu, saat aku
masih berusaha keras melawan
kebosanan yang mulai menjangkiti diriku,
nampaklah beberapa orang turis bule --
nampaknya pemilik tenda-tenda di
bawah-- sedang turun dari gunung,
mereka menggelincir dengan nikmatnya,
bak seorang bermain sky, debu tipis dan
tebal membumbung tinggi dari bekas
pijakannya dan segera hilang tertiup
angin yang bertiup dengan kencang.
Pemandangan ini membuat hati dongkol,
bagaimana tidak, kami sedang berjuang
mati-matian, disuguhi pemandangan yang
menggoda kami untuk turut ber"surfing"
ria. Namun "godaan" itu terus kami
lawan, kami harus maju..., aku berhenti
sejenak sembari terus bertahan pada posisi
saat itu, aku mengambil sesuatu dari
daypack yang aku bawa, kukeluarkan
sebotol air minum yang sejak berangkat
dari base camp tadi saya campurkan
dengan tablet effervescent, kuteguk
sedikit...nikmatnya tiada tara cing....,

TOUGH ! ADVENTURER
103

selintas kulihat rekan-rekan ku di bawah


sedang juga ternganga melihat surfer
menggelincir dengan nikmatnya,
kadangkala debu-debu tertiup angin
menerpa rekan-rekan ku itu.

Dua jam kemudian saya tiba di puncak,


puncaknya ditandai dengan sebuah
tongkat besi, banyak digantungi barang-
barang peninggalan para pendaki seperti
syal, kaus, bandana, dsb. Aku raih
tongkat itu, ku pegang seraya
berucap Alhamdulillah..., kemudian
mulutku mengucapkan takbir, setelah itu
serasa dadaku terasa sesak dan aku
berteriak sejadi-jadinya...saat itu emosiku
memang tak terkendali dan tak bisa ku
utarakan dengan kata-kataku disini.
Disana sepi, hening, tidak ada orang lain,
mereka --para "bule"-- sudah pada
turun, sementara rekanku masih di
bawah sana, aku berjalan menuju tempat
yang paling tinggi di sekitar situ,
nampak disana beberapa buah papan "in
memorian" berisi tentang nama-nama para
korban pendakian, "papan" dari batu
marmer itu nampaknya diletakkan oleh
organisasi dimana korban itu berasal.
Kemudian masih dalam kesendirianku
saat itu, tiba-tiba terdenganr suara

SEMERU, Bromo, Tengger


104

gemuruh yang terus terang membuat aku


ngiprit, nampak di bibir kawah di seberang
puncak tempat aku berdiri,
membumbung bergumpal-gumpal asap
tebal ke angkasa, memang suatu
pemandangan yang menakjubkan. Letupan
yang menggelora itu seolah-olah
menyambut kedatanganku, membuat
suasana semakin menggetarkan, apalagi
hanya saya sendiri di puncak itu, sepi,
sendiri, hanya deru angin dan gemuruh itu
lah yang mengisi relung hatiku saat itu.

Sambil menunggu rekanku yang lain,


aku manfaatkan waktu dengan menikmati
pemandangan di bawah sana, memang
indah, fenomena khas pada suatu
ketinggian, aku merasa seolah-olah --
memang-- paling tinggi di pulau jawa.
Disana, di puncak gunung aku tak
merasakan hujan, naungan awan, yang
mungkin sedang terjadi di bawah sana.

Tak lama kemudian satu per satu rekan-


rekanku yang lain mulai tiba di puncak,
kami bersalaman dan saling berpelukan,
bangga dan haru berbaur menjadi satu.
Kami habiskan waktu bersama sambil
menyantap hidangan yang kami bawa,

TOUGH ! ADVENTURER
105

sambil menikmati indahnya ciptaan Allah


itu tentunya.

Kurang lebih tiga puluh menit


kemudian kamipun segera turun. Saat
turun inilah yang paling mengasyikkan,
kami kini bisa seperti orang-orang bule
tadi, waduh.. asyik banget, kami tinggal
menggerak-gerakkan kaki seperti layaknya
orang bermain sepatu roda, kami tak usah
kawatir akan meluncur semakin cepat,
sebab begitu kami merasa laju, segera
kami menjatuhkan diri ke belakang, maka
otomatis tubuh kami mengerem, cuman ya
itu, debunya juga mak..!, kami harus
berjalan berjauhan agar debu-debu yang
beterbangan tidak menghalangi
pandangan, dan saya berpikir, jangan-
jangan paru-paruku telah penuh dengan
butiran-butiran yang terhirup..waduh,
ditambah lagi dengan pasir yang makin
lama-makin panas oleh terik sinar
mentari, sehingga tidak memungkinkan
kami untuk berhenti berlama-lama,
pokoknya seru dech.

Tidak selama sewaktu kami mendaki,


kami pun tiba kembali di daerah
perbatasan antara "gundukan pasir"
dengan hutan. Nah disanalah kami bertemu

SEMERU, Bromo, Tengger


106

dengan rombongan pendaki yang baru


akan mendaki, waduh, saya pribadi sih
menganggap bila mendaki saat seperti ini
sangatlah tidak nyaman, panas, kering,
dahaga, tapi yeach up to you lah yaoo.

Entah karena lapar atau karena hal


lain, kami segera turun menuju base
camp, memang sih perjalanan turun kali
ini tidaklah terlalu memakan waktu lama.
Kami tiba di Base camp, memang, teman
kami yang tadi tidak turut mendaki
telah menyiapkan makan siang buat kami
semua. Kami segera menyantap makanan
yang disediakan hingga --tentu-- tandas.
Kemudian segera kami membersihkan
peralatan masak/makan, dan kemudian
packing, setelah itu barulah kami istirahat
"sejenak". Tanpa sadar ternyata matahari
telah bergulir dari atas ubun-ubun, kami
pun segera bangun, dan "cabut" turun.
Atas kesepakatan bersama, akhirnya saya
(berdua) sepakat berjalan lebih dahulu --
kami dikejar waktu--, kembali kami
melewati Kali Mati, dan padang
edelweis, dari sana kami melihat kembali
ke Mahameru, kami amati agak lama,
hingga kami menemukan titik kecil, yah,
itulah pendaki yang kami temui tadi,
waw..nyaris tak terlihat, begitu keciil, yang

TOUGH ! ADVENTURER
107

nampak hanyalah titik kecil --tidak jelas


mana kepala, kaki, tangan, hanya bintik
kecil berwarna, sesuai dengan pakaian
mereka-- dan gumpalan asap tipis yang
tertiup angin dari bekas pijakannya.
Memang, betapa kecilnya manusia bila
dibandingkan dengan kekuasaan, seta
ciptaan Allah ini.

Perjalanan pulang kali ini ternyata lebih


tidak nyaman, sebab kami berjalam
menghadang sinar mentari, belum lagi
keadaan sekeliling yang gersang, kering,
membuat perasaan menjadi "gerah" dan
dahaga. Dua kali kami bertemu
rombongan pendaki, keduanya nampaknya
akan menginap dulu di Kali Mati, mereka
adalah rombongan besar --kami sebut
rombongan baduy-- dari Surabaya, dan
rombongan dari Jakarta --yang satu Jeep
dengan kami--. Seperti biasa tatkala
mereka bertanya:"Dimana sih Kali Mati ?",
maka kamipun menjawab dengan:"Sudah
dekat koq, sebentar lagi", tau kan apa
yang saya
maksud.............................padahal....!!

Menjelang sore kami tiba di Ranu


Kumbolo, keadaan disana terutama
pundok pendakinya kini sepi, meraka

SEMERU, Bromo, Tengger


108

telah berangkat "naik" --yang kami temui


di perjalanan tadi--, dan sebagian telah
"turun". Disana kami membersihkan tubuh
dahulu dari debu-debu renik nan dekil
dengan air danau yang segar. Waduh
nyaman sekali, sehabis "dibakar" oleh
surya, kini dibasuh oleh air, sejuk sekali
rasanya, juga debu-debu yang menempel di
kaki, tangan, serta muka, kini telah
bersih.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan


kembali, keadan sore itu indah sekali,
danau yang hijau tenang dilapisi kabut
tipis di atasnya, sementara mentari sudah
mulai condong, namun masih memberi
sinar pada pucuk-pucuk bukit, serta --
tentu-- pada puncak Mahameru. Kami
terus berjalan, menyusuri jalan setapak,
hutan, --sama seperti jalan berangkat kami
kemarin-- kemudian tiba kembali di
"jalan tol" terus..dan terus.. hingga
menjelang magrib kami telah tiba di
Ranu Pane.

Kami segera lapor bahwa kami telah


tiba, dan berencana bermalam dahulu di
pondok --gratis-- yang disediakan, untuk
selanjutnya meneruskan perjalanan kami,

TOUGH ! ADVENTURER
109

membelah lautan pasir di kawasan


pegunungan Bromo-Tengger.

Di pondok kami temui banyak sekali


para pendaki, ada yang dari Bandung,
Jember, Semarang, Jogja --yang satu
jeep--, bahkan kami mendapat seorang
teman asing, Ali namanya, dari negri
Turki, walaupun usianya sudah lebih
dewasa dari kami, namun kami bisa
berkomunikasi --bahasa inggris
tentunya--, baik tentang keadan Indonesia,
maupun sebaliknya.

Kami langsung tidur, tanpa mengisi


perut sebelumnya --hanya sekedar
mereguk STMJ--, soalnya letihh..,
bayangkan mendaki gunung Semeru
dalam tempu waktu dua-puluh-empat
jam.., menurut kami merupakan prestasi
yang luar biasa.

Keesokan harinya, 28 July 1993, kami


dibangunkan oleh suara-suara para
pendaki yang hendak berangkat, kami
pun bangun dan melepas mereka dengan
ucapan "semoga selamat sampai tujuan".
Kemudian kami sendiri mulai bangun,
berkemas, mandi --brr dinginnn--, berak
dan masak. Sebelunya kami telah diajak

SEMERU, Bromo, Tengger


110

turut oleh rombongan lainnya agar


bersama-sama menuju Bromo dengan
mengendarai jeep sewaan, namun dengan
sangat menyesal, kami menolaknya,
sebab kami talah memiliki rencana
tersendiri. Akhirnya agak siangan
merekapun "cao" dengan "jeep goyang"
itu. Pondok itu menjadi sepi, hanya kami
berdua, kami habiskan waktu dengan
masak-masak, sambil melihat-lihat
keadaan pondok itu, seperti halnya pondok
pendaki yang ada di setiap gunung, selalu
penuh dengan goresan-goresan penuh
makna, yang mencerminkan kegagahan,
eksistensi, dan yeah.... kami hanya bisa
tersenyum, dan tak lama kemudian
kamipun turut menggoreskan sesuatu di
salah satu dindingnya, sesuatu yang dapat
membangkitkan memori bagi kami.

Kegiatan kami saat itu santai beeng,


bayangin dari pagi ampe sore, kerjanya
hanya tiduraaann.... Akhirnya tepat pukul
15.00 kami pun mulai berjalan mengikuti
jalan jeep, menuju kawasan Tengger.

Kami melewati kampung penduduk,


waduh.. mereka tampak dekil-dekil,
bukannya menghina, memang begitulah
kenyataannya, disana banyak sekali debu

TOUGH ! ADVENTURER
111

yang beterbangan, sehingga keadaan


dekil itu sudah lumrah, kemudian
penduduk di sana --di kawasan Semeru-
Bromo-Tengger-- baik laki, perempuan,
anak-anak, senantiasa menggunakan kain
sarung yang diikat di leher, mirip Batman,
begitulah, itu sudah menjadi tradisi disana.
Nampak pula hewan-hewan piaraan
mereka seperti anjing, kucing, kerbau,
kesemuanya berbulu tebal, adaptasi
barangkali....

