Professional Documents
Culture Documents
Muhammad Abduh adalah salah satu murid dari Sayyid Jamal. Beliau adalah ulama pembaharu yang memiliki sudut pandang yang berbeda dengan gurunya. Semenjak tersiar kabar tentang pengasingan gurunya, yakni Sayyid Jamal, beliau memilih jalan damai /moderat sebagai pola perjuangannya dan mengajak umat untuk berjuang dengan lebih hati-hati dan memperhatikan seluruh dampak yang menyertainya. Seluruh waktu dan kerja kerasnya digunakan untuk mengembangkan pemikiran yang reformis dan pola pendidikan yang sistematis. Di samping itu, Abduh sangat berhati-hati dalam melakukan kegiatan politik yang menggangu kekuasaan penjajah Inggris. 1- Kehidupan dan hasil karyanya Syeikh Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 Hijriah di salah satu desa di Mesir yang bernama Mahallah Nashr. Nama aslinya adalah Muhammad lalu ayahnya memanggil beliau dengan nama Abduh. Semula beliau bekerja sebagai petani. Ketika menginjak umur 13 tahun atas dorongan ayahnya, beliau memasuki sekolah Jami Ahmadi dan mempelajari ilmu pengetahuan Islam. Pada awalnya Abduh tidak menyukai pola belajar di sekolah tersebut, sehingga karena itu beliau meninggalkannya. Beberapa saat kemudian atas nasihat Syeikh Darwish (pamannya), beliau kembali ke sekolah tersebut untuk meneruskan pelajarannya lalu melanjukan studinya di Universitas Al-Azhar. Selain belajar dengan pamannya sendiri (Syeikh Darwis), beliau juga mendapatkan bimbingan dari Syeikh Athawil dan Jamal Ad-Din. Atas anjuran dari gurunya Sayyid Jamal, beliau pun mempelajari ilmu-ilmu rasional dan mengabdikan hidupnya sebagai pengajar agama. Adapun murid-murid yang mendapat kesempatan belajar darinya di antaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha, Sad Zaghlul, Thaha Husein, Abdul Qadir Maghribi, dan Mushthafa Abdul Razaq. Selain sebagai pengajar agama, beliau juga sibuk melakukan kegiatan politik melalui partai yang bernama Hizb Wathani (Partai Nasional). Atas usulan dari Riadh Posho (Menteri Raja Posho), beliau diangkat menjadi editor surat kabar WaqaI Meshriyyah. Abduh juga bekerjasama dengan Sayyid Jamal untuk menyebarkan surat kabar yang bernama Urwatul Wutsqa. Sejalan dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan suhu politik dan kondisi masyarakat di Mesir, sehingga Muhammad Abduh menjadi pejabat penting di dewan syura Mesir di akhir-akhir usianya. Beliau menggunakan usianya untuk mengembangkan pelbagai pemikiran dan berpartisipasi di pelbagai organisasi agama serta sangat peduli terhadap kerja sosial. Pada tahun 1899 Raja Mesir mengangkat Abduh menjadi Mufti Mesir sampai akhir hayatnya. Muhammad Abduh pada tahun 1323 Hijriah meninggal dunia karena penyakit kangker yang dideritanya. Syeikh Abduh meninggalkan berbagai macam karya tulis, dan yang populer di antaranya: 1. Kitab yang berjudul Al-Islam Ar-radd ala muntaghadiyyah 2. Kitab yang berjudul Ishlah Al-Muhakim As-Syariah 3. Tafsir Al-Manar 4. Risalah At-Tauhid 5. Syarah Nahjul Balaghah 2- Pandangan-Pandangan Reformis Syeikh Abduh
a- Seperti yang telah kita ketahui bahwa Syeikh Abduh adalah salah satu murid dari Sayyid Jamal, akan tetapi garis perjuangan beliau tidak sama dengan gurunya. Semenjak tersiar kabar mengenai pengasingan gurunya Sayyid Jamal, beliau lebih memilih jalan reformis sebagai tongak perjuangannya. b. Syeikh Abduh menghindari pergesekan politik dengan penguasa dan lebih menyibukkan dirinya di bidang perjuangan yang bersifat reformis dan damai. c. Syeikh Abduh lebih mengedepankan program pembinaan dan budaya dalam perjuangannya. d. Abduh sangat yakin akan keberhasilan perjuangan dengan pola pendidikan dan kaderisasi. e. Teman-temannya kebanyakan dari kalangan ruhaniawan dan mahasiswa. Pengajarannya dapat menumbuhkan semangat perjuangan di lingkungan teman-temannya. Oleh sebab itu, mereka yang memperhatikan ceramah-ceramahnya di mesjid-mesjid kebanyakan dari kalangan pelajar tersebut. f. Beliau menilai bahwa perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual. Tentu saja permasalahan masyarakat harus tetap diperhatikan. Kepedulian Syeikh Abduh Untuk Memperbaiki Masyarakat Muhammad Abduh memilih strategi mendekati kekuasaan di zaman pemerintahan raja Abas dan ini menguntungkan bagi langkah perjuangannya. Dengan menuruti kebijakan raja, beliau mendapatkan keleluasaan dalam menjalankan tujuannya, sehingga beliau mampu mencapai tiga langkah yang diidamkannya. Pertama, memajukan pusat keilmuan dengan mengubah program pelajaran serta meningkatkan kesejahteraan Universitas Al-Azhar. Kedua, memperbaiki manajemen pemberdayaan universitas. Dan langkah terakhir, memperbaiki kinerja lembaga mahkamah syariah. Setelah menduduki jabatan sebagai Mufti besar Mesir, Syeikh Muhammad Abduh banyak mengeluarkan fatwa dan pelbagai pandangan yang kiranya dapat mempengaruhi cara pandang dan kehidupan masyarakat Mesir khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Bahkan fatwafatwanya pun ditujukan untuk menanggulangi pelbagai aliran dan keyakinan yang sesat. 