You are on page 1of 21

Standart Kompetensi Seorang Reporter.

Cara jadi reporter jempolan.


Seorang reporter dituntut memiliki standart kompetensi/kemampuan yang mumpuni agar out put yang dihasilkannya memuaskan pendengar. Memuaskan dalam arti baik dari sisi konten atau isi laporan, keakuratan, sampai cara mempresentasikan laporannya. Paling tidak seorang reporter Radio atau TV harus memiliki standart kompetensi/kemampuan dasar dan standar kompetensi personal atau juga bisa disebut profesional skill reporter. Pada umumnya reporter diartikan sebagai orang yang melaporkan sesuatu. Laporan reporter biasa disebut reportase. Reportase bisa berupa report on the spot (ros) yakni melaporkan dengan segera apa yang dilihat, didengar dan dialami dan round up atau berita rangkuman dari laporan-laporan sebelumnya. Baik itu report on the spot maupun round up adalah out put atau hasil kerja seorang reporter yang telah melalui beberapa tahapan proses kerja. Mulai dari menerima informasi/penugasan, datang langsung ke lokasi liputan, mengumpulkan informasi dan fakta di lapangan sampai pada proses pelaporan. Nah, untuk menjalankan rangkaian proses kerja mulai dari in put sampai out put tersebut, seorang reporter harus memiliki standar kemampuan sebagai berikut. Kemampuan Dasar : 1. Memiliki kualitas vocal yang memadai (middle bass dan middle tribble). 2. Memiliki Artikulasi yang baik : Pengucapan kata-kata, frase dan kalimat serta istilah khusus harus jelas, tegas, benar dan akurat. 3. Memiliki Intonasi yang baik : Nada pengucapan, naik turunnya lagu kalimat atau langgam nada kalimat harus tepat. Sehingga penjiwaan dalam bertutur akan terdengar cukup baik. Intonasi yang keliru dapat membuat pemaknaan dan penafsiran kalimat jadi keliru atau salah dalam menafsirkan. 4. Memiliki Speed yang baik : Cepat lambatnya pengucapan kalimat. Terlalu cepat akan membuat artikulasi tidak jelas dan intonasi tidak bermain. Speed yang terlalu lambat akan membuat pendengar bosan dan tidak menarik. 5. Mengerti Pemenggalan kalimat (phrasering) : Pemengelan kalimat harus tepat dan cermat. Pemenggalan (phrasering) yang salah akan terdengar aneh dan lucu serta bisa menyesatkan pendengar. Kemampuan Personal / professional skill 1. Memiliki wawasan luas dan mengerti persoalan dari berbagai disiplin ilmu. 2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar. 3. Memiliki inisiatif dan kreatif. 4. Teliti dan cermat. 5. Jeli dan peka. 6. Nalar dan logika yang baik. 7. Memiliki pengetahuan tentang peraturan dan perundang-undangan. 8. Obyektif, adil, jujur dan bisa dipercaya. 9. Memiliki kemampuan melakukan observasi dan riset. 10. Mudah menyesuaikan diri dan pandai bergaul.

11. Mampu bekerja dalam tekanan/mental yang baik. 12. Menguasai Bahasa Indonesia. 13. Menguasai bahasa asing, terutama untuk istilah-istilah asing. 14. Menguasai pengoperasian peralatan tehnisn liputa, seperti alat rekam. 15. Mengerti tehnis pelaporan. 16. Memahami jurnalistik dan peraturan perundangan yang terkait profesinya. 17. Siap ditugaskan kapan saja dan dimana saja. 18. Memiliki kemampuan mendengar yang baik, terutama ketika menyimak jawaban narasumber. 19. Memiliki sifat separuh detektif dan separuh diplomat. Sifat detektif berarti seorang reporter harus
memiliki penciuman tajam tentang sesuatu dan mampu melakukan analisis. Sedangkan sifat diplomat sangat berguna ketika seorang reporter harus berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai kalangan. 20. Sehat jasmani dan rohani. 21. Tahu berita dan mengerti bagaimana membuat lead berita. 22. Mempunyai Empati. 23. Tahu bagaimana caranya bertutur dalam menyampaikan laporan. 24. Attitude yang baik. 25. Berjiwa besar 26. Memiliki kemampuan wawancara : Seorang reporter radio tidak hanya dituntut sekedar menyampaikan laporan saja, tetapi juga dituntut mahir melakukan wawancara dilapangan. Wawaancara merupakan salah satu tehnik penting yang harus dikuasai reporter radio untuk menggali bahan berita dan informasi. 27. Mampu menghadirkan theater of mind : Dalam melaporkan suatu peristiwa, reporter harus beruasaha memvisualisasikan peristiwa itu agar tercipta imajinasi kejadian sebenarnya dalam benak pendengar (theater of mind). Menciptakan imajinasi dalam benak pendengar baru bisa tercipta apabila reporter bisa membangkitkan emosi pendengar. Untuk membangkitkan emosi pendengar reporter harus mengerti bagaimana memainkan intonasi (naik turunnya kalimat) dan aksentuasi (penekanan suku kata/kalimat). Reporter juga harus pandai memainkan pemenggalan kalimat (phrasing) karena kemampuan seseorang untuk menyimak melalui telinga hanya maksimal 20-22 kata. Jika lebih dari itu, maka pendengar akan kesulitan menyimak apa yang disampaikan reporter.