Berdasarkan keterangan penduduk,


kami bisa menggunakan jalan pintas
menuju ke kawasan Tengger, kami
mengikuti petunjuk tersebut. Beruntunglah
kami tiba di bibir lautan pasir, pada saat
mentari masih cukup memperlihatkan
sinarnya.. Subhanallah... indah sekali
lautan pasir di bawah sana..nampak jalan
setapak yang kami lihat mirip kurva --
belakangan kami tahu jalan itu tidak
sekecil yang kami bayangkan--, kemudian
di tengah lautan pasir itu nampak
kumpulan gunung-gunung, seperti Gunung
Batok, Bromo, Kursi, dan gunung-gunung
kecil lainnya. Dari situ kami
membayangkan, betapa besarnya gunung
semula yang memiliki kepundan seluas
padang pasir itu..Maha Besar Allah.

SEMERU, Bromo, Tengger


112

Saat itu bulan terang, kami terus


"melipir" bibir lautan pasir, dibawah sana,
di lautan pasir, terdengar deru angin
bertiup kencang. Keadaan malam itu sepi,
kami berjalan sambil berdendang,
ngobrol, pokoknya agar suasana tidak
vakum.

Tiba di suatu persimpangan kami


bingung, disana ada beberapa bangunan
kecil, mirip gubug, tapi lebih kecil lagi,
entah buat apa, nah kemudian ada jalan
turun ke bawah, serta jalan terus
menyusuri bibir. Saat itu kami ragu, mau
jalan turun, terlalu terjal, terlalu berbahaya
untuk perjalanan malam itu, walaupun
bulan bersinar, kami tak mau ambil resiku
--minimal saat itu--, nampaknya kami jalan
terus saja, toh dikejauhan sana ada
kilauan lampu, rumah penduduk kali --
kami tahu, bila pada saat tersesat
janganlah tergoda oleh sinar lampu,
suara kendaraan, atau bunyi-bunyian lain,
tapi ini menggoda sekali cing !--, akhirnya
kami terus menyusuri bibir, namun lama
kelamaan koq tambah menjauhi bibir,
kami membuka peta, ternyata itu sudah
diluar jangkauan peta yang kami bawa,
tapi tenang koq, di lain pihak jalan yang

TOUGH ! ADVENTURER
113

kami lalui semakin lebar, kiri kanan


nampak kebun sayur mayuran, kemudian
dibawah sana jelas tampak bahwa kami
sedang menuju sebuah perkampungan
penduduk. Saat itu kami sadar bahwa
kami semakin menjauhi daerah lautan
pasir --nota bene semakin menjauhi
sasaran-- namun dengan berbagai
pertimbangan, termasuk daya tahan kami
saat itu, kami teruskan perjalanan hingga
bertemu perkampungan, setelah itu --
mungkin-- keesokan harinya kami
melanjutkan perjalanan.

Harapan kami semakin besar, tatkala


memang tujuan kami sekarang adalah ke
sebuah kampung, entah apa namanya,
kami tak peduli, segera kami berjalan.
Hingga tibalah kami di penghujung
desa, sesaat kami ragu, apakah akan
mengunjungi rumah seseorang --kami
terbiasa untuk menghubungi dahulu
perangkat desa, atau mushola sekalipun--,
saat itu sudah pukul 22.00, asumsi kami
tentulah sangat mengganggu bila kami
membangunkan orang saat itu. Hingga
kami menemukan sebuah rumah yang
dari luar nampak penghuninya sedang
ngobrol, segera kami menuju ke sana, saya
yang bisa berbahasa jawa, berusaha

SEMERU, Bromo, Tengger


114

berkomunikasi dengan mereka, kami


menanyakan letak mushola, namun
mereka tak tahu, saya mulai curiga,
jangan-jangan kami dianggap orang asing
yang akan berbuat macam-macam,
sehingga para penduduk melakukan
gerakan tutup mulut, kami mengalah,
diputuskan agar kami menginap saja
dahulu di pondok kosong, di penghujung
desa tadi, kami menuju ke sana, segera
menyiapkan sarana tidur, sedapat mungkin
tidak membuat suara gaduh --bayangkan
setiap barang yang kami bawa
dibungkus dengan kantong plastik,
sehingga bila kami membongkar
ransel..bunyinya.. rame -- tapi ini ada
maksudnya lho !!.

Kami bersiap tidur, setelah kami akan


tidur, terdengar langkah beberapa orang
berjalan mendekati kami --ini yang kami
tunggu-tunggu he-he-he-- kami mulai
waspada, apakah ini hanya orang yang
sekedar lewat, atau....akh..--alaa.. pura-
pura waspada... padahal
girang...dasar...MPO loe..-- Langkah itu
semakin dekat, kini nampak mereka
sedang menyorot-nyorotkan lampu senter.
Kami tersorot kemudian menuju kami,
kami sadar tentulah ini orang baik-baik,

TOUGH ! ADVENTURER
115

sebab mereka begitu sopan ketika


mengetahui kami berada di pondok itu.
Dengan bahasa jawa mereka menyapa
kami, mereka mempersilakan kami untuk
"pindah kamar" ke rumah bapak RT.
Dengan sedikit basa-basi --shit man !!--
kami akhirnya kami pindah juga
koq..jangan sia-siakan kesempatan ini.
Belakangan kami menyadari bahwa
penduduk disitu memeluk agama Hindu,
sehingga tatkala kami bertanya letak
mushola kepada mereka, mereka tak tau
menau, mau terus terang --biasa orang
jawa-- namun berjiwa tepo seliro,
berdosalah kami saat itu yang telah
berprasangka buruk.

Singkat cerita, kami diterima di rumah


pak RT, rumah di sana sederhana, belum
dijangkau aliran listrik, kami
menghangatkan tubuh di perapian,
bersama pak RT dan beberapa penduduk
sekitar yang saat itu sedang berada di
rumah pak RT. Agar tidak menimbulkan
kecurigaan yang mendalam, kami
menceritakan maksud dan tujuan kami --
yang secara tak sengaja "terdampar" di
desa itu-- kami jalaskan asal mula kami,
dan kami beri surat ijin, surat jalan, beserta
identitas kami, dan syukurlah, mereka

SEMERU, Bromo, Tengger


116

percaya kepada kami, kami disambut


ramah, dijamu makanan seadanya, namun
terasa nikmat sekali. Kami mengobrol
agak lama, kamipun bertanya tentang
nama, keadaan desa tersebut, juga tentang
jalan menuju pegunungan Tengger.
Ternyata jalan menuju kawasan
pegunungan Tengger adalah jalan yang
harus kami ambil ke arah bawah, sewaktu
kami tiba di persimpangan --bangunan
yang kami kira "pondok mungil"
sebenarnya adalah tempat keramat, tempat
orang-orang meminta wangsit dan
sejenisnya--, sehingga besok, kami harus
kembali lagi menuju "sanggar keramat".

Keesokan paginya kami bangun,


ternyata bapak RT sudah bangun, beliau
segera mempersilakan kami meminim
kopi --kopi tubruk-- dan menyantap kue-
kue yang disediakannya, kami malu,
bayangkan bangun tidur, langsung
disuguhi kopi panas...asykk... ketang...

Cerita lama, setelah pamit dan


basa-basi, kami meninggalkan rumah pak
RT dan melanjutkan perjalanan, kembali
mengikuti jalan semalaman. Saat itu
waktu menunjukkan pukul 06.30, 29 July
1993.

TOUGH ! ADVENTURER
117

Akhirnya kami tiba di tempat sakral


itu, bagaimanapun kami harus
menghormati tempat itu, dari sana
memang sudah nampak lautan pasir
terbentang luas, kemudian lambat
namun pasti, nampak aliran gumpalan
awan yang mengalir dari balik bukit,
turun "menyapu" padang pasir. Peristiwa
itu kesemuanya terpantau dengan jelas
sekali, indah sekali, mirip air bah yang
melanda suatu cekungan. Kami sepakat
untuk beristirahat di bibir lautan pasir,
hingga sore hari, sebab kami tidak mau
berjalan di lautan pasir sementara mentari
membakar, serta debu-debu yang
beterbangan ditiup badai.

Kami segera membongkar "muatan",


kemudian masak, dan --kembali-- tidur,
kali ini tidur-tiduran, sebab kami seakan
tiada puas-puasnya memandang keindahan
alam ini. lama sekali kami
"menganggur", sementara di lautan pasir
nampak angin badai menyapu pasir, dan
mengaduk-aduk segala sesuatunya kian
kemari, sementara panas pun nampaknya
menyengat sekali.

SEMERU, Bromo, Tengger


118

Hingga akhirnya, hari dirasa cukup


teduh, kami segera berkemas, dan segera
mulai menuruni bibir "kawah pasir".
Ternyata perjalanan menuruni bibir itu
sungguh mendebarkan, beruntunglah tadi
malam kami tidak mengambil jalan ini,
kalau tidak tentulah sangat menyulitkan
kami. Jalannya sangat curam, kadangkala
kami tergoda untuk melihat ke bawah, tapi
ingat!!, sekali melihat ke bawah, kami
akan merasa "gamang", kemungkinan
akan jatuh. Agar aman kami berjalan
sambil merapatkan tubuh kami ke sisi
tebing di sebelah kami, memang
mendebarkan, kami tak berucap sepatah
katapun, kami sudah cukup berat
membawa nyawa kami masing-masing,
ditambah dengan ransel yang kami bawa,
terombang-ambing angin yang selalu
bertiup kencang semakin mengganggu
kestabilan kami. Nampak disekeliling
kami rumput alang-alang yang habis
terbakar, luas sekali, memang daerah itu
nampaknya rawan kebakaran.

Perjalanan sulit itu berlangsung cukup


lama, dua jam kemudian, kami tiba di
dasar "kawah pasir" sejenak kami
beristirahat, melihat kembali bibir curam
yang baru saja kami turuni. Kemudian

TOUGH ! ADVENTURER
119

kami melanjutkan perjalanan kami.


Jalan yang kami tempuh adalah hamparan
pasir nan luas, sejauh mata memandang
hanyalah pasir, kami berpedoman hanya
dengan mengikuti bekas jejak kaki orang-
orang yang melewati jalan itu sebelumnya,
lagipula terdapat susunan batu-batu
sebagai pedoman jalan. Keadaan itu
mengingatkan saya kepada filem-filem
tentang padang pasir di timur tengah, wah
mengasyikan sekali.

Kami berjalan terus..dan terus..kami


berjalan menyapu pasir, sejauh mata
memandang hanyalah pasir.. hanya ada
satu dua pohon yang nampaknya merasa
malu tumbuh sendirian, kami berjalan
menentang matahari yang sedang
menggelincir turun dihadapan kami,
sesekali kami menghadap ke belakang,
melihat lagi tempat kami istirahat tadi --di
bibir kawah, di atas sana-- waduh keciil..
sekali, tidak terlihat sama sekali --kami
mencari-cari tempat sakral itu dari bawah--
. Hari semakin sore, mentari semakin
membuat bayangan kami sangat panjang
sekali, juga bayangan bebatuan, pasir,
yang kesemuanya terproyeksi pada
hamparan pasir nan luas, membuat pesona
yang --sekali lagi-- menggetarkan jiwa,

SEMERU, Bromo, Tengger


120

mirip sekali dengan pemandangan di bulan


--seperti di filem-filem lho--. Hingga
akhirnya kami bertemu dengan jalan
berpatok yang menuju gunung Bromo,
namun sebelum menuju kesana --hari
semakin gelap-- kami sepakat untuk
terlebih dahulu mengambil air dari
kampung terdekat (pondok wisata),
untuk kemudian kembali lagi, dan
bermalam di sekitar gununga Bromo.