3- Memperhatikan Perbaikan dalam Agama Syeikh Muhammad Abduh menghidupkan pandangan-pandangan agama dengan cara kembali pada sumbernya yang asli, yaitu syariat Islam guna menghadapi pemikiran ekstrim dan konservatif dan kebebasan mutlak ala Barat. Beliau tidak sependapat dengan umumnya para ulama Al-Azhar, termasuk gurunya sendiri Sayid Jamal berkaitan dengan anggapan bahwa pintu ijtihad sejak zaman Ahmad Hanbal telah tertutup. Beliau berpendapat bahwa dalam konteks keilmuan pintu ijtihad harus selalu terbuka. Syeikh Abduh memiliki dua pandangan berkaitan dengan poisisi syariat Islam terhadap permasalahan/isu baru yang bersifat duniawi: 1. Kemaslahatan 2. Kolaborasi. Maksudnya ialah menyertakan pelbagai mazhab dalam upaya menyelesaikan permasalahan masyarakat. Syeikh Abduh bukan hanya bersikap baik terhadap mazhab lain yang berseberangan dengannya, seperti Syiah dan lainnya bahkan beliau begitu toleran dengan agama-agama lain, seperti agama Kristen dan Yahudi. dan memiliki hubungan yang baik. 4-Pemikiran Politik Syeikh Abduh
Syeikh Abduh memiliki harapan yang besar terhadap persatuan dan kebersamaan masyarakat Islam, khususnya masyarakat Mesir yang merupakan bagian dari umat Islam di dunia. Walaupun harapan tersebut masih jauh dari kenyataan yang ada, beliau selalu berusaha keras untuk tidak berbicara yang kiranya memicu perpecahan politik dan agama. Beliau menerima kebijaksanaan pemerintahan yang memperhatikan asas-asas permusyawaratan dengan masyarakat, dan juga meyakini bahwa pemerintahan Islami haruslah mengikuti syariat Islam dengan jalan musyawarah bersama para ahli agama (ahlu hal wa aqd). 5-Syeikh Abduh dan persatuan dunia Islam Syeikh Muhammad Abduh, seperti halnya Sayyid Jamal, sangat peduli terhadap persatuan Islam dengan menolak fanatisme golongan. Syarah Nahjul Balaghah yang ditulisnya memberikan pengaruh pada sikap dan pandangannya di bidang pendekatan antara mazhab-mazhab Islam. Melalui buku tersebut, beliau menemukan kecintaan yang sangat dalam terhadap Sayidina Ali bin Abi Thalib. Di bidang hubungan antar agama, beliau memprakarsai berdirinya pusat dan perkumpulan para ulama agama Islam, Kristen dan Yahudi dengan nama At-Taqrib baina Ahlil Islam wa Ahlil Kitab (Pendekatan antara agama Islam dan Ahli Kitab). Pandangannya berkaitan dengan masalah kerukunan antar mazhab di bidang fiqih Islam banyak ditemukan dalam karya tulisnya yang berjudul Al-Islam wa Annashraniyyah. Melalui pintu ijtihad, Syeikh Abduh membahas permasalahan pokok kerukunan dan fiqih perbandingan dari berbagai macam mazhab Islam. Beliau mendukung upaya pembentukan Darut taqrib (Forum Pendekatan Mazhab Islam) .Sebagian dari murid-muridnya telah mencapai maqam Mufti , Ketua Al-Azhar dan ulama-ulama besar di Mesir. Hal ini merupakan buah dari pengajarannya yang tak kenal lelah. Syeikh Muhammad Abduh sangat keras dalam melawan segala upaya perpecahan dan perselisihan golongan yang berdasar pada pemikiran yang tidak logis dan berlebih-lebihan.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD ABDUH A. Riwayat Hidup Muhamad Abduh Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 didesa mahallat nasr mesir. ayahnya bernama Abduh Hasan Khoirullah berasal dari turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab. Pendidikan Muhamad Abduh di mulai dengan balajar menulis dan membaca di rumah setelah beliau hapal kitab suci al-quran pada tahun 1863 ia di kirim oleh orang tuanya ke thamta untuk meluruskan bacaanya dan tajwid di masjid al-ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhamad abduh kembali ke mahallat nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku. Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi yakni metode
mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bidah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah sementara di eropa khususnya kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal. Kondisi demikian, pada dekade selanjutnya akan berpengaruh terhadap ke adan mesir. Namun pengaruh tersebut dirasakan Muhamad Abduh pada saat ia memasuki universitas AlAzhar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang membina dan ulama-ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganut pola taqlid yang merupakan kelompok yang mayoritas dan yang kedua, kelompok yang menganut pola tajdid dan merupakan kelompok minoritas. Muhamad Abduh berada di kelompok minoritas yang ketika itu di pelopori antara lain: Syekh Muhamad Al-Basyuni (ahli sastra) dan Syekh Hasan Thawil (ahli filsafat dan logika) B. Konsep Pendidikan Muhamad Abduh Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri. Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi. Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai religius merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral. Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus. C. Urgensi Ekualisasi Dalam Pendidikan Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut. Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni majlis pendidikan tinggi.
untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu: 1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih. Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Quran yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal. 2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama. Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syariat, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat. Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara. Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan. Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar. Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran. Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama. Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
SYEKH MUHAMMAD ABDUH DAN PERJUANGANNYA ASAL-USULNYA Syekh Muhammad Abduh seorang putera Mesir, lahir pada tahun 1849 dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairallah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa TurkL Sedang ibunya, mempunyal silsiiah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khaththab, khalifah yang kedua. PENDIDIKANNYA Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula Muhammad Abduh diserahkan oleh orang tuanya belajar mengaji Al-Quran. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci itu seluruhnya, pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun. Kemudian, Ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha Akhirnya ia melanjutkan pada Perguruan Tinggi Islam Al Azhar di Kairo. Ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, dengan hasil yang baik BELAJAR DENGAN SAID JAMALUDDIN AL AFGHANY Pada tahun 1869, datang ke Mesir seorang alim besar, Said Jamaluddin Al Afghany, terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid (pejuang), Mujaddid (pembaharu, reformer) dan Ulama yang sangat alim. Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa pada Al-Azhar. Muhammad Abduh bertemu dengan Said Jamaluddin untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya, bersama-sama dengan Syekh Hasan At Tawil, dimana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu tasauf dan tafsir. Sejak itulah Abduh tertarik kepada Said Jamaluddin, oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern; sehingga akhirnya Abduh mengaguminya benar-benar dan selalu berada di sampingnya. sambil belajar juga pada Al-Azhar. Seiain Abduh sendiri, banyak pula mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar yang lain ditarik oleh Abduh ikut datang kepada Said Jamaluddin untuk belajar. Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu-ilmu agama, mereka belajar juga kepada Said Jamaluddin pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ketata-negaraan dan lain-lain. Suatu hal yang istimewa diberikan oleh Said Jamaluddin kepada mereka, ialah semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berpikir yang fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju. Udara baru yang ditiupkan oleh Said Jamaluddin, berkembang dengan pesat sekali di Mesir, terutama sekali di kalangan mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena Abduh telah memiiki cara berpikir yang lebih maju, banyak membaca buku-buku filsafat, banyak mempelajari perkembangan jalan pikiran kaum Rasionalis Islam (Mutazilah), maka guru-guru Al-Azhar pernah menuduhnya telah meninggalkan Mazhab Asyari. Terhadap tuduhan itu Abduh menjawab: Yang terang saya telah meninggalkan taklid kepada Asyari, maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mutazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan MENJADI DOSEN DARUL ULUM DAN AL-AZHAR Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya,