Apa yang Seharusnya Dipahami Seorang Reporter


Posted on 9 Mei 2007 Bagian pertama dari tiga tulisan [jarar siahaan; bataknews; jurnalisme] Wartawan yang mencari berita di lapangan, reporter, adalah ujung tombak media. Di tangan reporterlah, sesungguhnya, bagus-tidaknya sebuah berita ditentukan; bukan oleh redaktur. Tulisan ini terdiri dari tiga bagian, dan ini adalah bagian pertama, yang akan kumunculkan di blog ini secara berturut dalam tiga hari. Artikel ini jangan dianggap sebagai teori atau rumus pasti. Ini hanya pendapat pribadiku berdasarkan pengalaman 12 tahun menjadi wartawan koran. Jadi bagi wartawan lain bisa saja apa yang kutulis di sini tidak benar. Sekali lagi, harap anda jangan menelan bulat-bulat apa yang kutulis ini. Apalagi aku cuma wartawan tamatan SMA yang belajar jurnalisme secara otodidak; jadi sangat mungkin apa yang kuungkapkan di sini berbeda dengan ilmu jurnalisme yang resmi seperti terdapat pada diktat kuliah. Inilah poin-poin penting yang menurutku seharusnya dipahami seorang reporter dalam menjalankan tugasnya. 1) Jangan pernah berbohong. Ini yang paling utama menurutku. Nasib koran sesungguhnya berada di ujung pena reporter; baru kemudian redaktur. Ibaratnya: reporter adalah pemain bola yang bisa mencetak gol ke gawang lawan atau juga bikin gol bunuh diri, sementara redaktur adalah wasit. Pengadilan menunggu kita setiap saat. Jangan karena diberi amplop atau berteman dekat dengan narasumber, anda menggelembungkan fakta 100 orang demo menjadi ribuan orang. Atau menulis warga diduga dipersulit staf Camat bikin KTP padahal sebenarnya anda tahu yang terjadi adalah Camat minta Rp 100 ribu agar mau neken KTP. Redaktur tidak akan tahu kebohongan seperti ini. Juga jangan pelesetkan ucapan narasumber. Aku punya pengalaman tentang bersikap jujur. Dua tahun lalu sebuah laporanku menjadi berita utama halaman depan harian Metro Tapanuli. Ceritanya mengenai penyampaian visi-misi lima calon Bupati Tobasa di DPRD. Judul yang kubuat tidak diubah sama sekali: Massa Basar demo, Dewan walk out. Massa dan anggota dewan dimaksud adalah lawan politik kandidat Monang Sitorus yang akhirnya terpilih sebagai bupati. Besoknya hanya di Metro peristiwa itu terbit

sesuai fakta, apa adanya. Bahkan belasan koran lain yang berseberangan dengan Sitorus tidak menulis selugas itu. Aku tahu berita itu sangat memukul kubu Sitorus. Apalagi [mungkin anda tidak percaya] edisi itu dipesan seribu eksemplar oleh tim suksesnya. Mungkin juga anda masih takkan percaya, saat itu sudah 30-an juta uang mereka yang masuk ke koran tempatku bekerja lewat iklan dan order koran. Tapi aku berprinsip: berita harus kupisahkan dari iklan. Meskipun pers juga adalah lembaga bisnis selain lembaga demokrasi tidak berarti wartawannya legal melakukan trade-out [memberitakan iklan], apalagi sampai memutar-balikkan fakta. Pagar api [tanda yang memisahkan/ membedakan berita dan iklan] harus menjadi kesepakatan ruang redaksi dan perusahaan media. Jujur dan mendengarkan hati nurani adalah jauh lebih utama daripada sekadar menguasai teknik jurnalistik. Fakta adalah suci. Jika anda terbiasa memerkosa fakta, segeralah beralih profesi. 2) Tentukan angle berita sejak masih meliput di lapangan. Banyak wartawan berpikir bahwa sudut pandang berita baru perlu saat hendak menulis. Ini keliru. Tahun-tahun pertama jadi wartawan, aku sering bergumam di depan mesin ketik: Angle begini lebih menarik, tapi kok aku kekurangan bahan ya . Maka ketika dalam melakukan reportase atau wawancara anda menemukan hal yang lebih menarik daripada angle awal, galilah kembali mulai dari situ. Bukan dosa bila anda lari dari angle yang ditugaskan redaksi. Disiplin jurnalisme berbeda dengan militerisme. 3) Dalam wawancara jangan menjebak narasumber dengan meminjam mulut. Kecuali anda menulis untuk koran kuning. Biasakan memakai pertanyaan terbuka, sehingga jawaban bisa lebih beragam dan luas. Pertanyaan tertutup yang hanya butuh jawaban ya atau tidak baru efektif dipakai dalam liputan investigasi [saat data akurat sudah di tangan dan kita hanya ingin "menangkap tersangka"]. 4) Patuhi etika. Hargai off the record. Ada kalanya anda sedang bergunjing di kedai kopi dan sumber-sumber melontarkan pernyataan menarik. Suatu hari anda mengingat obrolan itu lalu mengutipnya ke dalam berita. Anda bisa digugat. Seharusnya anda menghubungi kembali narasumber dan meminta izin bagian-bagian mana dari ucapannya yang akan anda kutip. Jika dia tidak bersedia, anda pun harus berhenti menulis. 5) Catatlah suasana saat melakukan reportase dan wawancara. Hal-hal sepele membuat tulisan lebih manusiawi. Dalam sebuah berita seremonial, yaitu penyerahan kendaraan dinas kepala desa, aku menulis: Bupati sempat menghidupkan dan mengecek speedometer ke-15 sepedamotor itu satu per satu. Saya cek dulu, benar nggak ini baru. Oh , iya, benar, ujarnya.

Jason, seorang wartawan di Kota Siantar, mengaku menerapkan apa yang pernah kubilang saat dia mewawancarai Marim Purba di penjara Desember dua tahun lalu. Aku gambarkan bagaimana dia mengisap rokok, istrinya pakai baju apa , kata Jason. 6) Arsipkan semua klipping berita dan bahan mentah berita anda. Selalu jelaskan ulang latar belakang sebuah masalah jika anda menulis berita lanjutannya. Redaktur dan pembaca tidak akan ingat apa yang anda tulis sepekan lalu. 7) Jangan hanya mengandalkan bahan siaran pers. Jangan hanya mendengar jika bisa menyaksikan langsung. Kisah nyata berikut ini, yang kukutip dari sebuah buku jurnalistik tua [aku lupa judul buku itu] bisa jadi pelajaran berharga. Seorang wartawan pemula di Amerika Serikat ditugaskan meliput kotbah Minggu malam. Karena pada jam bersamaan terlanjur ada janji kencan dengan pacarnya, dia meminta naskah kotbah sang pendeta. Dia pun merasa tak perlu lagi hadir di gereja untuk meliput. Berita diketik dan diserahkan kepada redaktur Senin pagi. Berita yang bagus. Lead-nya juga menarik. Tapi , bagaimana dengan kebakaran , kata Redaktur Kota, datar dan lembut. Kebakaran? Gereja itu hangus terbakar sebelum kebaktian dimulai, ujar Redaktur, kali ini tidak lagi lembut. Dan tidak ada khotbah! [www.blogberita.com] Tulisan ini merupakan bagian dari draf bukuku yang tak jadi kuterbitkan. Bersambung besok: Redaktur bukan tukang gergaji ekor berita. Silakan bila ingin mengutip artikel dari blog ini, dengan syarat menyebut sumber. Bila dikutip untuk website, blog, atau milis, maka tuliskanlah sumbernya www.blogberita.com dan buatkan link ke artikel bersangkutan. Bila dikutip untuk koran, majalah, bulletin, radio, televisi, dll, maka tulislah/ sebutkanlah sumber kutipannya; www.blogberita.com.