Setelah semuanya Oke, kami mulai


memasuki kawasan wisata Gunung
Bromo, terdapat beberapa peringatan
seperti dilarang membuang-sampah,
dilarang mengambil batuan, bunga
edelweis, dan yang menarik perhatianku
adalah dilarang untuk buang air besar
dan kecil dengan menghadap gunung
Bromo...apa maksudnya, apakah sudah ada
yang kena kutuk sebelumnya..hmm
kasihan,..tapi yach..percaya ataupun tidak
kami harus menghormati peraturan
tersebut. Kami berjalan di padang pasir
kembali, kali ini pasir yang kami pijak
bersuhu dingin, maklum malam sudah
mulai beraksi, ditemani bulan, saat itu
kami mencari tempat yang cocok buat
bermalam, akhirnya kami menemukan
tempat yang cocok, sebuah cekungan

TOUGH ! ADVENTURER
121

yang terlindung dari hamparan pasir yang


luas, sehingga kami terlindung dari angin.
Segera kami menyiapkan sarana tidur,
masak, dan memakannya. Oh ya ada
kejadian yang menggelitik hati kami, tadi,
sewaktu kami membaca peringatan untuk
tidak buang air menghadap Gunung
Bromo, kami lakukan juga, Saat kami
buang air, kami membelakangi sebuah
gunung yang malam itu kami kira adalah
gunung Bromo --tak satupun dari kami
tahu persis letak gunung Bromo, maklum
baru pertama kali--, belakangan kami
ketahui keesokan harinya justru kami
membelakangi gunung lainnya (gunung
Batok), dan di hadapan kami adalah
gunung Bromo !!! --asumsi kami gunung
Bromo adalah gunung Batok, seperti yang
terlihat di iklan-iklan pariwisata--. Waduh,
kutukan apa nich, yang bakal kami terima
??.

Sebelum tidur kami sempatkan


membaca ayat suci Al-Quran, yang
kebetulan kami bawa, kami membaca
secara bergantian. Memang setelah
membacanya kami merasakan ketenangan
yang luar biasa, kemudian kamipun
tertidur.

SEMERU, Bromo, Tengger


122

30 July 1993, pukul 03.00 kami bangun


dan segera packing --makan dahulu
tentunya--, sebab menurut informasi untuk
bisa melihat "sunrise" biasanya orang-
orang berangkat menuju Bromo pada dini
hari begini. Setelah siap, kami berjalan,
waduh dinginnya saat itu, kami terus
berjalan, mengikuti patok-patok batu,
hingga akhirnya kami sampai pada
tangga yang menuju kawah di puncak
Gunung Bromo. Setahap-demi setahap
kami mulai mendaki. Sesampainya di
puncak ... koq masih sepi, tak ada orang,
olala, ternyata kami salah mengerti,
mungkin saat itu orang-orang (turis) itu
baru berangkat dari pondok wisatan
sedangkan kita, yang bermalam tepat
dikaki gunung Bromo, otomatis hanya
membutuhkan waktu kurang dari satu jam,
ditambah pula dengan korban iklan, kami
menyangka pendakian membutuhkan
waktu lama, padahal... Bromo tidak
sehebat Batok. Mau kembali lagi malas...
ya terpaksa kami menunggu di puncak
gunung yang gelap dan sepi, hanya
sesekali kami melihat ke arah kepundan
kawah, nampak nyala api berkobar-kobar
dari golakan kawah yang masih aktif. Tak
lama kemudian mulailah terlihat iring-
iringan lampu senter di dasar gunung, di

TOUGH ! ADVENTURER
123

lautan pasir nun jauh di bawah sana,


nampaknya orang-orang dari pondok
wisata sedang mulai berangkat.
Keheningan saat itu mulai diramaikan
dengan hiruk-pikuk di bawah sana yang
makin lama-makin mendekat, makin jelas.

Singkatnya, puncak Gunung Bromo


sudah mulai penuh sesak --mirip pasar--
dengan orang-orang, seperti di negri
asing saja, sebab sekelilingku banyak
sekali "wong londo"-nya, orang lokal
hanya segelintir saja, termasuk mojang-
mojang pribumi yang bergelayut manja di
lengan oom bule...huh..jengkel aku,
bukannya apa-apa...habis pengen sich.
Para wisman nampak antusias sekali,
mereka berjuang keras menahan dingin --
tampak dari gigilan mereka, cukup untuk
menandakan penderitaannya, bahkan ada
seorang anak kecil yang terus menerus
menangis kedinginan sedangkan orang
tuanya, yang juga kedinginan, sedang terus
momong supaya si kecil diam--, untuk
melihat "sunrice" pagi itu. Hingga
akhirnya, setelah perjuangan panjang
melawan dingin, kami melihat indahnya
sang mentari menyembul dari balik
cakrawala, merah, bulat, mempesona,
indah sekali, belum lagi bila kami

SEMERU, Bromo, Tengger


124

mengalihkan pandanyan ke lautan


pasir...nampak hamparan awan kecil,
kabut, yang sejajar dengan permukaan
pasir, nampak beriak-riak, ibarat air yang
sedang mengisi lautan pasir itu...
Subhanallah !!!!. Namun dilain pihak,
kami merasa menyesal, sebab ternyata
untuk mencapai puncak Bromo, tidaklah
membutuhkan "perjuangan" yang berat -
-seperti dugaan kami sebelumya-- tapi
yeach.. itung-itung refreshing lah.

Kami segera turun gunung, keluar dari


arena "wisata" itu, terus menuju desa
terdekat, dari sana kami mengendarai
kendaraan umum menuju ke Probolinggo,
dari sana kami terus menuju ke
Surabaya. Sesampainya di Surabaya,
sebelum ke "tempat transit" kami mampir
dulu ke Stasiun KA untuk memesan tiket,
sebab kami akan kembali pulang besok.

Malam itu kami menginap dan disuguhi


aneka makanan, oleh empunya rumah
"persinggahan", esoknya kami pulang
juga dibekali dengan berbagai macam
oleh-oleh, dan saya sebagai orang yang
mempunyai ikatan keluarga, seperti
biasannya, "disangoni"...asyik.

TOUGH ! ADVENTURER
125

Selama perjalanan, di Kereta Api,


kami mengadakan evaluasi perjalanan --
saat itu KA tidak terlalu penuh-- sambil
terus awas, siapa tau ada mangsa. Kami
sadar banyak hal yang harus dibenahi,
mulai perbekalan hingga perlengkapan,
namun yang terpenting, kami harus
semakin menjadi suatu team yang
kompak, kami harus saling mempercayai,
sebab percaya adalah modal dasar untuk
adanya kekompakan, kamipun harus
menjaga serta memelihara fisik serta
mental kami, kami harus menjadi team
yang tangguh dan tabah...yah..tangguh
dan tabah adalah cita-cita kami, agar
kami bisa menaklukkan puncak-puncak
tinggi yang kini sedang menantang di
hadapan kami.

Kami tiba di Bandung, 31 July


1993, --saat dimana adik-adik kelas kami
"ripuh" menerima pengumuman UMPTN--
pukul 21.00, kami pulang ke tempat
tinggal masing-masing, dirumah, kami
beristirahat, memang inilah kenikmatan
dari rangkaian mendaki gunung: tiba di
rumah dengan selamat, tidur, sambil
membayangkan perjalanan yang baru saja
kami tempuh dengan segenap
perjuangan....aaahhh....

SEMERU, Bromo, Tengger


126

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingat


kata-kata, pesan, renungan yang saya
terima sewaktu saya ditempa mejadi
anggota Wanadri Kom ITB : "Saat Yang
Paling Aman Bagi Sebuah Kapal
Adalah Pada Saat Berlabuh, Tapi Kapal
Tidak Diciptakan Untuk Itu".***

TOUGH ! ADVENTURER
127

SEMERU, Bromo, Tengger


Mentari Pagi,
SLAMET
UNUNG Slamet (3428 m dpl12)

G merupakan Gunung ketiga yang


kami daki dalam rangkaian Tough
Adventurer. Dalam perjalanan kali ini
kami disertai dengan dua orang rekan
kami, dalam hal ini sebagai peliput
perjalanan kami ini (keduanya adalah kru
Boulevard13) Singkat cerita, kami telah
siap di tempat yang telah di janjikan --di
kampus-- untuk kemudian bersama-sama
menuju terminal bus, saat itu waktu
menunjukkan pukul 20.36 WIB, tanggal 4
July 1994, kurang lebih tigapuluh menit,
kami tiba di terminal Cicaheum, beberapa
saat kami luangkan waktu untuk mengisi
perut, di salah satu warung nasi.

Mula-mula kami agak riskan


ditunggangi oleh para kru yang walaupun
dengan alasan reportase, toh mereka hanya

12
Lihat Note 1
13
Tabloid di kampus kami
129

ingin berfoto di puncak sambil memegang


spaduk “Boulevard terbit lagi !!”. Terus
terang, bukannya kami sombong atau apa,
level kita sudah jauh coy.. mereka hanya
pendaki gunung baru gede --itu istilah
kami--, lihat saja penampilannya, begitu
meyakinkan, packing masih berantakan,
matras masih tergantung di luar, pakaian
lengkap, kemeja rimba, plus celana
lapangan --toh nantinya satu persatu akan
dilepas--, berbeda dengan kami yang sudah
terbiasa bertualang, packing yang efisien,
enak dipandang dan gerakan kami gesit,
tidak terganggu segala atribut kegunungan.
Yah.. lihat saja nanti...

Sekitar pukul 21.15 WIB bus yang


kami tumpangi, telah mulai meninggalkan
terminal, menuju Purwokerto, Jawa
Tengah, dan dimulailah perjalanan kami
ini, suasana di Bus tidaklah menarik untuk
diceritakan, pokoknya, kami tiba di
Purwokerto dini hari pukul 03.45 WIB
pada keesokan harinya, yaitu pada tanggal
5 July 1994, rencananya kami akan
“belanja” dulu, tapi saat itu warung-
warung masih tutup, sehingga tanpa
menunggu waktu lebih lama, kami pun
segera melanjutkan perjalanan, dengan
menaiki bus yang menuju Pemalang.

Mentari Pagi, SLAMET


130

Satu jam kemudian kami tiba di


pertigaan, Srayu, namanya, memang
disanalah biasanya para pendaki yang
menggunakan jalur Bangbangan memulai
pendakiannya. Saat itu terdapat pula team
pendaki lainnya, yang berjumlah dua
orang, yang semula kami kira lebih tough
dari kami, tapi belakangan masih dibawah
standard kualifikasi team kami (tidak
termasuk kru lho). Dari Srayu kami naik
semacam angkot, yang pagi itu masih sepi
penumpang, sehingga tidaklah heran bila
tarifnya saat itu dinaikkan dua kali lipat,
yeah.. cuex.. lah.

Tigapuluh menit kemudian kami


tiba di Priatin, dan memang dari sanalah
kami mulai melakukan perjalanan dengan
berjalan kaki, namun sebelumnya kami
melakukan Shalat Subuh di sebuah
Musholla, sambil menikmati pemandangan
gunung Slamet di pagi itu yang puncaknya
mulai memerah diterpa mentari pagi.
Gunung Slamet terkenal dengan Kabutnya,
sehingga pemandangan yang langka
tersebut segera kami abadikan dahulu.

Selesai Shalat kami mulai


melakukan perjalanan, kali ini kami

TOUGH ! ADVENTURER
131

menuju Bangbangan, desa terakhir, yang


sekaligus tempat kami melaporkan
perjalanan ini. Suasana pagi itu sungguh
indah, jalan kampung yang kami lalui
masih basah oleh embun, mentari yang
terbit di belakang kami mulai menerpa
punggung-punggung kami yang berat oleh
knapsack, senantiasa kami bertemu
dengan rombongan penduduk desa yang
memikul entah apa --mungkin sayuran--
,serta jerigen-jerigen berisi air, sementara
dihadapan kami tampak Gunung yang
menjulang tinggi, hijau, dan pada
puncaknya merah --mulai menguning--
terkena matahari, nampak sesaat lagi kabut
akan menutupi pemandangan indah kala
itu. Entah mujur atau tidak, dari belakang
terdengar suara truk yang hendak menuju
ke atas, kami menunggu dan
yah..nebenglah.... Tapi gak lama koq,
hanya beberapa meter, untuk kemudian
kami turun di Bangbangan, menuju rumah
Kuncen, untuk istirahat dan melapor --
coba dari tadi !!--.