Ia di angkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum di samping itu menjadi dosen pula pada AlAzhar. Di dalam memangku jabatannya itu, Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar ke dalam Perguruan-perguruan Tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan kesusasteraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Tidak saja itu, tetapi ia juga mengeritik politik pemerintah pada umumnya, terutama sekali polilik pengajarannya, yang menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajahan asing. Sayang bagi Abduh, setelah kurang lebih dua tahun Ia melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat yang penuh, maka pada tahun 1879 pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner; yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikan oleh puteranya Taufiq-Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera memecat Abduh dari jabatannya dan mengusir Said Jamaluddin dari Mesir. Akan tetapi pada tahun berikutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh Pemerintah menjadi pemimpin majalah Al Wakai Al Mishriyah dan sebagai pembantunya diangkat Saad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini, Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas kembali menyampaikan isi hatinya, dengan menulis artikel-artikel yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu-ilmu agama, flisafat, kesusasteraan dan lain-lain Dan juga Ia mendapat kesempatan untuk mengeritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir. DI BUANG KE SYRIA (BEIRUT) Pada tahun 1882 terjadilah di Mesir suatu pemberontakan, di mana perwira-perwira tinggi yang tadinya dipercaya setia kepada pemerintah, ikut serta memimpin pemberontakan itu. Pemberontakan itu didahului oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Arabi Pasya, di mana Abduh dianggapnya menjadi penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, Abduh di buang ke luar negeri dan ia memilih Syria (Beirut). Di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian pada permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan Said Jamaluddin Al Afghany, yang waktu itu telah berada di sana. SUMPAH PERJUANGANNYA Walaupun ia berada dalam masa pembuangan yang jauh dari tanah airnya, namun semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala-nyala. Saat itu dipandangnya sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seluasluasnya. Kini dia berdakwah dalam alam cakrawala dunia Internasional yang lebih luas dan lebih besar. Ia berada di kota Paris yang terkenal sebagai kota central peradaban dan kebudayaan Eropa itu. Untuk itu terlebih dahulu dia harus bersumpah dan berjanji untuk dirinya sendiri agar dia betul-betul berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan sumpah jihad Muhammad Abduh yang hebat dan bermutu tinggi itu antara lain berbunyi seperti di bawah ini : Saya bersumpah atas nama Allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada Kitab Allah (Al Qur-an) dalam segala amal-bakti dan sikap moral saya tanpa penyimpangan dan penyesatan..... Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau laranganNya, dan akan berdakwah sepanjang hayatku tanpa pamrih ....... Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta-benda saya, yang menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya bahwa saya akan rela mengorbankan apa yang ada pada diri saya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (Ukhuwwah Islamiyah) yang mendalam...... Saya bersumpah atas nama Kehebatan dan Kekuasaan Allah, bahwa saya tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprionitaskan oleh agama Allah, dan tidak akan mentakhirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama; dan saya tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama, sedikit atau pun banyak....