Repoter dan Theatre Of The Mind.


Cara jadi reporter jempolan.

Dalam melaporkan suatu peristiwa, reporter harus beruasaha memvisualisasikan peristiwa itu agar tercipta imajinasi kejadian sebenarnya dalam benak pendengar (theatre of mind) atau membawa pendengar seolah olah merasa berada di tempat terjadinya peristiwa tersebut. Apalagi pendengar paham dan tahu lokasi kejadian, maka dia akan berimajinasi ikut melihat seolah berada disekitar lokasi berdasarkan gambaran yang disampaikan oleh seorang reporter. Menciptakan imajinasi dalam benak pendengar baru bisa tercipta apabila reporter bisa membangkitkan emosi pendengar. Untuk membangkitkan emosi pendengar reporter harus mengerti bagaimana memainkan intonasi (naik turunnya kalimat) dan aksentuasi (penekanan suku kata/kalimat). Reporter juga harus pandai memainkan pemenggalan kalimat (phrasing) karena kemampuan seseorang untuk menyimak melalui telinga hanya maksimal 20-22 kata. Jika lebih dari itu, maka pendengar akan kesulitan menyimak apa yang disampaikan reporter. Nah, untuk dapat menghadirkan theater of mind tersebut, paling tidak seorang reporter harus memiliki standart kompetensi/kemampuan dasar sbb:
1. Memiliki kualitas vocal yang memadai (middle bass dan middle tribble). 2. Memiliki Artikulasi yang baik : Pengucapan kata-kata, frase dan kalimat serta istilah khusus harus jelas, tegas, benar dan akurat. 3. Memiliki Intonasi yang baik : Nada pengucapan, naik turunnya lagu kalimat atau langgam nada kalimat harus tepat. Sehingga penjiwaan dalam bertutur akan terdengar cukup baik. Intonasi yang keliru dapat membuat pemaknaan dan penafsiran kalimat jadi keliru atau salah dalam menafsirkan. 4. Memiliki Speed yang baik : Cepat lambatnya pengucapan kalimat. Terlalu cepat akan membuat artikulasi tidak jelas dan intonasi tidak bermain. Speed yang terlalu lambat akan membuat pendengar bosan dan tidak menarik. 5. Mengerti Pemenggalan kalimat (phrasering) : Pemengelan kalimat harus tepat dan cermat. Pemenggalan (phrasering) yang salah akan terdengar aneh dan lucu serta bisa menyesatkan pendengar

Investigative Reporting.
cara jadi wartawan jempolan.

Seorang jurnalis investigatif mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama untuk riset dan menyiapkan laporannya, kadang-kadang bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sementara reporter harian atau mingguan biasa menuliskan berita-berita yang bisa dimuat segera. Laporan akhir seorang jurnalis investigatif biasanya berupa suatu pengungkapan kasus. Langkah-langkah investigasi ini sering menuntut si reporter untuk melakukan banyak wawancara terhadap berbagai sumber, serta bepergian ke banyak lokasi. Tak jarang, reporter juga harus melakukan aktivitas seperti: pengintaian, analisis dokumen, menyelidiki kinerja peralatan yang terkait dengan suatu kecelakaan, dan sebagainya. Pelaporan investigatif (investigative reporting) adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi. Karakter dari berita investigatif adalah: 1. Merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah. 2. Mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis. 3. Berkaitan dengan kepentingan publik. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, setidaknya ada tiga bentuk yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi. Pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting): Pelaporan investigatif orisinal melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik.

Dalam melakukan investigasi, jurnalis mungkin menggunakan taktik-taktik yang mirip dengan kerja polisi. Seperti, penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan/data publik, bahkan --dalam situasi tertentu-- pemantauan aktivitas dengan sembunyi-sembunyi dan penggunaan penyamaran. Dalam pelaporan investigatif orisinal di era modern sekarang, kekuatan analisis komputer sering menggantikan observasi personal para reporter. Pelaporan investigatif interpretatif (interpretative investigative reporting): Jenis pelaporan investigatif interpretatif juga menggunakan keterampilan yang sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi (penafsiran) pada tingkatan yang berbeda. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah, pada pelaporan investigatif orisinal, si jurnalis mengungkapkan informasi, yang belum pernah dikumpulkan oleh pihak lain manapun. Tujuannya adalah memberitahu publik tentang peristiwa atau situasi, yang mungkin akan mempengaruhi kehidupan mereka. Sedangkan, pelaporan interpretatif berkembang sebagai hasil dari pemikiran dan analisis yang cermat, terhadap gagasan serta pengejaran fakta-fakta yang diikuti, untuk memadukan semua informasi itu dalam konteks yang baru dan lebih lengkap. Dengan cara ini, diharapkan bisa memberi pemahaman yang lebih mendalam pada publik. Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa. Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap sesuatu, serta informasi baru tentangnya. Pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations): Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-badan pemerintah. Pelaporan terhadap investigasi bisa terjadi, manakala penyelidik resmi sedang bekerja. Penyelidik dari pihak pemerintah bekerjasama secara aktif dengan jurnalis pada kasus-kasus tertentu, karena sejumlah alasan. Seperti: untuk mempengaruhi anggaran derma (dari negara bagian) untuk mempengaruhi saksi-saksi potensial, atau untuk membentuk opini publik. Contohnya, sebagian besar dari pelaporan tentang perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky sebenarnya adalah hasil investigasi, yang dilakukan kantor Penuntut Independen Kenneth Star, ditambah dengan informasi tandingan yang dibocorkan oleh pihak Gedung Putih atau para pengacara terkait. Bandingkan dengan pelaporan investigatif skandal Watergate pada 1972, yang dilakukan jurnalis Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Sebagian besar hasil penyelidikan kasus tersebut, khususnya pada bulan-bulan awal yang kritis, adalah murni hasil kerja investigatif orisinal para jurnalis.