Ternyata di sana sudah ada team


lainnya --selain dua orang dari Bandung
tadi--, juga dari Bandung juga, mereka
berempat, salah satunya Wanita, team
tersebut akan melakukan pemasangan

Mentari Pagi, SLAMET


132

patok --lebih tepat marker-- pada jalur


pendakian, wah..trend apa nich, tapi
emang sih nantinya pada perjalanan
banyak kami temui marker-marker yang
mengatasnamakan beberapa perkumpulan
pendaki gunung dari berbagai
pelosok..weleh-weleh...

Kami bertemu Kunceng, ngobrol,


beramah-tamah, makan pagi dan salah
seorang kru, berangkat mencari air, yang
memang sulit di daerah itu. Penduduk di
sana ramah, sehingga kami bisa dengan
senang hati ngobrol ngaler-ngidul.

Setelah dua team berangkat --kami


sepakat agar kedua team itu berangkat
duluan, supaya kami tidak kesusul, gengsi
donk, maka kamipun mulai start tepat
pukul 08.30 WIB tanggal 5 July 1994.
Perjalanan dimulai dengan menyusuri
perkebunan milik penduduk, wah.... kering
saat itu... senantiasa kami berpapasan
dengan penduduk yang sedang
menggotong jerigen-jerigen untuk
mengambil air. Lepas dari perkebunan,
kami melewati hamparan tanah luas --
masih kebun juga--, tetapi memiliki
kemiringan yang membuat orang frustrasi.
Tanjakan itu kami lalap dengan santai

TOUGH ! ADVENTURER
133

sekali --kami toleran terhadap dua kru lelet


kami yang amat sangat terengah-engah--,
sebentar-sebentar berhenti...”take the
picture.....!!”, katanya, hingga tibalah kami
pada sebuah shelter, dan kamipun
beristirahat --untuk yang kesekian kalinya-
-.
Sembari beristirahat, kami kembali melihat
jalan yang telah kami lalui, yeah, masih
terlihat, dan didepan samar-samar terlihat
team pemasang patok sedang istirahat kali,
wah.. sebentar lagi terkejar tuh....

Setelah itu kami berjalan lagi,


hingga akhirnya kami berhenti bersama
bakpia.. eh.. team patok, untuk kemudian
beristirahat lagi --huh..istirahat melulu sih,
dasar kru-kru ini lelet sekali, terus terang
kami pun jadi ikut-ikutan payah--,
akhirnya kami makan siang dulu, menunya
diirit, berhubung persediaan air sedikit,
sehingga dimasaklah bubur “bayi” gandum
--Quaker-- yang super geuleuh, tapi penuh
kalori itu.

Salah satu lagi contoh ketidak


tangguhan mereka para kru, yaitu tidak
terkendalinya emosi mereka, bayangkan
betapa marahnya mereka melihat kami
yang begitu santainya --menurut versi

Mentari Pagi, SLAMET


134

mereka--, pada saat istirahat --yang benar-


benar istirahat--, sayang mereka tidak
memperhatikan, betapa sabarnya kami
tatkala menunggui mereka yang begitu
santainya --sekali-kali berhenti-- pada saat
berjalan.. huh huuuhhh..gemeeesss
dech!!...

Setelah makan, kami jalan lagi, kali


ini kami sebagai team utama, tidak mau
lagi toleran kepada kru-kru itu, kami tidak
mau terbawa-bawa letih, sehingga sepakat
kami jalan di depan, perjalanan kami lebih
cepat, kami lebih mengutamakan
perjalanan yang konstant, biar lambat,
asalkan terus-menerus. Hingga kamipun
menyusul team pertama yang sudah
berangkat lebih dahulu sejak awal
pemberangkatan, kami melihat fisik
mereka sudah payah entahlah........

Pemandangan siang hingga sore itu


bisa dikatakan indah, terutama sore hari,
tatkala kedudukan kami sudah tinggi --
diatas awan--, kami melihat suasana yang
lain dari biasanya, dimana mentari sore
terlihat lebih bening, lebih bersih, menerpa
daun, pepohonan di samping, di bawah,
dikejauhan, begitu tajam dan menusuk
kalbu, namun bagaimanapun pemandangan

TOUGH ! ADVENTURER
135

sesaat itu segera sirna oleh kabut.


Sementara selama perjalanan itu, kami
selalu menikmati burung-burung jenis
tertentu yang berloncatan kian kemari,
disertai kicauan serta celotehnya yang
khas, seolah menyambut kedatangan kami,
aduh.. indah sekali sore itu.

Akhirnya menjelang malam, kami


putuskan untuk menunggu team kru itu,
walaupun kami masih sanggup untuk
menuju tempat terakhir hingga daerah
berpasir, namun kami sadar, semakin jauh
kami di depan, semakin kecil pula harapan
kru-kru itu mencapai tempat kami ini,
padahal kami telah sepakat untuk
bermalam bersama kala itu. Agak lama
memang, namun satu-persatu kru itu tiba,
yang payah adalah kru yang belakangan
tiba, kasihan sekali ia, nampaknya diare,
hingga perutnya terus-menerus tak bisa
diajak kompromi --access denied, katanya-
-, entahlah, ia keberatan dikatakan tidak
biasa naik gunung lah, tidak biasa minum
air mentah lah, semua alasan ditepisnya,
hanya satu alasannya: nasi soto di terminal
Cicaheum...itu penyebabnya !!, heh...,yang
pasti ia sempat meninggalkan beberapa isi
barang-barang yang dianggapnya tak
berguna --akan diambil lagi pada saat

Mentari Pagi, SLAMET


136

pulang, katanya--. Dalam suasana


kepayahan itu, kami sepakat untuk istirahat
barang satu jam, untuk kemudian menuju
batas daerah berpasir, sebab berdasarkan
pertimbangan, bila kami beristirahat dan
bermalam di sini, maka untuk bisa
mengejar sunrice esok hari, kami harus
bangun pagi-pagi sekali, sebab, jaraknya
masih jauh. Sementara team kru tidur,
kami berdua asyik memanaskan diri
dengan membuat api, nampak hari mulai
gelap, bintang-bintang mulai bermunculan,
terlebih saat itu bulan lagi tak ada --bulan
muda--, sehingga taburan bintang yang
ribuan itu memiliki pesona tersendiri.

Satu jam berlalu, kami


membangunkan kru, untuk kemudian
melanjutkan perjalanan. Perjalanan malam
itu lebih payah oleh tingkah laku kru yang
semakin gila, berbagai alasan pun timbul,
sakit perutlah, mountain sicknesslah,
pusing.. tai lah...,hingga diputuskan untuk
segera mencari tempat bermalam, hingga
ditemukan suatu daerah, yang belakangan
hanya berjarak sepuluh menit dari daerah
berpasir, kami segera membuat bivoak,
masak sejenak, dan segera tidur. Sebelum
tidur, saya sempat menikmati
pemandangan ke bawah, nampak lampu

TOUGH ! ADVENTURER
137

kota bersinar, bintang bintang bertaburan,


sesekali tampak meteor-meteor melesat
berjatuhan, tak lama kemudian kabutpun
mulai menyelimuti kota di bawah sana,
sementara langit --di ketinggian itu--
masih bersih jernih, tatkala satu-persatu
rekan saya terlelap kelelahan, saya merasa
kesendirian, hening, sepi, hanya hembusan
angin malam yang menggigit, dan menerpa
sisi kantung tidurku, mataku memandang
ke atas, ke taburan bintang yang bejibun
sekali, seolah berupa lubang-lubang di
hamparan hitam, nampaknya alam maha
terang di baliknya sedang mengintip dunia
ini, dan sewaktu sebuah meteor nampak
membelah angkasa, he..he.. segera
kupanjatkan tiga permintaan yang asyik-
asyik, tak berapa lama akupun tertidur.

Nyenyak...?, tidak..juga ! aku


hanya tidur sesaat, kemudian aku
menanyakan jam kepada rekanku, waduh..
ternyata masih terlalu lama untuk segera
bangkit, sudah kesal rasanya meringkuk
dalam kantung ini, ingin rasanya
melanjutkan perjalanan, tapi yeah.. masih
terlalu malam, aku tak bisa tidur, begitu
juga rekan sesama team tough, kami
kemudian bangun, duduk, ngobrol, sambil

Mentari Pagi, SLAMET


138

menghangatkan diri, malam itu terasa


panjang.....

Entah bagaimana kamipun tertidur


pula, betapa kagetnya kami tatkala kami
terbangun, dan terlambat tigapuluh menit
dari rencana semula, busyet.., saat itu
menunjukkna pukul 03.30, wah segera
deh, kami siap-siap. Melihat kondisi
seorang kru yang makin payah, akhirnya
diputuskan untuk berangkat bertiga,
sementara sang pesakitan, tinggal di camp
sambil menjaga barang-barang. Kami
berkemas, hanya membawa barang yang
diperlukan, seperti makanan, minuman,
kamera, dan nampak kru satu lagi sedang
mempersiapkan buntelan, spanduk
kali.....he..he.. gak jadi foto duaan dech.....

Hari masih gelap, bintang masih


bertaburan, kini ditambah dengan
munculnya bulan sabit yang masih
kemerahan di ufuk timur.....sendu sekali
suasana dini hari itu. Kami berjalan,
menghabiskan sisa perjalanan route path
ini. hingga kami tiba di perbatasan daerah
berpasir --tepatnya berbatu--, menjulang
tinggi dan besar di hadapan kami.
Kamipun mulai merayapi gundukan nan
besar itu, bagi kami hal ini mengingatkan

TOUGH ! ADVENTURER
139

kembali kepada kondisi sewaktu kami


mendaki Gunung Semeru, bedanya, daerah
berpasir yang harus didaki kali ini, lebih
pendek jaraknya, juga keadaan pasirnya
tidak segila di Semeru. Semakin ke atas,
angin semakin berhembus kuat, sesekali
kami berhenti, melihat ke sekeliling, masih
gelap, hanya bulan sabit yang baru terbit di
ufuk timur, merah dan besar sekali, dan
bintang. Saya mendaki jauh di depan,
sementara di belakang, dua buah cahaya
senter, bergerak-gerak seolah mengejar
saya, ada rasa kesal karena mesih terus
mendaki, dalam kegelapan itu samar-samar
saya melihat bayangan puncak gunung
yang lebih hitam dari latar belakang langit,
sudah mulai merata, pertanda sudah dekat,
tapi entahlah, butuh waktu lama untuk
akhirnya saya tiba di puncaknya --lebih
dahulu ..lho--.

Setibanya di daerah yang tertinggi,


angin menerpa tubuhku hebat sekali, saya
tidak tahan berdiri tegak, labil oleh
hembusan angin, agak ngiprit juga saya
waktu itu, sehingga segera aku mencari
perlindungan di bebatuan, sementara
cahaya senter di bawah masih belum
terlihat, aku memandang sekeliling....
Subhanallah, ... gelap, sepi, bintang, bulan,

Mentari Pagi, SLAMET


140

lampu kota, semuanya hening, seolah diam


tak bergeming --hanya kerlipan-kerlipan
yang sama sekali tak memberi arti apa-apa
bagi diriku--, angin berhembus kuat,
suranya terdengar ribut di telingaku,
sejenak aku kumandangkan Takbir... terasa
sekali kesendirian yang amat sangat...
sepi... sendiri..
mencekam...menggetarkan... dan
menentramkan...., tak terasa, ketika aku
menarik nafas, terasa sesak, bergetar, dan
tear drop ,hangat,
hhuaaaaa...akh....cengeng loe !!

Tak lama kemudian satu persatu


tibalah rekan saya yang lain, kami semua
kedinginan, duduk merapat sambil
menyantap makanan yang kami bawa
tadi....brrrrrr tiriss maneh.