Dan saya berjanji kepada Allah, bahwa saya akan selalu berdaya-upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum Muslimin . Sumpah perjuangan Abduh yang ideal itu baik juga kita renungkan dan kita hayati bersama. GERAKAN AL URWATUL WUTSQA Bersama-sama dengan Said Jamaluddin Al Afghany disusunlah di Paris, suatu gerakan bernama Al Urwatul Wutsqa, gerakan kesadaran ummat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama organ ini juga, majalah Al Urwatul Wutsqa. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkunnya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan dunia. Suara itu lantang sekali kedengaran dan dengan pesat menggema ke seluruh dunia, memperlihatkan pengaruhnya di kalangan ummat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas oleh karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India; kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 nomor, pemerintah Perancis melarangnya terbit. Abduh kebetulan dibolehkan pulang kembali ke Mesir, sedang Said Jamaluddin mengembara di Eropa dan terus ke Moskow. KEMBALI KE MESIR Setibanya Abduh di Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah. Masyarakat sangat menghormatinya, karena memang menanti-nantikannya untuk melanjutkan kembali bengkalai yang ditinggalkannya dahulu sebelum ia diusir oleh pemenintah. Kepada pemerintah Mesir dikemukakannya rencananya untuk memperbaiki Universitas Al-Azhar. Rencananya itu disokong oleh pemerintah dan beliau sendiri dilindungi pula oleh Khedive Abbas Hilmi. Namun begitu, beliau senantiasa mendapat halangan-rintangan dari kaum reaksioner di sana-sini. JADI MUFTI MESIR Pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk memangku jabatan Mufti Mesir. Yaitu suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja, tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Apa saja masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin, terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya, dilayaninya dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik. Demikianlah jabatan itu dijabatnya hingga ia meninggal dunia. Di samping itu, beliaupun diangkat pula menjadi anggauta Majlis Perwakilan (Legislative Council). Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya, dan oleh karena itu pula beliau sering ditunjuk menjadi ketua panitia penghubung dengan pemerintah. Abduh pernah juga diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil. PEMBELA ISLAM YANG GAGAH BERANI Karena ghirah dan ghairahnya kepada Islam, maka Abduh sering tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang datang. Ditantangnya G. Hanotaux, Menteri Luar Negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanotaux seolah-olah minta maaf dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah Al Muayyad Kemudian diasahnya penanya untuk menghadapi Farak Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah Al-Jamiah yaitu sebuah majalah dari organ Kristen yang terbit di Kairo, karena Anton menulis dalam majalah itu hal-hal yang menyinggung Islam dan menghinanya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang menunjukkan keberaniannya guna membela Islam, apalagi kalau dihina. Semuanya itu dilakukannya, tidak lain karena ghairahnya terhadap Islam.
KITAB RISALAH TAUHID Menurut Abduh, manusia hidup menurut aqidahnya. Bila aqidahnya benar, maka akan benar pulalah perjalanan hidupnya. Dan Aqidah itu bisa betul, apabila orang mempelajarinya dengan cara yang betul pula. Pendirian inilah yang mendorong Abduh untuk menegakkan tauhid dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. Ia mengajar dan menulis tentang tauhid untuk umum dan untuk mahasiswa. Salah satu di antara karangannya ialah kitab Risalah Tauhid. Buku ini berasal dari diktat-diktat kuliah beliau pada Universitas Al-Azhar yang kemudian untuk keperluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukan oleh pengarang. Karena uraiannya yang representatif maka buku ini telah mendapat sambutannya yang baik sekali di dunia untuk diajarkan di sekolah-sekolah tinggi, atau dipelajari oleh orang-orang yang hendak mengetahui seluk-beluk aqidah Islam. KEALIMAN MUHAMMAD ABDUH Tentang kealiman Muhammad Abduh, tak ada dunia yang menyangsikannya, baik kawan maupun lawan. Ia termasuk tokoh Islam yang lengkap pengetahuannya (all-round). Di kala Jamaluddin Al Afghany diusir dari Mesir, maka terhadap pencinta-pencintanya yang sedang mengaguminya beliau berkata: Saya tinggalkan Muhammad Abduh bersama Saudara-saudara, dan cukuplah a buat Mesir. Dan waktu dunia Islam berkabung, menatap ketika Abduh ber-pulang kerahmatullah, maka di antara sekian banyak orang yang turut berduka-cita, terdapat Prof E.G. Browne, seorang alim Kristen bangsa Inggris yang menulis surat kepada adik Muhammad