Mereka bicara langsung pada para narasumber utama tentang apa yang terjadi, bukan bicara pada tim penyidik resmi tentang apa yang mereka teorikan sudah terjadi. Skandal Watergate ini kemudian berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Richard Nixon. Jurnalisme investigatif menuntut kecermatan dalam detail (rincian), penemuan fakta, dan upaya fisik. Seorang jurnalis investigatif harus memiliki pikiran yang analitis dan tajam, dengan motivasi diri yang kuat untuk terus berupaya, ketika semua pintu informasi ditutup, ketika fakta-fakta dikaburkan atau dipalsukan, dan seterusnya. Beberapa cara yang bisa digunakan jurnalis untuk menemukan fakta: 1. Mempelajari sumber-sumber yang sering diabaikan, seperti arsip, rekaman pembicaraan telepon, buku alamat, catatan pajak, dan perizinan. 2. Bicara kepada warga di lingkungan sekitar. 3. Menggunakan sumber riset berlangganan (di internet). 4. Sumber-sumber anonim. Misalnya, orang dalam yang membocorkan informasi (whistleblowers). 5. Melakukan penyamaran. Jurnalisme investigatif dapat dibedakan dengan pelaporan analitis (analytical reporting). Jurnalisme analitis memanfaatkan data yang tersedia dan mengatur ulang data tersebut, sehingga membantu kita dalam mempertanyakan suatu situasi atau pernyataan, atau memandangnya dengan cara yang berbeda. Sedangkan, jurnalis investigatif bergerak lebih jauh dari sekadar pelaporan analitis, serta ingin mengetahui apakah situasi yang dihadapkan pada kita itu adalah benar-benar realitas. Jurnalisme investigatif juga dapat dibedakan dengan pelaporan mendalam (indepth reporting).Indepth reporting merupakan suatu laporan mendalam terhadap suatu obyek liputan, biasanya yang menyangkut kepentingan publik, agar publik betul-betul memahami obyek tersebut. Namun, berbeda dengan peliputan investigatif, indepth reporting tidak memfokuskan diri pada penyingkapan suatu kejahatan, kesalahan, penyimpangan, atau kejahatan tersembunyi, yang dilakukan pihak tertentu. Sifat indepth reporting lebih pada memberi penjelasan pada publik. Sementara proses pencarian informasinya sendiri juga tidak menuntut dilakukannya investigasi, karena boleh jadi informasi itu bersifat terbuka dan mudah diakses. Sedangkan pelaporan investigatif berasumsi bahwa ada sesuatu yang salah, atau ada suatu pihak yang telah berbuat salah. Kesalahan yang sengaja disembunyikan atau belum terkuak itulah yang menjadi target peliputan investigatif.

Indepth Reporting vs Investigatif Reporting.


cara jadi wartawan jempolan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Indepth Reporting , akan dibahas dulu mengenai perbedaan antara Indepth Reporting dan Investigatif Reporting, karena ada beberapa pengertian yang seringkali salah kaprah soal itu. Indepth Reporting merupakan suatu laporan yang mendalam tentang suatu objek yang biasanya mengenai kepentingan khalayak dan layak diketahui umum. Reportase dilakukan untuk menggali sebanyak mungkin data agar bisa disajikan dengan jelas dan rinci agar masyarakat bisa benar-benar memahami objek tersebut. Indepth Reporting tidak menyiratkan kegiatan membongkar aib, kesalahan, atau kelemahan pemerintah tapi sebagai mencari data dan keterangan belaka. Dalam melakukan indepth reporting seorang wartawan bisa berangkat praktis dari nol atau dari sekadar membaca kliping-kliping koran. Investigatif Reporting dimulai dari asumsi atau anggapan bahwa ada something is wrong, that some one has done something wrong. Istilah investigasi muncul pertama kali saat Nellie Bly jadi reporter Pittsburgh Dispatch pada 1890. Bly menyelidiki kehidupan buruh anak yang mencari nafkah dalam kondisi buruk. Bly sengaja bekerja di sebuah pabrik di Pittsburgh. Laporan investigasinya mendorong terjadinya perubahan terhadap standar hidup para pekerja kelas bawah itu. Ketekunan Nellie Bly mengilhami jurnalisme Amerika. Laporan investigasi sejatinya bukan reportase biasa. Robert Greene dari Newsday, dikenal sebagai Bapak Jurnalisme Investigasi Modern, mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga elemen dasar : 1. Liputan benar-benar gagasan orisinal wartawan dan hasil bukan investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti

2. Membongkar kejahatan publik yang disembunyikan, subjek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan 3. Menemukan siapa pelakunya. Hipotesis merupakan langkah penting bagi wartawan untuk sebelum melakukan investigatif reporting. Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa pertanyaan dasar. Pertama pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. "Siapa yang bertanggungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menyebarkan sentimen antietnik atau antiagama tertentu? Kedua, bagaimana cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan disimpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bahwa hipotesis itu salah, seorang investigator harus dengan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Laporan indepht reporting yang seringkali disamakan dengan Investigatif reporting. Salah satu hal yang banyak membedakan adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam proses reportase. Hipotesis sangatlah penting untuk membentuk wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu investigasi. Pada liputan investigatif, seorang atau lebih wartawan memutuskan untuk melakukan suatu liputan investigatif karena mencium adanya suatu pelanggaran yang menyangkut kepentingan umum yang ingin ditutup-tutupi, dan masalah ini dianggap layak dan penting diketahui masyarakat. Sedangkan pada indepht reporting, adanya pelanggaran hukum itu bukan merupakan unsur utama. Tujuan indepht reporting lebih pada upaya untuk mengangkat suatu masalah, atau suatu soal secara mendalam. Dalam batasan tertentu investigatif reporting adalah fase kelanjutan dari indepth reporting. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya, saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Direktur Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJ) Sheila Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Tahap Pertama: 1. First lead (petunjuk awal): koran, desas-desus, telepon gelap, surat kaleng, dll 2. Initial reporting (penjaringan nama, pemilihan narasumber, tempat yang akan diobservasi,pembuatan kronologi) 3. Literature search (mengacu pada hasil liputan awal; kliping koran, pencarian di internet, buku, dan sumber lain) 4. Interviewing experts (sumber ahli/pakar) 5. Finding a paper trail (BAP, berkas sidang pengadilan, hasil visum)