Kami terus menunggu, ternyata


masih terlalu pagi untuk mendaki pada
waktu seperti saat itu, tak ada yang bisa
kami kerjakan, mau melakukan sesuatu
sangatlah sulit, tangan-tangan kami serasa
beku, sakit bila digerakkan, terutama jari-
jari ini, diam seperti itu sudah bisa
dikatakan lumayan.... . Hingga keadaan
terus berlangsung, sedikit-demisedikit,
mulai timbul sekelebat cahaya di ufuk

TOUGH ! ADVENTURER
141

timur....mula mula semu biru, membentuk


garis, memberi warna sepanjang
cakrawala, kemudian kuning,
merah.......hingga diakhiri dengan
kemunculan bola merah yang begitu
agung......semuanya saya abadikan melalui
kamera, kami melihat sekeliling kami,
nampak di bawah masih diliputi hamparan
awan nan luas, di sebelah timur nampak
dua gunung yang mencolok Sumbing dan
Sundoro --Gunung yang bakal kami daki
juga--, sementara di barat nampak masih
sedikit gelap, dalam kesendiriannya, yang
menampakkan kesan gagah, samar-samar
sebuah gunung yang menjulang, yeah..
itulah gunung Ciremai, yang telah kami
daki, waktu Di Gunung Ciremai, kami pun
telah menikmati pemandangan Gunung
Slamet serta Sundoro dan Sumbing. Dari
puncak gunung itu pula --ke arah Barat--
kami melihat bagaimana bayangan Gunung
Slamet masih menaungi daerah di
bawahnya... betapa besar dan indahnya...
seolah di bawah sana terproyeksi bayangan
kami bertiga..

Kami berfoto sejenak, jalan-jalan


mengelilingi puncak, hingga dirasa
matahari mulai terasa panas, kamipun
mulai turun. Perjalanan turun dilakukan

Mentari Pagi, SLAMET


142

sangat berhati-hati, inilah bedanya dengan


pada saat kami menuruni Gunung Semeru,
di sini kami tidak bisa turun meluncur,
sebab tanahnya masih cukup keras dan
berbatu. Dalam perjalanan turun, tidak
banyak yang bisa dinikmati, sebab,
dibawah sana Kabut sudah mulai menutupi
pemandangan, hanya corak cakrawala
yang semakin jelas terbentuk, seolah
benar-benar ingin membatasi antara lagit
dan bumi.

Tak lama kemudian kami tiba di


camp, nampak kru yang menjaga camp,
sedang asyik sarapan dengan ransumnya,
sesaat kemudian kami segera mengemasi
barang-barang, telah disepakati untuk tidak
memasak bagi sarapan pagi itu, sebab
terbatasnya persediaan air, sehingga
sebagai pengganjal perut, kami menyantap
bahan makanan yang sudah jadi.
Sementara kami berkemas, ada diantara
kami yang memetiki bunga Edelweis,
memang bunga yang legendaris itu masih
menarik untuk dipungut, uniknya, pohon
Edelweis di Slamet gede-gede sekali,
bahkan segede pohon Cengkeh,
busyet...gak tuh..

TOUGH ! ADVENTURER
143

Setelah semua siap, kamipun mulai


berjalan turun, seperti pada waktu
berangkat, kami berjalan duluan,
sementara kru di belakang --soalnya
mereka menjengkelkan sekali, udah lelet,
kicauannya itu, memanaskan kuping--.
Tidak seperti pada waktu perjalanan
malam hari yang lalu, saat turun --apalagi
saat terang--, debu-debu yang beterbangan
di jalan baru terasa mengganggunya,
sehingga kami harus berjalan berjauhan,
atau bahkan sedekat mungkin, sebelum
debu dari kaki membumbung tinggi. Di
perjalanan, kami bertemu team-team yang
kemarin berangkat bersamaan, yang satu
bertemu di jalan, sedang dalam perjalanan
ke puncak, sedangkan yang satu lagi,
masih asyik dalam
tendanya.....tangguh...cink....

Mula-mula perjalanan lancar-lancar


saja --sesuai dengan anggapan kru bahwa
jalan turun akan lebih cepat--, perkataan
itu kami pegang, kami berjalan cepat,
sampai dimana sih omong besar kru itu,
sebab berdasarkan pengalaman kami,
justru perjalan turun itu lebih melelahkan,
sebab selain harus menyangga berat tubuh
serta beban, kita pun harus melawan gaya
gravitasi yang berarah sama dengan gerak

Mentari Pagi, SLAMET


144

kami. Entahlah... namun belum setengah


perjalanan, seorang kru sudah mulai rewel
lagi, Acces denied lah, sakit perut, beribu
alasan, nih orang pernah naik gunung
kagak sich.... Mula-mula kami kurang
peduli, namun pada saat kami tiba di
tempat ia meninggalkan barang, dia
muntah-muntah, mata merah, muka
cekung...waduh kacian sekuale.., tak ada
lagi muka gagah yang disandangnya sejak
berangkat, sia-sia segala atribut yang
selama ini dikenakannya...yah..gimana
donk.., malu ente..., mulai disitu kami
mulai was-was, kami segera bertindak cari
makanan, bahkan air minum tawar yang
kami sisakan buat kami berdua terpaksa
direlakan sebagai pengganti air minum
mereka yang telah dicampur ramuan-
ramuan ‘gak mutu dls...itu. Kami tidak bisa
memberi obat-obatan, sebab obat-obatan
kami hanya obat merah !! --tangguh gak
coy..!!--, untunglah kru satu lagi membawa
obat-obatan entah apa placebo kali, dan di
gleg.. aja tuh...

Keadaan tak memungkinkan bagi


kru bersangkutan untuk membawa ransel
entengnya. Sehingga kami berbagi beban,
namun tetap saja isi ranselnya masih belum
terkuras, sehingga kami sepakat untuk

TOUGH ! ADVENTURER
145

membawa ranselnya bergantian. Ranselnya


tidak berat sih, tetapi membawa beban
tambahan semakin membuat tubuh ini
tidak aerodinamis, mengganggu geraklah,
sehingga menambah tenaga ekstra untuk
melawan momen-momen yang timbul.
Ketika giliran team kami yang membawa
ranselnya, sang kru satu lagi kami suruh
berjalan duluan, menyertai kru yang payah
itu, sementari kami bergantian membawa
ransel di belakang.

Dalam membawa ransel kami


punya kisah unik, mula-mula kami
membawanya secara bergantian, namun
kami punya ide untuk membawanya
dengan ditandu, kamipun menebang
sebuah dahan, kamudian kami menandu
ransel itu bersama, cukup adil khan.....tapi
tunggu, ternyata membawa dengan cara itu
cukup merepotkan, sebab jalanan turun,
sehingga yang kebagian di belakang tidak
bisa meletakkan tandu di pundaknya, pikir
punya pikir, akhirnya muncul ide gila
untuk...menyeretnya...!!!, bah..cuex aja, ini
ransel --apalagi orangnya-- sangat
menjengkelkan sekali, tak lama kemudian
nampaklah saya sedang menyeret ransel
itu, sementara rekan saya satu lagi berjalan
agak ke depan siapa tau team kru lagi

Mentari Pagi, SLAMET


146

berhenti... Rusak..!!, tidak!, sebab


bagaimanapun saya punya perasaaan dan
perhitungan, namun ya itu.. debu yang
ditimbulkannya lebih membumbung...
gilaa. Ketika giliran rekanku menyeret
ransel terjadi kesialan yang membuat
perubahan dalam hal menangani ransel. Ia
tersandung tali ransel, dan terjatuh
berguling-guling --maklum jalan turun--,
dan saking kesalnya, ia memungut ransel
tersebut dan...membantingnya dengan
penuh nafsu...bughh!!, a..ha.. aku ada
ide......, yeah akhirnya kami tau cara
membawa ransel yang tepat......:
dilempar...brur.....!!!. Tapi kejadian itu tak
lama koq, sebab keburu ketemu team kru
yang sedang beristirahat. Akhirnya
kamipun menyatakan tidak sanggup lagi
membawa ranselnya, dia pikir kami ini
porter apa, bah !, akhirnya sang sakit
memanggul ranselnya lagi, untung... kalo
tidak, kami akan melakukan tindakan lebih
lanjut yaitu, membuang ransel
tersebut...he..he..he..

Kami semakin lemah, air semakin


di irit, makanan hanya biscuit, namun
akhirnya kami tiba juga di desa terakhir
waktu mendaki, Bangbangan, kami
kembali melapor kepada kuncen setempat,

TOUGH ! ADVENTURER
147

kami diberi minum, dan makanan


seadanya. Sayang kami tidak bisa berlama-
lama, sebab kami harus segera tiba di
Bandung. Akhirnya setelah kami pamit
kepada Kuncen, berjalan menuju Priatin,
kemudian berbersih dahulu di Priatin,
mandi dan berak, dan jajan di warung,
kamipun kembali ke terminal Porwokerto.

Setibanya di Terminal kami makan


dulu di sebuah warung yang tentu lebih
representatif daripada di kampung. Segera
setelah Shalat Magrib di warung ibu genit
itu, kamipun memilih bus untuk tujuan
Bandung.

Tak banyak yang bisa diceritakan


dalam perjalanan itu, kami semua terlelap
kecapaian, seolah tidak ada waktu buat
mengenang kegiatan barusan,
menyenangkan, menjengkelkan, tidak
sempat... kami semua letih, apalagi
teombang-ambing oleh laju bis yang begitu
membuai bahkan kami sempat terguling-
guling di lantai bus, tatkala bus membelok
.. membuat kami semakin terlena.

Tujuh jam berlalu, singkat kata


saya tiba di rumah pukul 04.30 WIB
tanggal 7 July 1994, begitu lelahnya saya,

Mentari Pagi, SLAMET


148

sehingga setelah membersihkan badan


sejenak, saya segera merebahkan diri di
kasur kebanggaan saya, fiuhh, terbetik
ingatan saya kembali akan perkataan
seorang kru tatkala kecapaian, sementara
kami masih menunjukkan kebugaran :
”Hanya orang gila yang menganggap
mendaki gunung bukan untuk
mendapatkan capai “, hmmm..... dalam
hati aku bergumam, aku capek...!! tak lama
kemudian akupun tertidur.***

TOUGH ! ADVENTURER
Kabut
WELIRANG,
ARJUNO

U NTUK bisa dikatakan tough !,


kami harus menjajal berbagai
kemungkinan baik kondisi maupun
keadaan dalam setiap perjalanan
kami. Sehingga atas dasar itulah, kami
merencanakan mendaki Gunung Arjuno
(3339 mdpl14), dan Welirang (3136
mdpl15), pada musim penghujan, walaupun
kondisi seperti itu pernah kami lakukan
pada waktu mendaki gunung Ciremai16.

Kami berangkat menuju jawa timur


dengan menggunakan kereta api jurusan
Bandung - Surabaya, tepatnya tanggal 5
Januari 1995, pukul 05.30. Gunung
Welirang dan Arjuno merupakan dua buah
gunung yang berdekatan, seperti halnya

14
Lihat note 1
15
Lihat note 1
16
Baca : CIREMAI, Perjuangan Keras
150

Gede - Pangrango, areal gunung itu


meliputi tiga kabupaten yaitu kabupaten
Mojokerto, Pasuruan dan Malang,
kesemuanya di Propinsi Jawa Timur.
Berdasarkan informasi yang kami peroleh,
maka kami telah menyusun jalur
pendakian yang akan kami lakukan, yaitu
naik melalui kota Tretes, mendaki gunung
Welirang terlebih dahulu, lalu dari sana
langsung menuju Arjuno, yang untuk itu
kami juga merencanakan melewati gunung
kembar I dan Gunung kembar II, dua buah
gunung diantara Welirang - Arjuno --
seperti yang terlihat pada peta yang kami
bawa--, yang memiliki ketinggian masing-
masing 3025 dan 3126 mdpl (memenuhi
syarat pendakian Tough ! Adventurer)

Perjalanan dengan kereta api


memang paling saya sukai, apalagi pada
bulan-bulan ini, dimana sepanjang
perjalanan --melalui jendela--, saya bisa
menikmati bagaimana ribuan kupu-kupu
beterbangan, tersibak oleh laju kereta api,
akh..memberi pesona tersendiri..