Abduh, Hamudah Bey Abduh, menyatakan antara lain : Selama umur saya, sudah banyak negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang saya lihat. Tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan, kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir, tapi juga mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian berbicara, gemar beramal dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan senantiasa berjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orangorang fakir dan miskin CUM LAUDE YANG DATANG TERLAMBAT Sebagai mahasiswa Al-Azhar yang berfikiran dan berfaham maju, Muhammad Abduh sering terbentur pada pertarungan dan perbedaan pendapat dengan para dosen Al-Azhar yang kolot-kolot. Dan perbenturan pendapat itu mencapai puncaknya pada waktu Muhammad Abduh hendak mengakhiri masa kuliahnya dalam suatu munaqasyah ujian terakhir yang harus dihadapinya. Munaqasyah atau ujian terakhir itu merupakan perdebatan ilmiah yang amat sengit sekali. Para dosen penguji yang didominir oleh para Syekh Azhar yang kolot itu, jauh-jauh sebelum ujian telah sentimen dan bertekad buruk terhadap Abduh, yakni tidak akan meluluskannya dalam ujian terakhir itu. Tetapi namun demikian ternyata, bahwa di kalangan para dosen penguji itu ada yang masih murni dan jernih fikirannya. Karenanya pendapat mereka terpecah dua. Sekelompok yang terdiri dari para dosen yang kolot cara berfikirnya yang diketuai oleh Syekh Alisy berpendapat, bahwa Abduh tidak lulus. Dan yang lain yang berfikiran maju berpendapat, bahwa Muhammad Abduh berhak mendapat nilai nomor satu bahkan lebih dari itu yaitu Cum Laude. Dengan alasan, bahwa segala pertanyaan yang diajukan kepada Abduh dijawabnya dengan cara yang amat luas secara ilmiah yang mengagumkan. Pihak ini memandang Muhammad Abduh adalah bintangnya mahasiswa Al-Azhar dan amat jarang mahasiswa AlAzhar secerdik semaju Muhammad Abduh dalam caranya dia mengungkapkan buah fikiran dan pendapatnya yang luar biasa itu. Namun demikian Syekh Alisy dan kawan-kawannya yang kolot itu tetap berkeras kepala, bahwa Abduh tidak lulus, karena fahamnya yang maju dan cara berfikirnya yang modern itu akan berbahaya bagi Al-Azhar. Akhirnya Rektor Al-Azhar Syekh Muhammad Al-Abbasy AlMahdy turun tangan untuk menenteramkan pertarungan pendapat yang sengit itu untuk menjaga suasana Al-Azhan sendiri. Beliau yang turut menyaksikan munaqasyah itu dengan secara berat hati menyatakan Muhammad Abduh lulus beroleh syahadah dengan derfat kedua setelah salah seorang
dosen penguji mengajukan usul jalan tengah seperti itu, yakni setelah terjadi perdebatan yang lama dan panjang sekali. Sebenarnya Rektor sangat kagum terhadap segala jawaban yang diberikan Muhammad Abduh atas segala pertanyaan yang diajukan oleh para dosen penguji. Kekagumannya itu dinyatakannya terus-terang di antara para dosen itu, bahwa dia tidak pernah melihat seseorang yang secerdas dan seteguh Abduh itu membela ilmunya, dan bahwa dia sesungguhnya berhak mencapai derjat pertama (Ad-Darjatul Ula), bahkan ia berhak menerima yang lebih tinggi dari itu kalau ada. Tetapi putusan itu belumlah final, karena Rektor sendiri yakin, bahwa putusan itu tidaklah adil bagi seorang alim seperti Muhammad Abduh itu. Tetapi apa boleh buat, kondisi dan situasi waktu itu di mana kekolotan masih mencekam dan merupakan unsur yang dominan dalam Al-Azhar, Rektor terpaksa menyetujui putusan yang amat meragukan itu. Setelah terjun ke masyarakat, bintang Muhammad Abduh makin lama makin terang benderang melangkahi semua mereka yang berkuasa dalam Al-Azhar itu sendiri. Abduh makin lama makin masyhur di dunia melampaui batas negerinya sendiri dan namanya makin harum semerbak karena ilmunya yang tinggi. Hal ini memaksa Al-Azhar meninjau kembali keputusannya yang tidak adil dan tidak tepat dua puluh enam tahun yang lalu itu. Akhirnya 26 tahun kemudian (1904), yakni di kala Rektor Al-Azhar dijabat oleh Syekh Ali Al-Bablawy, ditetapkanlah, bahwa kepada Syekh Muhammad Abduh harus diberikan haknya yang sebenarnya, yakni nilai tertinggi yang berupa: Cum Laude. Tetapi penghargaan ini sebenarnya tidak diperlukannya lagi, karena sebelumnya dia telah men/adi orang aiim yang termasyhur di seluruh dunia. Ya, tidak diharapkannya lagi, karena keputusan Cum Laude itu sudah sangat terlambat datangnya, karena setahun kemudian beliau akan berpulang ke rahmatullah, meninggalkan dunia ini dan meninggalkan AlAzhar dengan segala kekolotannya yang masih mencekam di sana-sini. Demikianlah selayang pandang riwayat hidup Muhammad Abduh dan perjuangannya, seorang ulama besar, seorang pembaharu (mujaddid) yang penuh dedikasi, juru pengubah yang genial, yang hidup sebagai jembatan penghubung antara kemajuan abad ke-19 dengan abad ke-20 (1849 1905).