6. Interviewing key informants and sources Tahap Kedua: 1. First hand observation (Observasi di lapangan berguna untuk mendapat data detil sekaligus memastikan kebenaran dokumen) 2. Organizing files (Data-data hasil pengamatan lapangan, yang dikawinkan dengan data-data sebelumnya, perlu diorganisasikan secara cermat dalam file-file) 3. More interviews (menambahi data-data bolong ketika file sudah diorganisasikan secara cermat dan teliti. Wawancara ini umumnya hanya berlangsung untuk sumber-sumber kunci dan saksi-saksi) 4. Analyzing and organizing (misalnya Metode lebih baku diperkenalkan Robert Greene dari Newsday berupa Sistem Memo: Copy Ready dan Procedural ) 5. Writing (Yang perlu diingat, dalam menulis yang pertama-tama didahulukan adalah bahwa laporan harus benar. Baru kemudian, menarik dan relevan) 6. Fact checking (ingat: intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi) 7. Libel checking

Indepth reporting, interpretatif reporting, maupun investigatif reporting, seperti jenis liputan lainnya, menekankan pada perlunya etika dan hukum.Kode etik media massa, di antaranya, memberikan beberapa jenis keterangan yang mesti diperhatikan wartawan, dan sumber-sumbernya di masyarakat luas: 1. On the record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama serta jabatan si sumber. Kecuali ada kesepakatan lain, semua komentar dianggap boleh dikutip. 2. On background. Semua pernyataan boleh dikutip langsung, tapi tanpa menyebutkan nama si sumber. Jenis penyebutan yang digunakan si sumber harus dinegosiasikan lebih dulu. Tapi harus diingat bahwa makin kabur identitas si sumber, makin ringan juga kredibilitas laporan si wartawan. Seorang dosen di sebuah universitas lebih kabur ketimbang seorang dosen di fakultas universitas tersebut. 3. On deep background. Semua pernyataan sumber boleh digunakan tapi tidak dalam kutipan langsung. Reporter menggunakan keterangan itu tanpa menyebutkan sumbernya. Umumnya, reporter tak suka kategori ini, sebab si sumber, apalagi yang sudah berpengalaman dengan media, sering memanfaatkan status ini untuk mengapungkan umpan tanpa mau mempertanggungjawabkannya. 4. Off the record. Informasi yang diberikan secara off the record hanya diberikan kepada reporter dan tak boleh disebarluarkan dengan cara apapun. Informasi itu juga tak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan informasi itu bisa dikutip. Secara umum harus diketahui lebih dulu bahwa rencana penyampaian informasi secara off the record harus disepakati lebih dulu oleh reporter. Risiko menyetujui informasi off the record adalah si wartawan terikat untuk tak menggunakan informasi tersebut -termasuk kemungkinan bahwa informasi itu diperoleh dalam bentuk yang lain dari narasumber lain, tapi bisa

menimbulkan kesan bahwa si wartawan tak menghormati kesepakatannya dengan sumber pertama --sampai ada pihak lain yang mengeluarkannya dengan nama lengkap.

Pemahaman etika dan hukum pers diperlukan wartawan investigasi ketika berhadapan dengan liputan-liputan yang konfidensial; yang sengaja ditutup rapat-rapat oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini, di antaranya, menyebabkan teknik affidavit (pernyataan tertulis yang dibuat di bawah sumpah, di hadapan notaris publik) dan penyamaran dipakai dalam peliputan investigasi. Dalam upaya mencari keterangan narasumber yang kuat, terutama investigatif reporting, kerap mensyaratkan informasi dari para saksi mata. Para saksi mata adalah orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi. Mereka memiliki informasi tentang fakta. Namun, keterangan mereka dianggap memiliki potensi memojokkan pihak-pihak tertentu. Untuk itulah, kesaksian mereka harus diberi perlindungan hukum dan disebut affidavit. Keterangan ini menjadi senjata wartawan. Affidavit merupakan bahan yang dapat memperkuat berita investigasi dan dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk. Bahkan, bisa digunakan untuk menepis kemungkinan penyangkalan narasumber yang menyatakan bahwa dirinya telah salah kutip. Terkadang reporter terpaksa melakukan penyamaran dalam penyelidikannya. Apakah diperbolehkan? Kalau iya, kapan seorang wartawanboleh mencuri? Kapan ia boleh memakai kamera tersembunyi? Kapan ia boleh memalsukan identitasnya? Kasus: Stasiun televisi ABC bikin penyamaran tentang perlakuan buruk terhadap anak-anak cacat mental di sebuah rumah sakit. ABC mendapatkan pujian. Rumah sakit itu terpaksa mengubah kebijakan mereka. Pemerintah setempat juga minta maaf. Lalu terjadi perubahan besar-besaran aturan pemerintah soal rumah sakit anak-anak cacat. Ada kasus lain, juga terjadi pada ABC, penyamaran mereka tentang pabrik pengemasan daging berbuah gugatan hukum. Belakangan mereka terpaksa minta maaf dan membayar denda. Mereka terbukti bersalah karena data dan gambar yang mereka tampilkan tidak proporsional. Perusahaan itu memang menghasilkan beberapa potong daging yang busuk namun jumlahnya sangat kecil. Mereka juga disalahkan karena menyadap telepon seorang eksekutif perusahaan daging tersebut. Dari dua kasus pada sebuah televisi yang sama itu, ada beberapa pedoman bila kita terpaksa harus mencuri: 1. Motivasi kita melakukan pencurian atau penyamaran tujuannya murni untuk kepentingan publik. 2. Wartawan sudah melakukan prosedur yang biasa untuk mendapatkan data, informasi, dokumen gambar atau suara, dengan frekuensi yang cukup tinggi, namun belum berhasil mendapatkan apa yang dicarinya. 3. Harus seizin atasan si reporter. Artinya, ini pekerjaan di luar standar normal. Maka para editor harus tahu dan memberikan izin. Siapa tahu kelak ada gugatan hukum.