Singkatnya, lima belas jam


kemudian kami tiba di tujuan, pukul 20.30
WIB, kami tiba di Surabaya, sengaja kami
turun di stasiun Wonokromo, sebab dari

TOUGH ! ADVENTURER
151

sana akan banyak kendaraan ke arah


terminal bus, setelah turun kereta, kami
langsung mencari kendaraan menuju
terminal bus, tak susah mendapatkannya,
dan lima belas menit kemudian kami telah
tiba di terminal bus yang katanya terbesar
di asia tenggara itu, dari sana kami
langsung naik bus yang menuju ke
Malang, rencananya, kami akan turun di
Pandaan, untuk kemudian melanjutkan ke
Tretes, desa terakhir sebelum kami mulai
merayapi tanjakan.

Tak banyak yang dilakukan di


dalam Bus kala itu, termasuk menonton
TV, yang sedang menyiarkan pidato
Presiden dalam rangka RAPBN, dasar..bus
pemerintahan kali..! Tiga puluh menit
kemudian, kami tiba di Pandaan, begitu
kami turun, banyak sekali ojeg yang
datang menawarkan kami, hanya kami
berdua yang turun dari bus itu, tapi
sambutannya ..waduh..repot kami
menghadapinya... Setelah diyakinkan
bahwa tidak ada lagi kendaraan umum
yang ke Tretes --dasar tukang dagang--,
akhirnya kami memastikan naik ojek,
walaupun belakangan diketahui harganya
tiga kali lipat harga angkutan umum.

Kabut WELIRANG , ARJUNO


152

Perjalanan dengan motor kala itu


benar-benar gila.., motor dipacu habis-
habisan, menembus kegelapan malam dan
jalan tanjakan yang mulus itu, angin
berhembus kuat menerpa wajah, tubuh,
dingin, lebih dingin dari AC di bus tadi,
tatkala motorku menyusul motor rekanku,
terlihat selintas olehku, rekanku meringis,
entah ngeri, entah asyik, he..he... Hingga
kami melewati kota kecil yang cukup
ramai, nah terlepas dari informasi yang
sebelumnya kami telah terima, kami
merasakan memasuki kawasan yang benar-
benar asyik masyuk, suasana mesum terasa
di mana-mana, yah...Tretes adalah salah
satu kota yang terkenal dengan fasilitas
prostitusinya.. Lherrrr...

Perjalanan maut --terminal


velocity-- pun berakhir, tepat di depan
pintu gerbang bumi perkemahan...entah
apa namanya....ngeres..sich !!, disitulah
kata sang supir ojeg, tempat para pendaki
memulai pendakian ke gunung Welirang -
Arjuno. Kami turun, membayar ongkos,
dan memasuki jalan yang ditunjuk oleh
sang supir.

Jalannya mendaki, gelap, sehingga


kami mulai menyalakan senter, kami

TOUGH ! ADVENTURER
153

melewati sebuah pos penjagaan, tapi


sepi...padahal hari sudah malam, he.he..,
kami terus berjalan, hingga kami tiba di
sebuah pondok yang sepi, tapi, dari analisa
kami, pasti di dalammya ada orangnya, dan
kalo pitunya kami ketuk pasti dech keluar
yang punya rumahnya.

Setelah kami ketuk tidak ada


jawaban, kami gedor saja..he..he.. dan itu
membuahkan hasil, keluar seorang pria,
dengan hanya menggunakan sarung, kami
beri salam, dan saya sebagai juru bicara
mulai mengutarakan maksud dan tujuan
kami. Syukurlah kami diterima dengan
baik, namun mungkin karena satu dan lain
hal, kami hanya dipersilakan bermalam
dulu di teras rumahnya, oke dech,
tempatnya memungkinkan koq.

Sebelum tidur, kami melakukan


masak-masak dulu, dan sambil makan
kami menikmati pemandangan lampu-
lampu di hadapan kami. tepat di depan,
berdiri sebuah hotel besar,
megah...mungkin di dalamnya sedang ada
candle light dinner, seperti halnya suasana
makan kami saat itu, yang tentu saja
menunya jauh berbeda....dan mungkin lagi
di sana mereka sedang tidur nikmat,

Kabut WELIRANG , ARJUNO


154

hangat, atau mungkin ‘kelelahan’...he..he..,


sementara kami pun tidur, terbungkus
kantung tidur, dan alas matras....ironis..?,
tidak juga...it’s our life..!!

Kami sepakat, untuk bangun pagi-


pagi sekali, sebab kami tidak mau --siapa
tau-- bila terlalu siang nanti kami akan
mendaki bersama orang-orang di hotel itu
yang akan berolahraga pagi, mountain look
sekuale, khan !. Kamipun bangun pagi-
pagi, berkemas, sarapan, dan setelah semua
siap, kamipun mohon diri dan berterima
kasih kepada pemilik pondok itu. Dari
beliau, diinformasikan bahwa hingga saat
ini belum ada pendaki yang naik, juga para
pengambil belerang, tidak ada yang
bekerja, karena musim sedang tidak
bersahabat, pesannya sich, hati-hati saja.
Oke, akhirnya kamipun mulai cao,
mengikuti jalan yang ditunjuk oleh pemilik
pondok itu.

Kondisi saat itu benar-benar santai,


mengasyikkan, cocok buat awal perjalanan
kami, jalan yang kami lalui masih jalan tol,
mirip dengan jalur gunung Gede-
Pangrango17, mentari pagi masih terik,

17
Baca : PANGRANGO Gunung Wisata

TOUGH ! ADVENTURER
155

hingga tiba di daerah yang cukup terbuka,


kami menikmati pemandangan di lembah
sana, indah sekali, hamparan hijau luas,
yang dihiasi bangunan-bangunan putih
beratap genting jingga, dan lekak-lekuk
jalan raya, sementara di kejauhan berdiri
puncak mahameru --puncak gunung
Semeru--, yang kadangkala mengeluarkan
asap dari kepundannya. Tak lama
kemudian kamipun melanjutkan perjalanan
kami.

Keadaan jalan masih terus jalan tol,


akh..hingga kapan nich, sementara keadaan
flora telah berganti, dari heterogen, alang-
alang, dan kini memasuki hutan homogen
conifer, hingga akhirnya kami tiba di suatu
tempat, terdapat banyak sekali tumpukan
belerang, serta pondok-pondok yang dibuat
sedemikian rupa untuk berlindung dari
hujan dan angin oleh para pekerja
pengambil belerang dari gunung Welirang,
terdapat pula sebuah musholla, yang kecil,
asri, bersih. Oh ya, kami membawa
persediaan air cukup banyak, setelah
sumber air terakhir tadi, sebab katanya --
menurut informasi yang kami terima
sebelumnya--, tak ada lagi sumber air
setelah tempat Welirangan ini. Keadaan
“desa” Welirangan kala itu benar-benar

Kabut WELIRANG , ARJUNO


156

sepi, tak ada seorang pekerja pun, mungkin


memang pada musim hujan ini mereka
sedang libur, aku membayangkan bertemu
pekerja belerang yang sedang memikul
belerang kuning di pikulannya, seperti
yang pernah aku lihat di beberapa mass
media.

Dari Welirangan terdapat dua jalur,


yang satu memliki petunjuk bertuliskan
Gunung Arjuno, dan satunya lagi tak
memiliki petunjuk. Kami sempat ragu
untuk mengambil jalan, bagaimanapun
kami ingin mendaki gunung Welirang
terlebih dahulu, sehingga setelah melalui
proses orientasi, dan analisa terhadap peta
yang kami bawa, akhirnya kami
memutuskan mengambil jalur yang
satunya lagi, yang tak berpetunjuk.
Belakangan jalur yang memiliki petunjuk
itu nantinya akan bercabang kembali yang
satu menuju Puncak Arjuno, dan yang satu
lagi menuju Welirang.

Keadaan jalan semakin kecil,


tanjakan semakin daki, semantara itu kabut
mulai turut dalam perjalanan kami kala itu,
pekat sekali, kadangkala hujan turun --
butir-butir kabut yang terkondensasi, kali--
membasahi jalanan dan kami tentunya,

TOUGH ! ADVENTURER
157

dalam jarak pandang yang buruk itu kami


memutuskan untuk jalan terus,
bagaimanapun, keadaan saat itu masih
memungkinkan untuk bergerak.

Hingga kami tiba di daerah berbatu,


dan dikeliling oleh pohon-pohon cantigi,
kami yakin telah berada di daerah yang
sudah cukup tinggi, dan memang, setelah
melewati daerah luas tak bertumbuhan,
akhirnya kami tiba di daerah yang paling
tinggi, akh..kabut sialan, kami tak bisa
melihat sekeliling, sehingga kami putuskan
untuk turun dulu sedikit, untuk cari tempat
nge-camp, dan bila hari cerah, kami akan
naik lagi ke sini, sambil menikmati puncak
Welirangan.

Hmmm.., baru kali ini kami


mencapai puncak gunung tanpa kesan apa-
apa, soalnya pandangan kami terganggu
oleh kabut ini sich, dan emang pada saat
itu tak ada fenomena standard yang bisa
kami nikmati, layaknya pada setiap gunung
yang kami daki. Sayang sekali, kami hanya
bisa menikmati bibir-bibir kawah,
nampaknya indah sekali kalau hari cerah.
Sesekali terdengar gemuruh longsoran
batu-batu belerang di bawah sana, tertutup

Kabut WELIRANG , ARJUNO


158

kanut tebal, membuat tempat kami berpijak


bergertar...hmm...

Saat turun mencari tempat yang


layak untuk ber-camp, saat itu pula hujan
turun agak deras, tak banyak yang dapat
kami lakukan saat itu, kecuali duduk,
berlindung dari siraman hujan yang
lumayan deras, sembari menikmati tetes-
tetes hujan serta air yang mengalir di
jalanan setapak di hadapan kami. Tak lama
kemudian, hari semakin gelap, semakin
lama menunggu, perut semakin lapar,
sehingga menjelang hari gelap, yang
berlangsung lebih cepat dari semestinya,
karena kabut yang menggantung, maka
kami mengadakan acara masak, dengan
menu instant, menu geuleuh yang kaya
akan kalori, yang tidak pernah kami santap
sewaktu di rumah, he..he.. makan bukan
karena kenikmatan, tetapi karena
kesadaran...., kali ini kami masih
menikmati masakan kami.

Semakin malam hujan semakin


mengecil, tetapi tetap saja basah di mana-
mana. Akhirnya kami menyiapkan tempat
tidur senyaman mungkin, alat tidur kami
hanya sleeping bag, dan poncho, tapi itu
sudah mencukupi koq. Kamipun mulai

TOUGH ! ADVENTURER
159

tidur, mulai merayapi kegelapan yang


lambat laun terus memperluas areanya,
seiring dengan semakin redupnya nyala
lilin yang kami nyalakan, dan akhirnya
kamipun tertidur, sementara malam
semakin pekat, diselingi kabut putih,
gelap.

Dini hari aku terjaga, Subhanallah,


indah sekali suasana malam itu, kabut telah
sirna, yang tinggal adalah ribuan bintang
yang begitu banyaknya, langit serasa
penuh dengan bintik putih terang, susana
yang tidak pernah ku lihat di perkotaan,
apalagi saat itu bulan muda. Aku kembali
tertidur, sambil sesekali menikmati,
meraba-raba, rasi-rasi bintang yang telah
ku kenal --terus terang rasi bintang saat itu
lebih kompleks, bintang-bintang yang kecil
magnitudo-nya juga keliatan koq--.

Semakin pagi, di ufuk timur, tepat


dihadapan kami, mulai ada corak
memerah, di cakrawala, keadaan ini
membuat kami tidak menyia-nyiakan
pemandangan indah ini, kami bangkit, naik
kembali ke puncak , dan kemudian
menikmati saat-saat mentari pagi, akupun
segera menyiapkan kamera untuk siap
mengabadikan saat-saat yang aku pikir

Kabut WELIRANG , ARJUNO


160

indah ini. Begitulah, setelah puas


menikmati saat-saat mentari menyembul
dari balik bumi,--nampak pula puncak
gunung Semeru, serta dataran tinggi
Tengger, beserta kepulan asap dari gunung
Bromo--, Subhanallah, kamipun turun
kembali, mulai berkemas, masak, dan
segera melakukan orientasi terhadap
keadaan sekeliling, sebab suasana pagi
yang cerah itu, kemungkinan sangat langka
pada bulan-bulan mendung seperti saat itu.
Setelah melakukan berbagai pertimbangan,
segera kami menetapkan titik-titik sebagai
acuan perjalanan kami saat itu, maklumlah,
untuk menuju gunung Kembar I dan II,
kami akan melakukan perjalanan potong
kompas, itulah seninya.