4. Ketika hasil pencurian ini disajikan ke publik, kita juga harus transparan menjelaskan bahwa ia didapat dengan mencuri namun prosedur itu terpaksa ditempuh karena prosedur normal tidak berhasil. Kita harus memberikan kesempatan kepada audiens untuk menilai sendiri. Kita tentu juga harus minta tanggapan dari pihak yang kita curi untuk dimuat tanggapannya bersama dengan presentasi hasil penyamaran kita. Tanggapan ini diminta tidak pada saat penyamaran. Ia diminta sesudah kita mendapatkan informasi tersebut. William Recktenwald, reporter Chicago Tribune, yang terlibat dalam berbagai tindak penyamaran dalam sejumlah investigasi, setuju bahwa reporter seharusnya menghindari penyamaran kecuali jika mutlak diperlukan. Ia memberi beberapa saran : 1. Tugas pertama seorang reporter dalam mengandaikan dirinya menjadi orang lain sematamata untuk melaksanakan pekerjaan dengan benar dan bukan untuk mengacaukan hidup orang lain. Jika seorang reporter akan bekerja di panti perawatan manusia lanjut usia, tugas-tugasnya harus didahulukan ketimbang profesinya sebagai jurnalis. 2. Jika sesuatu yang dicari tak ada di sana, jangan membuatnya ada. Jangan pernah mendorong orang untuk melanggar hukum agar mendapat adegan dalam laporan yang hendak disampaikan. 3. Seorang reporter yang menggunakan identitas palsu, janganlah terlalu jauh dalam menyamar. Misalnya, tidak jadi manajer jika jabatan satuan pengamanan lebih cocok dipakai dalam penyamaran. Ketika mengisi lembar aplikasi gunakan tanggal lahir, alamat, asal sekolah, dan pengalaman kerja yang sesungguhnya, kecuali pekerjaannya selaku reporter. --4. Dalam banyak kasus, latar belakang tidak diperiksa. Tapi jangan sekali-kali berbohong untuk dokumen-dokumen tertentu, seperti surat izin mengemudi, yang memerlukan sebuah sumpah. 5. Jangan pernah melanggar hukum. Pengumpulan berita tidak kebal terhadap hukum. 6. Hindari lubang-lubang bocoran informasi yang akan menggantungkan reporter dengan banyak sumber tak bernama.

Manajemen Indepth reporting (indepth news).


Pengertian: Laporan jurnalistik (dikerjakan berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik: menyucikan fakta, memakai prosedur check and recheck, menulis secara berimbang, dst). Mendalam (lebih dari sekadar hard news atau berita standar, diperkuat data yang lengkap) Obyek Liputan: 1. Semua obyek liputan jurnalistik

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Angle Liputan: People Komunitas Kedekatan geografis Kedekatan demografis Kedekatan psikografis Berapa Lama: Tergantung. Bisa untuk edisi besok maupun untuk edisi beberapa hari kemudian yang akan disajikan dalam liputan khusus satu atau dua halaman maupun tulisan bersambung.

HOW (Cara Penggarapan): Liputan indepth selalu rumit dari segi isi (content) maupun design . Karena itu, ada baiknya, biasakanlah membuat organisasi kerja. Buat rencana (desain) liputan dan rencana (design) halaman. Bersyukurlah bila Anda memiliki reporter yang memiliki kualifikasi mampu membuat design liputan. Bila tidak, Anda harus membuatnya sendiri. Content: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tentukan angle liputan (lihat Angle Liputan). Data apa yang mendukung Foto-foto apa saja yang diperlukan Siapa narasumbernya Kapan deadline Siapa mengerjakan apa Evaluasi bahan yang diperoleh. Setelah semua oke, buatlah perencanaan halaman

Design: 1. Tentukan design halaman 2. Beberapa Panduan Penyajian 3. Dalam liputan indepth, banyak bahan berita yang hendak disajikan. Semua terasa menarik. Pada situasi seperti ini, langkah sederhana yang harus dilakukan adalah membuat skala prioritas berdasarkan pertimbangan kelengkapan berita dan kebutuhan pembaca. 4. Dengan menyentuh soal in depth news artinya sebuah berita tidak cukup hanya sebatas memenuhi patokan klasik 5W (what, where, when, who, why) dan 1 H (how). Untuk dapat menuliskan sesuatu in depth, termasuk berita, tentu saja si penulis memerlukan data yang relatif lengkap dan acuan-acuan dari berbagai sumber. 5. Data-data itu diperiksa kembali dan diperiksa silang menggunakan berbagai sumber, selain menggunakan berbagai nara sumber, juga memanfaatkan berbagai sumber perpustakaan tentang subyek yang sama. Di sini, lalu muncullah peran penting hasil-hasil penelitian, dan tersedianya perpustakaan yang padan sehingga memungkinkan penulis memperoleh tulisan in depth.

Hasil-hasil penelitian dan acuan perpustakaan selain membantu guna memperoleh data-data yang relatif akurat, juga berfungsi sebagai bahan pembanding. Penggunaan metoda perbandingan kiranya memang membantu dalam melihat hal-ikhwal seadanya hal-ikhwal itu, tingkat perkembangan serta capaiannya. Membantu penulis untuk seminim mungkin luput dari evaluasi subyektif. Kalau pandangan demikian benar, maka tulisan in depth tidak bertentangan dengan tuntutan obyektivitas berita (news) atau tulisan non fiksi (non fiction writing). Namun ada pegangan yang paling penting, apapun akhirnya seorang jurnalis akan berhadapan dengan resiko. Tapi ia tidak akan mengelabui hati nuraninya, dan masyarakat yang harus menerima informasi itu. Yaitu : 1. Fakta : Informasi, wawancara (menurut ahli komunikasi UI, Ibnu Hamad), kesaksian adalah fakta. 2. Cover both Sides : Ini adalah etika, sekaligus untuk menjaga adanya malice atau un-malice dalam peradilan yang beradab, yang menjunjung hukum yang bersih dan keadilan.

Manajemen Investigatif Reporting.


1. Smelling a story / That was something wrong (mencium berita / ada sesutau yang salah). Disini, reporter Media Penerbitan/Penyiaran mulai curiga dan mengendus/mencium adanya ketidakberesan yang layak diketahui masyarakat. 2. Menentukan subjek. Apakah layak diselidiki, misalnya apakah menyangkut kepentingan umum, seberapa besar magnitude-nya atau daya tariknya, menarik perhatian masyarakat atau tidak, bagaimana feasibility-nya, serta mendapat dukungan/persetujuan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran. 3. Perencanaan. Meliputi semua aspek yang mungkin timbul. Reporter Media Penerbitan/Penyiaran harus lebih dulu membangun diskusi dengan tim-nya atau dengan para redaktur Media Penerbitan/Penyiaran, dalam brainstorming, atau adu pendapat. Lalu disusun rencana outline, termasuk rencana kerja, perencanaan waktu, biaya, serta penentuan narasumber. 4. Riset. Hal ini bisa dilakukan juga sebelum perencanaan. Tujuannya, agar tim reporter dan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran menguasai masalah sebelum terjun ke lapangan. Dalam tahapan ini data-data statistik yang menjadi penunjang laporan bisa disiapkan. 5. Masuk Lapangan. Dalam pelaksanaan di lapangan, selain siap menghadapi berbagai hambatan, reporter Media Penerbitan/Penyiaran juga perlu siap melakukan penyesuaian, karena acap kali apa yang di rencakan di belakang meja ternyata berbeda dengan yang ditemukan di lapangan. 6. Check. Ini harus selalu diingat oleh reporter dan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran. Tetaplah terus menerus melakukan check, double check, dan triple check terhadap informasi dan data yang diperoleh di lapangan. 7. Penulisan. Setelah semua informasi tergali, penulisan bisa dimulai. Sekali, lagi, penulisan seharusnya yang otoritatif, objektive, nonpartisan, fair dan impartial. Dan, tentu saja, manusiawi dan enak dibaca.

Minggu, 07 Maret 2010


Teknik Menjadi Reporter yang Handal
Teknik Reporter Profesi reporter merupakan ujung tombak di dalam dunia jurnalistik. Bagaimana isuisu di masyarakat dicari sumber informasinya, hingga kemudian dikemas ke dalam sebuah artikel yang menarik dan layak untuk dibaca merupakan deskripsi sederhana kerja seorang reporter. Namun di balik itu semua dibutuhkan teknik-teknik dan juga trik khusus di dalam melakukan reportase dan menulis sebuah artikel. Di dalam tulisan ini, akan dibahas secara tuntas bagaimana teknik reportase, dan menulis artikel jurnalistik yang baik. Kerja seorang reporter Reportase merupakan pekerjaan dimana kita harus seratus persen focus dan bertanggung jawab di dalamnya. Jika kita hanya setengah2 dan tidak tuntas di dalam bekerja akan terjadi missing di masyarakat yang bisa saja menjadi masalah besar dengan pertanggungjawaban yang besar pula. Namun menjadi reporter bukan melulu akan menjadi profesi yang menyebalkan dan membosankan. Itu semua tergantung dengan bagaimana kita mengerjakannya. Jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati, niat yang baik untuk memberikan informasi kepada masyarakat, dan juga menjalin hubungan baik dengan orang lain, niscaya pekerjaan reporter akan menjadi profesi yang sangat menyenangkan. a. Menanggapi isu yang berkembang Kerja awal reporter adalah menghadapi isu-isu yang berkembang di masyarakat. Seperti contoh isu tentang aliran dan Bank Century untuk kampanye SBY. Sebagai reporter yang baik, langkah awal setelah mendengar adanya isu adalah berpikir netral. Ubah niat kita menjadi untuk mencari kebenaran bukan untuk menyudutkan salah satu pihak. b. Mencari sumber dan data terkait yang valid Setelah menanggapi isu tersebut, ditindaklanjuti dengan mencari sumber dan data terkait yang valid. Data yang dicari bisa merupakan data primer yaitu langsung kepada narasumber terkait, dan juga data sekunder yaitu data literature yang valid dari sumber terpercaya. c. Proses wawancara dan pencarian data literature Proses ini merupakan proses terpenting di dalam kerja seorang reporter. Antara data primer dan data sekunder sama pentingnya, namun di dalam proses ini data primer harus didahulukan. Hal tersebut karena terkadang data sekunder dari sumber terpercaya pun bisa saja direkayasa oleh pihak tertentu. Berbeda dengan data

primer, saat kita bertemu face to face dengan narasumber terkait, akan terasa atmosfer berbeda dan disinilah sifat kritis reporter diperlukan di dalam menginvestigasi narasumber. d. Proses peredaksian. Data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, khusus untuk data primer reporter wajib untuk membuat verbatim, yaitu sebuah catatan lengkap tanya jawab pada saat melakukan wawancara. Tidak lupa data primer dan sekunder dilakukan uji cross, sehingga pastikan data sinkron sebelum masuk ke tahap penulisan artikel. e. Proses penulisan Proses penulisan artikel merupakan tahap akhir di dalam kerja reporter. Setelah isu ditanggapi, dicari tahu kebenarannya, dan diolah datanya tiba saatnya reporter mengejawantahkannya ke dalam bentuk tulisan. Inti dari proses ini adalah berjiwa kritis. Pada proses awal tadi sempat dijelaskan bahwa niat awal kita adalah netral. Namun pada saat penulisan kita harus memberikan info sebenar-benarnya. Reporter harus mengeluarkan pemikiran kritisnya, namun tetap cerdas, mematuhi etika, dan tidak membabi buta dalam mengemukakan fakta informasi.

Taktik Jitu Dalam Pencarian Data Telah diutarakan sebelumnya bahwa data terbagi atas data primer yang langsung kepada narasumber terkait dan data sekunder berupa data literature dari sumber yang terpercaya. Untuk tiap data tersebut terdapat tips khusus agar reporter bisa maksimal dalam bekerja. a. Tips untuk data primer (wawancara langsung narasumber). - Reporter harus mau bekerja keras dan berani. Sehingga siapapun narasumbernya reporter tersebut tidak gentar. Terkadang narasumber tertentu sulit untuk ditemui. Reporter yang baik harus cekatan membuat janji dengan narasumbernya, terkadang jika kita beruntung cobalah untuk datangi langsung kantornya, biasanya kesempatan untuk wawancara bisa langsung dating. Jangan jadi reporter yang malas dan manja! - Reporter harus siap dengan pertanyaannya. Kembangkan jiwa kritis kalian pada saat wawancara. Jangan hanya mengangguk dan mudah berkata iya terhadap semua jawaban narasumber. Lagi-lagi kita harus konsentrasi penuh terhadap narasumber. Sehingga kita dapat memberikan tanggapan yang tepat pada saat itu juga. - Reporter harus menggiring narasumber kepada permasalahan, bukan sebaliknya. Sebagai reporter kita harus bermain cantik dengan tidak to the point saat wawancara berlangsung. Hal ini untuk menghindari narasumber yang malah akan menjadi malas untuk diwawancara. - Reporter harus efektif dan efisien dalam wawancara. Reporter harus memiliki perkiraan waktu yang tepat. Biasanya sesaat sebelum wawancara dimulai, antara reporter dan narasumber terjadi kesepakatan waktu wawancara. Reporter harus dapat memperkirakan berapa waktu untuk berbasa-basi dan berapa waktu untuk pertanyaan yang berhubungan dengan akar permasalahan.