Setelah semua siap, kami berdo’a


sejenak, dan dengan ditemani oleh mentari
yang masih menyinari bumi, kami
memulai perjalanan kami hari itu. Kami
menuju tempat yang telah kami sepakati
waktu orientasi tadi, yaitu sebuah batu
yang berada tepat di lembah antara gunung
Welirang dengan gunung Kembar I. Tak
lama memang, hingga kami tiba di tempat
yang diharapkan, setelah itu barulah kami
menuju puncak kembar I, dengan patokan

TOUGH ! ADVENTURER
161

sebuah kepulan asap fumarole18, nun jauh


di atas sana. Keadaan alam masih
bersahabat, setidaknya, kabut masih belum
mengganggu pandangan kami, kami terus
mendaki, menyusuri pohon-pohon cantigi
yang banyak disekeliling perjalanan kami,
sesaat kami menoleh ke belakang,
menikmati puncak Welirang yang ternyata
indah sekali dilihat dari sini, uf..nampak
bekas kami nge-camp tadi, idihh.... jauh
dan kecil woii...

Tiba di puncak Kembar I, di sana


terdapat kepundan yang sudah mati, tidak
aktif lagi, ditumbuhi tumbuhan paku, dan
sedikit edelweis yang tak berbunga,
beberapa sisinya menyembur uap air panas
(fumarole).

Perjalanan selanjutnya menuju


gunung kembar II, terdapat sedikit masalah
dalam menentukan route kali ini, sebab
kabut mulai turun, sehingga menghalangi
orientasi kami, juga keadaan medan yang
lebih curam, namun akhirnya diputuskan
untuk menuju lembah terlebih dahulu,
untuk kemudian nantinya naik lagi,
yeah..walaupun untuk melakukan itu

18
Sumber uap air

Kabut WELIRANG , ARJUNO


162

diperlukan daya tahan fisik dan mental


yang tinggi.

Begitulah, dengan diselingi


berbagai istirahat pendek, akhirnya kami
mencapai puncak kembar II, suasana di
sana hampir sama dengan keadaan kembar
I, gundul, ada kepundan yang mati,
tumbuhan paku, dan kini lebih banyak
fumarole, sehingga selama perjalanan itu,
di kiri kanan kami selalu menyembur uap-
uap air, hangat memang, aduhh... suasana
itu sangat berkesan sekali, fantastis.

Karena hari semakin siang, kabut


pun mulai menyelimuti daerah itu.
Keadaan jadi putih, jarak pandang sangat
terbatas, kami terjebak, terkurung dalam
lingkupan kabut nan pekat itu, akibatnya,
kami tak bisa melanjutkan perjalanan, dan
selama itu kami hanya duduk, menikmati
alam yang kelam, putih, sendu, kabut
bercampur uap fumarole beterbangan kian
kemari, dikacau oleh tiupan angin,
akh..mecekam, dan membosankan sekali.
Sambil menunggu kami selalu siaga, bila
sewaktu-waktu kabut sirna, segera kami
lakukan orientasi, kami bidikkan kompas
ke titik-titik ekstreme yang saat itu
mungkin terlihat dengan langkanya. dari

TOUGH ! ADVENTURER
163

sanalah kami bisa memprediksikan posisi


dan arah pergerakan kami selanjutnya.

Menjelang siang, kabut mulai


luluh, kamipun memulai perjalanan, kali
ini tetap berpatokan pada arah azimuth
kompas yang kami bawa. Jalur yang kami
lalui saat awal adalah turunan yang aje
gilee, hamparan rumput kering, dan
beberapa batang Edelweis nekat --habis
tumbuh bukan pada daerah vegetasinya--,
tapi bunganya indah, sudah mekar dan
alami buanget, juga beberapa rumpun
anggrek hutan yang warnanya ungu
menggairahkan --warna favorit saya--
...menclok di batang-batang pohon besar,
tapi...akh...kami sudah tak minat metik-
metik bunga yang katanya abadi itu --
memang !!--.

Agak lama menuruni menuju


lembah, harapan kami tepat di bawah sana
akan menemukan air, namun sayang
keadaan saat itu kering...garing....,
adakalanya kami juga menemui rangka-
rangka yang mengingatkan kami pada
rangka-rangka di komik Asterix, yah..itu
rangka-rangka babi hutan, masih utuh, tapi
sudah putih..kering...., a-ha..siapa yang
memangsa babi hutan

Kabut WELIRANG , ARJUNO


164

yach...Obelix..?...atau....., agh.selama kami


tak mengganggu mereka, merekapun tak
kan menerkam kami...., Oh ya..sempat
sewaktu kami menyusuri lembah, megikuti
kontur pada sisi gunung, di hadapan kami
nampak benda hitam besar sedang berjalan
membelakangi kami....hmm babi
hutan...nampak kedua taringnya kuning
keluar dari sisi-sisi mulutnya yang hitam
juga, berjalan dengan merunduk-
runduk..sementara bokongnya yang penuh
lemak bergelambir..berguncang-
guncang...sexy sekualee..............

Saat itu suasana membosankan


sekali, inginnya sich terus menyusuri
lembah itu, entah hingga ke mana, soalnya
medannya datar-datar saja. Namun
akhirnya setelah istirahat sejenak, kami
memutuskan segera potong kompas ke
arah sisi lereng di kanan kami. Kondisinya
terjal dan berbatu pula, kami mulai
merayapinya dengan hati-hati, kedua
tangan secara aktif turut berperan dalam
merayapi bongkahan-bongkahan batu itu.
Muncul dalam benak kami akan kondisi
seperti itu, bukankan daerah bebatuan ini
daerahnya macan kumbang bertengger atau
apalah....., terbayang dalam fantasi kami,
tatkala kami nongol merayapi sebuah

TOUGH ! ADVENTURER
165

bongkahan batu, telah menunggu seekor


binatang...hmmm asyik khan !!

Entah berapa lama kami terus


bergumul dengan suasana batu-batu itu,
hingga akhirnya kami tiba di “atasnya”,
suasana berkabut, hari semakin sore,
kembali kami terpaksa berhenti
memandangi kabut-kabut yang berkeliaran
dengan hebatnya di sekeliling kami, dingin
juga. Kekhawatiran mulai timbul, lantaran
persediaan air mulai semakin menipis,
makanan sich masih banyak, tapi kalo
tanpa air..apa artinya, kami tidak akan
gegabah menjejali perut kami dengan mie-
mie kering, atau apa lah, tanpa ditemani air
minumnya.

Keadaan sudah agak baikan, segera


kami kembali menyusuri perjalan “buta”
itu, akh..orientasi peta kompas sudah susah
diandalkan, sebab penentuan posisi tanpa
referensi ekstrim yang jelas membuat
orientasi kami pada peta tidak presisi.
Hingga kami tiba di penghujung “gunug
batu” itu. Untunglah pandangan kala itu
cukup baik, kami bisa segera
memprediksikan bahwa dataran menjulang
di depan kami itu adalah punggungan
tunggal menuju puncak Arjuno. Walaupun

Kabut WELIRANG , ARJUNO


166

dalam pengamatan kami, tak ditemui path


di lembah maupun di lerengnya, tetapi
kami sepakat akan meng-cross
punggungan di hadapan kami, sebab
dipastikan akan bertemu dengan path.

Kami menuruni bebatuan, lebih


sulit dari sewaktu menaikinya tadi,
uh..sampai juga di lembah, trus kami mulai
mendaki , jalurnya oke banget,
mendaki...dikelilingi oleh hutan conifer
yang langsing-langsing, rumput hijau...uff
asyik sekali.....

Kami mulai menemui sampah,


aha...hingga akhirnya, sesuai dengan
dugaan kami, kami bertemu dengan path
kembali...., hmm, senang juga setelah
seharian tidak menemukan jalur enteng.
Kami istirahat sebentar, hanya duduk-
duduk, tanpa minum, apalagi makan,
dalam rangka penghematan air. Trus....,
kamipun mulai berjalan kembali... Suasana
berganti-ganti, kadangkala kabut sirna,
sehingga pemandangan nun jauh di bawah
sana tampak jelas, termasuk puncak
Welirang yang galau oleh asap dari
kepundannya, kadangkala kabut lewat,
membuat suasana putih menyilaukan,
ditambah dengan bersahut-sahutannya

TOUGH ! ADVENTURER
167

suara guntur yang menggelegar,


ah..menggetarkan sekali, sementara kami
terus merayapi tanjakan yang
panjang...terus..terus....hingga tibalah kami
di daerah yang cukup datar, hmm tempat
yang nampaknya biasa digunakan untuk
nge-camp, nampak susunan batu-batu yang
sengaja dibuat untuk menahan angin.

Tempat itu sudah merupakan areal


Puncak Arjuno, angin berhembus kuat
sekali, dingin, menerpa wajah, suaranya
gemuruh di telinga, suasana agak berkabut,
namun sesekali mentari senja bisa
dinikmati dari tempat itu. Kami berjalan
terus, menuju tempat yang paling tinggi,
perjalanan sedikit memutar, melewati
hamparan pohon-pohon cantigi, serta
bebatuan yang kadangkala penuh coretan-
coretan para vandalis yang katanya penuh
makna itu.

Kami berencana untuk turun


melalui jalur lain, sehingga kami sepakat
kali itu untuk mencari dahulu gerbang
jalan turun tersebut, kemudian kami akan
nge fly camp di tempat yang
memungkinkan, baru keesokan harinya,
setelah menikmati sun rice, kami akan
berjalan turun.

Kabut WELIRANG , ARJUNO


168

Agak skeptis juga menentukan


jalan turun yang dimaksud, sebab kali itu
banyak sekali jalur-jalur menurun menuju
lembah, namun akhirnya kami putuskan
untuk mendiskusikannya esok hari, kini
kami harus segera mencari tempat
bermalam yang nyaman, supaya tau aja,
baru kali itu kami bermalam hanya
beberapa meter dari puncak tertinggi dari
sebuah gunung, tetapi karena berbagai
pertimbangan kepraktisan, maka kami
putuskan bermalam di sekitar itu juga,
sebenarnya ‘gak ada resiko yang terlalu
berarti sich, hanya terpaan angin yang gila-
gilaan aja, itupun dapat kami atasi dengan
memilih sebuah ceruk yang cukup nyaman.

Hujan turun, barangkali kabut


lewat, tidak deras tetapi cukup lama,
segera kami membangun bivoak dari
poncho, trus kami berusaha menampung
air hujan dari wadah-wadah yang kami
bawa, untuk nambah-nambah air yang
makin menipis itu.

Ada peristiwa unik yang kami


alami pada saat itu. Selama mendirikan
bivoak, kondisi cuaca agak buruk, hujan,
dan senantiasa kilat menyambar-nyambar,

TOUGH ! ADVENTURER
169

dekat sekali, terus terang kami ngiprit


menghadapinya, apalagi di tempat setinggi,
dan se-open itu, bayangkan saat kita
berdiri di tempat itu, kemudian ada petir
menyambar, entah dimana, namun terasa
kilatan cahayanya, maka rambut di kepala
kami turut terkena efek elektrostatis, dan
rasanya aduh...merinding sekali...seolah
turut tersambar petir..brrrtttttt, belum lagi
dengan suara menggelegar beberapa saat
setelah itu, hingga akhirnya kami tidak
berani berdiri lama-lama, barangkali resiko
tersambar petir terlalu didramatisir oleh
kami saat itu, namun terus terang kami pun
gak tahan sama gejala merinding nya itu
lho.