- Reporter harus mampu mengendalikan permainan. Terkadang ada narasumber yang cenderung ingin menguasai jalannya wawancara, menjawab berputar-putar, dan mengalihkan pembicaraan. Kunci untuk menghadapi masalah ini adalah ketahuilah terlebih dahulu dasar-dasar permasalahannya, dan perbanyaklah pengalaman. Karena keahlian wawancara tidak akan muncul pada saat pertama kali. Dibutuhkan pengalaman yang banyak sehingga kita terbiasa berbincang dengan orang lain, hingga tahu psikologis orang yang kita wawancarai. - Gunakan kalimat yang sopan dan baik, karena narasumber ingin selalu dihargai atas waktu dan kesempatan yang ia berikan untuk wawancara. - Jadikan tiap kesempatan wawancara menjadi tempat untuk menjalin relasi. Sehingga kapanpun kita membutuhkan wawancaranya lagi, dengan senang hati narasumber yang sama akan senang hati menerima anda. b. Tips untuk data sekunder - Kunjungi situs online resmi, untuk mencari data terkait. Ingat data tidak boleh sembarangan! - Jika tidak terdapat situs resmi, kunjungilah instansi terkait. Tanyakan data yang anda butuhkan saat itu juga. - Cari data lewat buku-buku dengan kutipan dan daftar pustaka yang jelas. Coba cek melalui daftar pustaka, data-data yang mungkin berhubungan. (OS)

February 19, 2012


How to be Reporter
Diposkan oleh Muslimah Tangguh di 20:31

Langkah-langkah Menjadi Reporter Reporter adalah seseorang yang melaporkan suatu kejadian aktual yang biasanya kita lihat dalam berita di TV baik secara Live maupun Off-air. Ada banyak cara untuk menjadi reporter yag baik, diantaranya: 1. Tingkatkan kemampuan komunikasi. Untuk menjadi reporter yang baik anda dituntut untuk membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Anda juga dituntut untuk mampu memberikan perntanyaan yang baik dan benar. Baca, tonton/ pantau, dan ikuti berita aktual. Perhatikan bagaimana sebuah cerita/ berita dikerjakan. Perhatikan apa yang membuatnya bagus atau tidak.

2.

3. 4. 5. 6.

Bawa buku catatan atau jurnal untuk mencatat apapun yang dirasa penting. Catat berbagai fakta tentang berbagai cerita/ berita. Hindari pendapat pribadi. Mulai suatu berita dengan 5W+1H (who, what, when, where, why and how). Bangun dan ciptakan sebuah berita yang detail dari hal-hal tersebut, mulai dari hal/ informasi yang paling penting sampai ke hal-hal yang tidak penting. Cari berita/ cerita yang menarik. Mulai dari daerah di sekitar kita. Kunjungi dan hadiri brbagai acara.

7. 8. 9.

10. Mulai dengan menulis free-lance. Yups, itulah beberapa langkah untuk menjadi seorang reporter. Masih ada dan banyak lagi langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menjadi seorang reporter yang luar biasa. Nantikan tulisanku yang berikutnya ya.

hal-hal yang harus diperhatikan agar dapat menjadi reporter yang baik
Dalam bidang pekerjaan jurnalistik atau pekerjaan yang berkaitan dengan masalah pemberitaan, kita mengenal profesi reporter. Kata reporter merupakan serapan dari bahasa asing yang artinya pelapor atau orang yang melaporkan. Profesi reporter ini bukan dominasi kaum pria saja, melainkan juga kaum wanita. Bahkan, seorang reporter sebuah televisi swasta Indonesia pernah disandera gerilyawan di Irak ketika meliput berita di sana. Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan agar dapat menjadi reporter yang baik. 1. Pengamatan yang teliti. Ketelitian dan kejelian dalam mengamati peristiwa yang akan dilaporkan akan menentukan kualitas laporan yang disampaikan. 2. Pelaporan yang lengkap. Apa saja yang harus dilaporkan? Terapkan akronim Asdikamba! Apa : Peristiwa apa yang hendak dilaporkan. Siapa : Pelaku atau tokoh yang terlibat dalam peristiwa. Di mana : Tempat peristiwa yang akan dilaporkan itu terjadi.

Kapan : Waktu terjadinya peristiwa. Mengapa : Penyebab terjadinya peristiwa. Bagaimana : Proses peristiwa itu berlangsung. Dengan bantuan enam kata tanya pelacak itu, diharapkan laporan yang disampaikan memiliki kualitas yang cukup sebagai sebuah informasi. 3. Bahasa laporan yang komunikatif Laporan disampaikan untuk orang lain. Oleh karena itu, laporan harus mudah dipahami oleh orang yang mendengarkannya. 4. Penyampaian laporan yang ekspresif Laporan yang disampaikan secara lisan tidak didukung penggunaan tanda baca sebagaimana bahasa tulis. Unsur yang dapat membantu kejelasan laporan adalah penerapan intonasi, jeda, tempo, dan tekanan yang tepat saat mengucapkan kata-kata. Selain itu, ekspresi pelapor sebaiknya dapat menarik perhatian agar pendengar terkonsentrasi mendengarkan laporan.
Apa : Peristiwa apa yang hendak dilaporkan. Siapa : Pelaku atau tokoh yang terlibat dalam peristiwa. Di mana : Tempat peristiwa yang akan dilaporkan itu terjadi. Kapan : Waktu terjadinya peristiwa. Mengapa : Penyebab terjadinya peristiwa. Bagaimana : Proses peristiwa itu berlangsung.

pembenahan tata air Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Barat di Jalan Jembatan Besi VIII, Tambora, Jakarta Barat berfungsi untuk mengantisipasi banjir di wilayah jakbar. ada sekitar 100 petugas gabungan dari Satpol PP dan petugas PU tata air yang diturunkan dalam kegiatan ini. Dan kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Walikota Jakarta Barat, Burhanuddin

You might also like