Hujan tidak berhenti-berhenti,


sehingga sepanjang malam itu kami hanya
bisa duduk-duduk merapatkan diri,
mendengarkan tetes-tetes air di ponco,
menikmati kilatan cahaya petir, dan turut
bergetar dengan suara gemuruh guruh.
Mata sulit terpejam, langit malam yang
mendung memberi aksen kemerah-
merahan, tapi..akh..sama sekali tidak
menarik perhatianku. Nyala lilin mulai
meredup, segera ku ganti dengan yang
baru.......

Kabut WELIRANG , ARJUNO


170

Kami sepakat akan turun esok hari


melalui jalan yang akan diprediksikan esok
hari pula, kami targetkan untuk masak dua
kali lagi, sekali pada malam ini, dan sekali
lagi pada esok hari, untuk perjalanan
pulang tidak perlu masak, cukup memakan
makanan yang sudah jadi saja, dan kalo
perlu hanya minum doang, soalnya
persediaan air emang nampaknya hanya
cukup untuk hal seperti itu.

Hujan reda, suasana segar sekali,


saya paling suka saat-saat sehabis hujan,
bumi nampak bening, segar, bersih....,
kabut sirna, dan seperti biasa bintang-
bintang menampakkan dirinya begitu
telanjang. Di lembah sana nampak
hamparan lampu-lampu kota Malang,
indah sekali, kelap-kelip...... Segera kami
masak untuk malam ini sebelum tidur,
menunya seperti biasa kalo kita naik
gunung, instant, super geuleuh, tapi gizi
dan kalorinya jangan di tanya, bagi kami --
sekali lagi-- makan bukan untuk
kenikmatan, tetapi kesadaran, tentu saja
kalo di rumah kami ‘gak pernah mau
menyantap makanan seperti ini.

Akh...nikmat sekali ternyata,


malam-malam dingin seperti ini,

TOUGH ! ADVENTURER
171

menghirup kopi yang dicampur


sereal....panas, sedap, sambil terus
berbincang dan menikmati nuansa malam
itu, aduh..benar-benar suasana yang asyik
sekali, apalagi saat-saat saya menikmati
kesendirian menjelang tidur...hmmm.....,
damai......, sepi.....,, sendiri......
menggetarkan.....dan akhirnya akupun
tertidur.

Beker berbunyi, kami terbangun,


hmmm, masih terlalu pagi, tapi tunggu
dulu, tepat di hadapan kami, cakrawala
sudah mulai membiru, saya pribadi sangat
menginginkan saat saat seperti itu, menanti
munculnya matahari dari ufuk timur.
Segera kami berkemas, dan pergi ke
puncak yang hanya beberapa menit dari
camp kami. Jalannya berbatu, suasana
masih gelap, sehingga kami dibantu oleh
cahaya lampu senter. Dan akhirnya
kamipun tiba di puncaknya, brrr angin
berhembus begitu kuatnya, kami
berpegangan pada bebatuan, ups..batunya
dingin sekali, kami mencari tempat yang
strategis untuk menikmati alam ini, dan
terlindung dari terpaan angin yang
bergemuruh suaranya di telinga yang
sudah mirip keripik, karena kedinginan ini.
Tak sulit, kamipun akhirnya menemuinya

Kabut WELIRANG , ARJUNO


172

dan duduk, menikmati dingin dan suasana


fajar yang asyik sekali untuk dinikmati.

Kegiatan saat itu standard pisan,


foto-foto, memandang fenomena
disekeliling puncak yang --seperti di
gunung-gunung lainnya-- indah, ‘gak ada
istimewanya, trus turun ke camp, memasak
dan memakan dengan kesadaran penuh,
tapi enak juga koq, dan setelah itu, sembari
berkemas-kemas, kami mulai menentukan
jalur pulang. Dengan bantuan peta serta
orientasi secara visual, akhirnya kami
memastikan sebuah jalur yang belakangan
memang biasa digunakan oleh para
pendaki untuk naik dari kota Lawang.

Seperti biasa, berdo’a dulu, trus


barulah kami mulai menuruni gunung itu.
Jalan turun, tanaman masih rendah, cantigi,
serta beberapa rumpun edelweis, terus
kami turuni, sesekali kabut menerpa,
suasana gelap, sesat, kemudian terang
kembali. Memasuki hutan Conifer,
berjalan terus, turun....sembari
bersenandung kecil, uf..pokoknya riang
sekali suasana saat itu.

Ada hal istimewa yang kami alami.


Di tengah perjalanan menuruni gunung,

TOUGH ! ADVENTURER
173

kami bertemu dengan rombongan besar


dari Sidoarjo yang sedang menuju puncak,
rombongan besar yang terpecah-pecah,
nah..begini ceritanya, mulai sejak pecahan
pertama hingga akhir, kami selalu
menyapa, ngobrol sebentar, pokoknya
ramah dech, e..e.., pas ketemu dengan
pecahan terakhir, kami bertemu degan
orang yang anyep banget, mendelik, trus
maki-maki kami, disangkanya kami
menghina, dls hmm..harusnya kami bisa
maklum akan kondisinya yang payah, tapi
sebelum kami memakluminya, orang
tersebut menyergap rekan saya, dan
dengan spontan rekanku pun memberikan
pukulan telak...bughh !!, begitulah....,
untung tidak berlanjut, sempat tegang juga,
terus terang kita sama-sama cape, emosi
tinggi, tapi dasar orang itu terus maki-maki
aja, ya sudah kami ngalah...daripada
ngeladeni orang yang lagi hang itu !!.
Kami melanjutkan perjalanan,
huh...mengesalkan sekali...kesallll.

Memasuki kawasan yang habis


mengalami kebakaran hutan,
uf..nampaknya kebakaran yang hebat, dan
luas, kami melewati daerah yang gundul,
hitam, dan beberapa masih mengeluarkan
asap, pokoknya fantastis sekali, memberi

Kabut WELIRANG , ARJUNO


174

corak yang sama sekali berbeda dengan


perjalanan kita tadi, kini hitam, kelam,
gundul, dan di beberapa sudut, nampak
tumbuhan-tumbuhan perintis sejenis paku-
pakuan mulai tumbuh, hmm, lengkungan-
lengkungan hijau muda dilatar belakangi
oleh warna hitam kelam, indah banget...,
saya pribadi membayangkan berada di
kawasan itu pada malam hari, tentu lebih
asyik, manakala bara-bara kemerahan dari
kayu-kayu yang terbakar akan indah
sekali.......

Keluar dari wahana hangus, kabut


turun dengan hebatnya, menyapu areal
perjalanan kami, terus..hingga akhirnya
terasa tetes-tetes air mulai turut
membasahai kami, oho..ini sich hujan
betulan, soalnya semakin lama semakin
deras, waduh..tanggung nich..udah basah
kuyup, habis dikirain kabut lewat, paling
“hujannya” hanya sebentar, ‘gak
taunya..byurr.....

Tiba-tiba path terputus, barangkali


terlalu asyik berjalan sembari menerobos
hujan, hingga sadar bahwa pathnya
menghilang, tanah yang kami pijak jadi
gembur, kini kami berada di alur sungai,
licin, terimpit dua punggungan yang gede

TOUGH ! ADVENTURER
175

buanget, semakin turun kami berjalan,


semakin tenggelam kami dalam kegelapan
lembah tersebut, ditambah dengan guyuran
hujan yang busyet banget, aduh...saya jadi
ingat waktu di Ciremai19, hujan, bingung,
akh terulang lagi dech kayaknya..night
mare !!!.

Kami terus meraba-raba jalan,


mula-mula kami mencari jejak-jejak tanah
yang ditinggalkan oleh pendaki yang tadi
kami jumpai, masa sich rombongan
seabreg gitu ‘gak meninggalkan jejak, but
dilain pihak hujan deras seperti itu mudah
sekali menghanyutkan material dan
menghilangkan jejak-jejak.....uf shit...,
tubuh mulai berasap, keringat campur air
hujan, untungnya air hujan itu turut
memberi suply bagi air minum kami,
sehingga masalah kekurangan air bisa
tertanggulangi. Keadaan itu berlangsung
lama sekali....bayangkan, hujan deras,
kami terpuruk di lembah yang gelap,
lembab, terus seperti itu....

Sebenarnya dalam kondisi seperti


itu kami harusnya sich menuju salah satu
punggungan, bagaimanapun, berjalan di

19
Baca : CIREMAI Perjuangan Keras

Kabut WELIRANG , ARJUNO


176

punggungan akan lebih aman, tetapi karena


faktor malas untuk mendaki punggungan
di kiri kanan kami yang sangar banget,
ditambah dengan rasa penasaran kami akan
jalur yang tadi dilewati oleh para pendaki
yang tadi kami temui, yah...selama itu
pulalah kami beringsut-ingsut menerobos
tanaman, mencari-cari entah apa.

Tapi akhirnya kami luluh juga koq,


setelah kondisi semakin gila, saya
memutuskan untuk naik ke punggungan,
sekedar liat-liat situasi. Ransel saya
tinggalkan, trus dengan sedikit segan, saya
mulai merayapi, mendaki punggungan di
sisi kanan, terus-terus, hingga akhirnya
tiba di atasnya, uf..rekanku di bawah sudah
tak terlihat lagi, sementara di atas sini tak
ada apa-apa, kecewa juga, tapi..tunggu
sebentar, nampaknya ada sesuatu yang
menarik perhatianku di lembah sana,
ng...ng..apa yach...aduh..kacamata ku kotor
banget, jadi ‘gak begitu jelas, yah..aku
yakin, nampak beberapa botol air mineral
berserakan, hmm, pasti bekas para pendaki
sebelumnya, ya sudah...aku turun kembali,
dan mengajak rekanku menuju ke tempat
yang ku maksud. Memang benar, banyak
sampah berserakan di sana, dan secara
kebetulan pula rekanku menemukan

TOUGH ! ADVENTURER
177

kembali path, oho..asyik..’gak usah susah-


susah nebas lagi coy.

Setelah ngaso sebentar, kamipun


berjalan kembali, menyusuri path yang
asyik sekali untuk ditelusuri, lamat-lamat
hujanpun berhenti, sinar mentari mulai
menampakkan diri, aduh...nyaman sekali,
tubuh basah ini mulai hangat terkena
mentari, dan suasana indah sekali, abis
hujan trus ada matahari, segar, bersih,
hijau...hmmmm.

Terus kami turun, hingga akhirnya


tiba di perkebunan teh, terus..terus..masuk
ke perkampugan penduduk, istirahat
sebantar, mandi, berak, dan ganti baju, trus
naik ojeg ke kota Lawang, dari sana kami
naik kereta api ke Surabaya, ehm, dua jam
diombang-ambing laju kereta, dikocok
kayak dadu, tiba di Surabaya, buang-
buang waktu hingga esok hari, pulang ke
Bandung.

Inilah akhir dari obsesi kami, akhir


dari perjalanan panjang kami, akhir dari
perjuangan kami, semua gunung di pulau
jawa yang berketinggian diatas 3000 m
telah kami daki, menyenangkan dan
membanggakan sekali.

Kabut WELIRANG , ARJUNO


178

Tak ada yang bisa saya ceritakan


lagi, namun yang pasti, kami telah
mengalami suatu pengalaman yang besar
dan amat berarti bagi hidup kami, Tough !
Adventurer..

Entah, apakah akan ada cerita


perjalanan yang lain ?, begitulah,
“Kesejatian, tak pernah menuntut, tapi
senantiasa m e m b e r i ”.***

TOUGH ! ADVENTURER
MENTARI

Mentari Menyala Di Sini


Di Sini, Di Dalam Hatiku
Gemuruhnya Sampai Di Sini
Di Sini, Di Urat Darahku

Meskipun Tembok Yang Tinggi Mengurungku


Berlapis Pagar Duri Sekitarku
Tak Satupun Yang Mampu Menghalangiku
Menyala Di Dalam Hatiku

Hari Ini Hari Milikku


Juga Esok Masih Terbentang
Dan Mentari Kan Tetap Menyala
Di Sini Di Urat Darahku..

You might also like